Tuesday, December 9, 2014

7 Manusia Harimau Episode Pendekar Wanita Buta (Bag.1)



Semuanya diluar dugaan orang banyak, Ki Putih Kelabu mengirimkan undangan kepada beberapa
orang yang disegani di Kumayan. Orang mengira, undangan itu adalah pemberitahuan
pertunangan Ki Pita Loka dengan Guru Gumara.
Nyatanya hanya sebuah undangan syukuran belaka. Guru Gumara juga diundang, dan dia datang
mengenakan kemeja putih, juga terjadi hal di luar dugaan, karena Ki Putih Kelabu yang dikenal
pendiam itu ternyata pandai berpidato.
"Saya dengan segala kerendahan hati ingm mengingatkan lagi kepada anda, bahwa keluarga
kami mewaris sifat pemaaf". Tidak berdendam dan tidak menyukai permusuhan. Kami sudah
berusaha meghindari segala pertikaian dengan siapapun. Karena usaha itu, anak kami Pita Loka
harus menelan penderitaan kebutaan sebelah matanya yang tidak dapat dipersalahkan kepada
satu orang pun. Saya ulangi, kami tidak menyalahkan siapa - siapa. Karena itu siapapun yang
menganggap dirinya bersalah, harap lupakan seluruh kejadian sebab tidak satupun peristiwa
yang berdiri sendiri. Mari kita belajar dari dalam semesta, di mana satu perpindahan bintang
hanyalah karena mengikuti aturan kemestian sejak awal kejadian. Gunung yang meletus tidak
berdaya menolak takdir, lalu lahar dingin seolah menganggu tanah pertanian. Tapi ini semua
menjadi modal kesuburan anak cucu di kemudian hari, yang mewarisi kesuburan tanah.
Jadi, gunung yang meletus lahar yang mengalir, hanyalah tunduk dengan aturan alam semesta.
Yang senantiasa bandel itu, hanyalah kita manusia. Tapi tentu ada manusia yang selamat karena
ikut dalam aturan semesta. Maka, barang siapa yang mencari dan mendapatkan Sufia, dialah
yang selamat dan kebal atas keruntuhan , . ."
Ki Putih Kelabu rupanya sudah mengakhiri pidatonya. Guru Gumara mencoba memahami kalimat
terakhir guru yang rendah hati itu.
Apa itu Sufia?
Setiba di rumah, Gumara membongkar kembali Kitab Tujuh. Dia membaca semua huruf gundul di
Kitab itu. Namun dia tidak menemukan perkataan Sufia. Gumara yakin itu sejenis ilmu. Bukan
kitab. Dicobanya merenungi kembali ucapan Guru Putih Kelabu diakhir pidatonya: "Maka, barang
siapa yang mencari dan mendapatkan Sufia, dialah yang selamat dan kebal atas keruntuhan".
Jika Gumara membongkarnya dalam lembaran Kitab Tujuh, maka Pita Loka menanyakan hal itu
kepada sang Ayah.
"Apa itu Sufia, ayah?" tanyanya.
"Aku pun tidak tahu. Ucapan itu Kami warisi dari Guru, dan Guru mewarisinya dari gurunya pula,"
"Saya menganggapnya begitu penting. Tiap soal yang menarik perhatian manusia, lalu
mendapatkan jawabannya, lantas hal itu tidak penting lagi. Ketika Thomas Alva Edison
menemukan listrik, orang mempertanyakan cahaya pijar itu. Tetapi sekarang listrik bukan barang
mewah lagi. Tapi jika ada satu soal seperti Sufia dipertanyakan, tapi tidak dapat jawaban, itu
pertanda masalah itu penting dan bermutu tinggi,"
Grafity, http://admingroup.vndv.com
2
Pita Loka kecewa karena ayahnya hanya berdiam diri. Pagi harinya, ketika Pita Loka mau
berangkat ke sekolah, ada tamu. Tamu itu Ki Lading Ganda yang bartanya, "Bisakah bicara
sejenak dengan Ki Guru?"
Ki Putih Kelabu muncul dan mempersilahkan anggota Harimau Kumayan itu duduk di tikar
permadani.
Pita Loka kembali ke kamar, dengan maksud mendengar percakapan antara ayahnya dan
sahabatnya itu.
"Diantara kita tidak perlu ada rahasia. Coba terangkan padaku, apa itu Sufia?"
"Jangan berkecil hati, Guru Lading Ganda. Saya tidak mengetahuinya", jawab Ki Putih Kelabu.
"Darimana kau perdapat kata ajaib itu?"
"Dari Guru. Aku pernah mempertanyakannya seperti kau mempertanyakannya sekarang ini,
padaku. Tapi Guru hanya menyatakan, itu beliau dengar dari Gurunya." ujar Ki Lading Anda pergi
mencegat Ki Gumara yang akan berangkat mengajar di SMA.
"Tentu anda mengetahui apa itu Sufia, Guru!" ujar Ki Lading Ganda.
"Maaf. Sama sekali tidak".
"Tampaknya itu wasiat penting. Ki Putih Kelabu tidak suka bicara, tapi kali ini dia bicara. Kau
yang ahli takwil, coba terangkan padaku apa takwil ini semua?"
"Jika itu yang Guru tanyakah pada saya, saya sekedar dapat memahami. Kira-kira sebentar lagi
akan muncul huru-hara di Kumayan ini. Biasanya, hanya orang berilmu yang selamat atas huru -
hara, karena orang berilmu pandai membaca keadaan. Itulah tugas kita; Membaca keadaan.
Suasana".
KI Lading Ganda bertanya lagi; "Huru-hara itu tentulah ada penyebabnya. Besar kemungkinan
kekacauan ini mungkin datangnya dari pihak yang berbicara."
"Maksud tuan Guru, Ki Putih Kelabu akan membalas padanya?"
"Semua orang bilang, Guru Gumara yang membuat puterinya buta," kata Ki Lading Ganda.
"Ah, itu perasaan Tuan Guru saja," ujar Guru Gumara.
"Menurut renungan saya semalam, dia lontarkan perkataan Sufia itu sebagai isyarat, itulah ilmu
yang dia miliki."
"Kami sudah saling bermaafan, Sebaiknya jangan kita perbesar lagi satu soal yang sudah
diselesaikan, Tuan Guru.
Maafkan, saya musti mengajar, dan hari ini saya akan mengajar Sejarah. Saya tidak boleh
terlambat, karena kita ingin anak-anak muda itu mengenal disiplin," kata Gumara.
"Tampaknya Anda melecehkan hal penting ini, Guru Gumara."
"Begitulah penafsiran Tuan. Buat saya semua soal adalah penting!" lalu dia salami Ki Lading
Grafity, http://admingroup.vndv.com
3
Ganda dengan sikap hormat. Ki Lading Ganda tidak segera berlalu dari pekarangan rumah Guru
Gumara.
Dia hanya menatap kepergian guru SMA itu hingga hilang dari pandangan matanya. Kemudian
dia mengetuk pintu rumah dan keluarlah Alif.
"Oh, Tuan Guru. Tadi Anda bicara dengan Guru Gumara, bukan?"
"Ya. Sekarang saya akan bicara dengan Alif."
"Apa maksud tuan?" tanya Alif.
Ki Lading Ganda menatap Alif. Mata guru itu begitu tajam, sehingga menakutkan Alif. Alif
mulanya bengong. Tapi kemudian dia merasa pusing. Dia tak mampu menahan pancaran sinar
mata Guru Lading Ganda yang seakan-akan berubah jadi mata harimau. Dan ketika Lading
Ganda menyeringai, tampak oleh Alif taring-taring mengerikan. Lalu dia tidak sadarkan diri lagi,
dalam keadaan duduk.
Ki Lading Ganda memasuki kamar Guru Gumara, Apa yang dia cari, dia ketemukan seketika.
Yaitu Kitab Tujuh, yang masih terhampar di atas sebuah meja yang terbuat dari bekas kotak
sabun. Sebagai murid yang tekun dari zaman silam, Ki Lading Ganda tidak mendapatkan
kesulitan membaca semua huruf gundul dalam kitab itu. Dia telah menamatkan bacaan di Kitab
Pertama.
Tapi ketika membaca Kitab Kedua, susunan kalimatnya tidak ada hubungannya dengan Kitab
Pertama. Hal inilah yang membuatnya bingung. Kunci membaca urutan Kitab itulah yang tidak
diketahuinya. Sebab dalam kunci kitab yang tujuh itu, justru seorang yang membacanya harus
dimulai dari Kitab Tujuh. Baru kemudian Kitab Pertama. Kemudian urutan ketiga adalah
membaca Kitab Enam. Selanjutnya baru membaca Kitab Dua. Setelah itu baru membaca Kitab
Lima. Berikutnya membaca Kitab Tiga, Sedangkan Kitab Empat adalah mata pelajaran terakhir.
Biarpun bingung, Ki Lading Ganda sudah cukup puas sudah menamatkan membaca Kitab
Pertama buku itu. Seluruh isi Kitab Pertama pun sudah diketahui kuncinya oleh Ki Lading Ganda.
Karena ada kalimat di pertengahan buku itu, yang tidak ada hubungan dengan kalimat sebelum
maupun kalimat sesudahnya.
"Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah Suliram," bunyi kalimat itu, Sebagai bekas murid dari
guru yang tekun, Ki Lading Ganda mengetahui, bahwa kalimat itulah kuncinya, suatu perintah
untuk pergi ke Lembah Suliram.
Segera Ki Lading Ganda keluar. Dia duduk kembali menghadapi Alif. Disapunya wajah Alif dengan
telapak tangannya dengan sapuan lembut. Lalu Alif sadarkan diri, tak menyadari bahwa dia
sudah dalam keadaan tak sadar selama satu jam,
"Oh, Guru Lading Ganda," Ujar Alif, "Tadi saya lihat Tuan Guru bicara diluar dengan Guru
Gumara. Kini tuan ingin sesuatu?"
"Saya haus. Tolong segelas air kendi," ujar Ki Lading Ganda.
Setelah minum air kendi, Ki Lading Ganda minta ijin pada Alif. Alif tidak curiga sedikit pun dengan
kepergian Tuan Guru itu. Tapi Guru Gumara mandi keringat di depan kelas pada mata pelajaran
satu jam, bertepatan ketika tadi Ki Lading Ganda membaca Kitab Pertama dengan cara mencuri
itu. Gumara punya firasat. Bahkan dia tidak mengetahui, Pita Loka memperhatikan keanehan
Grafity, http://admingroup.vndv.com
4
yang dialami gurunya di depan kelas. Dia sebenarnya sudah buta sebelah matanya olah salah
sebuah kuku Guru Gumara ketika memperebutkan Kitab Tujuh tempo hari. Namun karena Pita
Loka menganggap kejadian itu hanyalah peristiwa suratan nasib, dia tak dendam.
Malahan dia kasihan melihat Sang Guru mengalami kesulitan mengajar Sejarah. Keringat guru
mengocor terus. Hal itu menghibakan hati Pita Loka. Maka Pita Loka berkata; "Pak Guru,
sepertinya bapak sakit, ya?"
Gumara menoleh pada murid yang barusan berkata. Dia terkejut. Karena hal inilah yang
dikehendakinya agar dia tidak jadi olokan murid dan menderita malu di hadapan murid –
muridnya.
GURU Gumara terharu atas sikap Pita Loka. Dia merasa berhutang budi. Lalu semangat
mengajarnya bangkit. Dan berkata: "Anak-anak, sementara kita tinggalkan mata pelajaran
Sejarah Kebangkitan Afrika Merdeka. Kita memasuki mata pelajaran Geografi."
Tetapi konsentrasi Guru Gumara mengajar bukan seperti sebagaimana biasa. Ada firasat buruk
yang mengganggu perasaannya, yang belum dia pahami.
"Berhubung buku tuntunan mata pelajaran ini belum tiba di Kumayan, saya mencoba untuk
mengajar kalian mengenai keadaan Bumi kita sekarang ini. Bumi yang kita diami sekarang ini,
yang kita kenal dengan bentuknya seperti pemetaan yang terlihat pada bola dunia ini," ujar sang
Guru sembari memperlihatkan bola dunia di atas mejanya, yang diangkatnya.
