Tuesday, December 23, 2014

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode : Samsul Bahri Pulang ke Padang 1

Karya Marah Rusli
Lebih dari setahun lamanya kita tinggalkan gunung Padang,
sejak Samsulbahri berjalan-jalan ke sana dengan Nurbaya dan
teman-temannya. Sekarang marilah kita kembali pula ke sana,
karena pada hari ini sangatlah ramai di gunung itu, penuh sesak
dengan beratus-ratus orang laki-laki perempuan, kecil besar, tua
muda. Dekat-dekat pekuburan; di bawah-bawah polion kayu, di
tempat yang teduh-teduh, duduklah mereka berkumpul-kumpul.
Ada yang sedang asyik membaca salawat, untuk sekalian ahli
kubur, ada yang sedang asyik membersihkan kubur orang tuanya,
ada yang sedang meratap menangis di atas kubur anaknya,
yang baharu meninggal dunia dan ada pula yang sedang
menyiramkan air cendana dan menaruh bunga rampai, di atas
kubur saudaranya, yang amat dicintainya. Akan tetapi ada pula
yang hanya duduk bercakap-cakap saja dan banyak pula yang
datang sekedar hendak melihat-lihat atau beramai-ramai saja. Di
jalan ke gunung itu dan di kakinya, penuh dengan orang, sebagai
di pasar rupanya. Ada yang datang, ada yang pergi dan ada pula
yang berhenti melepaskan lelah.
Di batang Arau kelihatan berpuluh-puluh sampan, yang
menyeberangkan mereka pulang balik, sedang di pinggir jalan
raya kelihatan pula berpuluh-puluh bendi berjejer, menunggu
muatan. Fakir dan miskin serta alim ulama, demikian pula hajihaji
banyak yang datang, untuk mendoa. Ada yang kedengaran
sedang ratib dan ada pula yang sedang membaca fatihah.
Apakah sebabnya maka ramai sungguh waktu itu di gunung
Padang? O, karena hari itulah penghabisan bulan Sya'ban; esoknya
akan mulai puasa bulan Ramadan. Sebelum masuk ke dalam
bulan yang baik ini, pergilah seisi kota Padang mengunjungi
pekuburan sekalian kaum keluarganya, yang telah berpulang ke
rahmatullah, untuk mendoakan arwahnya dan memohonkan
selamat, supaya yang telah meninggal dan yang masih hidup
pun, semuanya dipelihara Tuhan dalam segala hal.
Oleh sebab tinggal sehari itulah kaum Muslimin boleh makan
siang hari, dipuas-puaskan merekalah nafsunya dengan segala
makan-makanan yang lezat cita rasanya. Itulah sebabnya maka
dinamakan orang Padang hari itu "hari makan-makan".
Pada petangnya, kelihatan bulan sebagai secarik kertas, memancarkan
cahayanya di sebelah barat tiada berapa tingginya
dari muka airlaut. Oleh sebab itu berbunyilah tabuh pada
sekalian langgar dan mesjid akan memberitahukan kepada segala
urnat Islam, bahwa keesokan harinya, puasa akan dimulai.
Setelah tiga hari puasa dijalankan, pada keempat harinya,
masuklah sebuah kapal, yang datang dari Jakarta ke pelabuhan
Teluk Bayur, membawa beberapa murid-murid sekolah Jakarta,
yang asalnya dari Sumatra Barat. Mereka hendak pulang ke
rumahnya mengujungi orang tua dan handai tolannya, karena
dalam bulan puasa sekalian sekolah Bumiputra ditutup.
Di antara murid-murid itu, adalah juga Samsulbahri dengan
sahabatnya Arifin dan Bakhtiar. Tatkala merapatlah sudah kapal
ke pangkalan, naiklah ketiga mereka ke darat, lalu pulang
tergesa-gesa ke rumah orang tuanya masing-masing, karena
sangat rindu hendak bertemu dengan ibu-bapaknya. Hanya
Samsulbahrilah yang sebagai tiada mengindah, karena kekasihnya
yang ditinggalkannya dahulu tak ada lagi. Yang akan
menyambutnya hanya ibu bapaknya saja. Istimewa pula, karena
pulangnya itu niscaya akan membangunkan kembali segala
ingatan kepada waktu yang telah silam.
Setelah sampailah Samsu ke rumah orang tuanya, lalu berjabat
tanganlah ia dengan ayahnya dan ibunya dipeluknya.
Kemudian masuklah ia ke dalam biliknya, akan menukar
pakaiannya. Sebab itu keluarlah pula, bercakap-cakap dengan
orang tuanya, menceritakan halnya, pelajarannya di Jakarta dan
pelayarannya dengan kapal pulang balik. Tetapi sungguhpun ia
berkata-kata itu hati dan pikirannya tiada di sana, melayang
entah ke mana. Halnya ini diketahui oleh ibunya dan Sitti
Maryam turut berdukacita, mengenangkan nasib anaknya, yang
sebiji mata ini. Sungguhpun demikian, tiadalah dibayangkan
Samsu, pada mukanya, perasaan hatinya.
"Kasihan," kata Samsu dengan suara yang pilu, karena sesungguhnya
hatinya terlalu sedih, tatkala melihat rumah orang
tuanya dan rumah Nurbaya dengan sekalian yang menimbulkan
ingatan kepada waktu yang telah lalu, sehingga hampirlah
menyesal ia pulang ke Padang, "hamba melihat seorang
hukuman membuangkan dirinya ke laut sebagai seorang yang
telah putus asa."
"Di mana?" tanya ibunya dengan terperanjat, mendengar
kabar yang dahsyat itu, takut kalau-kalau anaknya berbuat
demikian pula.
"Di laut Tanjung Cina, malam kemarin dahulu. Tatkala
gelombang amat besar, melompatlah ia dari geladak kapal ke
laut, lalu hilang tiada timbul lagi."
"Ya Allah, ya rabbi, kasihan!" sahut ibunya dengan ngeri.
"Rupanya karena putus asa, lebih suka ia mati di dalam laut
daripada menanggung kesengsaraan, kehinaan dan malu. Patutlah
acap kali hamba lihat ia termenung dan terkadang-kadang
menangis di gisi kapal; makan pun kerap kali tiada suka."
"Barangkali ia hendak lari," kata Sutan Mahmud.
"Pada pikiran hamba bukan demikian," sahut Samsu, "karena
kapal waktu itu jauh di tengah lautan; daratan tak kelihatan.
Masakan dapat ia mencapai pantai. Lagi pula tangannya
dibelenggu; bagaimanakah ia dapat berenang?"
"Sedih amat! Bagaimanakah rasa hati anak-bininya, ibu-bapa
dan sanak saudaranya, bila mendengar kabar itu?" kata Sitti
Maryam pula.
"Barangkali ia sebatang kara atau besar kesalahannya," sahut
Sutan Mahmud.
