Semuanya diluar dugaan orang banyak,
Ki Putih Kelabu mengirimkan undangan kepada beberapa
orang yang disegani di Kumayan. Orang
mengira, undangan itu adalah pemberitahuan
pertunangan Ki Pita Loka dengan Guru
Gumara.
Nyatanya hanya sebuah undangan
syukuran belaka. Guru Gumara juga diundang, dan dia datang
mengenakan kemeja putih, juga terjadi
hal di luar dugaan, karena Ki Putih Kelabu yang dikenal
pendiam itu ternyata pandai
berpidato.
"Saya dengan segala kerendahan
hati ingm mengingatkan lagi kepada anda, bahwa keluarga
kami mewaris sifat pemaaf".
Tidak berdendam dan tidak menyukai permusuhan. Kami sudah
berusaha meghindari segala pertikaian
dengan siapapun. Karena usaha itu, anak kami Pita Loka
harus menelan penderitaan kebutaan
sebelah matanya yang tidak dapat dipersalahkan kepada
satu orang pun. Saya ulangi, kami
tidak menyalahkan siapa - siapa. Karena itu siapapun yang
menganggap dirinya bersalah, harap
lupakan seluruh kejadian sebab tidak satupun peristiwa
yang berdiri sendiri. Mari kita
belajar dari dalam semesta, di mana satu perpindahan bintang
hanyalah karena mengikuti aturan
kemestian sejak awal kejadian. Gunung yang meletus tidak
berdaya menolak takdir, lalu lahar
dingin seolah menganggu tanah pertanian. Tapi ini semua
menjadi modal kesuburan anak cucu di
kemudian hari, yang mewarisi kesuburan tanah.
Jadi, gunung yang meletus lahar yang mengalir,
hanyalah tunduk dengan aturan alam semesta.
Yang senantiasa bandel itu, hanyalah
kita manusia. Tapi tentu ada manusia yang selamat karena
ikut dalam aturan semesta. Maka,
barang siapa yang mencari dan mendapatkan Sufia, dialah
yang selamat dan kebal atas
keruntuhan , . ."
Ki Putih Kelabu rupanya sudah
mengakhiri pidatonya. Guru Gumara mencoba memahami kalimat
terakhir guru yang rendah hati itu.
Apa itu Sufia?
Setiba di rumah, Gumara membongkar
kembali Kitab Tujuh. Dia membaca semua huruf gundul di
Kitab itu. Namun dia tidak menemukan
perkataan Sufia. Gumara yakin itu sejenis ilmu. Bukan
kitab. Dicobanya merenungi kembali
ucapan Guru Putih Kelabu diakhir pidatonya: "Maka, barang
siapa yang mencari dan mendapatkan
Sufia, dialah yang selamat dan kebal atas keruntuhan".
Jika Gumara membongkarnya dalam
lembaran Kitab Tujuh, maka Pita Loka menanyakan hal itu
kepada sang Ayah.
"Apa itu Sufia, ayah?"
tanyanya.
"Aku pun tidak tahu. Ucapan itu
Kami warisi dari Guru, dan Guru mewarisinya dari gurunya pula,"
"Saya menganggapnya begitu
penting. Tiap soal yang menarik perhatian manusia, lalu
mendapatkan jawabannya, lantas hal
itu tidak penting lagi. Ketika Thomas Alva Edison
menemukan listrik, orang
mempertanyakan cahaya pijar itu. Tetapi sekarang listrik bukan barang
mewah lagi. Tapi jika ada satu soal
seperti Sufia dipertanyakan, tapi tidak dapat jawaban, itu
pertanda masalah itu penting dan
bermutu tinggi,"
Grafity, http://admingroup.vndv.com
2
Pita Loka kecewa karena ayahnya hanya
berdiam diri. Pagi harinya, ketika Pita Loka mau
berangkat ke sekolah, ada tamu. Tamu
itu Ki Lading Ganda yang bartanya, "Bisakah bicara
sejenak dengan Ki Guru?"
Ki Putih Kelabu muncul dan
mempersilahkan anggota Harimau Kumayan itu duduk di tikar
permadani.
Pita Loka kembali ke kamar, dengan
maksud mendengar percakapan antara ayahnya dan
sahabatnya itu.
"Diantara kita tidak perlu ada
rahasia. Coba terangkan padaku, apa itu Sufia?"
"Jangan berkecil hati, Guru
Lading Ganda. Saya tidak mengetahuinya", jawab Ki Putih Kelabu.
"Darimana kau perdapat kata
ajaib itu?"
"Dari Guru. Aku pernah
mempertanyakannya seperti kau mempertanyakannya sekarang ini,
padaku. Tapi Guru hanya menyatakan,
itu beliau dengar dari Gurunya." ujar Ki Lading Anda pergi
mencegat Ki Gumara yang akan
berangkat mengajar di SMA.
"Tentu anda mengetahui apa itu
Sufia, Guru!" ujar Ki Lading Ganda.
"Maaf. Sama sekali tidak".
"Tampaknya itu wasiat penting.
Ki Putih Kelabu tidak suka bicara, tapi kali ini dia bicara. Kau
yang ahli takwil, coba terangkan
padaku apa takwil ini semua?"
"Jika itu yang Guru tanyakah
pada saya, saya sekedar dapat memahami. Kira-kira sebentar lagi
akan muncul huru-hara di Kumayan ini.
Biasanya, hanya orang berilmu yang selamat atas huru -
hara, karena orang berilmu pandai
membaca keadaan. Itulah tugas kita; Membaca keadaan.
Suasana".
KI Lading Ganda bertanya lagi;
"Huru-hara itu tentulah ada penyebabnya. Besar kemungkinan
kekacauan ini mungkin datangnya dari
pihak yang berbicara."
"Maksud tuan Guru, Ki Putih
Kelabu akan membalas padanya?"
"Semua orang bilang, Guru Gumara
yang membuat puterinya buta," kata Ki Lading Ganda.
"Ah, itu perasaan Tuan Guru
saja," ujar Guru Gumara.
"Menurut renungan saya semalam,
dia lontarkan perkataan Sufia itu sebagai isyarat, itulah ilmu
yang dia miliki."
"Kami sudah saling bermaafan,
Sebaiknya jangan kita perbesar lagi satu soal yang sudah
diselesaikan, Tuan Guru.
Maafkan, saya musti mengajar, dan
hari ini saya akan mengajar Sejarah. Saya tidak boleh
terlambat, karena kita ingin
anak-anak muda itu mengenal disiplin," kata Gumara.
"Tampaknya Anda melecehkan hal
penting ini, Guru Gumara."
"Begitulah penafsiran Tuan. Buat
saya semua soal adalah penting!" lalu dia salami Ki Lading
Grafity, http://admingroup.vndv.com
3
Ganda dengan sikap hormat. Ki Lading
Ganda tidak segera berlalu dari pekarangan rumah Guru
Gumara.
Dia hanya menatap kepergian guru SMA
itu hingga hilang dari pandangan matanya. Kemudian
dia mengetuk pintu rumah dan
keluarlah Alif.
"Oh, Tuan Guru. Tadi Anda bicara
dengan Guru Gumara, bukan?"
"Ya. Sekarang saya akan bicara
dengan Alif."
"Apa maksud tuan?" tanya
Alif.
Ki Lading Ganda menatap Alif. Mata
guru itu begitu tajam, sehingga menakutkan Alif. Alif
mulanya bengong. Tapi kemudian dia
merasa pusing. Dia tak mampu menahan pancaran sinar
mata Guru Lading Ganda yang
seakan-akan berubah jadi mata harimau. Dan ketika Lading
Ganda menyeringai, tampak oleh Alif
taring-taring mengerikan. Lalu dia tidak sadarkan diri lagi,
dalam keadaan duduk.
Ki Lading Ganda memasuki kamar Guru
Gumara, Apa yang dia cari, dia ketemukan seketika.
Yaitu Kitab Tujuh, yang masih
terhampar di atas sebuah meja yang terbuat dari bekas kotak
sabun. Sebagai murid yang tekun dari
zaman silam, Ki Lading Ganda tidak mendapatkan
kesulitan membaca semua huruf gundul
dalam kitab itu. Dia telah menamatkan bacaan di Kitab
Pertama.
Tapi ketika membaca Kitab Kedua,
susunan kalimatnya tidak ada hubungannya dengan Kitab
Pertama. Hal inilah yang membuatnya
bingung. Kunci membaca urutan Kitab itulah yang tidak
diketahuinya. Sebab dalam kunci kitab
yang tujuh itu, justru seorang yang membacanya harus
dimulai dari Kitab Tujuh. Baru
kemudian Kitab Pertama. Kemudian urutan ketiga adalah
membaca Kitab Enam. Selanjutnya baru
membaca Kitab Dua. Setelah itu baru membaca Kitab
Lima. Berikutnya membaca Kitab Tiga,
Sedangkan Kitab Empat adalah mata pelajaran terakhir.
Biarpun bingung, Ki Lading Ganda
sudah cukup puas sudah menamatkan membaca Kitab
Pertama buku itu. Seluruh isi Kitab
Pertama pun sudah diketahui kuncinya oleh Ki Lading Ganda.
Karena ada kalimat di pertengahan
buku itu, yang tidak ada hubungan dengan kalimat sebelum
maupun kalimat sesudahnya.
"Sesungguhnya ada sesuatu di
Lembah Suliram," bunyi kalimat itu, Sebagai bekas murid dari
guru yang tekun, Ki Lading Ganda
mengetahui, bahwa kalimat itulah kuncinya, suatu perintah
untuk pergi ke Lembah Suliram.
Segera Ki Lading Ganda keluar. Dia
duduk kembali menghadapi Alif. Disapunya wajah Alif dengan
telapak tangannya dengan sapuan
lembut. Lalu Alif sadarkan diri, tak menyadari bahwa dia
sudah dalam keadaan tak sadar selama
satu jam,
"Oh, Guru Lading Ganda,"
Ujar Alif, "Tadi saya lihat Tuan Guru bicara diluar dengan Guru
Gumara. Kini tuan ingin
sesuatu?"
"Saya haus. Tolong segelas air
kendi," ujar Ki Lading Ganda.
Setelah minum air kendi, Ki Lading
Ganda minta ijin pada Alif. Alif tidak curiga sedikit pun dengan
kepergian Tuan Guru itu. Tapi Guru
Gumara mandi keringat di depan kelas pada mata pelajaran
satu jam, bertepatan ketika tadi Ki
Lading Ganda membaca Kitab Pertama dengan cara mencuri
itu. Gumara punya firasat. Bahkan dia
tidak mengetahui, Pita Loka memperhatikan keanehan
Grafity, http://admingroup.vndv.com
4
yang dialami gurunya di depan kelas.
Dia sebenarnya sudah buta sebelah matanya olah salah
sebuah kuku Guru Gumara ketika
memperebutkan Kitab Tujuh tempo hari. Namun karena Pita
Loka menganggap kejadian itu hanyalah
peristiwa suratan nasib, dia tak dendam.
Malahan dia kasihan melihat Sang Guru
mengalami kesulitan mengajar Sejarah. Keringat guru
mengocor terus. Hal itu menghibakan
hati Pita Loka. Maka Pita Loka berkata; "Pak Guru,
sepertinya bapak sakit, ya?"
Gumara menoleh pada murid yang
barusan berkata. Dia terkejut. Karena hal inilah yang
dikehendakinya agar dia tidak jadi
olokan murid dan menderita malu di hadapan murid –
muridnya.
GURU Gumara terharu atas sikap Pita
Loka. Dia merasa berhutang budi. Lalu semangat
mengajarnya bangkit. Dan berkata:
"Anak-anak, sementara kita tinggalkan mata pelajaran
Sejarah Kebangkitan Afrika Merdeka.
Kita memasuki mata pelajaran Geografi."
Tetapi konsentrasi Guru Gumara
mengajar bukan seperti sebagaimana biasa. Ada firasat buruk
yang mengganggu perasaannya, yang
belum dia pahami.
"Berhubung buku tuntunan mata
pelajaran ini belum tiba di Kumayan, saya mencoba untuk
mengajar kalian mengenai keadaan Bumi
kita sekarang ini. Bumi yang kita diami sekarang ini,
yang kita kenal dengan bentuknya
seperti pemetaan yang terlihat pada bola dunia ini," ujar sang
Guru sembari memperlihatkan bola
dunia di atas mejanya, yang diangkatnya.