“Geografi bukan sekedar ilmu mengenai pemetaan, tetapi kumpulan dari berbagai masalah yang
terjadi dalam bola dunia ini. Baik yang di darat, maupun yang di laut maupun yang di udara kita
yang disebut atmosfir. Tentu ada diantara kalian yang mungkin lebih pandai dari saya, karena
rajin membaca, sehingga dia lebih mengetahui,” lalu ditatapnya Pita Loka, tapi Pita Loka tidak
memperlihatkan reaksi karena dia malu sebab usianya melebihi usia rata-rata murid SMA di kelas
itu. Gumara hanya ingin mengingatkan Pita Loka, bahwa dulu dia pernah mengajarkan hal itu
ketika Pita Loka masih muridnya di SMP.
“Suhu bumi kita sekarang ini amat panas karena putarannya yang berabad-abad sejak bumi kita
diciptakan Tuhan. Pada awalnya, bumi kita ini adalah bola dunia yang amat dingin berupa
gumpalan-gumpalan es yang dikenal pada masa itu sebagai Zaman Es.”
“Keringat Bapak, Pak!” tegur Ardi pada sang Guru.
Ketika Gumara melihat pakaian yang melekat di tubuhnya sudah seluruhnya basah, dia lalu
sadar, bahwa dia tak layak jadi tontonan.
“Saya mohon maaf. Mungkin saya kurang sehat,” kata Gumara.
“Sebaiknya bapak istirahat pulang saja,” ujar Pita Loka. Gumara melihat sekali lagi pada Pita
Loka. Hatinya bahagia. Lalu dia pamit, kemudian menemui Direktur dan minta ijin pulang sebab
sakit.
Setiba di rumah, Alif memberitahu padanya: “Guru, tadi setelah Guru pergi, Ki Lading Ganda
menemui saya, lalu meminta minum air kendi, Apa maksudnya?”
“Oh, begitu. Karena kau orang awam, sesuatu yang menjadi perhatianmu pasti karena kejujuran
dan tanpa prasangka. Apa kau sempat melihat Ki Lading Ganda masuk ke kamar saya?”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
5
“Tidak, Guru,” sahut Alif.
“Betul tidak?”
“Tidak.”
Namun Gumara mempunyai firasat. Ketika dia memasuki kamarnya, dia melihat keanehan pada
meja papan sabun itu. Susunan Kitab berubah dari letak semulanya.
Kitab Pertama terletak di atas. Sedangkan hal itu bukan semestinya. Gumara lalu mendapati Alif.
“Kau merasa terkena sihir?” tanya Gumara pada Alif.
“Saya hanya duduk,” kata Alif.
“Ketika kau duduk, apa kau tak merasa ada yang aneh?” Alif mencoba mengingat-ingat. Namun
gagal.
“Tidakkah Ki Lading Ganda menatap ke matamu?” tanya Gumara.
Alif mencoba mengingat, kemudian baru dia ingat, dan berkata:
“Ya.Guru!”
“Bagaimana keadaan bola mata beliau?”
“Biasa. Tapi kemudian saya ngeri.”
“Ada yang menakutkan Anda?” tanya Gumara.
“Ya. Hanya rasa ngeri.”
“Kau tidak melihat sesuatu selain perasaan ngeri?”
“Saya bertambah ngeri, setelah melihat sesuatu, Guru!”
“Wajahnya, kan ? Dia menyeringai, kan ? Lalu kau melihat saing taring harimau diwajahnya?”
Alif berdiam diri. Dia malah jadi ketakutan. Gumara cepat menghapus wajah Alif dengan sapuan
telapak tangannya. Alif terdongak, seperti barusan terjaga dari mimpi. Gumara puas, lalu dia
kembali ke kamar. Dibukanya lembaran tengah buku Pertama dari Kitab Tujuh itu, dan dia
membaca amanat penting dari buku itu: “Sesungguhnya, ada sesuatu di Lembah Suliram itu.
“Pasti Ki Lading Ganda telah menuju ke sana . Terjebak oleh pancingan amanat ini,” kata
Gumara pada dirinya sendiri. Lalu dipanggilnya Alif, Dan berkata: “Hari ini saya berpuasa. Saya
akan pergi sebentar.”
GUMARA melangkah tenang. Maksudnya ingin ke rumah Ki Lading Ganda untuk sebuah
kepastian. Tapi untuk menuju ke sana, mestilah melewati rumah Pita Loka.
Ketika itu Pita Loka ada di rumah, sebab Direktur menyuruh seluruh kelas 1 B pulang karena
tidak ada guru yang akan mengajar. Tapi ketika Gumara lewat, Pita Loka cepat turun rumah
untuk menyelidiki arah kepergian sang Guru. Dan ketika dia tahu arahnya akan menuju rumah Ki
Grafity, http://admingroup.vndv.com
6
Lading Ganda, Pita Loka masuk ke kebun dan mengambil jalan pintas. Pita Loka menyelidiki. Dari
arah selatan dia kemudian membuktikan benarnya firasat. Tampak olehnya, Guru Gumara Peto
Alam memasuki pekarangan rumah Ki Lading Ganda. Hati sanubarinya sebetulnya ingin
mencegah, agar Guru Gumara tidak lagi terlibat dalam dunia kependekaran.
Tapi dia kini ingin memastikan! Sebab dia yakin, akan terjadi lagi sebuah huru hara besar
menimpa desa Kumayan”. Ini hanya dugaan dan ramalannya saja. Dan ini ditafsirkannya dari
kalimat terakhir pidato ayahnya, seorang pendekar sejati, yang intinya mengandung makna besar
tentang Sufia itu. Maka, ketika Gumara selesai dari rumah Ki Lading Ganda, Pita Loka
mencegatnya.
“Dari mana, Guru?” tanyanya. Gumara terkejut mendapatkan muridnya barusan meloncat dari
semak.
“Saya juga akan bertanya. Mengapa kamu mendadak ada di sini?” kata Gumara.
“Karena saya yakin, ada hal penting Pak Guru ke rumah Ki Lading Ganda. Ada sesuatu yang
sedang merisaukan anda?” tanya Pita Loka.
“Sesungguhnya sulit bagiku untuk merahasiakannya. Tetapi apa pula gunanya kuterangkan
padamu, Pita Loka?”
“Saya pun tidak ingin mengetahui lebih jauh, jika itu Pak Gumara anggap suatu rahasia. Hati
anda sedang bercabang sekarang ini, Guru!”
Gumara menoleh. Dia berusaha tersenyum: “Kau terlalu banyak tahu, Tapi janganlah risaukan
saya.”
“Itu sudah jelas,” sahut Pita Loka, “Misalnya Tuan Guru luka atau buta mata dalam pertempuran
disini dengan Guru Lading Ganda, buat saya tak menjadi masalah. Tapi, misalkan karena
pertempuran itu Tuan Guru mati, itu menjadi masalah.”
“Siapa yang dirugikan jika saya mati?” tanya Gumara girang.
Seluruh murid SMA Kumayan,” sahut Pita Loka. Gumara mendadak kecewa. Dia mengira Pita
Loka akan menjawab dirinyalah yang rugi jika Gumara mati. Tau-taunya bukan! Sialan!
Keduanya menyusuri jalan setapak sampai akhirnya berhenti di depan rumah Pita Loka. Ki Putih
Kelabu yang hampir membuang daun sirihnya ke jendela lalu mundur. Dia menampak puterinya
berjalan beriring dengan Gumara. Hatinya puas sekali, kendati tak mendengar percakapan itu.
“Maukah tuan berjanji tidak perlu mengusik tingkah laku Ki Lading Ganda?”
“Kenapa? Apa kau menduga, meramal, bahwa Ki Lading Ganda sedang melakukan sesuatu?”
tanya Gumara.
“Saya menduga demikian. Saya menduga, antara Tuan dan dia sedang memperebutkan sesuatu.
Setidaknya akan memperebutkan sesuatu,” ucap Pita Loka.
“Saya akan pulang ke rumah jika demikian,” kata Gumara,
“Dan beristirahat. Sebab Tuan kurang sehat,” ujar Pita Loka,
Grafity, http://admingroup.vndv.com
7
“Yah, begitulahl”
“Jika tuan usik Ki Lading Ganda, anda akan celaka, Gurul”
“Yah, saya berjanji.”
Gumara memberi salam, lalu berlalu meninggalkan Pita Loka. Pita Loka lalu masuk ke rumah.
Kemudian didapatinya ayahnya sedang menusuk-nusuk selembar daun sirih dengan jarum
pentul.
“Ayah percaya mataku yang buta masih bisa diobati dengan itu!”“ tanya Pita Loka.
“Kebutaan matamu bukan suatu takdir, Tapi hanya sebuah musibah kecil. Usaha mengobatinya
akan terus kulakukan,” ujar Ki Putih Kelabu. Maka, ketika magrib tiba,setelah mandi, Pita Loka
mematuhi panggilan ayahnya.
Mata yang tak dapat melihat itu diperintahkan Ki Putih Kelabu supaya ditutup. Lalu dilapisi
dengan selembar daun sirih yang sudah ditusuk tusuk jarum pentul. Dan dilapis lagi dengan
perban plester.
Ketika dilihatnya puterinya termenung dikala malam tiba, Ki Putih Kelabu bertanya: “Apa yang
sedang kau pikirkan, nak?”
“Sebuah renungan yang berbunyi. Jika seorang awam mati, maka dia tidak meninggalkan suatu
apa. Tapi jika seorang yang berguna bagi masyarakat mati, maka kematiannya menimbulkan
kerugian.”
ILMU Ki Putih Kelabu ibarat air dalam kendi. Putih bersih, dan dingin. Dia segera memahami
renungan puterinya itu.
Dia berdiam diri tak banyak bicara. Belum pernah dia mendengar tutur kisah sepasang manusia
saling mencintai melebihi dahsyatnya cinta puterinya pada Gumara. Begitupun sebaliknya.
Hal itu sulit untuk diurai kecuali apabila keduanya telah mendapatkan titik temu, kemudian
kesepakatan, untuk dikawinkan!
Jiwanya menggebu di tengah malam buta. Serasa dia ingin terlibat dalam derita puterinya. Yaitu
berangkat malam ini juga, mencegah pertempuran antara Gumara dan Ki Lading Ganda.
Malam begitu gelap, ketika dibukanya jendela samping. Mau rasanya dia meloncat bagai seekor
harimau pohon menembus kegelapan malam. Tapi itu akan diketahui sang anak, lalu akan
dicegahnya. Tapi segalanya seperti terjadi bersamaan! Pita Loka pun membuka daun jendela
kamarnya, bertepatan ayahnya barusan menutupnya. Pita Loka turun dari jendela, berlambatlambat
memasuki kebun. Dan Ki Putih Kelabu pun membuka kembali daun jendelanya, cuma
sekedar bisa mengintip. Dia tercengang sewaktu dilihatnya bagai segumpal asap mirip asap
knalpot motor menyelusupi semak belukar. Yah, didapatinya anaknya masih memiliki ilmu
menerobos semak yang sangat hebat.
Benarlah itu semua! Bagai kilat Pita Loka membelah semak belukar dengan kemampuan Ilmu Api
yang diperolehnya dari Ki Surya Pinanti dahulu. Dia tiba di sisi lembah sebelah barat bagai
segumpal asap terakhir, menyatu dengan kabut yang merayap.
Pita Loka melihat satu sosok, kendati dengan sebelah matanya saja, namun sosok itu amat jelas.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
8
Itulah Guru Gumara, yang sedang mengintai ulah Ki Lading Ganda.
Ki Lading Ganda ketika itu mencoba memanjat satu tebing curam, dalam usaha separuh berhasil
untuk sampai ke guha di tengah tebing itu. Tapi begitu tangan si tua itu memegang satu susunan
batu besar, batu-batu itu bergeser dari tempatnya, lalu runtuhlah semua susunannya, menimpa
kapala Lading Ganda, dan beliau ikut terseret, merosot dan menggapai kian kemari mencari
pegangan. Untunglah ada akar pohon kinantu unluk menyambut gapaiannya. Si tua itu
berpegang erat, Terdengarlah hembusan nafasnya yang bergema ke dalam lembah Suliram yang
tabu itu.