"Kesalahan manusia itu, hanya Allah yang mengetahui,"
jawab istrinya.
"Kabarnya ia dipersalahkan membunuh orang, sebab itu dihukum
buang dalam rantai lima belas tahun lamanya ke Sawah
Lunto," kata Samsu pula.
"Nah, dengarlah itu! Kalau tak bersalah, masakan dihukum
seberat itu," jawab Sutan Mahmud.
"Biarpun telah dihukum, belum tentu lagi bersalah, karena
hukuman itu, walau rupanya adil sekalipun, masih hukuman
dunia dan hakimnya manusia, yang gawat dan lemah, sebagai
kita sekalian juga," jawab Sitti Maryam.
"Baik; tetapi hakim itu bukannya orang bodoh, melainkan
orang yang ahli dalam undang-undang, orang yang telah terpelajar
dan bersekolah tinggi. Lagi pula bukan seorang hakim
yang menghukum itu, melainkan bersama-sama; bagaimana
boleh salah juga?" kata Sutan Mahmud pula.
"Walau demikian sekalipun, belum dapat juga lagi kita
pastikan, orang itu bersalah; karena yang batin itu tak dapat
diketahui manusia," jawab Sitti Maryam.
Samsulbahri tiada hendak mencampuri pertengkaran ayah
dengan ibunya ini, istimewa pula karena pikirannya tak ada di
sana.
"Bagaimana pula engkau ini?" kata Sutan Mahmud,
"masakan hakim menghukum orang dengan tiada semena-mena?
Tentulah telah cukup keterangannya dengan saksi-saksinya
sekalian, baru dihukum."
"Saksi itulah yang acap kali menyesatkan hakim untuk
mendapat kebenaran. Kakanda jangan gusar, karena perkataan
adinda ini. Cobalah dengar misal yang akan adinda ceritakan ini!
Seorang yang kaya atau berpangkat tinggi, hendak membinasakan
seorang miskin. Dengan uang atau pangkatnya itu, mudah
baginya mengadakan beberapa saksi palsu. Bila hakim hanya
mendengar saksi saja, tentulah si miskin, yang tiada bersalah itu,
akan dihukum.
Misal yang kedua. Di tempat yang sunyi, dibunuh oleh
seorang penjahat seorang yang melintas ke qana, karena hendak
merampas harta bendanya. Seorang yang baik dan lurus hati,
yang tiada bersalah suatu apa sampai pula ke sana. Tatkala
dilihatnya orang terhantar di jalan raya, tentulah akan diperiksanya,
kalau-kalau masih dapat ditolong. Karena memeriksa itu
pakaiannya kena darah. Ketika itu datang empat orang yang lain
ke sana, lalu tampak olehnya si lurus hati itu ada dekat mayat,
dengan pakaiannya berlumur darah. Tidakkah ia akan didakwa
berbuat kejahatan itu? Sekalian saksi tentu dapat mengaku di
hadapan hakim mereka telah melihat dengan matanya sendiri
bahwa si lurus hatilah yang ada dekat mayat, dengan berlumuran
darah pakaiannya. Saksi-saksi ini berkata benar, tiada berdusta.
Tidaklah dapat dikatakan cukup keterangan? Yaitu empat lima
saksi-saksi yang berkata benar dan pakaian yang berlumuran
darah? Oleh sebab itu hakim menghukum si lurus hati ini. Akan
tetapi benarkah ia bersalah dalam pembunuhan itu?"
Oleh karena mendengar kebenaran perkataan istrinya ini,
bangunlah Sutan Mahmud dari kursinya, lalu pergi duduk di
serambi muka, karena kalah bersoal jawab dengan istrinya, tetapi
malu mengaku kebodohannya.
Setelah keluar Sutan Mahmud, barulah kelihatan oleh Sitti
Maryam, anaknya, Samsulbahri, sedang termenung melihat ke
rumah Nurbaya, lalu ditegurnya dengan pertanyaan, "Samsu,
apakah yang kaumenungkan?" walaupun telah diketahuinya, apa
yang dipikirkan anaknya pada waktu itu.
"Ah, tidak apa-apa, Bu," sahut Samsu, "ingatan hamba belum
lepas dari kejadian yang telah hamba ceritakan tadi. Rupanya
pengharapan yang putus itu, boleh memberi bahaya, yang amat
sangat kepada manusia."
Mendengar jawaban anaknya ini, berdebarlah Sitti Maryam,
takut kalau-kalau Samsu telah putus asa pengharapan pula. Oleh
sebab itu, bertanyalah ia kepada Samsu, akan menduga hati
anaknya ini, "Sudahkah engkau tahu, bahwa Nurbaya telah
kawin dengan Datuk Meringgih? Ada aku suruh ayahmu
mengabarkan hal itu kepadamu, tetapi entah dikabarkannya
entah tidak, tiadalah kuketahui."
Yang sebenarnya dilarang oleh Sitti Maryam, suaminya
menulis surat kepada Samsu, tentang hal ini, sebab ia takut
anaknya ini akan putus asa.
"Sudah," jawab Samsu dengan pendek, karena tak dapat
rupanya ia mendengar lagi kabar itu.
"Barangkali engkau kurang suka melihat perkawinan ini,
sebab sesungguhnya tak layak saudaramu itu duduk dengan
Datuk Meringgih. Tetapi apa hendak dikata? Sekalian itu takdir
daripada Tuhan semata-mata, tak dapat dibatalkan lagi. Pergilah
engkau ke rumahnya! Ayahandanya telah beberapa hari sakit. Di
sana akan kaudengar, bahwa itulah jalan yang sebaik-baiknya
untuk melepaskan mereka daripada kecelakaannya," kata Sitti
Maryam, membujuk anaknya.
"Sakit apakah Mamanda Baginda Sulaiman?" tanya Samsu.
"Sakit demam dan sakit kepala," jawab Sitti Maryam.
"Baiklah, segera hamba pergi ke sana," kata Samsu, lalu
masuk ke biliknya akan menukar pakaiannya. Tatkala itu
datanglah sais Ali membawa sekalian buah-buahan yang dibawa
Samsu dari Jakarta.
"Sediakanlah sepiring untuk Engkumu di muka dan sepiring
lagi untuk Engku Baginda Sulaiman! Barangkali ada nafsunya
memakan buah-buahan. Telah beberapa hari ia tidak makan,"
kata Sitti Maryam.
"Baiklah," jawab sais Ali.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, keluarlah Samsu
dari rumah orang tuanya, diiringkan oleh Kusir Ali, pergi ke
rumah Baginda Sulaiman.
Setelah masuklah mereka ke pekarangan rumah ini, berdebarlah
hati Samsu memandang bangku tempat ia duduk
bersama-sama Nurbaya pada malam ia akan berangkat ke
Jakarta, setahun yang telah lalu. Teringat kembali olehnya
sekalian kelakuan dan perkataan serta janjinya kepada Nurbaya,
pada malam itu dan apabila tak malu ia kepada sais Ali, tentu
keluarlah air matanya, karena sedih.