“Geografi bukan sekedar ilmu mengenai
pemetaan, tetapi kumpulan dari berbagai masalah yang
terjadi dalam bola dunia ini. Baik
yang di darat, maupun yang di laut maupun yang di udara kita
yang disebut atmosfir. Tentu ada
diantara kalian yang mungkin lebih pandai dari saya, karena
rajin membaca, sehingga dia lebih
mengetahui,” lalu ditatapnya Pita Loka, tapi Pita Loka tidak
memperlihatkan reaksi karena dia malu
sebab usianya melebihi usia rata-rata murid SMA di kelas
itu. Gumara hanya ingin mengingatkan
Pita Loka, bahwa dulu dia pernah mengajarkan hal itu
ketika Pita Loka masih muridnya di
SMP.
“Suhu bumi kita sekarang ini amat
panas karena putarannya yang berabad-abad sejak bumi kita
diciptakan Tuhan. Pada awalnya, bumi
kita ini adalah bola dunia yang amat dingin berupa
gumpalan-gumpalan es yang dikenal
pada masa itu sebagai Zaman Es.”
“Keringat Bapak, Pak!” tegur Ardi
pada sang Guru.
Ketika Gumara melihat pakaian yang
melekat di tubuhnya sudah seluruhnya basah, dia lalu
sadar, bahwa dia tak layak jadi
tontonan.
“Saya mohon maaf. Mungkin saya kurang
sehat,” kata Gumara.
“Sebaiknya bapak istirahat pulang
saja,” ujar Pita Loka. Gumara melihat sekali lagi pada Pita
Loka. Hatinya bahagia. Lalu dia
pamit, kemudian menemui Direktur dan minta ijin pulang sebab
sakit.
Setiba di rumah, Alif memberitahu
padanya: “Guru, tadi setelah Guru pergi, Ki Lading Ganda
menemui saya, lalu meminta minum air
kendi, Apa maksudnya?”
“Oh, begitu. Karena kau orang awam, sesuatu
yang menjadi perhatianmu pasti karena kejujuran
dan tanpa prasangka. Apa kau sempat
melihat Ki Lading Ganda masuk ke kamar saya?”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
5
“Tidak, Guru,” sahut Alif.
“Betul tidak?”
“Tidak.”
Namun Gumara mempunyai firasat.
Ketika dia memasuki kamarnya, dia melihat keanehan pada
meja papan sabun itu. Susunan Kitab
berubah dari letak semulanya.
Kitab Pertama terletak di atas.
Sedangkan hal itu bukan semestinya. Gumara lalu mendapati Alif.
“Kau merasa terkena sihir?” tanya Gumara
pada Alif.
“Saya hanya duduk,” kata Alif.
“Ketika kau duduk, apa kau tak merasa
ada yang aneh?” Alif mencoba mengingat-ingat. Namun
gagal.
“Tidakkah Ki Lading Ganda menatap ke
matamu?” tanya Gumara.
Alif mencoba mengingat, kemudian baru
dia ingat, dan berkata:
“Ya.Guru!”
“Bagaimana keadaan bola mata beliau?”
“Biasa. Tapi kemudian saya ngeri.”
“Ada yang menakutkan Anda?” tanya
Gumara.
“Ya. Hanya rasa ngeri.”
“Kau tidak melihat sesuatu selain
perasaan ngeri?”
“Saya bertambah ngeri, setelah
melihat sesuatu, Guru!”
“Wajahnya, kan ? Dia menyeringai, kan
? Lalu kau melihat saing taring harimau diwajahnya?”
Alif berdiam diri. Dia malah jadi
ketakutan. Gumara cepat menghapus wajah Alif dengan sapuan
telapak tangannya. Alif terdongak,
seperti barusan terjaga dari mimpi. Gumara puas, lalu dia
kembali ke kamar. Dibukanya lembaran
tengah buku Pertama dari Kitab Tujuh itu, dan dia
membaca amanat penting dari buku itu:
“Sesungguhnya, ada sesuatu di Lembah Suliram itu.
“Pasti Ki Lading Ganda telah menuju
ke sana . Terjebak oleh pancingan amanat ini,” kata
Gumara pada dirinya sendiri. Lalu
dipanggilnya Alif, Dan berkata: “Hari ini saya berpuasa. Saya
akan pergi sebentar.”
GUMARA melangkah tenang. Maksudnya
ingin ke rumah Ki Lading Ganda untuk sebuah
kepastian. Tapi untuk menuju ke sana,
mestilah melewati rumah Pita Loka.
Ketika itu Pita Loka ada di rumah,
sebab Direktur menyuruh seluruh kelas 1 B pulang karena
tidak ada guru yang akan mengajar.
Tapi ketika Gumara lewat, Pita Loka cepat turun rumah
untuk menyelidiki arah kepergian sang
Guru. Dan ketika dia tahu arahnya akan menuju rumah Ki
Grafity, http://admingroup.vndv.com
6
Lading Ganda, Pita Loka masuk ke
kebun dan mengambil jalan pintas. Pita Loka menyelidiki. Dari
arah selatan dia kemudian membuktikan
benarnya firasat. Tampak olehnya, Guru Gumara Peto
Alam memasuki pekarangan rumah Ki
Lading Ganda. Hati sanubarinya sebetulnya ingin
mencegah, agar Guru Gumara tidak lagi
terlibat dalam dunia kependekaran.
Tapi dia kini ingin memastikan! Sebab
dia yakin, akan terjadi lagi sebuah huru hara besar
menimpa desa Kumayan”. Ini hanya
dugaan dan ramalannya saja. Dan ini ditafsirkannya dari
kalimat terakhir pidato ayahnya,
seorang pendekar sejati, yang intinya mengandung makna besar
tentang Sufia itu. Maka, ketika
Gumara selesai dari rumah Ki Lading Ganda, Pita Loka
mencegatnya.
“Dari mana, Guru?” tanyanya. Gumara
terkejut mendapatkan muridnya barusan meloncat dari
semak.
“Saya juga akan bertanya. Mengapa
kamu mendadak ada di sini?” kata Gumara.
“Karena saya yakin, ada hal penting
Pak Guru ke rumah Ki Lading Ganda. Ada sesuatu yang
sedang merisaukan anda?” tanya Pita
Loka.
“Sesungguhnya sulit bagiku untuk
merahasiakannya. Tetapi apa pula gunanya kuterangkan
padamu, Pita Loka?”
“Saya pun tidak ingin mengetahui
lebih jauh, jika itu Pak Gumara anggap suatu rahasia. Hati
anda sedang bercabang sekarang ini,
Guru!”
Gumara menoleh. Dia berusaha
tersenyum: “Kau terlalu banyak tahu, Tapi janganlah risaukan
saya.”
“Itu sudah jelas,” sahut Pita Loka,
“Misalnya Tuan Guru luka atau buta mata dalam pertempuran
disini dengan Guru Lading Ganda, buat
saya tak menjadi masalah. Tapi, misalkan karena
pertempuran itu Tuan Guru mati, itu
menjadi masalah.”
“Siapa yang dirugikan jika saya
mati?” tanya Gumara girang.
Seluruh murid SMA Kumayan,” sahut
Pita Loka. Gumara mendadak kecewa. Dia mengira Pita
Loka akan menjawab dirinyalah yang
rugi jika Gumara mati. Tau-taunya bukan! Sialan!
Keduanya menyusuri jalan setapak
sampai akhirnya berhenti di depan rumah Pita Loka. Ki Putih
Kelabu yang hampir membuang daun
sirihnya ke jendela lalu mundur. Dia menampak puterinya
berjalan beriring dengan Gumara.
Hatinya puas sekali, kendati tak mendengar percakapan itu.
“Maukah tuan berjanji tidak perlu
mengusik tingkah laku Ki Lading Ganda?”
“Kenapa? Apa kau menduga, meramal,
bahwa Ki Lading Ganda sedang melakukan sesuatu?”
tanya Gumara.
“Saya menduga demikian. Saya menduga,
antara Tuan dan dia sedang memperebutkan sesuatu.
Setidaknya akan memperebutkan
sesuatu,” ucap Pita Loka.
“Saya akan pulang ke rumah jika
demikian,” kata Gumara,
“Dan beristirahat. Sebab Tuan kurang
sehat,” ujar Pita Loka,
Grafity, http://admingroup.vndv.com
7
“Yah, begitulahl”
“Jika tuan usik Ki Lading Ganda, anda
akan celaka, Gurul”
“Yah, saya berjanji.”
Gumara memberi salam, lalu berlalu
meninggalkan Pita Loka. Pita Loka lalu masuk ke rumah.
Kemudian didapatinya ayahnya sedang
menusuk-nusuk selembar daun sirih dengan jarum
pentul.
“Ayah percaya mataku yang buta masih
bisa diobati dengan itu!”“ tanya Pita Loka.
“Kebutaan matamu bukan suatu takdir,
Tapi hanya sebuah musibah kecil. Usaha mengobatinya
akan terus kulakukan,” ujar Ki Putih
Kelabu. Maka, ketika magrib tiba,setelah mandi, Pita Loka
mematuhi panggilan ayahnya.
Mata yang tak dapat melihat itu
diperintahkan Ki Putih Kelabu supaya ditutup. Lalu dilapisi
dengan selembar daun sirih yang sudah
ditusuk tusuk jarum pentul. Dan dilapis lagi dengan
perban plester.
Ketika dilihatnya puterinya termenung
dikala malam tiba, Ki Putih Kelabu bertanya: “Apa yang
sedang kau pikirkan, nak?”
“Sebuah renungan yang berbunyi. Jika
seorang awam mati, maka dia tidak meninggalkan suatu
apa. Tapi jika seorang yang berguna
bagi masyarakat mati, maka kematiannya menimbulkan
kerugian.”
ILMU Ki Putih Kelabu ibarat air dalam
kendi. Putih bersih, dan dingin. Dia segera memahami
renungan puterinya itu.
Dia berdiam diri tak banyak bicara.
Belum pernah dia mendengar tutur kisah sepasang manusia
saling mencintai melebihi dahsyatnya
cinta puterinya pada Gumara. Begitupun sebaliknya.
Hal itu sulit untuk diurai kecuali
apabila keduanya telah mendapatkan titik temu, kemudian
kesepakatan, untuk dikawinkan!
Jiwanya menggebu di tengah malam
buta. Serasa dia ingin terlibat dalam derita puterinya. Yaitu
berangkat malam ini juga, mencegah
pertempuran antara Gumara dan Ki Lading Ganda.
Malam begitu gelap, ketika dibukanya
jendela samping. Mau rasanya dia meloncat bagai seekor
harimau pohon menembus kegelapan malam.
Tapi itu akan diketahui sang anak, lalu akan
dicegahnya. Tapi segalanya seperti
terjadi bersamaan! Pita Loka pun membuka daun jendela
kamarnya, bertepatan ayahnya barusan
menutupnya. Pita Loka turun dari jendela, berlambatlambat
memasuki kebun. Dan Ki Putih Kelabu
pun membuka kembali daun jendelanya, cuma
sekedar bisa mengintip. Dia
tercengang sewaktu dilihatnya bagai segumpal asap mirip asap
knalpot motor menyelusupi semak
belukar. Yah, didapatinya anaknya masih memiliki ilmu
menerobos semak yang sangat hebat.
Benarlah itu semua! Bagai kilat Pita
Loka membelah semak belukar dengan kemampuan Ilmu Api
yang diperolehnya dari Ki Surya
Pinanti dahulu. Dia tiba di sisi lembah sebelah barat bagai
segumpal asap terakhir, menyatu
dengan kabut yang merayap.
Pita Loka melihat satu sosok, kendati
dengan sebelah matanya saja, namun sosok itu amat jelas.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
8
Itulah Guru Gumara, yang sedang
mengintai ulah Ki Lading Ganda.
Ki Lading Ganda ketika itu mencoba
memanjat satu tebing curam, dalam usaha separuh berhasil
untuk sampai ke guha di tengah tebing
itu. Tapi begitu tangan si tua itu memegang satu susunan
batu besar, batu-batu itu bergeser
dari tempatnya, lalu runtuhlah semua susunannya, menimpa
kapala Lading Ganda, dan beliau ikut
terseret, merosot dan menggapai kian kemari mencari
pegangan. Untunglah ada akar pohon
kinantu unluk menyambut gapaiannya. Si tua itu
berpegang erat, Terdengarlah hembusan
nafasnya yang bergema ke dalam lembah Suliram yang
tabu itu.
Lembah Suliram sudah lama menjadi
dongeng para pendekar sebagai sebuah lembah yang tabu.
Kecuali bagi mereka yang sudah
setaraf suhu dengan satu ilmu Cahaya yang sulit didapati
kecuali tingkatan wali-wali.