Lembah Suliram sudah lama menjadi dongeng para pendekar sebagai sebuah lembah yang tabu.
Kecuali bagi mereka yang sudah setaraf suhu dengan satu ilmu Cahaya yang sulit didapati
kecuali tingkatan wali-wali.
Gumara juga mengikuti ulah Ki Lading Ganda yang masih juga kembali berusaha memanjati
tebing itu. Kemampuan itu tidak sulit untuk siapa pun yang menguasai amalan ilmu cicak yang
merambati dinding. Tapi si tua itu jelas tidak memiliki. Dia hanya memiliki kaberanian, kekuatan,
dan kekerasan hati belaka.
Gumara memperhatikan lagi dengan berdebar. Ki Lading Ganda memanjati lagi tujuannya
semula, dalam posisi di tengah tebing menjelang guha. Tangannya menggapai-gapai mencari
pegangan. Sementara itu fajar sudah menyingsing. Hal itu menggembirakannya, karena tebing
yang dirayapi itu menghadap ke timur.
Mata tua itu berhati-hati meneliti tiap celah yang dapat menjadikan jari-jarinya untuk menyelusup
bagi pertahanan agar tak jatuh. Tapi dia teramat malang ketika digapainya susunan batu-batu
besar di mulut guha itu, lagi-lagi batu itu bergeser dan runtuh menimpa kepalanya, dan bagai
terbang bersama batu-batuan itu kebawah, Ki Lading Ganda menggapai-gapai, kali ini gagal
berpegang pada akar pohon kinantu, tapi toh dia berhasil menyergap dahan pohon sari dulur lalu
bergayutan pada salah sebuah dahannya.
Hembusan nafas dahsyat bergema lagi di lembah Surilam, menggemakan perasaan puas karena
tak jadi hancur bila membentur permukaan dibawah itu.
“Orang tua keras hati .,,...,” ucap Gumara seorang diri.
“Memang,” sahut Pita Loka, yang mendadak ada di sampingnya, yang membuat Gumara kaget.
Gumara menatap Pita Loka. Dia malu karena tidak menepati janji. Dan dia lebih malu lagi karena
Pita Loka berkata: “Sejak fajar menyingsing sekarang ini, saya akan membenci tuan. Tuan tidak
menepati janji!”
Suara itu terjaga perlahan. Gumara pun mengejarnya dengan menjaga suara berisik agar tak
diketahui si pencari sesuatu, yang masih bergelayutan di dahan pohon saridulur.
Gumara terus berlari menuruti jejak Pita Loka yang kembali menuju Kumayan. Tetapi
sekelebatan langkah Pita Loka menggebubu menciptakan asap menerjang semua semak padat
daunan. Itu mencengangkannya.
Sekiranya Gumara harus memilih sebuah gunting emas ataukah kemarahan Pita Loka, jurtru
Gumara akan memilih kemarahan gadis ini. Kemarahannya ini membuktikan cintanya. Kendati
Pita Loka menolak untuk dikawini, justru hal ini bukan soal penting. Penolakan perkawinan tentu
Grafity, http://admingroup.vndv.com
9
berdasar satu alasan yang tidak akan menggoyahkan prinsip cinta. Gumara tiba dirumahnya
dengan perasaan plong.
Tapi Pita Loka tiba di rumahnya dalam keadaan ditunggu sang Ayah. Ki Putih Kelabu
menyergahnya dengan pertanyaan; “Jika kamu mencintai Gumara Peto Alam, apa salahnya
kalian berdua kawin saja?”
“Kawin?” tanya Pita Loka.
“Ya. Sekiranya kalian berdua kawin, banyak kenikmatan hidup yang akan kalian dapati. Cinta
yang diwujudkan melalui perkawinan, tidak akan pernah runtuh karena goncangan alam. Selain
itu, jika perkawinan membuahkan keturunan, maka keturunan kalian merupakan paduan dari dua
bibit unggul terpuji. Sebab kalian akan mendapatkan anak - anak yang memiliki hati yang tulus,
otak yang cemerlang dan jiwa kependekaran yang menghancurkan tiap kebatilan di muka bumi.”
Pita Loka menoleh pada ayahnya, lalu; “Memang itu konsep hidup yang indah. Tidak saya dengar
di sini, seorang ayah memiliki konsep seperti ini. Tapi tahukah ayahanda, Guru Gumara itu
memiliki dua muka apabila dia berhadapan dengan saya, dan Harwati”
Pita Loka meneruskan: “Harwati itu bagi Guru Gumara adalah titipan khusus almarhum Ki Karat.
Sedangkan Gumara bagi Harwati merupakan sebuah monumen agung dari cintanya yang
berkobar tanpa memperdulikan aturan alam maupun moral.
Dia tidak dapat dipersalahkan, karena dia lebih dulu mencintai Gumara ketimbang
pengetahuannya yang dia terima kemudian, bahwa Gumara itu satu ayah dengan dia.”
“Jadi adanya Harwati inikah yang menjadi ganjal penolakan perkawinan?”
“Ya, Ayah,”
“Dia bisa dipanggil, lalu diyakinkan, bahwa pendiriannya ngawur!”
“Dia mau mati untuk ini. Dia sudah bergabung dengan Ki Rotan, pemilik ilmu Iblis yang hebat
pula. Kalau dipikir secara dangkal, memang cuma kematian Harwati yang akan melicinkan
perkawinan saya dengan Guru Gumara.”
“Dan kau takkan mau menempuh cara ini,” kata Ki Putih Kelabu.
“Itu sudah pasti, Tidak layak untuk membunuh Harwati. Tidak sehat untuk menaklukkannya, lalu
memaksanya tunduk.
Harwati bukan pantas untuk ditebas dengan pedang, juga dipaksa takluk dengan senjata,
maupun bujukan kata-kata fasih seorang bijak. Tidak. Kecuali apabila dari dirinya sendiri
memancar cahaya kebenaran hidup. Tapi apa yang tarakhir ini mungkin? Rasanya tidak. Saya
tidak akan bicara lagi soal ini. Dan saya harap, ayah pun jangan bicara lagi soal ini,” ujar Pita
Loka, yang langsung mencopot plester dan daun sirih dari matanya.
Lalu berkata manis, “Ayah, tolong buatkan lagi sirih obat mataku.” Ki Putih Kelabu mengambil
selambar daun sirih yang direndamnya di gelas. Dengan jarum pentul ditusuk-tusukknya
permukaan daun sirih itu. Lalu dia menempelkan lembaran itu ke mata Pita Loka yang buta. Dan
merekatnya dengan plester.
“Mengobati kebutaanmu ini lebih utama dari soal apa pun sekarang ini,” ujar Ki Putih Kelabu.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
10
Ketika Pita Loka hari itu berada dalam kelas, dia dengar di kelas sebelah Guru Gumara sedang
mengajar ilmu Fisika.
Suara Gumara sangat dikenalnya. Dan dia merasa puas, sebab kedengarannya Guru Gumara
sehat-sehat. Maka ketika jam istirahat dilihatnya pula sang Guru berwajah segar, kepuasannya
bertambah. Pada gilirannya Gumara Gumara mengajar di kelas Pita Loka, gadis buta ini
Lebih puas lagi sebab tak tampak ada ganguan batin. Mengajarnya lancar. Sesekali dia melirik
pada Pita Loka. Dan Pita Loka sekejap membalas lirikan itu tapi kemudian menundukkan kepala
dengan tersipu.
Pita Loka yakin, Gumara sudah memaklumi arti benci yang diucapkan di waktu fajar di tepi tebing
Lembah Suliram. Cuma, pada malam harinya sehabis belajar di kamar menjelang tengah malam,
goncangan batin membuat Pita Loka curiga. Kecurigaan itu dia taklukkan dengan membaringkan
tubuh.Rupanya perasaan was-was ini terbukti. Guru Gumara tepat tengah malam menghambur
dari rumah menerobos hutan semak belukar menuju tebing Lembah Suliram. Dia malah
menuruni lembah itu setelah melihat usaha Ki Lading Ganda begitu hebatnya untuk memanjat
dan memanjat lagi agar mencapai lubang pintu guha itu.
Setiba di bawah lembah berbatu miring terjal itu, Guru Gumara melihat Ki Lading Ganda siap
untuk naik memasuki Guha. Gumara berseru:
“Tuan Guru!”
MALANG tak dapat dihindari. Begitu mendengar seruan Gumara dibawah, si tua keras hati ini
menoleh. Dia gamang melihat keadaan dibawah, dan untuk menjaga keseimbangan dia meraih
tepian batu. Dan batu itu bergeser, mengikuti berat tubuh Ki Lading Ganda. Batu besar itu
bersama tubuh Ki Lading Ganda meluncur ke bawah. Detik itu Gumara menghambur meloncat.
Dia manyambar tubuh pendekar tua itu, lalu dalam keadaan menggendongnya sebuah acuan
membuat dua tubuh itu terlempar ke pohon mugira yang bercabang banyak.
Ki Lading Ganda sempat menyergap dahan pohon itu. Juga Gumara menyergap dahan pohon
yang lain. Sehingga kedua-duanya sudah terpisahkan dari kesatuannya,
“Anak celaka!” gerutu Ki Lading Ganda menatap Gumara.
“Justru tuan akan menemukan celaka jika tidak saya samber segera,” jawab Gumara.
“Kenapa tidak kau biarkan aku mati dicoblos batuan runcing di bawah?”
“Itu semua karena saya menghargai setiap kelebihan. Tuan Guru memiliki satu kelebihan.
Kelebihan Anda itu cuma anda yang tahu. Itulah sebabnya saya menyergap Anda sebelum mati
konyol,” ujarGumara.
Tapi Ki Gumara tidak menyukai bantuan begini. Dia berkata; “Aku tidak ingin berhutang budi
padamu.”
Tanpa diduga dia menghambur ke arah Gumara dengan tendangan tumit yang menghantam
pelipis mata Gumara. Gumara terpelanting bagai melayang menuju batu-batuan runcing di
bawah sana itu, tetapi dengan cekatan dia justru dalam keadaan seperti penari yang telapak
kakinya menyentuh tiap batu runcing sekedar sentuhan, sampai dia akhirnya melompat ke
dataran rumput di tepi tebing yang lain.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
11
Begitu dia menghembuskan napas kelegaan dua kali, seketika sudah muncul dihadapannya Ki
Lading Ganda dalam keadaan memegang Golok Kembar. Golok itu dipermainkannya dalam posisi
siap memancing pertempuran. Gumara cukup tabah manghadapi pengkhianatan budi ini. Dia
tegak perkasa sembari mengatur pernapasan. Seakan dia akan membiarkan tubuhnya ditebas
lawan.
Tapi begitu kilatan golok itu menghunjam mau menebas lehernya, Gumara berkelebat sedikit
menggeser tubuh, sehingga mata golok yang licin itu tidak masuk ke daging lengannya yang
menangkis melainkan kepelesetlah mata golok itu oleh keringat.
Sebagai imbalannya Gumara memutar badan dan menendang kebelakang, sehingga telapak
kakinya menggedor dada Ki Lading Ganda. Gedoran itu membuat si tua itu muntah darah! Mujur
baginya tidak terlempar ke kiri, sebab andaikata itu terjadi sudah pasti tubuhnya akan dinanti
batu-batuan runcing yang mirip tombak di Lembah Suliram itu.
Muntah darah itu justru terjadi karena si tua bertahan berdiri menyediakan dadanya terkena
gedoran telapak kaki!
Gumara siap untuk membantai si tua itu dengan satu tendangan lagi ke arah nyali. Tapi itu dia
lakukan juga, cuma tidak sampai mengenai. Dia cukup puas melihat Ki Lading Ganda ketakutan.
Ketika dia ulangi sampai tiga kali tendangan untuk menggedor dada si tua, namun tak mengenai,
dia lagi-lagi puas melihat kerdipan mata mengernyit dahi pada wajah tua itu, pancaran kecut hati
dan ngeri.
“Untung aku bukan dikendalikan setan iblis,” ujar Gumara.
“Kenapa kamu tak membunuhku? Padahal sekarang ini pun kamu bisa. Dibawahku jurang.
Tinggal kamu tendang. Di bawah jurang ini ada batu-batu runcing. Kenapa, Gumara?”