"Adakah Nurbaya dalam rumah ini atau tiadakah?"
Demikianlah pikiran Samsu dalam hatinya. Kalau ada bagaimana
ia bertemu dengan kekasihnya yang telah meninggalkannya ini?
Setelah masuklah ia ke dalam rumah Nurbaya, tiadalah
kelihatan olehnya seorang juga, lalu ia berjalan perlahan-lahan,
masuk ke bilik Baginda Sulaiman. Di sana tampaklah olehnya
saudagar ini sedang berbaring di atas tempat tidurnya,
berselimutkan kain panas. Sangat terperanjat Samsu serta sedih
hatinya melihat perubahan ayah Nurbaya ini. Apabila di tempat
yang lain ia bertemu dengan Baginda Sulaiman, tentulah tiada
percaya ia yang berbaring itu memang mamanda angkatnya.
Rambutnya mulai putih, mukanya pucat, badannya kurus,
mata dan pipinya serta napasnya sekali-sekali, karena sangat
letih rupanya.
"Engkau Nurbaya? Hampirlah kemari!"
"Hamba bukan Nurbaya," sahut Samsu dengan gemetar
bibirnya, karena menahan sedih hatinya. "Hamba Samsulbahri,
baru datang dari Jakarta. Tatkala hamba dengar Mamanda sakit,
segeralah hamba kemari."
Setelah mendengar perkataan ini, menoleh si sakit kepada
Samsu dengan membesarkan matanya, sebagai hendak menerangkan
penglihatannya. "Samsulbahri?" tanyanya dengan
lemah suaranya.
"Hamba, Mamanda," jawab Samsu.
"Marilah dekat kemari, Samsu!" kata Baginda Sulaiman pula.
Samsu hampirlah dengan membawa buah tangannya dari
Jakarta sambil berkata, "Inilah hamba bawa buah-buahan sedikit;
kalau-kalau Mamanda dapat memakannya."
"Buah apa itu?" tanya si sakit, "sesungguhnya aku telah
beberapa hari tak enak makan."
"Ada buah sauh Manila, ada buah mangga, buah salak dan
nenas. Buah anggur dan apel pun ada pula hamba beli di kedai.
Barangkali dapat menimbulkan nafsu Mamanda," sahut Samsu.
"Cobalah beri aku buah sauh itu sebuah; pilih yang lembut!"
kata Baginda Sulaiman.
Dipilihnya oleh Samsu sebuah sauh Manila yang masak
benar, dibersihkannya dan diberikannya kepada mamandanya
itu, lalu dimakanlah oleh Baginda Sulaiman perlahan-lahan.
Rupanya nafsu makannya datang sedikit, entah sebab segar buah
itu, entah sebab Samsu, yang membawanya, wallahualam;
karena buah itu dimakannya beberapa butir.
Sementara Baginda Sulaiman makan itu, Samsu tiada putusputusnya
memandang mukanya dan sangatlah besar hatinya
tatkala dilihatnya buah tangannya itu dapat menimbulkan nafsu
si sakit, yang telah beberapa hari tiada makan. `
"Sungguh nyaman buah yang telah engkau bawa ini, Sam;
segar badanku rasanya memakannya," kata si sakit. "Aku banyak
minta terima kasih kepadamu, Samsu, apalagi karena rupanya
hatimu tiada berubah kepadaku, di dalam aku ditimpa
kesengsaraan ini. Tadi aku sangka engkau Nurbaya, karena ialah
yang kusuruh datang. Akan tetapi bertambah-tambah besar
hatiku, tatkala kuketahui, engkau pun telah ada di sini. Rupanya
petmintaanku dikabulkan Tuhan; karena pertemuan ini telah
beberapa lama aku pohonkan. Sangat ingin hatiku hendak berjumpa
dengan engkau, sebab adalah sesuatu yang hendak kuminta
kepadamu."
"Permintaan apakah itu Mamanda, katakanlah! Jika ada pada
hamba, tentulah hamba berikan," jawab Samsu.
"Pada sangkaku tiadalah berapa lama lagi aku hidup di atas
dunia ini. Sekalian gerak dan tanda-tanda telah datang kepadaku,
memberi tahu, bahwa aku segera akan berpulang ke
rahmatullah."
"Mamanda, janganlah berpikir sedemikian! Ingatlah
Nurbaya!" kata Samsu dengan berlinang-linang air matanya.
"Itulah yang menjadi alangan padaku; itulah yang menggoda
pikiranku. Bila aku tak ada dalam dunia ini, menjadilah Nurbaya
seorang anak yatim piatu, yang tidak beribu-bapa dan sunyi pula
daripada segala sanak saudara kaum keluarga. Bagaimanakah
halnya kelak, sepeninggalku; sebatangkara di atas dunia ini?
Siapakah yang akin menolongnya dalam segala kesusahannya,
dan siapakah yang akan menunjuk mengajarnya dalam
kesalahannya? Karena maklumlah engkau, umurnya baru
setahun jagung belum tahu hidup sendiri, belum tahu kejahatan
dunia dan belum merasai azab sengsara yang sebenar-benarnya.
Ketahuilah olehmu, Samsu, walaupun di dalam dunia ini
dapat kita memperoleh kesenangan, kesukaan, kekayaan, dan
kemuliaan, akan tetapi dunia ini adalah mengandung pula segala
kesusahan, kesengsaraan, kemiskinan, dan kehinaan yang
bermacam-macam rupa dan bangunnya, tersembunyi pada segala
tempat mengintip kurbannya setiap waktu, siap akan menerkam,
barang yang dekat kepadanya.
Lain daripada itu, dunia ini penuh pula dengan ranjau
godaan, kelaliman, tipu daya, hasud khasumat, sombong angkuh
dan dengki khianat. Apabila tiada berhati-hati dan tak dapat
menghindarkan diri daripada sekalian kejahatan itu, niscaya
terperosoklah kita ke dalamnya dan binasalah badan. Pada
sebilang waktu, dalam segala tempat, dapat kita bertemu dengan
bahaya ini. Di daratan, di lautan, di udara, di dalam tanah, di
dalam rumah, di tengah jalan, di dalam hutan, di tengah padang,
tidaklah luput kita daripada mara bahaya itu. Sementara duduk,
sementara berjalan, tidur, minum dan makan, berkata-kata,
melihat, mendengar, mencium dan lain-lain sebagainya, dapat
bertemu dengan dia. Sesungguhnya, Samsu, tak mudah hidup di
dunia ini. Itulah jembatan siratalmustakim yang halusnya lebih
daripada rambut dibelah tujuh.