Gumara juga mengikuti ulah Ki Lading
Ganda yang masih juga kembali berusaha memanjati
tebing itu. Kemampuan itu tidak sulit
untuk siapa pun yang menguasai amalan ilmu cicak yang
merambati dinding. Tapi si tua itu
jelas tidak memiliki. Dia hanya memiliki kaberanian, kekuatan,
dan kekerasan hati belaka.
Gumara memperhatikan lagi dengan
berdebar. Ki Lading Ganda memanjati lagi tujuannya
semula, dalam posisi di tengah tebing
menjelang guha. Tangannya menggapai-gapai mencari
pegangan. Sementara itu fajar sudah
menyingsing. Hal itu menggembirakannya, karena tebing
yang dirayapi itu menghadap ke timur.
Mata tua itu berhati-hati meneliti
tiap celah yang dapat menjadikan jari-jarinya untuk menyelusup
bagi pertahanan agar tak jatuh. Tapi
dia teramat malang ketika digapainya susunan batu-batu
besar di mulut guha itu, lagi-lagi
batu itu bergeser dan runtuh menimpa kepalanya, dan bagai
terbang bersama batu-batuan itu
kebawah, Ki Lading Ganda menggapai-gapai, kali ini gagal
berpegang pada akar pohon kinantu,
tapi toh dia berhasil menyergap dahan pohon sari dulur lalu
bergayutan pada salah sebuah
dahannya.
Hembusan nafas dahsyat bergema lagi
di lembah Surilam, menggemakan perasaan puas karena
tak jadi hancur bila membentur
permukaan dibawah itu.
“Orang tua keras hati .,,...,” ucap
Gumara seorang diri.
“Memang,” sahut Pita Loka, yang
mendadak ada di sampingnya, yang membuat Gumara kaget.
Gumara menatap Pita Loka. Dia malu
karena tidak menepati janji. Dan dia lebih malu lagi karena
Pita Loka berkata: “Sejak fajar
menyingsing sekarang ini, saya akan membenci tuan. Tuan tidak
menepati janji!”
Suara itu terjaga perlahan. Gumara
pun mengejarnya dengan menjaga suara berisik agar tak
diketahui si pencari sesuatu, yang
masih bergelayutan di dahan pohon saridulur.
Gumara terus berlari menuruti jejak
Pita Loka yang kembali menuju Kumayan. Tetapi
sekelebatan langkah Pita Loka
menggebubu menciptakan asap menerjang semua semak padat
daunan. Itu mencengangkannya.
Sekiranya Gumara harus memilih sebuah
gunting emas ataukah kemarahan Pita Loka, jurtru
Gumara akan memilih kemarahan gadis
ini. Kemarahannya ini membuktikan cintanya. Kendati
Pita Loka menolak untuk dikawini,
justru hal ini bukan soal penting. Penolakan perkawinan tentu
Grafity, http://admingroup.vndv.com
9
berdasar satu alasan yang tidak akan
menggoyahkan prinsip cinta. Gumara tiba dirumahnya
dengan perasaan plong.
Tapi Pita Loka tiba di rumahnya dalam
keadaan ditunggu sang Ayah. Ki Putih Kelabu
menyergahnya dengan pertanyaan; “Jika
kamu mencintai Gumara Peto Alam, apa salahnya
kalian berdua kawin saja?”
“Kawin?” tanya Pita Loka.
“Ya. Sekiranya kalian berdua kawin,
banyak kenikmatan hidup yang akan kalian dapati. Cinta
yang diwujudkan melalui perkawinan,
tidak akan pernah runtuh karena goncangan alam. Selain
itu, jika perkawinan membuahkan keturunan,
maka keturunan kalian merupakan paduan dari dua
bibit unggul terpuji. Sebab kalian
akan mendapatkan anak - anak yang memiliki hati yang tulus,
otak yang cemerlang dan jiwa
kependekaran yang menghancurkan tiap kebatilan di muka bumi.”
Pita Loka menoleh pada ayahnya, lalu;
“Memang itu konsep hidup yang indah. Tidak saya dengar
di sini, seorang ayah memiliki konsep
seperti ini. Tapi tahukah ayahanda, Guru Gumara itu
memiliki dua muka apabila dia
berhadapan dengan saya, dan Harwati”
Pita Loka meneruskan: “Harwati itu
bagi Guru Gumara adalah titipan khusus almarhum Ki Karat.
Sedangkan Gumara bagi Harwati
merupakan sebuah monumen agung dari cintanya yang
berkobar tanpa memperdulikan aturan
alam maupun moral.
Dia tidak dapat dipersalahkan, karena
dia lebih dulu mencintai Gumara ketimbang
pengetahuannya yang dia terima
kemudian, bahwa Gumara itu satu ayah dengan dia.”
“Jadi adanya Harwati inikah yang
menjadi ganjal penolakan perkawinan?”
“Ya, Ayah,”
“Dia bisa dipanggil, lalu diyakinkan,
bahwa pendiriannya ngawur!”
“Dia mau mati untuk ini. Dia sudah
bergabung dengan Ki Rotan, pemilik ilmu Iblis yang hebat
pula. Kalau dipikir secara dangkal,
memang cuma kematian Harwati yang akan melicinkan
perkawinan saya dengan Guru Gumara.”
“Dan kau takkan mau menempuh cara
ini,” kata Ki Putih Kelabu.
“Itu sudah pasti, Tidak layak untuk
membunuh Harwati. Tidak sehat untuk menaklukkannya, lalu
memaksanya tunduk.
Harwati bukan pantas untuk ditebas
dengan pedang, juga dipaksa takluk dengan senjata,
maupun bujukan kata-kata fasih
seorang bijak. Tidak. Kecuali apabila dari dirinya sendiri
memancar cahaya kebenaran hidup. Tapi
apa yang tarakhir ini mungkin? Rasanya tidak. Saya
tidak akan bicara lagi soal ini. Dan
saya harap, ayah pun jangan bicara lagi soal ini,” ujar Pita
Loka, yang langsung mencopot plester
dan daun sirih dari matanya.
Lalu berkata manis, “Ayah, tolong
buatkan lagi sirih obat mataku.” Ki Putih Kelabu mengambil
selambar daun sirih yang direndamnya
di gelas. Dengan jarum pentul ditusuk-tusukknya
permukaan daun sirih itu. Lalu dia
menempelkan lembaran itu ke mata Pita Loka yang buta. Dan
merekatnya dengan plester.
“Mengobati kebutaanmu ini lebih utama
dari soal apa pun sekarang ini,” ujar Ki Putih Kelabu.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
10
Ketika Pita Loka hari itu berada
dalam kelas, dia dengar di kelas sebelah Guru Gumara sedang
mengajar ilmu Fisika.
Suara Gumara sangat dikenalnya. Dan
dia merasa puas, sebab kedengarannya Guru Gumara
sehat-sehat. Maka ketika jam
istirahat dilihatnya pula sang Guru berwajah segar, kepuasannya
bertambah. Pada gilirannya Gumara
Gumara mengajar di kelas Pita Loka, gadis buta ini
Lebih puas lagi sebab tak tampak ada
ganguan batin. Mengajarnya lancar. Sesekali dia melirik
pada Pita Loka. Dan Pita Loka sekejap
membalas lirikan itu tapi kemudian menundukkan kepala
dengan tersipu.
Pita Loka yakin, Gumara sudah
memaklumi arti benci yang diucapkan di waktu fajar di tepi tebing
Lembah Suliram. Cuma, pada malam
harinya sehabis belajar di kamar menjelang tengah malam,
goncangan batin membuat Pita Loka
curiga. Kecurigaan itu dia taklukkan dengan membaringkan
tubuh.Rupanya perasaan was-was ini
terbukti. Guru Gumara tepat tengah malam menghambur
dari rumah menerobos hutan semak
belukar menuju tebing Lembah Suliram. Dia malah
menuruni lembah itu setelah melihat
usaha Ki Lading Ganda begitu hebatnya untuk memanjat
dan memanjat lagi agar mencapai
lubang pintu guha itu.
Setiba di bawah lembah berbatu miring
terjal itu, Guru Gumara melihat Ki Lading Ganda siap
untuk naik memasuki Guha. Gumara
berseru:
“Tuan Guru!”
MALANG tak dapat dihindari. Begitu
mendengar seruan Gumara dibawah, si tua keras hati ini
menoleh. Dia gamang melihat keadaan
dibawah, dan untuk menjaga keseimbangan dia meraih
tepian batu. Dan batu itu bergeser,
mengikuti berat tubuh Ki Lading Ganda. Batu besar itu
bersama tubuh Ki Lading Ganda
meluncur ke bawah. Detik itu Gumara menghambur meloncat.
Dia manyambar tubuh pendekar tua itu,
lalu dalam keadaan menggendongnya sebuah acuan
membuat dua tubuh itu terlempar ke
pohon mugira yang bercabang banyak.
Ki Lading Ganda sempat menyergap
dahan pohon itu. Juga Gumara menyergap dahan pohon
yang lain. Sehingga kedua-duanya
sudah terpisahkan dari kesatuannya,
“Anak celaka!” gerutu Ki Lading Ganda
menatap Gumara.
“Justru tuan akan menemukan celaka
jika tidak saya samber segera,” jawab Gumara.
“Kenapa tidak kau biarkan aku mati
dicoblos batuan runcing di bawah?”
“Itu semua karena saya menghargai
setiap kelebihan. Tuan Guru memiliki satu kelebihan.
Kelebihan Anda itu cuma anda yang
tahu. Itulah sebabnya saya menyergap Anda sebelum mati
konyol,” ujarGumara.
Tapi Ki Gumara tidak menyukai bantuan
begini. Dia berkata; “Aku tidak ingin berhutang budi
padamu.”
Tanpa diduga dia menghambur ke arah
Gumara dengan tendangan tumit yang menghantam
pelipis mata Gumara. Gumara
terpelanting bagai melayang menuju batu-batuan runcing di
bawah sana itu, tetapi dengan cekatan
dia justru dalam keadaan seperti penari yang telapak
kakinya menyentuh tiap batu runcing
sekedar sentuhan, sampai dia akhirnya melompat ke
dataran rumput di tepi tebing yang
lain.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
11
Begitu dia menghembuskan napas
kelegaan dua kali, seketika sudah muncul dihadapannya Ki
Lading Ganda dalam keadaan memegang
Golok Kembar. Golok itu dipermainkannya dalam posisi
siap memancing pertempuran. Gumara
cukup tabah manghadapi pengkhianatan budi ini. Dia
tegak perkasa sembari mengatur
pernapasan. Seakan dia akan membiarkan tubuhnya ditebas
lawan.
Tapi begitu kilatan golok itu
menghunjam mau menebas lehernya, Gumara berkelebat sedikit
menggeser tubuh, sehingga mata golok
yang licin itu tidak masuk ke daging lengannya yang
menangkis melainkan kepelesetlah mata
golok itu oleh keringat.
Sebagai imbalannya Gumara memutar
badan dan menendang kebelakang, sehingga telapak
kakinya menggedor dada Ki Lading
Ganda. Gedoran itu membuat si tua itu muntah darah! Mujur
baginya tidak terlempar ke kiri,
sebab andaikata itu terjadi sudah pasti tubuhnya akan dinanti
batu-batuan runcing yang mirip tombak
di Lembah Suliram itu.
Muntah darah itu justru terjadi
karena si tua bertahan berdiri menyediakan dadanya terkena
gedoran telapak kaki!
Gumara siap untuk membantai si tua
itu dengan satu tendangan lagi ke arah nyali. Tapi itu dia
lakukan juga, cuma tidak sampai
mengenai. Dia cukup puas melihat Ki Lading Ganda ketakutan.
Ketika dia ulangi sampai tiga kali
tendangan untuk menggedor dada si tua, namun tak mengenai,
dia lagi-lagi puas melihat kerdipan
mata mengernyit dahi pada wajah tua itu, pancaran kecut hati
dan ngeri.
“Untung aku bukan dikendalikan setan
iblis,” ujar Gumara.
“Kenapa kamu tak membunuhku? Padahal
sekarang ini pun kamu bisa. Dibawahku jurang.
Tinggal kamu tendang. Di bawah jurang
ini ada batu-batu runcing. Kenapa, Gumara?”
“Karena tidak ada turunan harimau
yang makan harimau,” ujar Gumara.
“Jika itu dilakukannya, dia mati.”
“Nah, Tuan Gumara sudah tahu
ancamannya. Tapi masih ada satu rahasia lagi mengapa saya
tidak layak membunuh tuan,” ujar
Gumara kemudian.