“Karena tidak ada turunan harimau yang makan harimau,” ujar Gumara.
“Jika itu dilakukannya, dia mati.”
“Nah, Tuan Gumara sudah tahu ancamannya. Tapi masih ada satu rahasia lagi mengapa saya
tidak layak membunuh tuan,” ujar Gumara kemudian.
Kelengahan Gumara dimanfaatkan oleh Ki Lading Ganda yang menetak kening Gumara, tepat
pada tengah jidat, yang membuat Gumara terjungkal tapi mujurlah tidak tertusuk batu runcing.
Dia jatuh tepat diantara dua batuan runcing bagai tombak, dan justru ujung dua batu runcing itu
menjadi tempat pegangannya.
Gumara tahu keningnya luka oleh tetakan golok Ki Lading Ganda. Darah mengucur membasahi
kemeja putihnya. Namun dia bertahan terus memegang kedua ujung batu runcing itu. Dia
merasa akan pingsan. Tapi dia musti menunggu sampai darah itu berhenti mengalir, barulah
menyerahkan diri pada nasib.
Sementara itu Ki Lading Ganda sudah memanjati lagi tebing Lembah Suliram dengan tujuan
mantap akan memasuki guha itu. Gumara pun menghentikan seluruh perjalanan darahnya, satu
ilmu yang sukar sebab hal ini berarti menghentikan gerak klep jantung.
Ilmu mati-suri ini sulit. Tapi pendekar yang cekatan, selalu menaruhkan sedikit gula di liang
telinganya. Dan itu sudah dipersiapkan Gumara sebelum menuju sini.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
12
Gumara berjuang untuk mengendalikan waktu. Yang penting luka di jidatnya tak mengucurkan
darah lagi. Ketika darah yang semula mengucur dari kening itu kemudian berhenti, Gumara
membiarkan dirinya dalam keadaan lemas, lemas dan makin lemas. Lalu dia ambruk ke bawah.
Dia telah mati suri. Benarlah, ketika dia satu jam lebih menjalani kematian suri itu, beberapa ekor
semut mengrubungi telinganya. Telinga yang berisi gula itu menjadi rebutan semut. Beberapa
diantaranya,mencari cara mudah dengan menggigit kulit Gumara. Inilah yang menggerakkan
kembali aliran darah yang terhenti. Rasa geli di liang telinga, membangunkan Gumara dari matisurinya!
Matahari sudah akan terbit. Gumara tergesa-gesa meninggalkan sela bebatuan itu. Ketika dia
melihat ke dinding guha tebing Suliram, dia tak melihat lagi Ki Lading Ganda memanjat.
“Jika dia berhasil masuk, dia akan ditelan bencana, Biarlah,” ucap Gumara dalam hati, lalu
meninggalkan Lembah Suliram. Dia harus cepat tiba kembali di Kumayan, di rumahnya. Dan
setiba di rumah. dia berkaca. Goresan luka sedikit pada kening dia urut pelahan dengan daun
sirih yang dihancurkan. Bekas ada, namun sedikit. Setelah dilihatnya Alif menyediakan sarapan
pagi. Gumara kembali memberitahukannya bahwa dia berpuasa.
Begitu habis cuci muka dan menyiram tubuhnya dengan sari bunga mawar, Gumara siap untuk
pergi mengajar. Ketika itulah pintu diketuk. dan begitu dilihatnya, ternyata tamu itu Pita Loka.
“Nyenyak tidur Pak Guru semalam, Pak?”
“Nyenyak,” sahut Gumara.
“Saya mampir ke sini untuk menyampaikan amanat ayah”, kata Pita loka. “Tetapi sekalian
menyelidiki, apakah bapak tadi malam pergi lagi mencegah Ki Lading Ganda. Pak Guru semalam
tak keluar rumah kan?”
“Tanyakan saja pada Alif,” ujar Gumara menoleh pada Alif.
Alif nenjelaskan: “Beliau tidur nyenyak dan ngorok semalam suntuk.”
“Kamu puas, Pita Loka?” tanya Gumara.
“Puas, Guru!”
“Coba saya ingin dengar amanat ayahmu,” ujar Gumara.
Karena ada Alif, Pita Loka hanya menuliskannya saja di halaman buku tulisnya: “Bapak tadi
malam mendengar wisik, yaitu bisikan angin, dimana dia mendengar kalimat ini. Sesungguhnya
ada sesuatu di Lembah Suliram ........,” setelah menulis itu Pita loka melanjutkan dengan kata:
“Apa makna kalimat itu?”
“Itu adalah kalimat inti kedua dari susunan Kitab Tujuh,” ujar Gumara.. Gumara mengajak Pita
Loka untuk melihat Kitab Tujuh itu, tapi Pita Loka menolak: “Bukan hak siapa pun untuk memiliki
dan membacanya, kecuali Anda, Guru!”
“Rupanya kamu mengetahui sumpah tabu kitab itu,” ujar Gumara.
“Bukan! Bukan! Saya manusia biasa. Tak ada yang tabu di muka bumi ini kecuali 10 perkara
besar. Tapi apa yang ayah tanyakan pada Guru, belum Anda jawab, Guru!”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
13
“Baik. ini jawabannya, dan ikhlas menjawabnya: Itu adalah kalimat yang tertera dalam Kitab
Kesatu dari tujuh kitab itu. Sepertinya kalimat itu pemberitahuan. Tapi sebetulnya larangan
halus. Maka selama ini Lembah Suliram tabu kecuali bagi pendekar yang sudah memiliki ilmu
Cahaya, itu sebabnya saya mengejar Ki Lading Ganda. Tapi dia bandel. Terserah padanya untuk
mengalami kasulitan dahsyat!”
Pita Loka lalu melihat lengan Guru Gumara bekas lecet, kemudian pada keningnya. Dia lalu
curiga dan langsung bertanya:
“Mestikah Guru merahasiakan, lalu berdusta pada saya bahwa tadi malam tuan ke sana , dan
mengalami sedikit perkelahian dengan beliau Ki Lading Ganda?”
“Saya tahu kau baru melihat bekas pada keningku,” ujar Gumara.
“Saya makin benci pada tuan,” ujar Pita Loka, lalu berpamitan. Ketika tiba di rumah dia dalam
keadaan berwajah suram. Ki Putih Kelabu bertanya: “Kalian baru cekcok, Pita Loka?”
“Tidak. Saya hanya benci padanya, ayah. Mengenai wisik yang ayah dengar itu. menurut Guru
Gumara Peto Alam, adalah isyarat larangan ke Lembah Suliram. Itu tertera di Kitab Kesatu dari
tujuh kitab sakti itu. Jadi wisik itu anggap saja godaan iblis.”
“Sampaikan terima kasihku pada Gumara. Hampir saja ayah ke sana ,” ujar Ki Putih Kelabu.
Tapi, justru aneh, di dalam kelas, ketika giliran Guru Gumara mengajar, Pita Loka batal
melaksanakan rencananya untuk bermuka-masam pada Guru Gumara. Dia malahan
memperlihatkan wajah kekaguman sembari mendengarkan kisah perjuangan rakyat Afrika
melawan orang kulit putih. Sebuah keterangan mengesankan adalah ucapan sang Guru: “Sebuah
tahayul kadangkala berguna bagi gerakan kemerdekaan Afrika. Misalnya tahayul bahwa orang
kulit putih yang sudah hampir mati, namun bisa ditolong, harus dibunuh.”
Ki Lading Ganda seperti orang kebingungan. Dia mundar-mandir dalam guha itu. Kalau dia
melangkah ke arah selatan, dia terbentur menemui dinding buta. Kalau dia melangkah ke utara,
dia terbentur dinding buta. Dan jika dia melangkah ke barat, dia lagi-lagi terbentur dinding buta.
Sewaktu dia melangkah ke arah timur, dia juga menghadap dinding buta. Padahal itu pintu guha
itu, yang terbuka lebar. Saking bingungnya, Ki Lading Ganda menjerit lantang. Suaranya tentu
saja keluar menerobos pintu guha itu, mengalir ke Lembah Suliram. Tengah hari bolong waktu
itu!
Ki Lading Ganda sudah untuk ke sekian kalinya mundar-mandir menghadapi empat dinding buta
sejak masuk ke guha itu, kecewa tidak menemukan sesuatu. Dia lantas menjerit lagi:
“Bajingaaaaaaann!”
Suara itu kedengaran sampai ke bawah, ke dasar Lembah Suliram.
Padahal ketika itu. dua manusia di dasar lembah sedang kehilangan arah peta serta tujuan. Yang
satu wanita. Yangsatu pria.
Dua-duanya buntung, Yang pria memegang tongkat, menoleh lagi ke pintu guha setelah
mendengar lagi: “Bajingaaaaaaaaaannnnnl”
“Ki Harwati, kita berhenti dulu di sini,” ujar pria tua bertongkat dan satu tangannya buntung.
“Jangan layani, Ki Rotan,” ucap Harwati.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
14
“Mungkin dalam guha itu ada penuntut ilmu, Kita berangkat kesana, lalu mendapatkan ilmunya,
kemudian dia kita bunuh,” ujar Ki Rotan.
“Supaya tuan Guru tahu, kita mungkin tersesat ke Lembah Keramat. Yah, mungkin inilah yang
Lembah Suliram. juga disebut ayahku Lambah Tabu bagi para penuntut ilmu,” ujar Ki Harwati.
Terdengar lagi gema seruan: “Bajingaaaaaannnnnn!”
Ki Rotan menoleh ke arah sana. Dia berkata tegas: “Jika kamu tidak ikut aku ke sana, kita
bubarkan persekutuan kita hingga disini,”
“Tapi anda akan celaka sebagaimana layaknya saya. Lihatlah batu-batuan runcing sekitar sini,
bagaikan tombak-tombak yang memperingatkan. Sebetulnya kita sudah mujur mendengar teriak
orang kebingungan di dalam guha itu. Kita tadi sudah kehilangan peta. Jika betul ini Lembah
Suliram, kita tinggal mencari celah sempit lembah ini, memasang garis lurus ke utara sana dan
celah sempit, akan sampai ke desaku Kumayan!”
“Kumayan lagi! Kumayan lagi!” gerutu Ki Rotan, “Tujuan kita ilmu! Bukan pulang ke desa
semata-mata.”
“Aku bertujuan pulang ke desa. Aku rindu desaku. Aku rindu berziarah ke kuburan ayahku. Aku
rindu bertemu muka dengan pria yang aku cintai, Guru Gumara. Pendeknya, sejak kita berguru
pada Guru Kembar itu, kerinduan dan cintaku berkobar lagi, Ki Rotan!”
“Mereka berdua menipumu dengan menyatakan bahwa Guru Gumara itu bukan anak dan air
mani Ki Karat. Mereka menipumu bahwa Gumara itu anak angkat Ki Karat! Aku lebih tahu semua
silsilahnya. Bahwa memang benar Ki Gumara itu anak haram Ki Karat. Sudah ditetapkan dalam
Buku Resi, bahwa ilmu yang didapatkan Ki Karat setelah dia menyetubuhi wanita itu dan lahirnya
Gumara hanya bertahan seumur 33 tahun saja. Jika suatu hari Ki Karat didatangi Peto Alam,
tepat ketika anak itu berusia 33 tahun, Ki Karat akan hidup sekarat. Kemudian mati.
Ki Karat satu-satunya harimau Kumayan yang mengalami hidup dua kali saja, kemudian dia
mati”. Ki Harwati tercengang beberapa saat. Dia masih meyakini keterangan Guru Kembar,
bahwa Ki Karat bukan ayah kandung Guru Gumara, melainkan ayah angkat.
“Kita berpisah di sini kalau begitu, Ki Rotan”, ujar Ki Harwati.
Ki Rotan jadi berang, lalu menyabet tubuh Ki Harwati, namun tidak mengenai, sebab Ki Harwati
secepat kilat meloncat ke udara dan membuat jarak berdiri jadi menjauh.
“Pembunuh!” seru Ki Hawati.
“Untuk memiliki kekuatan yang lebih unggul, pembunuhan wajar dalam dunia persilatan”. kata Ki
Karat.
“Tapi anda membunuh dua manusia kembar yang mengajarkan inti Kitab Tujuh pada anda. Maka
kita sampai di sini!. Dan kini tuan mau belajar lagi pada orang dalam guha itu, dengan rencana
membunuh. Alangkah busuk hati tuan!”