Tak mudah minitinya. Kebanyakan orang jatuh, masuk ke
dalam api neraka yang menyala di bawahnya. Hanya mereka
yang berhati-hati dalam segala pekerjaannya dengan mempergunakan
pikiran yang sempurna, mereka yang berhati suci dan
lurus, serta sabar dan tawakal, itulah yang acap kali selamat
sampai ke seberang. Demikianlah susahnya, jika hendak hidup
dengan baik di atas dunia ini, apalagi bagi orang sebatangkara.
Telah kurasa sendiri, Samsu, tatkala aku masih kecil. Itulah
sebabnya pada kebanyakan orang, dunia neraka jahanam, perhubungan
seribu-ribu tali kesukaan dan kesaktian, yang tidak
berkeputusan: patah tumbuh, hilang berganti, dari awal sampai
akhir. Yang agak mujur sedikit pun, bertukar-tukar pula
untungnya, sekali ke bawah sekali ke atas; berputar sebagai roda
yang berpusing. Hanya beberapa orang, saja yang mendapat
surganya di atas dunia ini.
Berilah aku beberapa buah anggur lagi! Karena lemah
rasanya badanku, berkata-kata ini."
Dengan segera Samsu memberikan buah anggur kepada ayah
Nurbaya. Setelah buah itu dimakannya beberapa butir, disambungnya
perkataannya tadi. "Oleh sebab kuketahui dan
kurasai sendiri sekaliannya itu, bertambah-tambah khawatirlah
hatiku meninggalkan Nurbaya. Sedangkan bagi laki-laki, telah
sekian susahnya, istimewa pula bagi perempuan yang bersifat:
lemah dan yang dipandang oleh bangsa kita rendah derajatnya
daripada derajat laki-laki; sedang bagi kebanyakan kaum
Muslimin hampir tiada berharga, hampir sama dengan sahaya.
Bagaimanakah untungnya kelak? Bingung hatiku memikirkan
hal itu. Akan tetapi, apa yang hendak kukatakan, karena ajal,
untung, dan pertemuan itu tak dapat ditentukan.
Oleh sebab di atas dunia ini tak ada yang lain, melainkan
engkaulah anakku yang kedua, engkaulah saudara Nurbaya,
kupintalah kepadamu, dengan sebesar-besar pinta, supaya sudilah
kiranya engkau menolong dan membantu saudaramu yang
piatu ini kelak, di dalam segala halnya. Janganlah kausia-siakan
dan kaubuang-buang ia dan sudilah engkau menjadi ibubapanya!
Janganlah engkau menaruh dendam dan sakit hati
sebab ia telah menjadi istri Datuk Meringgih! Engkau maklum,
Samsu, perkawinannya itu tiada dengan sesuka hatinya dan tidak
dengan sesuka hatiku, melainkan semata-mata karena takdir
daripada Tuhan Yang Masa Esa juga, tak dapat diubah lagi.
Walaupun aku dan ia lebih suka mati daripada berbuat
sedemikian, akan tetapi apalah kuasa kami, akan membantah
kehendak Tuhan ini! Bukan kesalahan Nurbaya, bukan
kesalahanku dan bukan kesalahan siapa pun maka terjadi hal ini,
melainkan semata-mata telah nasib Nurbaya yang sedemikian
itu."
Ketika itu berhentilah Baginda Sulaiman sejurus berkata-kata
sebagai hendak menantikan jawaban dari Samsu, tetapi karena
Samsu berdiam diri, lalu diulangnya pertanyaannya, "Sudikah
engkau mengabulkan permintaanku itu?"
"Masakan hamba tak sudi," jawab Samsu. "Perkara itu
janganlah Mamanda khawatirkan; walau bagaimana sekalipun,
Nurbaya tinggal adik hamba, dunia dan akhirat; tak boleli hamba
buang atau hamba hilangkan dari dalam hati hamba. Berjanjilah
hamba dengan bersaksikan Tuhan dan rasul-Nya, selagi hamba
hidup, tiadalah akan hamba sia-siakan Nurbaya."
Maka dipeganglah tangan Samsu oleh Baginda Sulaiman
dengan kedua belah tangannya, lalu diletakkannya di atas dadanya
dan dipejamkannya matanya sejurus, sambil berkata dengan
lapang bunyi suaranya, "Terima kasih!"
Tatkala itu tiba-tiba masuklah Nurbaya ke dalam bilik itu.
Sesungguhnya Nurbaya telah lama datang, karena dipanggil
oleh ayahnya. Akan tetapi ketika didengarnya suara Samsulbahri
dalam bilik ayahnya, tiadalah tahu apa yang hendak dibuatnya.
Walaupun hatinya sangat ingin hendak masuk melihat ayahnya,
tetapi malu dan takut rasanya ia akan bertemu dengan Samsulbahri.
Dalam hal yang demikian bingunglah ia, lalu berdiri
seketika, di luar bilik ayahnya, dengan hati yang berdebar-debar.
Setelah didengarnya janji Samsu kepada ayahnya, barulah
hilang bingungnya, bertukar dengan sukacita yang sangat, karena
sekarang diketahuinyalah bahwa hati kekasih dan saudaranya ini;
tiada berubah kepadanya. Itulah sebabnya, maka berani.ia
masuk, menemui ayahnya dan Samsu.
Ketika Samsu memandang muka Nurbaya, dengan sekonyong-
konyong terbukalah mulutnya, tiada berkata-kata. Hatinya
suka bercampur duka. Suka karena bertemu dengan kekasihnya
ini, duka. karena mengenangkan pengharapannya yang telah
putus.... Dilihatnya rupa Nurbaya sungguh sangat berubah dari
dahulu, tatkala ditinggalkannya. Badannya yang tinggi lampai
dan lemah gcmulai itu menjadi kurus, mukanya yang putih
kuning sertaa kemerah-merahan, bila kepanasan, menjadi pucat;
matanya yang jernih itu menjadi pudar, dikelilingi oleh suatu
lingkaran hitam yang dalam; pipinya seakan-akan cekung,
rambutnya kusut, sebagaia tiada diindahkannya benar-benar.
Sekaliannya rnenyatakan kedukaan dan kesakitan hati yang tiada
terhingga. Sangatlah sedih hati Samsu melihat hal kekasihnya
sedemikian itu; sehingga tiada dapat ia berkata-kata, untuk
pengeluarkan perasaan hatinya.
Tatkala terpandang oleh Nurbaya Samsu, pura-pura
terperanjatlah ia, lalu, berkata dengann riang rupanya, "Engkau
ada di sini, Sam! Apa kabar? Bila datang?." lalu didekatinya
kekasihnya dan dijabatnya tangannya.
"Tadi, dengan kapal yang baru masuk," sahut Samsu, sambil
menjabat tangan Nurbaya. "Tatkala aku sampai ke rumah, aku
dengar mamanda sakit; itulah sebabnya segera aku datang
kemari. Apa kabar dirimu sendiri?"
"Sebagai engkau lihat," jawab Nurbaya. "Sekaliannya bukan
menyatakan kesenangan. Akan tetapi nantilah kuceritakan lebih
panjang tentang hal ini."