Kelengahan Gumara dimanfaatkan oleh
Ki Lading Ganda yang menetak kening Gumara, tepat
pada tengah jidat, yang membuat Gumara
terjungkal tapi mujurlah tidak tertusuk batu runcing.
Dia jatuh tepat diantara dua batuan
runcing bagai tombak, dan justru ujung dua batu runcing itu
menjadi tempat pegangannya.
Gumara tahu keningnya luka oleh
tetakan golok Ki Lading Ganda. Darah mengucur membasahi
kemeja putihnya. Namun dia bertahan
terus memegang kedua ujung batu runcing itu. Dia
merasa akan pingsan. Tapi dia musti
menunggu sampai darah itu berhenti mengalir, barulah
menyerahkan diri pada nasib.
Sementara itu Ki Lading Ganda sudah
memanjati lagi tebing Lembah Suliram dengan tujuan
mantap akan memasuki guha itu. Gumara
pun menghentikan seluruh perjalanan darahnya, satu
ilmu yang sukar sebab hal ini berarti
menghentikan gerak klep jantung.
Ilmu mati-suri ini sulit. Tapi
pendekar yang cekatan, selalu menaruhkan sedikit gula di liang
telinganya. Dan itu sudah
dipersiapkan Gumara sebelum menuju sini.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
12
Gumara berjuang untuk mengendalikan
waktu. Yang penting luka di jidatnya tak mengucurkan
darah lagi. Ketika darah yang semula
mengucur dari kening itu kemudian berhenti, Gumara
membiarkan dirinya dalam keadaan
lemas, lemas dan makin lemas. Lalu dia ambruk ke bawah.
Dia telah mati suri. Benarlah, ketika
dia satu jam lebih menjalani kematian suri itu, beberapa ekor
semut mengrubungi telinganya. Telinga
yang berisi gula itu menjadi rebutan semut. Beberapa
diantaranya,mencari cara mudah dengan
menggigit kulit Gumara. Inilah yang menggerakkan
kembali aliran darah yang terhenti.
Rasa geli di liang telinga, membangunkan Gumara dari matisurinya!
Matahari sudah akan terbit. Gumara
tergesa-gesa meninggalkan sela bebatuan itu. Ketika dia
melihat ke dinding guha tebing
Suliram, dia tak melihat lagi Ki Lading Ganda memanjat.
“Jika dia berhasil masuk, dia akan
ditelan bencana, Biarlah,” ucap Gumara dalam hati, lalu
meninggalkan Lembah Suliram. Dia
harus cepat tiba kembali di Kumayan, di rumahnya. Dan
setiba di rumah. dia berkaca. Goresan
luka sedikit pada kening dia urut pelahan dengan daun
sirih yang dihancurkan. Bekas ada,
namun sedikit. Setelah dilihatnya Alif menyediakan sarapan
pagi. Gumara kembali
memberitahukannya bahwa dia berpuasa.
Begitu habis cuci muka dan menyiram
tubuhnya dengan sari bunga mawar, Gumara siap untuk
pergi mengajar. Ketika itulah pintu
diketuk. dan begitu dilihatnya, ternyata tamu itu Pita Loka.
“Nyenyak tidur Pak Guru semalam,
Pak?”
“Nyenyak,” sahut Gumara.
“Saya mampir ke sini untuk
menyampaikan amanat ayah”, kata Pita loka. “Tetapi sekalian
menyelidiki, apakah bapak tadi malam
pergi lagi mencegah Ki Lading Ganda. Pak Guru semalam
tak keluar rumah kan?”
“Tanyakan saja pada Alif,” ujar
Gumara menoleh pada Alif.
Alif nenjelaskan: “Beliau tidur
nyenyak dan ngorok semalam suntuk.”
“Kamu puas, Pita Loka?” tanya Gumara.
“Puas, Guru!”
“Coba saya ingin dengar amanat
ayahmu,” ujar Gumara.
Karena ada Alif, Pita Loka hanya
menuliskannya saja di halaman buku tulisnya: “Bapak tadi
malam mendengar wisik, yaitu bisikan
angin, dimana dia mendengar kalimat ini. Sesungguhnya
ada sesuatu di Lembah Suliram
........,” setelah menulis itu Pita loka melanjutkan dengan kata:
“Apa makna kalimat itu?”
“Itu adalah kalimat inti kedua dari
susunan Kitab Tujuh,” ujar Gumara.. Gumara mengajak Pita
Loka untuk melihat Kitab Tujuh itu,
tapi Pita Loka menolak: “Bukan hak siapa pun untuk memiliki
dan membacanya, kecuali Anda, Guru!”
“Rupanya kamu mengetahui sumpah tabu
kitab itu,” ujar Gumara.
“Bukan! Bukan! Saya manusia biasa.
Tak ada yang tabu di muka bumi ini kecuali 10 perkara
besar. Tapi apa yang ayah tanyakan
pada Guru, belum Anda jawab, Guru!”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
13
“Baik. ini jawabannya, dan ikhlas
menjawabnya: Itu adalah kalimat yang tertera dalam Kitab
Kesatu dari tujuh kitab itu.
Sepertinya kalimat itu pemberitahuan. Tapi sebetulnya larangan
halus. Maka selama ini Lembah Suliram
tabu kecuali bagi pendekar yang sudah memiliki ilmu
Cahaya, itu sebabnya saya mengejar Ki
Lading Ganda. Tapi dia bandel. Terserah padanya untuk
mengalami kasulitan dahsyat!”
Pita Loka lalu melihat lengan Guru
Gumara bekas lecet, kemudian pada keningnya. Dia lalu
curiga dan langsung bertanya:
“Mestikah Guru merahasiakan, lalu
berdusta pada saya bahwa tadi malam tuan ke sana , dan
mengalami sedikit perkelahian dengan
beliau Ki Lading Ganda?”
“Saya tahu kau baru melihat bekas
pada keningku,” ujar Gumara.
“Saya makin benci pada tuan,” ujar
Pita Loka, lalu berpamitan. Ketika tiba di rumah dia dalam
keadaan berwajah suram. Ki Putih Kelabu
bertanya: “Kalian baru cekcok, Pita Loka?”
“Tidak. Saya hanya benci padanya,
ayah. Mengenai wisik yang ayah dengar itu. menurut Guru
Gumara Peto Alam, adalah isyarat
larangan ke Lembah Suliram. Itu tertera di Kitab Kesatu dari
tujuh kitab sakti itu. Jadi wisik itu
anggap saja godaan iblis.”
“Sampaikan terima kasihku pada
Gumara. Hampir saja ayah ke sana ,” ujar Ki Putih Kelabu.
Tapi, justru aneh, di dalam kelas,
ketika giliran Guru Gumara mengajar, Pita Loka batal
melaksanakan rencananya untuk
bermuka-masam pada Guru Gumara. Dia malahan
memperlihatkan wajah kekaguman
sembari mendengarkan kisah perjuangan rakyat Afrika
melawan orang kulit putih. Sebuah
keterangan mengesankan adalah ucapan sang Guru: “Sebuah
tahayul kadangkala berguna bagi
gerakan kemerdekaan Afrika. Misalnya tahayul bahwa orang
kulit putih yang sudah hampir mati,
namun bisa ditolong, harus dibunuh.”
Ki Lading Ganda seperti orang
kebingungan. Dia mundar-mandir dalam guha itu. Kalau dia
melangkah ke arah selatan, dia
terbentur menemui dinding buta. Kalau dia melangkah ke utara,
dia terbentur dinding buta. Dan jika
dia melangkah ke barat, dia lagi-lagi terbentur dinding buta.
Sewaktu dia melangkah ke arah timur,
dia juga menghadap dinding buta. Padahal itu pintu guha
itu, yang terbuka lebar. Saking
bingungnya, Ki Lading Ganda menjerit lantang. Suaranya tentu
saja keluar menerobos pintu guha itu,
mengalir ke Lembah Suliram. Tengah hari bolong waktu
itu!
Ki Lading Ganda sudah untuk ke sekian
kalinya mundar-mandir menghadapi empat dinding buta
sejak masuk ke guha itu, kecewa tidak
menemukan sesuatu. Dia lantas menjerit lagi:
“Bajingaaaaaaann!”
Suara itu kedengaran sampai ke bawah,
ke dasar Lembah Suliram.
Padahal ketika itu. dua manusia di
dasar lembah sedang kehilangan arah peta serta tujuan. Yang
satu wanita. Yangsatu pria.
Dua-duanya buntung, Yang pria
memegang tongkat, menoleh lagi ke pintu guha setelah
mendengar lagi:
“Bajingaaaaaaaaaannnnnl”
“Ki Harwati, kita berhenti dulu di
sini,” ujar pria tua bertongkat dan satu tangannya buntung.
“Jangan layani, Ki Rotan,” ucap
Harwati.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
14
“Mungkin dalam guha itu ada penuntut
ilmu, Kita berangkat kesana, lalu mendapatkan ilmunya,
kemudian dia kita bunuh,” ujar Ki
Rotan.
“Supaya tuan Guru tahu, kita mungkin
tersesat ke Lembah Keramat. Yah, mungkin inilah yang
Lembah Suliram. juga disebut ayahku
Lambah Tabu bagi para penuntut ilmu,” ujar Ki Harwati.
Terdengar lagi gema seruan:
“Bajingaaaaaannnnnn!”
Ki Rotan menoleh ke arah sana. Dia
berkata tegas: “Jika kamu tidak ikut aku ke sana, kita
bubarkan persekutuan kita hingga
disini,”
“Tapi anda akan celaka sebagaimana
layaknya saya. Lihatlah batu-batuan runcing sekitar sini,
bagaikan tombak-tombak yang
memperingatkan. Sebetulnya kita sudah mujur mendengar teriak
orang kebingungan di dalam guha itu.
Kita tadi sudah kehilangan peta. Jika betul ini Lembah
Suliram, kita tinggal mencari celah
sempit lembah ini, memasang garis lurus ke utara sana dan
celah sempit, akan sampai ke desaku
Kumayan!”
“Kumayan lagi! Kumayan lagi!” gerutu
Ki Rotan, “Tujuan kita ilmu! Bukan pulang ke desa
semata-mata.”
“Aku bertujuan pulang ke desa. Aku
rindu desaku. Aku rindu berziarah ke kuburan ayahku. Aku
rindu bertemu muka dengan pria yang
aku cintai, Guru Gumara. Pendeknya, sejak kita berguru
pada Guru Kembar itu, kerinduan dan
cintaku berkobar lagi, Ki Rotan!”
“Mereka berdua menipumu dengan
menyatakan bahwa Guru Gumara itu bukan anak dan air
mani Ki Karat. Mereka menipumu bahwa
Gumara itu anak angkat Ki Karat! Aku lebih tahu semua
silsilahnya. Bahwa memang benar Ki
Gumara itu anak haram Ki Karat. Sudah ditetapkan dalam
Buku Resi, bahwa ilmu yang didapatkan
Ki Karat setelah dia menyetubuhi wanita itu dan lahirnya
Gumara hanya bertahan seumur 33 tahun
saja. Jika suatu hari Ki Karat didatangi Peto Alam,
tepat ketika anak itu berusia 33
tahun, Ki Karat akan hidup sekarat. Kemudian mati.
Ki Karat satu-satunya harimau Kumayan
yang mengalami hidup dua kali saja, kemudian dia
mati”. Ki Harwati tercengang beberapa
saat. Dia masih meyakini keterangan Guru Kembar,
bahwa Ki Karat bukan ayah kandung
Guru Gumara, melainkan ayah angkat.
“Kita berpisah di sini kalau begitu,
Ki Rotan”, ujar Ki Harwati.
Ki Rotan jadi berang, lalu menyabet
tubuh Ki Harwati, namun tidak mengenai, sebab Ki Harwati
secepat kilat meloncat ke udara dan
membuat jarak berdiri jadi menjauh.
“Pembunuh!” seru Ki Hawati.
“Untuk memiliki kekuatan yang lebih
unggul, pembunuhan wajar dalam dunia persilatan”. kata Ki
Karat.
“Tapi anda membunuh dua manusia
kembar yang mengajarkan inti Kitab Tujuh pada anda. Maka
kita sampai di sini!. Dan kini tuan
mau belajar lagi pada orang dalam guha itu, dengan rencana
membunuh. Alangkah busuk hati tuan!”
“Karena ilmuku ilmu Seratus, Supaya
kamu tahu. Aku musti membunuh seratus pendekar, baru
ilmuku sempurna”, kata Ki Karat.