“Karena ilmuku ilmu Seratus, Supaya kamu tahu. Aku musti membunuh seratus pendekar, baru
ilmuku sempurna”, kata Ki Karat.
Terdengar lagi seruan dari mulut guha di tengah tebing lembah itu: “Bajingaaaaaaaaan! Kitab
Grafity, http://admingroup.vndv.com
15
Tujuh Bajingannnn!”.
Suara itu jelas. Baik oleh telinga Ki Harwati, maupun telinga Ki Karat. Ucapan tarakhirnya itu
membuat Ki Harwati menoleh pada Ki Karat.
“Kau dengar sendiri”, kata Ki Karat, “Dia dalam uji coba Kitab Tujuh itu . . . dan mungkin saja
dialah Gumara”.
Mungkin saja Gumara”, ulang Ki Rotan pada Harwati. Hal ini menggoyahkan batin Harwati. Lalu
dii dengarnya lagi teriakan dari mulut guha itu;
“Bajiingannnn! KitabTujuh bajiingannnn!”
Ki Rotan menatap mata Harwati. Dia berkata; “Kita tidak boleh menunggu sampai Ki Gumara jadi
gila. Kita harus ke sana segera, membantu dia!”
Semangat Harwati sudah makin menggebu.
“Tapi, apakah itu pasti suara teriakan Gumara, Ki Rotan?” tanyanya.
“Siapa lagi yang memiliki Kitab Tujuh selain dia. Dia itu sekarang dalam kesetanan atau
kebingungan”, Kata Ki Rotan.
“Baik kalau begitu. Asalkan tuan berjanji, jika ilmu ini sudah kita dapatkan darinya, jangan
jadikan dia korban yang tuan bunuh”, kata Harwati.
“Dia tentu harus dibedakan dengan Ki Kembar itu”, ujar Ki Rotan.
Harwati lalu mendekat guru tua ilmu Seratus itu, dan mengikuti jejak langkahnya. Memang
menemui sedikit kesukaran setelah batu-batu runcing yang berbahaya itu mulai menjadi
penghalang.
Ki Rotan menoleh kebelakang melihat Ki Harwati jauh tertinggal. Lalu dia berkata: “Masih
ingatkah kamu silat Belalang?”
“Itu silat anak kecil. Ketika kecil ayah mengajarkan padaku!”
“Namun itu bila kau gunakan sekarang. ilmu yang kecil biasanya diperlukan untuk mendapatkan
ilmu yang besar”, ujar Ki Rotan,
Ki Harwati mulai melakukan konsentrasi untuk loncatan demi loncatan. Dan dia pun akhirnya
meloncat dengan telapak kaki menginjak sedetik demi sedetik pada tiap ujung batu tombak di
lembah itu.
Barulah menjelang sore Ki Rotan dan Ki Harwati tiba pada tempat yang tepat untuk memanjati
dinding tebing ke arah mulut guha di atas. Dari situ masih terdengar teriak yang makin parau:
“Buku Bajingannn!”
“Sudah tak perlu diragukan lagi, itu teriakan Gumara”, ujar Ki Rotan.
“Kini saya tambah yakin, Guru!”, tambah Harwati.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
16
Dan bagaikan cicak merambat, perlahan dan pasti, kedua pendekar memanjati dinding Lembah
Surilam. Matahari menyinari tubuh yang memanjat itu. Dan matahari yang sama itu pula
menyinari wajah Pita Loka, yang berseri-seri senja itu, menyambut kedatangan Guru Gumara.
Guru itu membawa seperangkat buku-buku. Dia minta bertemu sejenak dengan Ki Putih Kelabu.
Gumara berkata pada orangtua itu: “Saya menemui tuan untuk minta ijin merunding satu soal
dengan Pita Loka”. Ki Putih Kelabu memanggil Pita Loka dan memberitahukan hasrat tamunya.
“Saya mungkin besok berhalangan mengajar, Maukah kamu menyalin pelajaran dari catatan saya
ini di papan tulis?” ujar sang Guru.
“Saya bersedia karena saya murid Pak Guru”, jawab Pita Loka.
“Kamu cek lebih dulu di kantor dewan guru, di kelas-kelas mana dan pada jam mana saya
mengajar. Lalu pinjamkan catatan ini pada Ketua Kelas masing-masing”.
“Baik, Guru”.
“Tentu kamu tahu saya mau kemana, Pita Loka”, ujar Gumara.
“Tuan Guru rupanya begitu terganggu dengan ulah Ki Lading Ganda “
“Isterinya sendiri merisaukan kepergiannya. Saya hanya ingin mencegah usahanya yang hanya
akan sia - sia saja”, kata Gumara.
“Oh ya. Guru adalah ahli takwil mimpi. Saya tadi malam bermimpi, ada dua semut atau lalat . . .
yah katakanlah lalat, sebesar raksasa, yang memanjat ke mulut guha itu”, kata Pita Loka.
Mendengar berita mimpi itu, Gumara diam sejenak. Mendadak semangatnya berkobar, karena
dia justru menerima wisik bahwa Ki Rotan dan seorang pengikutnya dengan memanjat dinding
tebing.
Semangat di wajah Gumara itu merisaukan Pita Loka yang lantas menerka dengan rasa cemburu:
“Apakah tuan Guru bersemangat sampai meninggalkan tugas mengajar karena didorong oleh
membela seseorang yang dekat dengan hati anda?”
“Maksud kamu?”
“Saya menduga salah seorang dari tamsil dua ekor lalat besar itu adalah Harwati”, kata Pita Loka.
Gumara langsung terperangah. Tuduhan itu didorong oleh motivasi, dan dia menyadari hal ini.
“Taruhlah dia Harwati, bukankah saya wajib mencegahnya karena aku dan dia satu titisan
darah?” ujar Gumara.
Pita Loka hanya berdiam. Dia merasa lidahnya kelu. Padahal dia ingin mengumbar
kejengkelannya mendengar pengakuan tak langsung ini! Setelah Gumara berpamitan pada Ki
Putih Kelabu, Pita Loka lalu menyatakan dengan manja pada ayahnya: “Tempelkan lagi daun sirih
tanya itu, ke mataku, ayah. Tak layak bila seorang gadis cantik disertai kebutaan”.
Ketika sang ayah menempelkan sirih ke mata yang buta itu, di mata yang buta tampak airmata
bercucuran, Beliau bertanya: “Kenapa kau menangis?”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
17
Pertanyaan ayahnya itu malahan membuat Pita Loka semakin tersedu-sedu.
Ki Putih Kelabu adalah ayah yang bijaksana, lalu berkata: “Maafkan jika pertanyaan ayah
melukaimu, nak”.
“Apakah ayah yakin kebutaanku akan sembuh?” tanya Pita Loka.
“Yang penting usaha. Jika yang kau tanya, apakah air akan bisa naik ke hulu? Itu akan kujawab
tidak. Tapi soal penyakit, semua penyakit ada obatnya. Bahkan penyakit jika tergigit bisa ular,
atau tergores kuku jari seseorang yang kukunya itu mengandung bisa”.
“Kuku Gumara memang berbisa, ayah. Kukunya inilah penyebab kebutaan mataku”, kata Pita
Loka.
“Mungkin juga, jika benar dalam kuku Gumara ada bisa, kebutaanmu akan sembuh jika kalian
berdua kawin”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Kawin? Dengan Gumara? Cis, lebih baik aku terus dalam kebutaan daripada merelakan kawin
dengan dia hanya berharap butaku sembuh. Ayah musti tahu, batin Gumara adalah batin
manusia retak jiwa. Dalam jiwanya ada kembaran perasaan terhadap dua wanita: aku, dan
Harwati. Itu ayah pun sudah tahu. Orang semacam ini jika menjadi suami, hanya akan
mencelakakan hari depanku. Setamat SMA ini, dengan modal keberanian, aku akan ke kota . Dari
kota aku akan menuju Jakarta . Desa terlalu kecil bagiku, sehingga telingaku mendengar orangorang
bergunjing mengenai kebutaanku. Sayang sakali, penduduk desa Kumayan ini masih
kagum pada pendekar-pendekar sakti. Padahal apalah arti kependekaran di abad ini
dibandingkan dengan seorang Thomas Alva Edison yang menemukan listrik. Atau apalah artinya
pendekar abad duapuluh ini dibandingkan dengan Wagner, Einstein ahli fisika itu”? Katakanlah
aku cemburu Pak Guru besok bolos karena dia mau menyelamatkan Harwati! Tapi mungkin juga
karena saya tidak suka dia memasuki lagi ilmu zaman silam itu yang tak ada kepentingannya
dengan zaman sekarang ini. Pita Loka menatap ayahnya agar ayahnya sakit hati.
“Untuk sementara, kau benar. Jika listrik sekedar untuk alat penerangan, dulu, kami, di abad
silam, tetap juga terang tanpa listrik. Itu hanya alat, anakku! Jika peluru dipakai untuk
membunuh, di kawasan Cina sana, menurut guruku, orang punya pisau yang kecepatannya
melebihi peluru. Lebih hebat lagi apabila peperangan itu dengan Ilmu Cahaya!”
“Itu dulu! Kini pun orang merencanakan perang dengan cahaya!”
“Tapi perang yang sekarang ini, dengan cahaya pemusnah itu, ikut pula membunuh manusiamanusia
tak berdosa. Tapi dulu ilmu Cahaya hanya membunuh lawan-lawan tertentu. Yang
binasa mungkin sepuluh orang saja dengan para ketuanya. Tapi kini, jika terjadi Perang Cahaya,
jutaan orang bisa musnah, bukan?”
“Yah, ayah benar”, kata Pita Loka.
“Manusia membutuhkan pimpinan. Dunia, pelbagai negeri, membutuhkan pimpinan. Negeri ibarat
sebuah sekolah. Seperti sekolah membutuhkan Guru, juga sebuah negeri membutuhkan Guru.
Guru mendasarkan diri pada ilmu, Begitupun negeri, selain butuh Guru butuh pula ilmu. Kau
pernah menceritakan kekagumanmu pada ilmu tahayul bangsa Afrika dalam melawan bangsa
kulit putih. Pendeknya, kata ceritamu, tahayul itu dimanfaatkan guru-guru Afrika itu malawan
kezaliman bangsa kulit putih. Jika bertemu bangsa kulit putih, bunuhlah dia sampai mampus, dan
mampuskan sekalian dia sekalipun dalam keadaan masih bisa hidup ketika itu. Tapi menurut
hematku, itu cara yang salah untuk melawan kekejaman orang kulit putih, Tahayul memang
Grafity, http://admingroup.vndv.com
18
menjadi ilmu. Tapi yang lebih utama dari membunuh orang kulit putih adalah tugas ilmu dan
para guru, mengajarkan bangsa kulit putih itu supaya merubah caranya berfikir agar tidak
berlaku kejam pada orang kulit hitam. Katakan pada gurumu Gumara Peto Alam, agar dia tidak
terlalu kagum pada orang Afrika yang bersemboyan “bunuh mati si kulit putih”. Dia seorang
guru. Seorang guru harus mengajarkan yang betul, bukannya yang mudah, nak!”
“Terima kasih, ayah. Ayah telah mengisi dalam jiwaku kebencian pada pribadi Gumara, guruku.
Ha! apapun yang jelek-jelek dari dirinya saya butuhkan sekarang agar saya tidak mencintainya
lagi”, kata Pita Loka.
“Wah, itu kau salah tafsir. Gumara itu lebih banyak kebaikannya dari kejelekannya. Suatu ketika
nanti, mungkin waktu itu aku sudah mati . . . kau akan berkata : Memang Gumara Peto Alam
layak menjadi suamiku!”.
“Ayah! Jangan hidupkan kambali api cinta itu ! Aku buta! Aku bukan gadis cantik lagi! Aku butuh
bahan kebencian, bukan api cinta!” lalu Pita Loka melarikan diri masuk kamar. Mulanya malam
itu dia tidak akan tidur. Tetapi ketika dia sedang tidur, dia bermimpi. Harwati masuk ka dalam
kamarnya. Tangannya buntung. Dia berkata: “Pita Loka, kita sama - sama cacat. Tapi kamu lebih
berhak memiliki Gumara daripada diriku”.