Kemudian didekati Nurbaya ayahnya, lalu berkata, "Ayah,
apa kabar? Bagaimana perasaan Ayah sekarang? Dan apakah
aral, maka di suruh datang ananda ini?"
"Hampir padaku dan duduklah engkau di sini! Ada suatu
yang penting, yang hendak kuceritakan kepadamu."
Setelah hampirlah Nurbaya kepada ayahnya, berkata Baginda
Sulaiman.
"Anakku Nurbaya! Ketahuilah olehmu, aku ini sesungguhnya
telah lama sakit, tetapi tiada kuperlihatkan kepadamu, melainkan
kutahan seboleh-bolehnya, supaya kesakitanku ini jangan pula
sampai menambahkan kedukaan hatimu. Aku ini telah tua,
perjalananku dalam dunia ini tiada mendaki lagi, melainkan
menurunlah, ke tempatku yang kekal, tempat aku akan
beristirahat selama-lamanya. Dari yang tak ada aku akan
diadakan, dari kecil menjadi besar, setelah besar menjadi tua dan
bila telah tua, berbaliklah aku kembali kepada asalku.
Demikianlah perjalanan segala yang bernyawa di atas dunia ini;
tak ada simpang yang lain dan tak dipat pula diubah. Segala yang
hidup akan matilah juga pada akhirnya, dan segala yang ada
akan bertukar-tukar juga romannya.
Walaupun hal itu biasanya tiada diingat orang atau tiada
sempat dipikirkan, karena dirintang kesukaan atau kedukaan dan
karena pikiran yang sedemikian pada kebanyakan orang
mendatangkan ngeri dan takut, sebab kematian adalah sesuatu
yang gaib, akan tetapi sekaliannya itu tiadalah akan mengubah
perjalanan alarn ini. Sesungguhpun ingatan kepada mati mendatangkan
dahsyat di dalam hati, tetapi janganlah dihilangkan
benar-benar pikiran ini, melainkan harulah diinsyafkan juga,
bahwa maut itu, pada suatu ketika akan datang juga, supaya
janganlah kita bersangka, akan hidup selama-lamanya dan dapat
kekal bercampur gaul dengan sekalian yang ada ini. Dengan
demikian, bila datang waktunya kelak, kita akan menlnggalkan
dunia ini pula, bercerai daripada segala yang dikasihi dan
disayangi, tiadalah kita akan sangat terkejut dan hilang akal;
karena inilah yang acap kali menyesatkan perjalanan yang pergi
dan merusakkan badan dan pikiran yang tinggal; sebab menyesal
dan merindu, serta bersedih bersusah hati dengan amat sangat.
Aku maklum, bercerai dengan segala yang telah mengikat
hati, tak mudah; istimewa pula bila perceraian itu perpisahan
yang akhir, bercerai tiada akan bertemu lagi, pada sangka
setengah orang. Tetapi janganlah lupa, bahwa sekaliannya itu
memanglah seharusnya demikian. Walaupun suka atau tak suka,
riang ataupun duka, takut atau berani, menyerah atau membantah,
bila ajal itu telah datang, tak akan dapat dihindarkan lagi,
melainkan harus diterima dengan menyerah, tulus dan ikhlas.
Apakah kekuasaan kita, insan yang hina dan daif ini? Tak ada.
Sungguhpun ada di antara orang yang sombong dan angkuh,
yang membesarkan dirinya atas kepandaian, kekayaan, bangsa
atau pangkatnya yang tinggi, akan tetapi berapakah kekuasaan
mereka, jika dibandingkan dengan kekuasaan alam ini? Adalah
sebagai setitik air dengan lautan sedunia ini; barangkali tak
sampai pula sedemikian.
Tentang kepandaian, aku akui, banyak yang telah diketahui
orang, agaknya berjuta-juta kali lipat ganda daripada itu.
Barangkali engkau tiada percaya akan perkataanku ini, oleh
sebab itu marilah tanyakan kepadamu suatu hal yang mudah
saja: manakah yang terlebih dahulu ada, ayamkah atau telurkah?
Tanyakanlah kepada orang pandai-pandai, siapakah dapat
memberi keterangan itu?
Tentang kekayaan yang besar dan pangkat yang tinggi itu,
janganlah aku ceritakan lagi; banyak contoh yang telah kaulihat
dan kaudengar sendiri. Walau sebagaimana pun kekayaan dan
tinggi pangkat, manusia itu, jika dengan kehendak Tuhan, dalam
sekejap mata hilanglah ia. Bangsa yang tinggi, tak boleh menjadi
alasan kesombongan, karena ketinggian itu sebab ditinggikan
dan kerendahan itu sebab direndahkan orang. Jika tak ada yang
meninggikan dan mcrendahkan, tentulah sama rata sekaliannya.
Dan siapakah yang meninggi dan merendahkan itu? Hanya
manusia jua. Bukankah sekalian manusia itu asalnya dari nabi
Adam dan Sitti Hawa? Bagaimana boleh bertinggi berendah dan
berlain-lain, apabila asalnya sama? Bukannya hendak kusamakan
saja sekalian rnanusia itu, tidak. Ada juga perbedaannya;
tetapi bukan kebangsawanannya, melainkan derajatnyalah yang
tiada sama. Sungguhpun demikian derajat itu pun karunia Tuhan
jua. Apa gunanya menyombongkan dengan pemberian orang?
Kelebihan yang diperoleh sendiri pun, sebagai ilmu kepandaian,
tak boleh juga disombongkan, sebab sekalian orang dapat memperoleh
ilmu dan kcpandaian, asal ada untung nasibnya akan
beroleh anugerah itu.
Ya, Nur! Jika aku tiada letih, tentulah akan kuuraikan
sekaliannya, karena banyak lagi yang harus kauketahui. Akan
tetapi, supaya jangan terlalu panjang ceritaku ini, baiklah aku
kembali kepada maksudku tadi."
Setelah berhenti beberapa lamanya, berkata pula Baginda
Sulaiman perlahan-lahan. "Oleh sebab itu, bukankah lebih baik
dalam hal yang telah kuceritakan tadi, jangan terlalu berawan
hati melainkan diperbanyak juga sabar dan tawakal kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dengan menyerah dan berdoa, supaya
yang berjalan dan yang tinggal pun dipelihara juga. Aku
ceritakan hal itu kepadamu, karena penyakitku ini rupanya kian
hari kian bertambah. Siapa tahu, kalau-kalau besok lusa harus
meninggalkan engkau."