Terdengar lagi seruan dari mulut guha
di tengah tebing lembah itu: “Bajingaaaaaaaaan! Kitab
Grafity, http://admingroup.vndv.com
15
Tujuh Bajingannnn!”.
Suara itu jelas. Baik oleh telinga Ki
Harwati, maupun telinga Ki Karat. Ucapan tarakhirnya itu
membuat Ki Harwati menoleh pada Ki
Karat.
“Kau dengar sendiri”, kata Ki Karat,
“Dia dalam uji coba Kitab Tujuh itu . . . dan mungkin saja
dialah Gumara”.
Mungkin saja Gumara”, ulang Ki Rotan
pada Harwati. Hal ini menggoyahkan batin Harwati. Lalu
dii dengarnya lagi teriakan dari
mulut guha itu;
“Bajiingannnn! KitabTujuh
bajiingannnn!”
Ki Rotan menatap mata Harwati. Dia
berkata; “Kita tidak boleh menunggu sampai Ki Gumara jadi
gila. Kita harus ke sana segera,
membantu dia!”
Semangat Harwati sudah makin
menggebu.
“Tapi, apakah itu pasti suara
teriakan Gumara, Ki Rotan?” tanyanya.
“Siapa lagi yang memiliki Kitab Tujuh
selain dia. Dia itu sekarang dalam kesetanan atau
kebingungan”, Kata Ki Rotan.
“Baik kalau begitu. Asalkan tuan
berjanji, jika ilmu ini sudah kita dapatkan darinya, jangan
jadikan dia korban yang tuan bunuh”,
kata Harwati.
“Dia tentu harus dibedakan dengan Ki
Kembar itu”, ujar Ki Rotan.
Harwati lalu mendekat guru tua ilmu
Seratus itu, dan mengikuti jejak langkahnya. Memang
menemui sedikit kesukaran setelah
batu-batu runcing yang berbahaya itu mulai menjadi
penghalang.
Ki Rotan menoleh kebelakang melihat
Ki Harwati jauh tertinggal. Lalu dia berkata: “Masih
ingatkah kamu silat Belalang?”
“Itu silat anak kecil. Ketika kecil
ayah mengajarkan padaku!”
“Namun itu bila kau gunakan sekarang.
ilmu yang kecil biasanya diperlukan untuk mendapatkan
ilmu yang besar”, ujar Ki Rotan,
Ki Harwati mulai melakukan
konsentrasi untuk loncatan demi loncatan. Dan dia pun akhirnya
meloncat dengan telapak kaki menginjak
sedetik demi sedetik pada tiap ujung batu tombak di
lembah itu.
Barulah menjelang sore Ki Rotan dan
Ki Harwati tiba pada tempat yang tepat untuk memanjati
dinding tebing ke arah mulut guha di
atas. Dari situ masih terdengar teriak yang makin parau:
“Buku Bajingannn!”
“Sudah tak perlu diragukan lagi, itu
teriakan Gumara”, ujar Ki Rotan.
“Kini saya tambah yakin, Guru!”,
tambah Harwati.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
16
Dan bagaikan cicak merambat, perlahan
dan pasti, kedua pendekar memanjati dinding Lembah
Surilam. Matahari menyinari tubuh
yang memanjat itu. Dan matahari yang sama itu pula
menyinari wajah Pita Loka, yang
berseri-seri senja itu, menyambut kedatangan Guru Gumara.
Guru itu membawa seperangkat
buku-buku. Dia minta bertemu sejenak dengan Ki Putih Kelabu.
Gumara berkata pada orangtua itu:
“Saya menemui tuan untuk minta ijin merunding satu soal
dengan Pita Loka”. Ki Putih Kelabu
memanggil Pita Loka dan memberitahukan hasrat tamunya.
“Saya mungkin besok berhalangan
mengajar, Maukah kamu menyalin pelajaran dari catatan saya
ini di papan tulis?” ujar sang Guru.
“Saya bersedia karena saya murid Pak
Guru”, jawab Pita Loka.
“Kamu cek lebih dulu di kantor dewan
guru, di kelas-kelas mana dan pada jam mana saya
mengajar. Lalu pinjamkan catatan ini
pada Ketua Kelas masing-masing”.
“Baik, Guru”.
“Tentu kamu tahu saya mau kemana,
Pita Loka”, ujar Gumara.
“Tuan Guru rupanya begitu terganggu
dengan ulah Ki Lading Ganda “
“Isterinya sendiri merisaukan
kepergiannya. Saya hanya ingin mencegah usahanya yang hanya
akan sia - sia saja”, kata Gumara.
“Oh ya. Guru adalah ahli takwil
mimpi. Saya tadi malam bermimpi, ada dua semut atau lalat . . .
yah katakanlah lalat, sebesar
raksasa, yang memanjat ke mulut guha itu”, kata Pita Loka.
Mendengar berita mimpi itu, Gumara
diam sejenak. Mendadak semangatnya berkobar, karena
dia justru menerima wisik bahwa Ki
Rotan dan seorang pengikutnya dengan memanjat dinding
tebing.
Semangat di wajah Gumara itu
merisaukan Pita Loka yang lantas menerka dengan rasa cemburu:
“Apakah tuan Guru bersemangat sampai
meninggalkan tugas mengajar karena didorong oleh
membela seseorang yang dekat dengan
hati anda?”
“Maksud kamu?”
“Saya menduga salah seorang dari
tamsil dua ekor lalat besar itu adalah Harwati”, kata Pita Loka.
Gumara langsung terperangah. Tuduhan
itu didorong oleh motivasi, dan dia menyadari hal ini.
“Taruhlah dia Harwati, bukankah saya
wajib mencegahnya karena aku dan dia satu titisan
darah?” ujar Gumara.
Pita Loka hanya berdiam. Dia merasa
lidahnya kelu. Padahal dia ingin mengumbar
kejengkelannya mendengar pengakuan
tak langsung ini! Setelah Gumara berpamitan pada Ki
Putih Kelabu, Pita Loka lalu
menyatakan dengan manja pada ayahnya: “Tempelkan lagi daun sirih
tanya itu, ke mataku, ayah. Tak layak
bila seorang gadis cantik disertai kebutaan”.
Ketika sang ayah menempelkan sirih ke
mata yang buta itu, di mata yang buta tampak airmata
bercucuran, Beliau bertanya: “Kenapa
kau menangis?”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
17
Pertanyaan ayahnya itu malahan
membuat Pita Loka semakin tersedu-sedu.
Ki Putih Kelabu adalah ayah yang
bijaksana, lalu berkata: “Maafkan jika pertanyaan ayah
melukaimu, nak”.
“Apakah ayah yakin kebutaanku akan
sembuh?” tanya Pita Loka.
“Yang penting usaha. Jika yang kau
tanya, apakah air akan bisa naik ke hulu? Itu akan kujawab
tidak. Tapi soal penyakit, semua
penyakit ada obatnya. Bahkan penyakit jika tergigit bisa ular,
atau tergores kuku jari seseorang
yang kukunya itu mengandung bisa”.
“Kuku Gumara memang berbisa, ayah.
Kukunya inilah penyebab kebutaan mataku”, kata Pita
Loka.
“Mungkin juga, jika benar dalam kuku
Gumara ada bisa, kebutaanmu akan sembuh jika kalian
berdua kawin”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Kawin? Dengan Gumara? Cis, lebih
baik aku terus dalam kebutaan daripada merelakan kawin
dengan dia hanya berharap butaku
sembuh. Ayah musti tahu, batin Gumara adalah batin
manusia retak jiwa. Dalam jiwanya ada
kembaran perasaan terhadap dua wanita: aku, dan
Harwati. Itu ayah pun sudah tahu.
Orang semacam ini jika menjadi suami, hanya akan
mencelakakan hari depanku. Setamat
SMA ini, dengan modal keberanian, aku akan ke kota . Dari
kota aku akan menuju Jakarta . Desa
terlalu kecil bagiku, sehingga telingaku mendengar orangorang
bergunjing mengenai kebutaanku.
Sayang sakali, penduduk desa Kumayan ini masih
kagum pada pendekar-pendekar sakti.
Padahal apalah arti kependekaran di abad ini
dibandingkan dengan seorang Thomas
Alva Edison yang menemukan listrik. Atau apalah artinya
pendekar abad duapuluh ini
dibandingkan dengan Wagner, Einstein ahli fisika itu”? Katakanlah
aku cemburu Pak Guru besok bolos
karena dia mau menyelamatkan Harwati! Tapi mungkin juga
karena saya tidak suka dia memasuki
lagi ilmu zaman silam itu yang tak ada kepentingannya
dengan zaman sekarang ini. Pita Loka
menatap ayahnya agar ayahnya sakit hati.
“Untuk sementara, kau benar. Jika
listrik sekedar untuk alat penerangan, dulu, kami, di abad
silam, tetap juga terang tanpa
listrik. Itu hanya alat, anakku! Jika peluru dipakai untuk
membunuh, di kawasan Cina sana,
menurut guruku, orang punya pisau yang kecepatannya
melebihi peluru. Lebih hebat lagi
apabila peperangan itu dengan Ilmu Cahaya!”
“Itu dulu! Kini pun orang
merencanakan perang dengan cahaya!”
“Tapi perang yang sekarang ini,
dengan cahaya pemusnah itu, ikut pula membunuh manusiamanusia
tak berdosa. Tapi dulu ilmu Cahaya
hanya membunuh lawan-lawan tertentu. Yang
binasa mungkin sepuluh orang saja
dengan para ketuanya. Tapi kini, jika terjadi Perang Cahaya,
jutaan orang bisa musnah, bukan?”
“Yah, ayah benar”, kata Pita Loka.
“Manusia membutuhkan pimpinan. Dunia,
pelbagai negeri, membutuhkan pimpinan. Negeri ibarat
sebuah sekolah. Seperti sekolah
membutuhkan Guru, juga sebuah negeri membutuhkan Guru.
Guru mendasarkan diri pada ilmu,
Begitupun negeri, selain butuh Guru butuh pula ilmu. Kau
pernah menceritakan kekagumanmu pada
ilmu tahayul bangsa Afrika dalam melawan bangsa
kulit putih. Pendeknya, kata
ceritamu, tahayul itu dimanfaatkan guru-guru Afrika itu malawan
kezaliman bangsa kulit putih. Jika
bertemu bangsa kulit putih, bunuhlah dia sampai mampus, dan
mampuskan sekalian dia sekalipun
dalam keadaan masih bisa hidup ketika itu. Tapi menurut
hematku, itu cara yang salah untuk
melawan kekejaman orang kulit putih, Tahayul memang
Grafity, http://admingroup.vndv.com
18
menjadi ilmu. Tapi yang lebih utama
dari membunuh orang kulit putih adalah tugas ilmu dan
para guru, mengajarkan bangsa kulit
putih itu supaya merubah caranya berfikir agar tidak
berlaku kejam pada orang kulit hitam.
Katakan pada gurumu Gumara Peto Alam, agar dia tidak
terlalu kagum pada orang Afrika yang
bersemboyan “bunuh mati si kulit putih”. Dia seorang
guru. Seorang guru harus mengajarkan
yang betul, bukannya yang mudah, nak!”
“Terima kasih, ayah. Ayah telah
mengisi dalam jiwaku kebencian pada pribadi Gumara, guruku.
Ha! apapun yang jelek-jelek dari
dirinya saya butuhkan sekarang agar saya tidak mencintainya
lagi”, kata Pita Loka.
“Wah, itu kau salah tafsir. Gumara
itu lebih banyak kebaikannya dari kejelekannya. Suatu ketika
nanti, mungkin waktu itu aku sudah
mati . . . kau akan berkata : Memang Gumara Peto Alam
layak menjadi suamiku!”.
“Ayah! Jangan hidupkan kambali api
cinta itu ! Aku buta! Aku bukan gadis cantik lagi! Aku butuh
bahan kebencian, bukan api cinta!”
lalu Pita Loka melarikan diri masuk kamar. Mulanya malam
itu dia tidak akan tidur. Tetapi
ketika dia sedang tidur, dia bermimpi. Harwati masuk ka dalam
kamarnya. Tangannya buntung. Dia
berkata: “Pita Loka, kita sama - sama cacat. Tapi kamu lebih
berhak memiliki Gumara daripada
diriku”.
Dalam mimpi itu Pita Loka sangat
bahagia. Tapi ketika dia terbangun segera dia jengkel! Dia
langsung membuka jendela. Dan
meloncat membelah semak-semak di malam buta itu . . ..