Dalam mimpi itu Pita Loka sangat bahagia. Tapi ketika dia terbangun segera dia jengkel! Dia
langsung membuka jendela. Dan meloncat membelah semak-semak di malam buta itu . . ..
Rupanya Ki Putih Kelabu mendengar ketika Pita Loka melompat jendela. Dan serta merta
orangtua ini menghambur masuk kebun dengan lompatan yang lebih beringas disertai auman
harimau.
Tapi Pita Loka bukannya langsung ke Lembah Suliram. Dia ke rumah Gumara terlebih dahulu.
Begitu Alif memberitahu Gumara tidur, dia tidak percaya.
“Dengarlah suara ngoroknya itu”, ujar Alif menunjuk kamar Gumara.
Memang kedengaran suara orang ngorok. Tapi Pita Loka malahan yakin, yang mengorok itu
adalah raga halus Gumara. Raga kasar Gumara pasti pergi. Pita Loka meloncati tangga rumah
panggung itu, menyelusup cepat disela-sela pohonan jeruk dan bagaikan bola asap dia
membelah hutan belantara. Tapi langkahnya terhenti karena dia kena sergah auman harimau.
Harimau itu amat besar, menggeram dengan sikap mau menerkam, Pita Loka menghambur ke
kanan, tapi harimau itu sudah terlebih dahulu menerjang pohon yang roboh seketika, lalu
menghalangi Pita Loka.
“Jangan halangi saya!” seru Pita Loka menghambur ke kiri, tetapi tubuhnya merasakan lecutan
ekor harimau itu sehingga dia jatuh jungkir balik. Tiba-tiba Pita Loka menyadari, Dia berkata
pada harimau itu: “Baiklah, ayah. Saya akan pulang”.
Pita Loka melangkah lesu, lalu harimau itu berlalu menghilang dibalik semak belukar, Pita Loka
melangkah terpincang – pincang memasuki pekarangan rumahnya. Dia mengetuk pintu untuk
menguji dugaannya. Tapi dia juga jadi keheranan ketika yang dilihatnya membuka pintu adalah
ayahnya, dalam pakaian kemeja Cina dan celana batik,
“Telapak tangan ayah kotor”, kata Pita Loka menyindir,
“Apakah tadi ayahanda tidur atau barusan menggali tanah? Kaki ayah pun ada bekas sisa
rumputan”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
19
“Marilah kita berterus terang”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Tak usah dijelaskan lagi. Saya tahu siapa yang menghalangi saya ketika menuju Lembah
Suliram. Pohon itu rubuh. Lalu ada ekor binatang menyabet pahaku ini hingga aku jatuh jungkir
balik”.
“Mari ayah urut pahamu yang keseleo itu”, ujar Ki Putih Kelabu. Warna itu sebesar lengan
membekas pada dua paha Pita Loka.
Dengan ujung jempol jari dimasukkan ke langit-langit mulut, itulah cara mengurut yang terbaik.
“Terlalu keras pukulan ekor harimau itu”, ujar Pita Loka mencoba melangkahkan kaki yang masih
sedikit pincang,
“Mungkin dia bermaksud baik menghalangi perjalananku!”,
“Memang betul. Andaikata harimau tadi itu seorang ayah, lalu aku ini anak harimau, maka
harimau tadi akan menggendong saya dengan cara yang khas. Menggigit tengkukku, lalu
demikianlah keadaanku sampai ke rumah, ibarat induk kucing memindahkan sarang bagi
anaknya. Bukan begitu. ayah?”
“Marilah ayah berterus terang”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Tak usah nyatakan segala yang sudah diketahui dua belah pihak. Itu harinya akan melukai salah
satu fihak. Saya akan tidur dan tidak akan meloncat lagi dari jendela. Percuma itu saya lakukan
lagi, karena nanti toh saya akan dicegat oleh harimau tua itu. Dan dengan cintanya yang agung
dia sabet pahaku ini dengan ekornya”, dengan tersenyum Pita Loka memasuki kamarnya.
Ki Putih Kelabu hanya bisa terperangah. Dia duduk berayun-ayun di kursi goyang. Sampai pagi
tiba dia ketiduran di kursi goyang itu. Dan ketika akan berangkat ke sekolah, muncullah seorang
tamu tak dikenal.
“Saya ingin berjumpa dengan Ki Putih Kelabu”, ujar tamu itu.
“Anda siapa?”
“Saya Dasa Laksana”, ujar tamu itu.
“Dasa Laksana ?” Pita Loka tercengang, mencoba mengingat dan mencocokkan dengan wajah
tamu itu.
“Saya Dasa Laksana”, tegas tamu itu.
“Apa itu bukan nama samaran?”, tanya Pita Loka.
“Bukan. Itulah nama asli saya”, kata Dasa Laksana.
“Tapi apa anda ingat, bahwa anda pernah mengembara ke Guha Lebah dalam hidup anda?”
Guha Lebah? Saya tak tahu itu!” ujar Dasa Laksana.
Lelaki itu gagah, memakai baju dan kemeja orang kota , bersepatu berkilat, kemudian diberi ijin
Grafity, http://admingroup.vndv.com
20
masuk oleh Pita Loka. Pita Loka meninggalkan rumah menuju ke saholah, sementara tamu itu
menyatakan maksudnya: “Saya ingin bertemu dengan dik Pita Loka, Pak”.
“Lho itu yang tadi tuan temui pertama, itu Pita Loka”, ujar Ki Putih Kelabu keheranan.
Ki Putih Kelabu adalah seorang pendekar tua yang amat santun. Kedatangan tamu yang tidak
dikenal itu dilayaninya dengan ramah. Dia tidak pernah mengenal nama Dasa Laksana sebelum
ini. Juga dia tidak pernah melihat seumur hidupnya seorang lelaki ganteng selain dari Gumara.
Yang dilihatnya sekarang ini justru lelaki yang lebih ganteng lagi dari Gumara.
Tamu ini pun seorang lelaki yang rendah hati. Dia mengeluh;
“Rupanya di Kumayan ini tidak ada penginapan”.
“Penginapan ada, nak Dasa Laksana. Tapi mungkin anak tidak tahu”, ujar Ki Dasa Laksana.
“Tapi saya tidak melihatnya”, ujar pemuda ganteng itu.
“Mungkin karena tidak memakai papan merek”.
“Seseorang memberitahu pada saya, bahwa Bapak adalah seorang guru”.
“Oh, itu berlebihan. Saya cuma petani biasa. Saya tak punya ilmu apa-apa”.
“Apakah karena itu saya salah alamat?. Atau orang itu menipu saya?”
“Siapa orang yang anak muda maksudkan? Maksud saya yang memberitahu bahwa saya ini
seorang Guru?”
“Dia tidak memberitahukan namanya. Tapi disebuah warung di tepi jalan dia memberitahukan
pada saya; Jika tuan ingin ke desa Lembah Gading, harus melewati Kumayan lebih dahulu.
Temuilah Guru Putih Kelabu. Tadi pun seorang bocah yang menunjukkan rumah Guru ini,
memberitahu pada saya bahwa Tuan adalah seorang Guru”.
Ki Putih Kelabu mencoba membatin. Untuk mengetahui niat tamunya ini. Apa dia punya niat
busuk atau baik. Ternyata batinnya tak memberi getaran suatu apa. Jadi orang ini masih
merupakan tamu misterius.
“Kalau begitu nyatakan maksud anda”, kata Ki Putih Kelabu,
“Saya ingin belajar pada Guru”.
Ki Putih Kelabu membatin lagi. Juga tak ada getaran batin. Hal ini menambah kebingungan
pendekar tua itu.
“Sebaiknya anak muda meneruskan perjalanan ke Lembah Gading itu. Mungkin di sanalah anak
muda akan menemukan Guru yang dimaksud”.
“Tidak”, ucap Dasa Laksana mantap, “Hanya pada anda saya ingin belajar”. Batin Ki Putih Kelabu
bergetar kencang. Dia ingin diyakini batinnya, bahwa tamu ini bermaksud baik. Perasaan lega di
hati luputnya rasa bingung membuat Ki Putih Kelabu berada dalam kemantapan.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
21
Jika kamu sungguh-sungguh, syaratnya harus meninggalkan hidup mewah dan semua yang
berbau kemewahan. Mungkin hal itu berat bagi anda, nak!”
“Tidak”“ kata Dasa Laksana, dengan serta merta mencopot jaketnya, sehingga dia mengenakan
pakaian kaos oblong saja. Dia ditertawakan oleh sang Guru.
“Juga sepatu mahal itu anda copot?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Apa boleh buat. Memang ini sepatu mewah. Biarpun saperti sepatu basket saja, sepatu ini
mungkin lambang kemewahan. Saya akan mematuhi seluruh persyaratan”.
“Pernah berpuasa?”
“Tentu, tuan Guru”.
“Tapi ini semacam puasa tirakatan. Siang malam tidak makan minum dan tidak tidur. Lagi pula,
tempatnya tidak di sini. Kita harus jalan kaki menuju Pancuran Putih dan Ngarai Kelabu. Untuk
pergi ke sana , akan anda jumpai berbagai rintangan. Tapi karena bersama saya, maka saya
sedia membantu. Saya tidak bisa menurunkan ilmu saya pada anak perempuan saya. Juga
kepada seseorang yang saya sukai. Saya baru berhak menurunkan ilmu saya kepada orang yang
menyukai saya. Apakah anda menyukai saya?”
“Tentu, tuan Guru, Begitu saya melihat wajah anda, saya langsung menyukai tuan!”
“Baik, tinggalkan koper anda di kamar tamu sana itu. Anda cuma akan mengenakan kain sarung
dan tanpa alas kaki. Saya bahagia menemukan seorang yang patuh seperti anak muda”, ujar Ki
Putih Kelabu.
Dasa Laksana membawa kopernya masuk ke sebuah kamar depan. Lalu dia mengikuti langkah Ki
Putih Kelabu yang mengambil jalan setapak di belakang rumah. Seketika keduanya sudah
memasuki semak belukar yang pantang dilalui orang lain selain Ki Putih Kelabu dan pewaris
ilmunya.
Pita Loka sejak kecil sudah dididik memantangi jalan setapak yang banyak liku rahasianya ini.
Apalagi ada lorong rahasia di bawah tanah yang begitu rupa, sehingga mata biasa sukar untuk
mengetahui jalan masuknya.
“Inilah Ngarai Kelabu itu. Dan itulah Pancuran Putih”. Kata Ki Putih Kelabu setelah tiba di tempat
itu siang hari. Yang anehnya, tak ada rintangan dalam perjalanan bawah tanah itu, di mana
seharusnya akan menemui segala binatang tanah yang akan teruji keberaniannya sebagai calon
pewaris, Ki Putih Kelabu memanjat sebatang pohon kelapa kuning,
Dua buah kelapa ranum dipetiknya, lalu berkata: “Ini modal untuk puasa tirakatan. nak”.
Harwati dengan seregap berdiri, dan dahan kenyal membuat dia terjungkal. Tapi dengan seregap
pula dia manfaatkan kekenyalan dahan pohon tembiru itu sebagai alat pendorong untuk
meloncat ke atas. Dia meloncat, tetapi Gumara sudah keburu menyambar ujung kakinya. Hingga
jatuh membal lagi gadis itu, dan dicekal terus oleh Gumara.
“Lepaskan cekalanmu itu, babi!” maki Harwati.
Namun Gumara tidak melepasnya. Harwati tetap meronta menggeliat, lalu dia menggunakan
kesempatan baik untuk menghantam kepala Gumara pula dengan pukulan sisi telapak tangan.
Pukulan itu cukup telak.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
22
Gumara puyeng seketika itu juga! Lembah itu bagai bergoyang dalam pandangannya. Sementara
itu dilihatnya Harwati sudah hinggap disatu akar besar di dinding tebing.
Keseimbangan Gumara hancur karena konsentrasinya cuma tertuju pada keselamatan Harwati.
Dia jatuh dalam keadaan melayang separuh tak sadar, tapi sempat mencari keseimbangan ketika
dilihatnya batu-batu berbentuk tombak. Dia membalik, dan menyerahkan punggungnya saja
untuk kena tancap batu runcing.