Mendengar perkataan ini, menjeritlah Nurbaya, menangis
tersedu-sedu, memeluk dan mencium ayahnya, sambil berkata,
"Ayah, janganlah pergi, tinggallah bersama-sama ananda! Bila
Ayahanda akan pergi juga, bawalah ananda sekali; jangan
ditinggalkan seorang diri di atas dunia ini! Siapakah kelak yang
akan sudi menolong ananda, sebagai Ayahanda? Ke manakah
tempat bertanya dan siapakah tempat meminta? Jika sakit,
siapakah yang mengobat dan menjaga? Jika susah, siapakah
yang akan melipur hati ananda ini? Aduh, menjadilah yatim
piatu, sebatang kara, ananda di atas dunia ini! Tiada beribu, tiada
berbapa, dan tiada bersaudara pula. Ya Allah, bagaimanakah hal
hamba Mu kelak, bila Ayah hamba tak ada lagi?"
Demikian bunyi tangis Nurbaya di dada ayahnya.
"Jangan menangis, Nur!" kata Baginda Sulaiman membujuk
anaknya. "Sekalian itu belum tentu. Harapan dan ucapanku siang
dan malam, lamalah juga hendaknya kita dapat bercampur gaul.
Kukatakan hal itu kepadamu; supaya engkau ingat dan jangan
terlalu terperanjat, bila datang waktunya; karena walau
bagaimana sekalipun, waktu itu niscaya akan datang juga; tidak
sekarang, tentulah nanti. Akan hidup selama-lainanya, tentu tak
dapat. Nyawa itu dalam tangan Allah; jika dikehendakinya, bila
saja, niscaya melayanglah ia dalam sekejap mata. Selagi aku
dapat betkata-kata, wajib bagiku, untuk memberi ingat engkau,
supaya jangan menjadi sesalan bagiku kelak.
Memang sedih hatiku mengenangkan halku. sekarang ini.
Bila aku berpulang dewasa ini, tak adalah apa-apa yang dapat
kutinggalkan padamu, lain daripada cinta dan doaku; karena
sekalian hartaku tak ada lagi. Tetapi janganlah engkau khawatir
dan putus asa! Serahkanlah untungmu kepada Rabbul-alamin!
Dialah yang akan memelihara engkau. Dialah yang akan
menolong dan mengasihani engkau, lebih daripada aku.
Jangankan manusia, sedangkan ulat dalam lubang batu sekalipun,
dipeliharakan dan diberinya rezeki. Oleh sebab itu, janganlah
hilang akal, melainkan pintalah siang dan malam kepada
Yang Maha Kuasa, supaya engkau dipeliharakan-Nya juga, di
dalam segala halmu. Kemudian janganlah pula lupa akan Samsu
ini! Walaupun ia bukan saudaramu sejati, tetapi ia lebih daripada
saudara kandungmu. Lagi pula ia telah berjanji kepadaku akan
setia kepadamu; di dunia dan akhirat."
"Sungguhkah demikian, Sam?" tanya Nurbaya dengan
segera, seraya memegang kedua belah tangan anak muda ini
sambil menentang mukanya. "Tak dapat kukatakan, betapa
besarnya hatiku mendengar perkataan ayahku tadi. Sungguhkah
tiada berubah hatimu kepadaku?"
"Sungguh, Nur," jawab Samsu. "Apa sebabnya hatiku akan
berubah kepadamu? Atas halmu pada waktu ini, tak boleh aku
berkecil hati, karena sekaliannya itu bukan kesalahanmu, melainkan
gerak daripada Tuhan juga. Seharusnya, karena engkau telah
ditimpa bahaya sedemikian itu, bertambah-tambah kasih
sayangku kepadamu, karena pertolongan dan belaku atas dirimu
pada waktu engkau dalam kesusahan ini, gkan amat berharga.
Janganlah engkau syak wasangka kepadaku! Walau bagaimana
sekalipun, engkau tinggal adikku, tak dapat dan tak boleh
kubuang-buang. Tali yang telah memperhubungkan aku dengan
engkau, telah tersimpul mati, tak dapat diungkai lagi. Dagingmu
telah menjadi dagingku, darahmu telah menjadi darahku; siapa
dapat menceraikan kita?"
"Aku banyak meminta terima kasih kepadamu, Samsu!
Hanya Allah yang mengetahui betapa sanangnya hatiku, mendengar
perkataanmu dan Dialah juga yang dapat membalas
kebaikanmu itu."
Tatkala ia berkata-kita sedemikian itu, tak dapatlah ditahan
oleh Nurbaya air matanya, yang telah berlinang-linang, jatuh
berderai ke tikar, sebagai manik putus talinya.
"Apabila aku tak ada lagi," kata Baginda Sulaiman pula,
"lebih berhati-hatilah engkau menjaga diri, pandai-pandai
memeliharakan badan; berkata di bawah-bawah*), mandi di
hilir-hilir, sebagai kata peribahasa. Karena sesungguhnya, bahasa
itulah yang menunjukkan bangsa, istimewa pula, karena sekalian
manusia yang baik, lebih suka kepada budi bahasa yang manis,
perkataan yang lemah-lembut daripada tingkah laku yang kasar,
perkataan yang tiada senonoh. Dengan kelakuan yang baik, lebih
banyak kita akan beroleh maksud kita dan lebih banyak pula kita
mendapat pertolongan, daripada dengan paksaari dan kekerasan.
Jika hendak mulia, hinakan diri. Sebab kemuliaan dan kehinaan
itu bukan datang dari kita sendiri, melainkan dari orang lain.
Apakah salahnya merendahkan diri? Tak hilang pangkat dan
bangsa; karena hati dan perkataan yang rendah. Tak mati ular
menyusup akar, kata pepatah kita. Perkataan yang rendah, budi
bahasa yang manis, tidak menjadi salah, bahkan acap kali membawa
kita ke tempat yang tinggi. Kebalikannya, perkataan yang
tinggi, sifat yang gaduk, mendatangkan kebencian. Jika pergi ke
negeri orang, haruslah air orang disauk**) dan ranting orang
dipatah, artinya jangan membawa aturan sendiri, melainkan adat
*) Merendah diri
**) Ditimba
kebiasaan orang dan negeri itulah yang dipakai dan dijalanan,
supaya disukai orang dan lekas mendapat sahabat kenalan yang
baik, yang sudi menolong kita dalam segala kesusahan kita.
Sahabat kesukaan, janganlah diperbanyak, sebab biasanya tiada
memberi faedah, bahkan acap kali menyedihkan hati. Sahabat
kedukaan, itulah yang baik dirapati. Sahabat musuh, yaitu orang
yang mengail dalam belanga dan menggunting dalam lipatan,
yang pura-pura bersahabat dengan kita, karena hendak mencelakakan
kita, haruslah berhati-hati benar, karena ialah yang
rupanya terlalu karib kepada kita dengan manis budi bahasanya.
Oleh sebab itu, janganlah lupa pula akan pepatah kita: Buah
yang manis itu acap kali berulat.