Rupanya Ki Putih Kelabu mendengar
ketika Pita Loka melompat jendela. Dan serta merta
orangtua ini menghambur masuk kebun
dengan lompatan yang lebih beringas disertai auman
harimau.
Tapi Pita Loka bukannya langsung ke
Lembah Suliram. Dia ke rumah Gumara terlebih dahulu.
Begitu Alif memberitahu Gumara tidur,
dia tidak percaya.
“Dengarlah suara ngoroknya itu”, ujar
Alif menunjuk kamar Gumara.
Memang kedengaran suara orang ngorok.
Tapi Pita Loka malahan yakin, yang mengorok itu
adalah raga halus Gumara. Raga kasar
Gumara pasti pergi. Pita Loka meloncati tangga rumah
panggung itu, menyelusup cepat
disela-sela pohonan jeruk dan bagaikan bola asap dia
membelah hutan belantara. Tapi langkahnya
terhenti karena dia kena sergah auman harimau.
Harimau itu amat besar, menggeram
dengan sikap mau menerkam, Pita Loka menghambur ke
kanan, tapi harimau itu sudah
terlebih dahulu menerjang pohon yang roboh seketika, lalu
menghalangi Pita Loka.
“Jangan halangi saya!” seru Pita Loka
menghambur ke kiri, tetapi tubuhnya merasakan lecutan
ekor harimau itu sehingga dia jatuh
jungkir balik. Tiba-tiba Pita Loka menyadari, Dia berkata
pada harimau itu: “Baiklah, ayah.
Saya akan pulang”.
Pita Loka melangkah lesu, lalu
harimau itu berlalu menghilang dibalik semak belukar, Pita Loka
melangkah terpincang – pincang
memasuki pekarangan rumahnya. Dia mengetuk pintu untuk
menguji dugaannya. Tapi dia juga jadi
keheranan ketika yang dilihatnya membuka pintu adalah
ayahnya, dalam pakaian kemeja Cina
dan celana batik,
“Telapak tangan ayah kotor”, kata
Pita Loka menyindir,
“Apakah tadi ayahanda tidur atau
barusan menggali tanah? Kaki ayah pun ada bekas sisa
rumputan”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
19
“Marilah kita berterus terang”, ujar
Ki Putih Kelabu.
“Tak usah dijelaskan lagi. Saya tahu
siapa yang menghalangi saya ketika menuju Lembah
Suliram. Pohon itu rubuh. Lalu ada
ekor binatang menyabet pahaku ini hingga aku jatuh jungkir
balik”.
“Mari ayah urut pahamu yang keseleo
itu”, ujar Ki Putih Kelabu. Warna itu sebesar lengan
membekas pada dua paha Pita Loka.
Dengan ujung jempol jari dimasukkan
ke langit-langit mulut, itulah cara mengurut yang terbaik.
“Terlalu keras pukulan ekor harimau
itu”, ujar Pita Loka mencoba melangkahkan kaki yang masih
sedikit pincang,
“Mungkin dia bermaksud baik
menghalangi perjalananku!”,
“Memang betul. Andaikata harimau tadi
itu seorang ayah, lalu aku ini anak harimau, maka
harimau tadi akan menggendong saya
dengan cara yang khas. Menggigit tengkukku, lalu
demikianlah keadaanku sampai ke
rumah, ibarat induk kucing memindahkan sarang bagi
anaknya. Bukan begitu. ayah?”
“Marilah ayah berterus terang”, ujar
Ki Putih Kelabu.
“Tak usah nyatakan segala yang sudah
diketahui dua belah pihak. Itu harinya akan melukai salah
satu fihak. Saya akan tidur dan tidak
akan meloncat lagi dari jendela. Percuma itu saya lakukan
lagi, karena nanti toh saya akan
dicegat oleh harimau tua itu. Dan dengan cintanya yang agung
dia sabet pahaku ini dengan ekornya”,
dengan tersenyum Pita Loka memasuki kamarnya.
Ki Putih Kelabu hanya bisa
terperangah. Dia duduk berayun-ayun di kursi goyang. Sampai pagi
tiba dia ketiduran di kursi goyang
itu. Dan ketika akan berangkat ke sekolah, muncullah seorang
tamu tak dikenal.
“Saya ingin berjumpa dengan Ki Putih
Kelabu”, ujar tamu itu.
“Anda siapa?”
“Saya Dasa Laksana”, ujar tamu itu.
“Dasa Laksana ?” Pita Loka
tercengang, mencoba mengingat dan mencocokkan dengan wajah
tamu itu.
“Saya Dasa Laksana”, tegas tamu itu.
“Apa itu bukan nama samaran?”, tanya
Pita Loka.
“Bukan. Itulah nama asli saya”, kata
Dasa Laksana.
“Tapi apa anda ingat, bahwa anda
pernah mengembara ke Guha Lebah dalam hidup anda?”
Guha Lebah? Saya tak tahu itu!” ujar
Dasa Laksana.
Lelaki itu gagah, memakai baju dan
kemeja orang kota , bersepatu berkilat, kemudian diberi ijin
Grafity, http://admingroup.vndv.com
20
masuk oleh Pita Loka. Pita Loka
meninggalkan rumah menuju ke saholah, sementara tamu itu
menyatakan maksudnya: “Saya ingin
bertemu dengan dik Pita Loka, Pak”.
“Lho itu yang tadi tuan temui
pertama, itu Pita Loka”, ujar Ki Putih Kelabu keheranan.
Ki Putih Kelabu adalah seorang
pendekar tua yang amat santun. Kedatangan tamu yang tidak
dikenal itu dilayaninya dengan ramah.
Dia tidak pernah mengenal nama Dasa Laksana sebelum
ini. Juga dia tidak pernah melihat
seumur hidupnya seorang lelaki ganteng selain dari Gumara.
Yang dilihatnya sekarang ini justru
lelaki yang lebih ganteng lagi dari Gumara.
Tamu ini pun seorang lelaki yang
rendah hati. Dia mengeluh;
“Rupanya di Kumayan ini tidak ada
penginapan”.
“Penginapan ada, nak Dasa Laksana.
Tapi mungkin anak tidak tahu”, ujar Ki Dasa Laksana.
“Tapi saya tidak melihatnya”, ujar
pemuda ganteng itu.
“Mungkin karena tidak memakai papan
merek”.
“Seseorang memberitahu pada saya,
bahwa Bapak adalah seorang guru”.
“Oh, itu berlebihan. Saya cuma petani
biasa. Saya tak punya ilmu apa-apa”.
“Apakah karena itu saya salah
alamat?. Atau orang itu menipu saya?”
“Siapa orang yang anak muda
maksudkan? Maksud saya yang memberitahu bahwa saya ini
seorang Guru?”
“Dia tidak memberitahukan namanya.
Tapi disebuah warung di tepi jalan dia memberitahukan
pada saya; Jika tuan ingin ke desa
Lembah Gading, harus melewati Kumayan lebih dahulu.
Temuilah Guru Putih Kelabu. Tadi pun
seorang bocah yang menunjukkan rumah Guru ini,
memberitahu pada saya bahwa Tuan
adalah seorang Guru”.
Ki Putih Kelabu mencoba membatin.
Untuk mengetahui niat tamunya ini. Apa dia punya niat
busuk atau baik. Ternyata batinnya
tak memberi getaran suatu apa. Jadi orang ini masih
merupakan tamu misterius.
“Kalau begitu nyatakan maksud anda”,
kata Ki Putih Kelabu,
“Saya ingin belajar pada Guru”.
Ki Putih Kelabu membatin lagi. Juga
tak ada getaran batin. Hal ini menambah kebingungan
pendekar tua itu.
“Sebaiknya anak muda meneruskan
perjalanan ke Lembah Gading itu. Mungkin di sanalah anak
muda akan menemukan Guru yang
dimaksud”.
“Tidak”, ucap Dasa Laksana mantap,
“Hanya pada anda saya ingin belajar”. Batin Ki Putih Kelabu
bergetar kencang. Dia ingin diyakini
batinnya, bahwa tamu ini bermaksud baik. Perasaan lega di
hati luputnya rasa bingung membuat Ki
Putih Kelabu berada dalam kemantapan.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
21
Jika kamu sungguh-sungguh, syaratnya
harus meninggalkan hidup mewah dan semua yang
berbau kemewahan. Mungkin hal itu
berat bagi anda, nak!”
“Tidak”“ kata Dasa Laksana, dengan
serta merta mencopot jaketnya, sehingga dia mengenakan
pakaian kaos oblong saja. Dia
ditertawakan oleh sang Guru.
“Juga sepatu mahal itu anda copot?”
tanya Ki Putih Kelabu.
“Apa boleh buat. Memang ini sepatu
mewah. Biarpun saperti sepatu basket saja, sepatu ini
mungkin lambang kemewahan. Saya akan
mematuhi seluruh persyaratan”.
“Pernah berpuasa?”
“Tentu, tuan Guru”.
“Tapi ini semacam puasa tirakatan.
Siang malam tidak makan minum dan tidak tidur. Lagi pula,
tempatnya tidak di sini. Kita harus
jalan kaki menuju Pancuran Putih dan Ngarai Kelabu. Untuk
pergi ke sana , akan anda jumpai berbagai
rintangan. Tapi karena bersama saya, maka saya
sedia membantu. Saya tidak bisa
menurunkan ilmu saya pada anak perempuan saya. Juga
kepada seseorang yang saya sukai.
Saya baru berhak menurunkan ilmu saya kepada orang yang
menyukai saya. Apakah anda menyukai
saya?”
“Tentu, tuan Guru, Begitu saya
melihat wajah anda, saya langsung menyukai tuan!”
“Baik, tinggalkan koper anda di kamar
tamu sana itu. Anda cuma akan mengenakan kain sarung
dan tanpa alas kaki. Saya bahagia
menemukan seorang yang patuh seperti anak muda”, ujar Ki
Putih Kelabu.
Dasa Laksana membawa kopernya masuk
ke sebuah kamar depan. Lalu dia mengikuti langkah Ki
Putih Kelabu yang mengambil jalan
setapak di belakang rumah. Seketika keduanya sudah
memasuki semak belukar yang pantang
dilalui orang lain selain Ki Putih Kelabu dan pewaris
ilmunya.
Pita Loka sejak kecil sudah dididik
memantangi jalan setapak yang banyak liku rahasianya ini.
Apalagi ada lorong rahasia di bawah
tanah yang begitu rupa, sehingga mata biasa sukar untuk
mengetahui jalan masuknya.
“Inilah Ngarai Kelabu itu. Dan itulah
Pancuran Putih”. Kata Ki Putih Kelabu setelah tiba di tempat
itu siang hari. Yang anehnya, tak ada
rintangan dalam perjalanan bawah tanah itu, di mana
seharusnya akan menemui segala
binatang tanah yang akan teruji keberaniannya sebagai calon
pewaris, Ki Putih Kelabu memanjat
sebatang pohon kelapa kuning,
Dua buah kelapa ranum dipetiknya,
lalu berkata: “Ini modal untuk puasa tirakatan. nak”.
Harwati dengan seregap berdiri, dan
dahan kenyal membuat dia terjungkal. Tapi dengan seregap
pula dia manfaatkan kekenyalan dahan
pohon tembiru itu sebagai alat pendorong untuk
meloncat ke atas. Dia meloncat,
tetapi Gumara sudah keburu menyambar ujung kakinya. Hingga
jatuh membal lagi gadis itu, dan
dicekal terus oleh Gumara.
“Lepaskan cekalanmu itu, babi!” maki
Harwati.
Namun Gumara tidak melepasnya.
Harwati tetap meronta menggeliat, lalu dia menggunakan
kesempatan baik untuk menghantam
kepala Gumara pula dengan pukulan sisi telapak tangan.
Pukulan itu cukup telak.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
22
Gumara puyeng seketika itu juga!
Lembah itu bagai bergoyang dalam pandangannya. Sementara
itu dilihatnya Harwati sudah hinggap
disatu akar besar di dinding tebing.
Keseimbangan Gumara hancur karena
konsentrasinya cuma tertuju pada keselamatan Harwati.
Dia jatuh dalam keadaan melayang
separuh tak sadar, tapi sempat mencari keseimbangan ketika
dilihatnya batu-batu berbentuk
tombak. Dia membalik, dan menyerahkan punggungnya saja
untuk kena tancap batu runcing.
Tubuh Gumara terlentang, menancap.
Punggungnya bagai menancap dipaku. Ia tak sempat
menggeliat lagi. Darah bercucuran
membasahi ujung “tombak alam” itu . . .Harwati terus
memanjat dengan semangat dua kali
lipat.