Tubuh Gumara terlentang, menancap. Punggungnya bagai menancap dipaku. Ia tak sempat
menggeliat lagi. Darah bercucuran membasahi ujung “tombak alam” itu . . .Harwati terus
memanjat dengan semangat dua kali lipat.
Dia sempat tersenyum menyeringai melihat Gumara dalam keadaan sudah selayaknya mati itu.
Harwati terus memanjat lagi, memanjat sekuat tenaga bagaikan cicak memanjat dinding, Dengan
suara geram, kadang menggigit bibir agar mendapatkan kekuatan,
Harwati terus berupaya tanpa keraguan. Usahanya tampaknya akan berhasil, ketika dia sudah
sempat menemukan retakan batu dasar mulut guha. Jarinya mencengkeram retakan itu,
dorongan tubuhnya sepenuh tenaga membuat pantatnya menungging. Dengan itulah dia
membuat pantatnya menunging ke dalam guha. Dan. . , selamat sampai di dalam.
Harwati lalu berdiri tegak. Dia mulai mencari apa yang dia ingin cari. Dia menuju dinding kanan.
Tak ada apa-apa. Tak ada aksara apa-apa. Dia menuju dinding kiri. Semuanya berdinding.
Dia mondar-mandir. Kadang bertabrakan dengan Ki Rotan yang mundar-mandir. Kadang
bertabrakan dengan Ki Lading Ganda yang tidak ia kenal. Masing-masing orang bertiga itu saling
tak mengenal satu sama lain.
Pita Loka akhirnya sampai juga ke Lembah Suliram ini. Dari atas tebing utara dia menuju ke
tebing timur agar dapat melihat lurus ke pintu guha. Dan dia tidak melihat sesuatu kecuali sepi.
Beberapa ekor kelelawar senja mulai tampak. Burung – burung menyanyikan kemerduan nada
pada senja itu. Tapi tiba-tiba Pita Loka ternganga, di bawah sana tampak sosok tubuh
menggeletak celentang.
Firasat Pita Loka yang gelisah sejak pagi kini dia saksikan sendiri. Dan bagaikan bola meluncur,
Pita Loka menuruni tebing-tebing curam itu ke bawah. Dan dengan kekuatan ilmu yang pernah
dia petik, bagaikan belalang dia melompati ujung-ujung tombak alam itu, telapak yang sekedar
nemplok sejenak di atas keruncingan batu-batu itu
Tibalah dia ditempat sosok tubuh yang menggeletak itu.
“Guru!” teriaknya meyakini guru yang dicintainya itu. Pita Loka mencoba mengangkat tubuh
Gumara. Tapi rupanya hunjaman tombak batu alam itu sudah merekat ke tubuh sang guru.
Namun Pita Loka tetap mencoba mengangkat tubuh itu, agar lepas dari rekatannya di ujung
batuan runcing. Lalu Gumara menggeliat tanda dia sadarkan diri.Keningnya mengernyit menahan
sakit. Bila kesadarannya makin mengada, Gumara tidak merasa sakit lagi. Memang dengan
batuan Pita Loka tubuhnya terlepas dari cengkereman tombak batuan itu.
“Guru tidak sakit?”
“Periksalah punggungku”, ujar Gumara.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
23
Pita Loka memeriksa. Baju robek, bekas cucuran darah.Tapi luka itu sendiri? Sudah kering begitu
saja.
“Siapa menyuruhmu ke sini” tanya Gumara.
“Jadi, Guru marah karena saya ke sini?” tanya Pita Loka.
“Saya tidak marah. Tapi saya tidak menyuruhmu ke sini”, kata Gumara.
Pita Loka menjadi jijik mendengar ucapan tak tegas itu,
“Kalau anda marah, bilang marah. Jangan menyembunyikan kejengkelan dan kebencian dalam
bahasa berselimut”, ujar Pita Loka dengan kejengkelan yang sempurna, didukung oleh tindak
sempurna, meloncat dia bagai belalang dari satu ujung mata tombak batu lain ke ujung lainnya
sampai dia sudah tiba di tepi tebing utara, tanpa menoleh, terus memanjat tebing bagai cecak
yang tak tampak karena malam menjelang tiba.
Dia terus! menerobos semak belukar. Sebagian daun terbakar kena geseran tubuhnya yang lari
menggebubu.
Siang itu, apabila Pita Loka pulang dari sekolah, kekesalan hati, kecemburuan pada Gumara,
bertambah lagi dengan kedongkolan setiba di rumah. Rumah didapatinya dalam keadaan kosong.
Sebuah koper, sepatu bagus, dengan sepotong baju yang tergantung di lengan kursi, telah
membenarkan perkiraaannya. Yah, Kumayan bakal tertimpa huru-hara. Tentulah barang-barang
ini semua adalah milik tamu tadi pagi, yang mengaku bernama Dasa Laksana.
“Tentu ayah sudah terkecoh”, ujar Pita Loka sendirian, bernada menggerutu. Di angkat koper
tamu itu, dan dibantingnya!
Pita Loka sudah mengenal kusuk dan tipu ilmu persilatan melalui pengalaman. Apalagi ilmu yang
dikenal ilmu Hitam yang berlindung pada Iblis dan Setan. Dia kini kaheranan sandiri, karena
seperti “tertiup lupa” dengan tamu yang jelas-jelas mengaku bernama Dasa Laksana! Bukankah
ia pernah kenal Dasa Laksana?. Pernah mengajarnya ilmu kependekaran di Guha Lebah? Dan
pernah tahu bahwa orang ini penghkhianat dan mata keranjang?
“Bukan ayah yang terkecoh, tapi aku sendiri pun terkecoh!”, ujar Pita Loka. Sendirian
menggerutu.
“Guru Gumara sendiri pun, betapapun ilmunya yang tinggi, hari ini akan kena kecoh lagi dengan
dalih berjuang ke Lembah Suliram untuk menyelamatkan Harwati, Bukankah Harwati pun berjiwa
pengkhianat? Penipu?”, Pita Loka menggerutu lagi.
“Kebutaanku juga karena terlibat dalam bujuk dengkinya ilmu silat”, gerutu Pita Loka lagi.
Sepintas lalu, apa yang dibayangkan oleh Pita Loka memang terbukti. Begitu bersemangatnya
Gumara Peto Alam menyeret kaki Harwati agar gagal memanjat tebing Lembah Surilam yang
menuju ke mulut guha sana itu.
“Jangan teruskan memanjat, adikku!” seru Gumara,
“Lepaskan kakiku!”“ bentak Hawati seraya menggerak-gerakkan kakinya yang dipegang Gumara,
Grafity, http://admingroup.vndv.com
24
yang kadang lepas lagi. Bila lepas, Harwati memanjat lagi dengan penuh semangat, sebab bibir
guha itu hanya tinggal berjarak tiga depa saja.
“Jika kau memang menghendaki Kitab Tujuh, aku akan memberikannya”, kata Gumara.
“Kau pendusta! Penipu! Aku lebih tahu mengenai Kitab Tujuh dan Ki Kembar. Aku tak sudi kitab
itu itu pada Ki Rotan “, kata Harwati.
“Kitab Tujuh itu ada padaku, dik!” seru Pita Loka.
“Itu Kitab Tujuh yang palsu!” balas Harwati, yang menekan kepala Gumara dengan telapak
kakinya agar Gumara terpeleset jatuh ke bawah sana.
“Ki Rotan sudah ada di dalam guha sana , jangan banyak omong lagi!” kata Harwati lagi, yang
menggapai, penuh semangat, dan lebih bersemangat lagi setelah telapak tangannya menjamah
bibir batu penahan. Batu itu bergeser. Harwati tambah bersemangat! Dia kira dia akan dapat
masuk dengan meraih sekuat tenaga. Namun batu besar itu menggeser. Gumara melihat hal itu.
Dia dengan sekuat tenaga menjambak kaki Harwati. Akibat tarik-menarik itu sebuah batu besar
itu bergeser lalu batu itu bagai muntah dari mulut guha. Harwati berteriak!
Sekaligus dengan teriakan itu, dia menyamping menghindari diri ketiban batu besar. Dan
serentak dengan itu tubuh itu terpeleset, jatuh ke bawah bagai melayang Gumara sekelebatan
itu pula melompat melayang, menyambar tubuh Harwati, dan dalam keadaan melayang itu
Gumara menyeretnya menuju pohon tembitu.
Dahan pohon tembitu yang amat banyak itu menolong selamatnya Harwati dari bencana. Dia
jatuh dan membal lagi, lalu jatuh dan membal lagi karena tekanan kenyal dahanan lebat pohon
tembitu. Tapi Gumara sudah duduk tenang diantara dedahanan yang kenyal itu, tersenyum
melihat tubuh Harwati membal-membal sampai akhirnya duduk mantap dijalinan dahan.
Harwati bukannya berterimakasih. Tapi menatap Gumara dengan jijik,
“Kenapa kau halangi aku masuk?!” makinya.
“Karena kau adikku! Karena aku kasihan padamul”
“Dusta! Kau mengaku aku adikku agar cintaku padamu musnah dan kau bisa memperisteri Pita
Loka!”
“Aku tidak dusta, itu ucapan ayah kandung kita sendiri!” kata Gumara.
“Ayah pun pendusta. Sudah kuketahui dari Ki Kembar, bahwa ayah pun berdusta. Masuk akalkah
kau tiba-tiba menjadi “kakak mendadak”? Soalnya ayah menghindari aku supaya tidak menjadi
isterimu. Karena dia lebih suka ilmunya jatuh pada orang lain yang bukan padaku.
Ayah dusta karena dia ingin ilmunya jatuh kepadamu, lalu kau mengawini Pita Loka sebab ayah
pernah berjanji pada Ki Putih Kelabu akan mempertalikan darah dengan anak lelakinya. Padahal
ayah tak punya anak lelaki. Begitu bernafsunya ayah untuk melestarikan ilmunya demi
kelanggengan ilmuitu lewat kau. Alangkah tolol orang yang mempercayai cerita ayah yang
terkenal seorang pembohong terbesar diantara Tujuh Manusia Harimau di Kumayan”.
Setelah puas memaki, Harwati meludahi Gumara: “Ciih, kamu tak usah mengaku putra Ki Karat,
karena kau cuma manusia dari kasta rendahan!”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
25
Setiba di rumah. Pita Loka mengobrak-abrik kursi dan menggulingkan meja. Dan ketika dia
masuk kamar depan, mau mengobrak-abrik koper tamu . . . tidak jadi. Senyumnya erkembang.
Dia ingat, tamu tadi begitu gantengnya.
Dia bertekad untuk berbaik-baik pada ayahnya. Dia susun meja dan kursi yang berantakan. Dia
berharap ayahnya akan pulang agak malam dan butuh disediakan makan malam. Dia memasak,
kemudian menyediakan hidangan di meja.
Benarlah dugaannya. Menjelang jam Romawi itu berdenting sebelas kali dari pintu belakang
terdengar suara ayahnya; “Pita Loka, apa kau di rumah, nak?”
“Ya, ayah”.
Pita Loka lalu membuka pintu, dengan harapan sang tamu gagah itu pun serta. Ternyata tak
tampak seorang lain pun kecuali ayah.
“Ayah sendiri?” tanya Pita Loka.
“Ya”.
“Tadi ada tamu. Saya lihat ada koper. Kemana tamu itu?”
“Dia pergi. Dia menitipkan kopernya”, kata Ki Putih Kelabu.
Pita Loka terhempas kecewa di kursi. Hal itu membuat Ki Putih Kelabu gembira. Lebih gembira
lagi dia, ketika didengarnya putrinya berkata kecewa:
“Padahal untuk makan malam sudah kusediakan untuk tiga orang, Termasuk saya”, kata Pita
Loka.
“Siapa tamu ayah itu, yah?” tanya Pita Loka kemudian.
“Namanya Dasa Laksana, bukan?”
“Betul. Dasa Laksana namanya. Kenapa?”.
“Tentuu tidak tiap nama watak manusianya sama. Ada nama Dasa Laksana yang baik, ada nama
Dasa Laksana yang busuk dan pengkhianat”.
“Tapi sepanjang firasatku, ini Dasa Laksana yang baik”, ujar Ki Putih Kelabu seraya mulai
menikmati santapan malam.