Yang tua harus dihormati, yang muda dikasihi, sama besar
mulia-memuliakan. Walaupun yang tua itu rupanya kurang
daripada kita, tentang pengetahuan, kekayaan, pangkat, bangsa,
ataupun yang lain-lain sebagainya, tetapi ia terlebih dahulu
makan garam daripada kita dan terlebih banyak merasai
kehidupan yang baik dan jahat. Ingatlah, lama hidup banyak
dirasai, jauh berjalan banyak dilihat. Oleh sebab itu pada orang
yang sedemikian, tak dapat tiada adalah juga pengetahuan atau
penglihatan atau penanggungan yang belum ada pada kita, atau
belum kita rasai. Itulah sebabnya orang ini harus dihormati.
Yang muda harus dikasihi; sebab mereka adik kita, yang
kurang kekuatan dan pengetahuannya daripada kita. Tak patut
kita mempergunakan kelebihan kita, akan menganiaya mereka.
Demikian pula segala mahluk yang ada, terlebih-lebih yang
lemah dan lata, haruslah disayangi. Jangan disakiti, karena
sekalian itu hamba Allah sebagai kita juga. Dengan sesama
manusia, haruslah berkasih-kasihan, beramah-ramahan dan
bertolong-tolongan, dalam segala pekerjaan, suka dan duka.
Terlebih-lebih yang sengsara dan kesusahan itulah, yang terutama
harus ditolong. Yang mulia dan kaya pun tak perlu
dihindarkan, karena yang miskin dapat membantu dengan
kekuatan dan nasehat dan yang kaya dapat menolong dengan
uang. Janganlah angkuh dan sombong; istimewa pula karena
pada kita sekarang ini, tak ada yang dapat disombongkan; uang
tidak, bangsa pun kurang. Walaupun ada berharta, berbangsa dan
berpangkat sekalipun, tak perlu disombongkan, karena sebagai
telah kukatakan, sekalian itu barang pinjaman belaka dan
hanyalah dalam dunia ini saja ada harganya. Bila yang empunya
kelak meminta kembali hartanya itu, tak dapat tiada haruslah
dipulangkan.
Jangan suka berbuat kejahatan dan kelaliman, melainkan
kebaikan itulah yang akan kaucintai. Itulah, pepatah: Raja adil
raja disembah, raja lalim raja disanggah. Sedangkan raja lagi
diperbuat demikian, apalagi kita. Pikiranmu pun haruslah suci
dan bersih, jangan suka berniat yang salah kepada dirimu atau
diri orang lain, karena segala perbuatan dan pikiran itu tak
hilang; ada awal tentu ada pula akhirnya. Segala perbuatan atau
pikiran yang jahat, tak kan tiada jahat jugalah jadinya kepada
dirimu sendiri atau diri sesamamu manusia. Kebalikannya,
segala perbuatan dan niat yang baik itu, tak dapat tiada akan
mendatangkan kebaikan juga atas dirimu atau diri orang lain.
Walaupun terkadang-kadang akibat perbuatan dan niatmu itu
berlainan rupanya daripada maksudmu, janganlah engkau syak;
sekalian itu takkan salah. Jika tak sekarang, kemudian tentulah
akan membalas juga kebaikan atau kejahatan itu. Yang baik itu,
tak dapat menimbulkan yang jahat itu, yang jahat tak dapat pula
mendatangkan yang baik.
Bila permintaanmu tiada kabul dan maksudmu tiada sampai,
dan jika engkau beroleh sesuatu kesusahan atau mara bahaya,
janganlah lekas putus asa, serta menyesal akan untungmu dan
murka akan Tuhanntu, karena segala sesuatu itu memanglah
karunia juga daripada Tuhanmu dan Tuhan itu sesungguhnya
bersifat adil serta pengasih penyayang kepada hamba-Nya;
sekali-kali tiadalah la berkehendak membinasakan hamba-Nya,
dalam waktu yang bagaimana sekalipun. Oleh sebab itu segala
yang dikurniakan-Nya kepada hamba-Nya, meskipun rupanya
jahat bagi mereka yang tiada mengerti, tetapi sesungguhnya
hakekatnya baik juga: Jika engkau pikirkan dan perhatikan
benar-benar akan nyatalah kepadamu, bahwa segala yang jahat
rupanya yang telah jatuh ke atas dirimu itu, ada juga
mengandung kebaikan, yaitu pelajaran, yang dapat membawa
engkau ke padang kemajuan yang sebenar-benarnya. Oleh
karena kesusahan dan kesengsaraan itulah, maka jadi bertambahtambah
pengetahuanmu dan ilmumu, tentang rahasia-rahasia
alam ini, dan kehidupan di atas dunia ini. Kesenangan dan
kesukaan jarang mendatangkan pelajaran, bahkan acap kali melupakan
manusia itu akan dirinya dan Tuhannya; terkadangkadang
menjadikan mereka itu sombong, angkuh serta tekebur.
Akan menerangkan, bahwa kecelakaan itu tak lain daripada
pelajaran, dengarlah misal ini! Seorang kanak-kanak, belum tahu
akan bahaya api. Bagaimana dapat diterangkan kepadanya,
supaya mengerti benar ia, akan kebesaran bahaya itu sehingga
dapat ia menghindarkan dirinya daripada api itu? Susah sangat
bukan'? Hampir tak dapat, karena bahaya itu tak dapat
diperlihatkan, atau dimisalkan kepada kanak-kanak yang kecil
itu dengan sebenar-benarnya, sebelum dirasainya sendiri. Pada
suatu hari, tatkala ia bermain-main api, dengan takdir Allah,
terbakarlah tangannya. Pada waktu itu, baharulah dirasainya
bahaya api itu. Mereka yang tiada tahu atau yang tiada hendak
berpikir lebih panjang, mengatakan kanak-kanak itu mendapat
hukuman daripada Tuhan, tetapi sesungguhnya mendapat kurnia,
yaitu suatu pengetahuan dan pelajaran yang tak dapat diperolehnya,
jika tiada dirasainya sendiri. Oleh karena kecelakaan itu,
bertambahlah pengetahuan kanak-kanak tadi dan dapatlah ia
menghindarkan dirinya daripada bahaya api, yang boleh berlipat
ganda besarnya daripada yang telah dirasainya itu. Bukankah ini
kurnia? Demikianlah juga segala kesusahan dan kecelakaan yang
lain-lain, tak dapat tiada, ada juga baiknya. Bila kaupikirkan
segala mara bahaya yang menimpa dirimu, niscaya terjatuhlah
engkau daripada was-was dan penyesalan hati serta beberapa
penyakit yang asalnya dari itu.