Dia sempat tersenyum menyeringai
melihat Gumara dalam keadaan sudah selayaknya mati itu.
Harwati terus memanjat lagi, memanjat
sekuat tenaga bagaikan cicak memanjat dinding, Dengan
suara geram, kadang menggigit bibir
agar mendapatkan kekuatan,
Harwati terus berupaya tanpa
keraguan. Usahanya tampaknya akan berhasil, ketika dia sudah
sempat menemukan retakan batu dasar
mulut guha. Jarinya mencengkeram retakan itu,
dorongan tubuhnya sepenuh tenaga
membuat pantatnya menungging. Dengan itulah dia
membuat pantatnya menunging ke dalam
guha. Dan. . , selamat sampai di dalam.
Harwati lalu berdiri tegak. Dia mulai
mencari apa yang dia ingin cari. Dia menuju dinding kanan.
Tak ada apa-apa. Tak ada aksara
apa-apa. Dia menuju dinding kiri. Semuanya berdinding.
Dia mondar-mandir. Kadang bertabrakan
dengan Ki Rotan yang mundar-mandir. Kadang
bertabrakan dengan Ki Lading Ganda
yang tidak ia kenal. Masing-masing orang bertiga itu saling
tak mengenal satu sama lain.
Pita Loka akhirnya sampai juga ke
Lembah Suliram ini. Dari atas tebing utara dia menuju ke
tebing timur agar dapat melihat lurus
ke pintu guha. Dan dia tidak melihat sesuatu kecuali sepi.
Beberapa ekor kelelawar senja mulai
tampak. Burung – burung menyanyikan kemerduan nada
pada senja itu. Tapi tiba-tiba Pita
Loka ternganga, di bawah sana tampak sosok tubuh
menggeletak celentang.
Firasat Pita Loka yang gelisah sejak
pagi kini dia saksikan sendiri. Dan bagaikan bola meluncur,
Pita Loka menuruni tebing-tebing
curam itu ke bawah. Dan dengan kekuatan ilmu yang pernah
dia petik, bagaikan belalang dia
melompati ujung-ujung tombak alam itu, telapak yang sekedar
nemplok sejenak di atas keruncingan
batu-batu itu
Tibalah dia ditempat sosok tubuh yang
menggeletak itu.
“Guru!” teriaknya meyakini guru yang
dicintainya itu. Pita Loka mencoba mengangkat tubuh
Gumara. Tapi rupanya hunjaman tombak
batu alam itu sudah merekat ke tubuh sang guru.
Namun Pita Loka tetap mencoba
mengangkat tubuh itu, agar lepas dari rekatannya di ujung
batuan runcing. Lalu Gumara
menggeliat tanda dia sadarkan diri.Keningnya mengernyit menahan
sakit. Bila kesadarannya makin
mengada, Gumara tidak merasa sakit lagi. Memang dengan
batuan Pita Loka tubuhnya terlepas
dari cengkereman tombak batuan itu.
“Guru tidak sakit?”
“Periksalah punggungku”, ujar Gumara.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
23
Pita Loka memeriksa. Baju robek,
bekas cucuran darah.Tapi luka itu sendiri? Sudah kering begitu
saja.
“Siapa menyuruhmu ke sini” tanya
Gumara.
“Jadi, Guru marah karena saya ke
sini?” tanya Pita Loka.
“Saya tidak marah. Tapi saya tidak
menyuruhmu ke sini”, kata Gumara.
Pita Loka menjadi jijik mendengar
ucapan tak tegas itu,
“Kalau anda marah, bilang marah.
Jangan menyembunyikan kejengkelan dan kebencian dalam
bahasa berselimut”, ujar Pita Loka
dengan kejengkelan yang sempurna, didukung oleh tindak
sempurna, meloncat dia bagai belalang
dari satu ujung mata tombak batu lain ke ujung lainnya
sampai dia sudah tiba di tepi tebing
utara, tanpa menoleh, terus memanjat tebing bagai cecak
yang tak tampak karena malam
menjelang tiba.
Dia terus! menerobos semak belukar.
Sebagian daun terbakar kena geseran tubuhnya yang lari
menggebubu.
Siang itu, apabila Pita Loka pulang
dari sekolah, kekesalan hati, kecemburuan pada Gumara,
bertambah lagi dengan kedongkolan
setiba di rumah. Rumah didapatinya dalam keadaan kosong.
Sebuah koper, sepatu bagus, dengan
sepotong baju yang tergantung di lengan kursi, telah
membenarkan perkiraaannya. Yah,
Kumayan bakal tertimpa huru-hara. Tentulah barang-barang
ini semua adalah milik tamu tadi
pagi, yang mengaku bernama Dasa Laksana.
“Tentu ayah sudah terkecoh”, ujar
Pita Loka sendirian, bernada menggerutu. Di angkat koper
tamu itu, dan dibantingnya!
Pita Loka sudah mengenal kusuk dan
tipu ilmu persilatan melalui pengalaman. Apalagi ilmu yang
dikenal ilmu Hitam yang berlindung
pada Iblis dan Setan. Dia kini kaheranan sandiri, karena
seperti “tertiup lupa” dengan tamu
yang jelas-jelas mengaku bernama Dasa Laksana! Bukankah
ia pernah kenal Dasa Laksana?. Pernah
mengajarnya ilmu kependekaran di Guha Lebah? Dan
pernah tahu bahwa orang ini
penghkhianat dan mata keranjang?
“Bukan ayah yang terkecoh, tapi aku
sendiri pun terkecoh!”, ujar Pita Loka. Sendirian
menggerutu.
“Guru Gumara sendiri pun, betapapun
ilmunya yang tinggi, hari ini akan kena kecoh lagi dengan
dalih berjuang ke Lembah Suliram
untuk menyelamatkan Harwati, Bukankah Harwati pun berjiwa
pengkhianat? Penipu?”, Pita Loka
menggerutu lagi.
“Kebutaanku juga karena terlibat
dalam bujuk dengkinya ilmu silat”, gerutu Pita Loka lagi.
Sepintas lalu, apa yang dibayangkan
oleh Pita Loka memang terbukti. Begitu bersemangatnya
Gumara Peto Alam menyeret kaki
Harwati agar gagal memanjat tebing Lembah Surilam yang
menuju ke mulut guha sana itu.
“Jangan teruskan memanjat, adikku!”
seru Gumara,
“Lepaskan kakiku!”“ bentak Hawati
seraya menggerak-gerakkan kakinya yang dipegang Gumara,
Grafity, http://admingroup.vndv.com
24
yang kadang lepas lagi. Bila lepas,
Harwati memanjat lagi dengan penuh semangat, sebab bibir
guha itu hanya tinggal berjarak tiga
depa saja.
“Jika kau memang menghendaki Kitab
Tujuh, aku akan memberikannya”, kata Gumara.
“Kau pendusta! Penipu! Aku lebih tahu
mengenai Kitab Tujuh dan Ki Kembar. Aku tak sudi kitab
itu itu pada Ki Rotan “, kata
Harwati.
“Kitab Tujuh itu ada padaku, dik!”
seru Pita Loka.
“Itu Kitab Tujuh yang palsu!” balas
Harwati, yang menekan kepala Gumara dengan telapak
kakinya agar Gumara terpeleset jatuh
ke bawah sana.
“Ki Rotan sudah ada di dalam guha
sana , jangan banyak omong lagi!” kata Harwati lagi, yang
menggapai, penuh semangat, dan lebih
bersemangat lagi setelah telapak tangannya menjamah
bibir batu penahan. Batu itu
bergeser. Harwati tambah bersemangat! Dia kira dia akan dapat
masuk dengan meraih sekuat tenaga.
Namun batu besar itu menggeser. Gumara melihat hal itu.
Dia dengan sekuat tenaga menjambak
kaki Harwati. Akibat tarik-menarik itu sebuah batu besar
itu bergeser lalu batu itu bagai
muntah dari mulut guha. Harwati berteriak!
Sekaligus dengan teriakan itu, dia
menyamping menghindari diri ketiban batu besar. Dan
serentak dengan itu tubuh itu
terpeleset, jatuh ke bawah bagai melayang Gumara sekelebatan
itu pula melompat melayang, menyambar
tubuh Harwati, dan dalam keadaan melayang itu
Gumara menyeretnya menuju pohon
tembitu.
Dahan pohon tembitu yang amat banyak
itu menolong selamatnya Harwati dari bencana. Dia
jatuh dan membal lagi, lalu jatuh dan
membal lagi karena tekanan kenyal dahanan lebat pohon
tembitu. Tapi Gumara sudah duduk
tenang diantara dedahanan yang kenyal itu, tersenyum
melihat tubuh Harwati membal-membal
sampai akhirnya duduk mantap dijalinan dahan.
Harwati bukannya berterimakasih. Tapi
menatap Gumara dengan jijik,
“Kenapa kau halangi aku masuk?!”
makinya.
“Karena kau adikku! Karena aku
kasihan padamul”
“Dusta! Kau mengaku aku adikku agar
cintaku padamu musnah dan kau bisa memperisteri Pita
Loka!”
“Aku tidak dusta, itu ucapan ayah
kandung kita sendiri!” kata Gumara.
“Ayah pun pendusta. Sudah kuketahui
dari Ki Kembar, bahwa ayah pun berdusta. Masuk akalkah
kau tiba-tiba menjadi “kakak
mendadak”? Soalnya ayah menghindari aku supaya tidak menjadi
isterimu. Karena dia lebih suka
ilmunya jatuh pada orang lain yang bukan padaku.
Ayah dusta karena dia ingin ilmunya
jatuh kepadamu, lalu kau mengawini Pita Loka sebab ayah
pernah berjanji pada Ki Putih Kelabu
akan mempertalikan darah dengan anak lelakinya. Padahal
ayah tak punya anak lelaki. Begitu
bernafsunya ayah untuk melestarikan ilmunya demi
kelanggengan ilmuitu lewat kau.
Alangkah tolol orang yang mempercayai cerita ayah yang
terkenal seorang pembohong terbesar
diantara Tujuh Manusia Harimau di Kumayan”.
Setelah puas memaki, Harwati meludahi
Gumara: “Ciih, kamu tak usah mengaku putra Ki Karat,
karena kau cuma manusia dari kasta
rendahan!”
Grafity, http://admingroup.vndv.com
25
Setiba di rumah. Pita Loka
mengobrak-abrik kursi dan menggulingkan meja. Dan ketika dia
masuk kamar depan, mau
mengobrak-abrik koper tamu . . . tidak jadi. Senyumnya erkembang.
Dia ingat, tamu tadi begitu
gantengnya.
Dia bertekad untuk berbaik-baik pada
ayahnya. Dia susun meja dan kursi yang berantakan. Dia
berharap ayahnya akan pulang agak
malam dan butuh disediakan makan malam. Dia memasak,
kemudian menyediakan hidangan di
meja.
Benarlah dugaannya. Menjelang jam
Romawi itu berdenting sebelas kali dari pintu belakang
terdengar suara ayahnya; “Pita Loka,
apa kau di rumah, nak?”
“Ya, ayah”.
Pita Loka lalu membuka pintu, dengan
harapan sang tamu gagah itu pun serta. Ternyata tak
tampak seorang lain pun kecuali ayah.
“Ayah sendiri?” tanya Pita Loka.
“Ya”.
“Tadi ada tamu. Saya lihat ada koper.
Kemana tamu itu?”
“Dia pergi. Dia menitipkan kopernya”,
kata Ki Putih Kelabu.
Pita Loka terhempas kecewa di kursi.
Hal itu membuat Ki Putih Kelabu gembira. Lebih gembira
lagi dia, ketika didengarnya putrinya
berkata kecewa:
“Padahal untuk makan malam sudah
kusediakan untuk tiga orang, Termasuk saya”, kata Pita
Loka.
“Siapa tamu ayah itu, yah?” tanya
Pita Loka kemudian.
“Namanya Dasa Laksana, bukan?”
“Betul. Dasa Laksana namanya.
Kenapa?”.
“Tentuu tidak tiap nama watak manusianya
sama. Ada nama Dasa Laksana yang baik, ada nama
Dasa Laksana yang busuk dan
pengkhianat”.
“Tapi sepanjang firasatku, ini Dasa
Laksana yang baik”, ujar Ki Putih Kelabu seraya mulai
menikmati santapan malam.
“Tampaknya ini hidangan istimewa”,
ujar lelaki tua itu.
“Enak masakanku kali ini, yah?”