“Tampaknya ini hidangan istimewa”, ujar lelaki tua itu.
“Enak masakanku kali ini, yah?”
“Nikmat sekali”.
“Sekiranya tamu ayah itu juga menikmati hidangan, dia belum tentu akan memuji seperti ayah”,
ujar Pita Loka.
“Dia akan terkagum-kagum, memujinya dan akan bicara dalam hati: Inilah gadis yang tepat
Grafity, http://admingroup.vndv.com
26
menjadi ibu Rumah Tangga”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Ayah memancing kegembiraanku!” ujar Pita Loka.
“Memang. Memang demikianlah tujuan pancinganku. Hidup ini merupakan sarana harapan bagi
setiap orang. Tapi sarana itu tidak layak ditumpukan pada diri satu orang saja. Harapan tidak
tunggal, tapi majemuk. Lelaki yang baik bukan hanya seorang, tapi banyak.”
Pita Loka gembira dengan bahasa perlambang yang diucapkan ayahnya itu, dia yakin bahwa
tujuan ayahnya begitu luhur dan baik.
Ketika Pita Loka asyik berbincang dengan ayahnya, waktu itu Gumara Peto Alam sudah kembali
ka rumahnya, dan membaca kembali Kitab Tujuh, yang dimulainya pada Kitab Ketujuh.
Dia teliti intisari kitab itu, apa rahasia yang tersembunyi dari pengertian kalimat demi kalimatnya.
Tiba-tiba Gumara riang sewaktu dia yakin ada sebuah kalimat yang berbunyi:
“Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari.Sesungguhnya mencari madu rahasia
yang manis.”
Jika kalimat ini disusun dengan kalimat sebelumnya, tidak punya arti. Juga jika dikaitkan dengan
kalimat berikutnya, lebih tak punya arti. Kalimat berikut itu berbunyi;
Orang yang memakai terompah berkelahi
Tanda bukan pendekar pintar.
Maka, Gumara cepat membuka Kitab Pertama dan mengkaitkannya dengan kalimat rahasia dan
Kitab Ketujuh tadi.
Sesungguhnya ada sesuatu di lembah Suliram yang madunya asam berisi kekuatan
dan dibukanya pula Kitab Keenam untuk menemukan jalinan kalimat ini. Maka ditemukannya
kalimat yang berdiri sendiri, yang tak ada kaitan dengan kalimat sebelum maupun sesudahnya.
Kalimat di Buku Keenam itu berbunyi:
Kekuatan dari madu yang dijilati semut hitam
Membuka rahasia warisan Kerajaan Solaiman
Dan dengan tergesa penuh semangat dibukanya Buku Kedua dari Kitab Tujuh itu untuk
menemukan kalimat-kalimat rahasia. Dia menemukannya segera:
Selain kekayaan, orang gila pun dapat disembuhkan
Oleh semut yang mestinya dicari di guha itu.
Karena bersemangat, Gumara lantas membuka Kitab Kelima, yang dia temui lagi kata-kata
rahasia:
Kerajaan Isa menyembuhkan lumpuh dan buta
Sungguh madu sama mujarabnya dengan sarang laba – laba. . . .
Gumara lebih bersemangat lagi setelah menemukan Rahasia Kitab Kelima. Lalu dibacanya
dengan tekun pula Kitab Ketiga untuk mendapatkan rahasia. Memang sedikit terdapat kesulitan.
Tapi ketika dia menemukan kalimat : Tiga itu! sebetulnya tiga rangkaian . . . . Gumara mencoba
meneliti kembali berulang kalinya kalimat itu semenjak awal pembacaan. Jadi,rahasianya, pikir
Grafity, http://admingroup.vndv.com
27
Gumara, dicari tiga rangkai kalimat. Itu ditemukannya pada susunan kalimat ditengah kitab. Lalu
dekat akhir kitab, lalu dipenghujung kalimat kitab tersebut. Kalimat itu, jika dirangkaikan adalah:
Laba-laba yang membuat sarang melindungi isteri
isteri melindungi suami karena butuh keturunan
Keturunan menjamin kelangsungan dunia, periksa nama.
Kunci seluruh ilmu Kitab Tujuh, seperti diyakini Gumara adalah. Buku Keempat. Begitu kalimat
pertama dari kitab itu dia baca, dia sudah meyakini diri arti “nama” dalam Kitab Ketiga dari
kalimat rahasia itu. Sebab begitu dia membacanya, dia sudah membaca sebuah nama
ogandala bernyawa dari langit 12 sangga, lalu ditemukan pula kalimat:
Menuturkan kepada Dwi Satya rahasia kisah ini, yang pasti bahwa Dwi Satya itu sebuah nama
pula.
Dan ditemuinya pula kalimat : Kekebalan otot Tri Abdalla,pagar perkasa
Dan ditemuinya kalimat; Seluruh pagar itu 17 baris terpujilah yang ke— 4, yaitu Nun, nama ikan.
Angka ini diperhatikan Gumara. Dia menghitung jumlah baris sejak dari Buku Ketujuh, Kesatu,
Keenam, Kedua, Kelima, Ketiga dan Keempat, kalimat rahasia itu memang Tujuhbelas baris
seluruhnya.
Untuk melaksanakan petunjuk tujuh buah kitab itu, agar Gumara merasa tertib
mengamalkannya, dia pun menyusun seluruh 17 baris kalimat rahasia itu. Agar dapat ditafsirkan.
Maka diambilnya kertas, dimulainya urutan dari Kitab KeTujuh seluruh 17 baris kalimat rahasia
itu:
Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari
Sesungguhnya mencari madu rahasia yang manis
Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah Suliram
Yang madunya asam berisi kekuatan
Kekuatan dari madu yang dijiati semut hitam
Membuka rahasia warisan kekayaan Kerajaan Solaiman
Selain kekayaan, orang g!!a pun dapal disembuhkan
Oleh semut yang mestinya dicari di guha itu
Kefajaan Isa menyembuhkan lumpuh dan buta
Sungguh madu sama mujarabnya dengan sarang laba-laba
Laba-laba yang membuat sarang melindungi isterinya
Isteri melindungi suami karena butuh keturunan
Keturunan menjamin kelangsungan dunia, periksa nama
Yogandala bernyawa dari langit 12 sangga
Menuturkan kepada Dwi Satya rahasia kisah ini
Kekebalan otot Tri Abdalla, pagar perkasa
Seluruh pagar itu 17 baris terpujilah yang ke-4, yaitu Nun,
nama ikan.
Kepala Gumara menggeletak di atas meja, menindih 17 baris yang ditulisnya dalam keadaan
capek dan mengantuk.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
28
Paginya dia dibangunkan Alif yang menggedor pintu: “Tuan Guru tidak mengajar pagi hari ini?!”
“Mengajar! Mengajar!” seru Gumara langsung bangun, menyusun seluruh kitab dan
mempersiapkan diri dengan bercuci muka, untuk pergi mengajar. Dan, setiba di sekolah, dia
didatangi oleh Pita Loka:
“Apa yang Pak Guru pesankan pada saya, sudah saya laksanakan”.
“Baik, terimakasih”, ujar Gumara.
“Ayah mengundang anda untuk makan siang di rumah kami, Pak Guru”, ujar Pita Loka lagi.
“Oh ya! Terimakasih”.
“Saya sendiri yang memasaknya tadi subuh”.
“Kalau begitu saya perlu datang”, ujar Gumara.
Gumara asal ngomong. Sebab pikirannya tertuju pada keinginan untuk cepat mengamalkan
petunjuk Kitab Tujuh itu. Dia yang cerdas dan terang otak, dari dulu ingin mengetahui pelbagai
rahasia.
Ketika masuk kelas, dia ditanya oleh muridnya Ratna: “Pak Guru kemarin bolos karena mencari
Harwati ya Pak?”
Ditatapnya Ratna. Dia akan marah sebetulnya. Lalu dia ingat, berita ini pasti diceritakan oleh Pita
Loka akibat rasa cemburu dan bersaing. Dia dengan tenang menulis di papan tulis:
FISIKA.
Hukum Brewster: Sudut polarisasi p, berhubungan index bias n seperti ini,
cos p = n
sinus p= n
ctg p = n
tg p =n
Setelah menulis itu, Gumara berkata: “Salin yang baik di kitab rumus. Hidup kalian pun akan
becus apabila menyadari arti rumusan hidup, ini Fisika, yah kehidupan Alam Semesta inipun
diatur Tuhan dengan ilmu Fisika Ilahi, mengerti kamu Ratna?”
Ratna terdongak kaget, lantas malu tersipu.
Biarpun Ratna malu tersipu, dia memberi isyarat kepada Pita Loka. Pita Loka lalu mengacungkan
telunjuk:
“Boleh bertanya, Pak Guru?” Gumara menatap pada Pita Loka, lalu menjawab:
“Tidak boleh”.
Pak Guru kejam”! kata Ratna,
“Yang kejam itu kan fitnah. Fitnah lebih kejam dari pembunuhan”, kata Gumara.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
29
“Jangan menyindir gitu, Pak Guru!” balas Pita Loka.
“Sudah, salin saja rumus itu”, kata Guru Gumara.
Setelah itu, dia menerangkan pelajaran ilmu Fisika, dan beberapa contoh mengenai rumus
Brewster,
“Sekarang, kita memasuki Bab baru, yaitu Medan Listrik”, kata Gumara kepada murid-murid itu.
“Tentu mengenai Hukum Coulomb”, kata Pita Loka.
Gumara kaget: “Eh, darimana kamu tahu?”
“Masih di SMP saya sudah tahu”.
“Kalau begitu coba tuliskan rumus Hukum Coulomb”, kata Gumara.
Pita Loka memperbaiki kacamata hitamnya, lalu meninggalkan bangkunya, lalu menulis papan
tulis. Dan dia pun menuliskan di papan tulis itu dengan huruf-huruf jelas dan bagus:
Hukum Coulomb: F = K q1 q2
r kwadrat
Gumara menoleh: “Betul, tapi kwadratnya jangan ditulis dengan huruf, tapi angka”, dan Pita
Loka pun menghapus tulisan kwadrat menjadi angka 2 di atas pojok huruf r.
Sebelum Pita Loka meninggalkan papan tulis, Gumara sempat bertanya perlahan pada Pita Loka:
“Bagaimana keadaan matamu?”
“Buta”, sahut Pita Loka dan kembali duduk di kursinya.
Dia tahu pertanyaan itu sekedar basa-basi belaka. Dan setelah tulisan Pita Loka di papan tulis itu,
Gumara menulis lagi dibawahnya beberapa sistim mks, cgs, kuat medan listrik dan seterusnya
beberapa rumus lagi.
Tapi ketika Gumara menuliskan itu semua, otaknya mengembara pada rumus-rumus Kitab Tujuh,
terutama Kitab Ketujuh yang kalimat rahasianya berbunyi: ”Semut yang memasuki lubang
tempat masuknya matahari. . .”, yang dianggapnya adalah sebuah tempat.
Memang tak sulit bagi Gumara untuk memahami arti simbolis kata-kata itu. Yang menjadi
“semut” dalam tafsir kalimat itu adalah Gumara sendiri. Dia harus mencari satu tempat, sebuah
celah berbentuk lubang, tempat terbenamnya matahari.
Celah itu tak lain dari dua ngarai yang bertemu ujungnya, disebelah barat Kumayan ini, Dia harus
ke sana . Celah itu bernama Ngarai Surya Mutih. agak sedikit ke timur dari Lembah Gading.
Jika nanti sehabis makan siang di rumah Pita Loka aku terus berangkat ke celah itu, aku bisa
kembali malam ini juga dan besok tidak bolos, pikir Gumara. Tetapi semua gerak tingkah Gumara
mendapat perhatian khusus Pita Loka. Dia ia tahu betul bahwa Guru Gumara bukan berada
dalam kelas ketika mengajar dan duduk menanti muridnya menyalin rumus. Tapi Guru Gumara
sedang mengembara dalam pikirannya ke satu tempat.
Pita Loka ingin sekali menanyakan apa hasil petualangannya semalam dan kemarin. Tampaknya
Grafity, http://admingroup.vndv.com

No comments:

Post a Comment