“Nikmat sekali”.
“Sekiranya tamu ayah itu juga
menikmati hidangan, dia belum tentu akan memuji seperti ayah”,
ujar Pita Loka.
“Dia akan terkagum-kagum, memujinya
dan akan bicara dalam hati: Inilah gadis yang tepat
Grafity, http://admingroup.vndv.com
26
menjadi ibu Rumah Tangga”, ujar Ki
Putih Kelabu.
“Ayah memancing kegembiraanku!” ujar
Pita Loka.
“Memang. Memang demikianlah tujuan
pancinganku. Hidup ini merupakan sarana harapan bagi
setiap orang. Tapi sarana itu tidak
layak ditumpukan pada diri satu orang saja. Harapan tidak
tunggal, tapi majemuk. Lelaki yang
baik bukan hanya seorang, tapi banyak.”
Pita Loka gembira dengan bahasa
perlambang yang diucapkan ayahnya itu, dia yakin bahwa
tujuan ayahnya begitu luhur dan baik.
Ketika Pita Loka asyik berbincang
dengan ayahnya, waktu itu Gumara Peto Alam sudah kembali
ka rumahnya, dan membaca kembali
Kitab Tujuh, yang dimulainya pada Kitab Ketujuh.
Dia teliti intisari kitab itu, apa
rahasia yang tersembunyi dari pengertian kalimat demi kalimatnya.
Tiba-tiba Gumara riang sewaktu dia
yakin ada sebuah kalimat yang berbunyi:
“Semut yang memasuki lubang tempat
masuknya matahari.Sesungguhnya mencari madu rahasia
yang manis.”
Jika kalimat ini disusun dengan
kalimat sebelumnya, tidak punya arti. Juga jika dikaitkan dengan
kalimat berikutnya, lebih tak punya
arti. Kalimat berikut itu berbunyi;
Orang yang memakai terompah berkelahi
Tanda bukan pendekar pintar.
Maka, Gumara cepat membuka Kitab
Pertama dan mengkaitkannya dengan kalimat rahasia dan
Kitab Ketujuh tadi.
Sesungguhnya ada sesuatu di lembah
Suliram yang madunya asam berisi kekuatan
dan dibukanya pula Kitab Keenam untuk
menemukan jalinan kalimat ini. Maka ditemukannya
kalimat yang berdiri sendiri, yang
tak ada kaitan dengan kalimat sebelum maupun sesudahnya.
Kalimat di Buku Keenam itu berbunyi:
Kekuatan dari madu yang dijilati
semut hitam
Membuka rahasia warisan Kerajaan
Solaiman
Dan dengan tergesa penuh semangat
dibukanya Buku Kedua dari Kitab Tujuh itu untuk
menemukan kalimat-kalimat rahasia.
Dia menemukannya segera:
Selain kekayaan, orang gila pun dapat
disembuhkan
Oleh semut yang mestinya dicari di
guha itu.
Karena bersemangat, Gumara lantas
membuka Kitab Kelima, yang dia temui lagi kata-kata
rahasia:
Kerajaan Isa menyembuhkan lumpuh dan
buta
Sungguh madu sama mujarabnya dengan
sarang laba – laba. . . .
Gumara lebih bersemangat lagi setelah
menemukan Rahasia Kitab Kelima. Lalu dibacanya
dengan tekun pula Kitab Ketiga untuk
mendapatkan rahasia. Memang sedikit terdapat kesulitan.
Tapi ketika dia menemukan kalimat :
Tiga itu! sebetulnya tiga rangkaian . . . . Gumara mencoba
meneliti kembali berulang kalinya
kalimat itu semenjak awal pembacaan. Jadi,rahasianya, pikir
Grafity, http://admingroup.vndv.com
27
Gumara, dicari tiga rangkai kalimat.
Itu ditemukannya pada susunan kalimat ditengah kitab. Lalu
dekat akhir kitab, lalu dipenghujung
kalimat kitab tersebut. Kalimat itu, jika dirangkaikan adalah:
Laba-laba yang membuat sarang
melindungi isteri
isteri melindungi suami karena butuh
keturunan
Keturunan menjamin kelangsungan
dunia, periksa nama.
Kunci seluruh ilmu Kitab Tujuh,
seperti diyakini Gumara adalah. Buku Keempat. Begitu kalimat
pertama dari kitab itu dia baca, dia
sudah meyakini diri arti “nama” dalam Kitab Ketiga dari
kalimat rahasia itu. Sebab begitu dia
membacanya, dia sudah membaca sebuah nama
ogandala bernyawa dari langit 12
sangga, lalu ditemukan pula kalimat:
Menuturkan kepada Dwi Satya rahasia
kisah ini, yang pasti bahwa Dwi Satya itu sebuah nama
pula.
Dan ditemuinya pula kalimat :
Kekebalan otot Tri Abdalla,pagar perkasa
Dan ditemuinya kalimat; Seluruh pagar
itu 17 baris terpujilah yang ke— 4, yaitu Nun, nama ikan.
Angka ini diperhatikan Gumara. Dia
menghitung jumlah baris sejak dari Buku Ketujuh, Kesatu,
Keenam, Kedua, Kelima, Ketiga dan
Keempat, kalimat rahasia itu memang Tujuhbelas baris
seluruhnya.
Untuk melaksanakan petunjuk tujuh
buah kitab itu, agar Gumara merasa tertib
mengamalkannya, dia pun menyusun
seluruh 17 baris kalimat rahasia itu. Agar dapat ditafsirkan.
Maka diambilnya kertas, dimulainya
urutan dari Kitab KeTujuh seluruh 17 baris kalimat rahasia
itu:
Semut yang memasuki
lubang tempat masuknya matahari
Sesungguhnya mencari
madu rahasia yang manis
Sesungguhnya ada
sesuatu di Lembah Suliram
Yang madunya asam berisi kekuatan
Kekuatan dari madu
yang dijiati semut hitam
Membuka rahasia
warisan kekayaan Kerajaan Solaiman
Selain kekayaan,
orang g!!a pun dapal disembuhkan
Oleh semut yang
mestinya dicari di guha itu
Kefajaan Isa
menyembuhkan lumpuh dan buta
Sungguh madu sama
mujarabnya dengan sarang laba-laba
Laba-laba yang
membuat sarang melindungi isterinya
Isteri melindungi
suami karena butuh keturunan
Keturunan menjamin
kelangsungan dunia, periksa nama
Yogandala bernyawa
dari langit 12 sangga
Menuturkan kepada
Dwi Satya rahasia kisah ini
Kekebalan otot Tri
Abdalla, pagar perkasa
Seluruh pagar itu 17
baris terpujilah yang ke-4, yaitu Nun,
nama ikan.
Kepala Gumara menggeletak di atas
meja, menindih 17 baris yang ditulisnya dalam keadaan
capek dan mengantuk.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
28
Paginya dia dibangunkan Alif yang
menggedor pintu: “Tuan Guru tidak mengajar pagi hari ini?!”
“Mengajar! Mengajar!” seru Gumara
langsung bangun, menyusun seluruh kitab dan
mempersiapkan diri dengan bercuci
muka, untuk pergi mengajar. Dan, setiba di sekolah, dia
didatangi oleh Pita Loka:
“Apa yang Pak Guru pesankan pada
saya, sudah saya laksanakan”.
“Baik, terimakasih”, ujar Gumara.
“Ayah mengundang anda untuk makan
siang di rumah kami, Pak Guru”, ujar Pita Loka lagi.
“Oh ya! Terimakasih”.
“Saya sendiri yang memasaknya tadi
subuh”.
“Kalau begitu saya perlu datang”,
ujar Gumara.
Gumara asal ngomong. Sebab pikirannya
tertuju pada keinginan untuk cepat mengamalkan
petunjuk Kitab Tujuh itu. Dia yang
cerdas dan terang otak, dari dulu ingin mengetahui pelbagai
rahasia.
Ketika masuk kelas, dia ditanya oleh
muridnya Ratna: “Pak Guru kemarin bolos karena mencari
Harwati ya Pak?”
Ditatapnya Ratna. Dia akan marah
sebetulnya. Lalu dia ingat, berita ini pasti diceritakan oleh Pita
Loka akibat rasa cemburu dan
bersaing. Dia dengan tenang menulis di papan tulis:
FISIKA.
Hukum Brewster: Sudut polarisasi p,
berhubungan index bias n seperti ini,
cos p = n
sinus p= n
ctg p = n
tg p =n
Setelah menulis itu, Gumara berkata:
“Salin yang baik di kitab rumus. Hidup kalian pun akan
becus apabila menyadari arti rumusan
hidup, ini Fisika, yah kehidupan Alam Semesta inipun
diatur Tuhan dengan ilmu Fisika
Ilahi, mengerti kamu Ratna?”
Ratna terdongak kaget, lantas malu
tersipu.
Biarpun Ratna malu tersipu, dia
memberi isyarat kepada Pita Loka. Pita Loka lalu mengacungkan
telunjuk:
“Boleh bertanya, Pak Guru?” Gumara
menatap pada Pita Loka, lalu menjawab:
“Tidak boleh”.
Pak Guru kejam”! kata Ratna,
“Yang kejam itu kan fitnah. Fitnah
lebih kejam dari pembunuhan”, kata Gumara.
Grafity, http://admingroup.vndv.com
29
“Jangan menyindir gitu, Pak Guru!”
balas Pita Loka.
“Sudah, salin saja rumus itu”, kata
Guru Gumara.
Setelah itu, dia menerangkan
pelajaran ilmu Fisika, dan beberapa contoh mengenai rumus
Brewster,
“Sekarang, kita memasuki Bab baru,
yaitu Medan Listrik”, kata Gumara kepada murid-murid itu.
“Tentu mengenai Hukum Coulomb”, kata
Pita Loka.
Gumara kaget: “Eh, darimana kamu
tahu?”
“Masih di SMP saya sudah tahu”.
“Kalau begitu coba tuliskan rumus
Hukum Coulomb”, kata Gumara.
Pita Loka memperbaiki kacamata
hitamnya, lalu meninggalkan bangkunya, lalu menulis papan
tulis. Dan dia pun menuliskan di
papan tulis itu dengan huruf-huruf jelas dan bagus:
Hukum Coulomb: F = K q1 q2
r kwadrat
Gumara menoleh: “Betul, tapi
kwadratnya jangan ditulis dengan huruf, tapi angka”, dan Pita
Loka pun menghapus tulisan kwadrat
menjadi angka 2 di atas pojok huruf r.
Sebelum Pita Loka meninggalkan papan
tulis, Gumara sempat bertanya perlahan pada Pita Loka:
“Bagaimana keadaan matamu?”
“Buta”, sahut Pita Loka dan kembali
duduk di kursinya.
Dia tahu pertanyaan itu sekedar
basa-basi belaka. Dan setelah tulisan Pita Loka di papan tulis itu,
Gumara menulis lagi dibawahnya
beberapa sistim mks, cgs, kuat medan listrik dan seterusnya
beberapa rumus lagi.
Tapi ketika Gumara menuliskan itu
semua, otaknya mengembara pada rumus-rumus Kitab Tujuh,
terutama Kitab Ketujuh yang kalimat
rahasianya berbunyi: ”Semut yang memasuki lubang
tempat masuknya matahari. . .”, yang
dianggapnya adalah sebuah tempat.
Memang tak sulit bagi Gumara untuk
memahami arti simbolis kata-kata itu. Yang menjadi
“semut” dalam tafsir kalimat itu
adalah Gumara sendiri. Dia harus mencari satu tempat, sebuah
celah berbentuk lubang, tempat
terbenamnya matahari.
Celah itu tak lain dari dua ngarai
yang bertemu ujungnya, disebelah barat Kumayan ini, Dia harus
ke sana . Celah itu bernama Ngarai
Surya Mutih. agak sedikit ke timur dari Lembah Gading.
Jika nanti sehabis makan siang di
rumah Pita Loka aku terus berangkat ke celah itu, aku bisa
kembali malam ini juga dan besok
tidak bolos, pikir Gumara. Tetapi semua gerak tingkah Gumara
mendapat perhatian khusus Pita Loka.
Dia ia tahu betul bahwa Guru Gumara bukan berada
dalam kelas ketika mengajar dan duduk
menanti muridnya menyalin rumus. Tapi Guru Gumara
sedang mengembara dalam pikirannya ke
satu tempat.
Pita Loka ingin sekali menanyakan apa
hasil petualangannya semalam dan kemarin. Tampaknya
Grafity, http://admingroup.vndv.com
No comments:
Post a Comment