Pikiran yang masgul, sedih dan susah, tidak mendatangkan
kebaikan kepada dirimu, semata-mata kejahatan juga; melainkan
sabar dan tawakal, serta pikiran yang suci itulah juga, yang
menambah kesehatan badan. Bukankah telah dikatakan: sabar itu
anak kunci pintu surga. Bukankah sabar itu tanda faham yang
dalam, iman yang tetap, yaitu sifat-sifat yang mulia. Sabar itulah
yang acap kali memberi jalan ke surga dunia dan surga akhirat,
sedang tiada sabar, pemarah, pengumpat, dengki, khianat, loba
dan tamak dan sifat yang lain-lain, yang sebagai ini, acap kali
menuntun kita ke dalam neraka. Jika dapat engkau sabarkan
hatimu daripada segala kesedihan, kesusahan dan amarah, tentulah
dapat pula engkau tahan segala nafsumu yang tiada baik.
Sifat yang dengki khianat loba dan tamak itu, harus dilawan
dengan sekeras-kerasnya, supaya nyahlah sekaliannya dari
hatimu.
Kekayaan yang besar, pangkat yang tinggi, bangsa yang
mulia, tiada selamanya membawa kesenangan; karena
kebanyakan manusia bersifat tamak, tiada menerima yang telah
dikurniakan Tuhan kepadanya, melainkan hendak bertambahtambah
dan berlebih-lebihan juga. Dan jika dapat pun
dipenuhinya segala kehendak dan maksudnya itu bukan puas
hatinya, bahkan bertambah-tambah pulalah tamak dan lobanya,
dan semakin lupalah ia akan dirinya dan Tuhannya, karena asyik
hendak memuaskan hawa nafsunya yang tak dapat dipenuhi itu.
Dan jika tak dapat disampaikannya segala maksudnya itu,
menyesallah ia akan untungnya dan mengumpatlah ia kepada
Allah. Ke sini ke sana, tiadalah orang yang sedemikian itu akan
mendapat kesenangan dan kesejahteraan.
Oleh sebab itu terimalah segala yang telah dikurniakan
Tuhan itu dengan sabar. Jika hendak menambah yang telah ada
itu, boleh tetapi hendaklah minta kepada-Nya dan. dengan jalan
yang baik. Jika tiada dikabulkan permintaan itu sekarang,
sabarlah dahulu barangkali kemudian dapat juga, karena barang
sesuatu yang dikehendaki itu, niscaya akan diperoleh juga akhir
kelaknya, asal dengan yakin dan bersungguh-sungguh hati
meminta. Sebagai telah kukatakan, Tuhan itu bersifat pengasih
dan penyayang.
Orang yang pada lahirnya hina, miskin dan daif, terkadangkadang
hatinya terlebih senang daripada yang kaya, mulia atau
berpangkat tinggi. Misalnya, seorang anak, yang tinggal tersembunyi
di hutan atau di gunung, jauh dari¬pada segala
keindahan, kesukaan, kekayaan dan kepintaran dunia, acap kali
terlebih senang daripada orang kota, yang selalu diselimuti oleh
sekalian kebesaran dan kemuliaan; sebab keperluan untuk
kehidupan anak hutan itu, tiada seberapa, sehingga keinginan
hatinya hampir tak ada dan nafsunya pun kurang. Keinginan dan
nafsu itulah penggoda yang teramat besar
Setelah berhenti sejurus memakan buah-buahan bawaan
Samsu disambunglah pula oleh Baginda Sulaiman nasihat
kepada anaknya itu, "Janganlah engkau bersangka, kemajuan
dunia itu selamanya mendatangkan manfaat kepada manusia,
tidak. Misal yang mudah, yaitu ini: Apakah sebabnya maka
orang tua-tua dahulu kala umurnya lebih panjang dan badannya,
lebih sehat daripada orang sekarang ini? Padahal kehidupan
mereka itu tidak sernpurna dan keperluan mereka itu pun tiada
sebanyak orang sekarang ini? Pakaiannya terkadang-kadang
hanya sehelai kain kulit kayu, makanannya tiada dimasak dan
tiada diberi bumbu atau rempah-rempah, rumah tangganya, di
pokok kayu atau dalam gua batu.
Bukan umur dan kesehatan badannya saja yang lebih
daripada orang sekarang, tetapi ilmunya pun terlebih dalam pula;
misalnya ilmu bertanam padi, yang asalnya daripada orang
Hindu, zaman dahulu kala, sampai kepada waktu ini, belum
dapat diperbaiki orang. Candi-candi, yang diperbuat orang Hindu
itu, belum dapat ditiru oleh insinyur-insinyur.yang pandai,
tentang kekuatannya. Ilmu orang Mesir membungkus mayat
rajanya, sampai dapat disimpan beribu-ribu tahun lamanya pun,
tiada diketahui orang sekarang. Sampai dewasa ini masih ada
juga bekas-bekas orang dahulu itu, walaupun tiada sebagai di
masa mereka itu mesih hidup.
Ingatlah pula akan orang-orang gunung, di negeri kita ini
yang tinggal tersisih, jauh dari kota, di tempat yang sunyi!
Bukankah badan mereka itu terlebih sehat dan kuat daripada
orang kota? Hati dan pikirannya terlebih baik dan lebih bersih
pula? Apakah makanan mereka itu? Nasi dengan asam-asam dan
sayur-sayuran, yang tiada dimasak dengan sempurna. Sungguhpun
demikian, badannya sebagai gajah dan kekuatannya bukan
sedikit. Hujan dan panas tiada diindahkannya, bahkan seakanakan
menambahkan kesehatan badannya. Pakaiannya hanya
secarik kain, rumah tangganya dimasuki hujan dan angin, tetapi
jarang mereka itu sakit.
Akan orang kota yang telah maju itu, berbagai-bagai akal dan
obat yang dipakainya, supaya jangan sakit. Rumah tangganya
haruslah baik, menurut ilmu dokter, pakaiannya cukup daripada
kain yang baik-baik, makanannya haruslah dijaga benar-benar;
jangan sampai kekurangan dan kotor. Pada sangkaku kehidupan
yang serupa itulah, yang meracun manusia, menjadikan pendek
umurnya dan lemah badannya.
Kebaikan mereka, orang yang dikatakan setengah biadab itu,
aku sendiri telah acap kali merasainya; suka tolong-menolong,
beramah-ramahan, berkasih-kasihan, lurus hati, boleh dipercayai,
setia, hormat, tertib, sopan, santun, adil dan lain-lain;
sekaliannya, sifat-sifat yang telah dilupakan oleh kebanyakan
orang kota. Sayang orang yang sedemikian, makin lama makin
berkurang-kurang, bertukar dengan orang yang dinamakan
dirinya cerdik pandai dan beradab, tetapi yang sebenarnya,
makin pandai makin ganas dan makin buas, serta menukar sifatsifat
nenek moyangnya, yang mulia-mulia itu dengan dengki,
khianat, loba, tamak, hidup sendiri-sendiri, tiada hendak tolongmenolong,
tiada hendak beramah-ramahan dan berkasih-kasihan;
sombong, angkuh, kikir, tekebur, tak boleh dipercayai, tiada
setia, lalim dan sebagainya. Ah, bagaimanakah akhirnya dunia
ini, apabila kemajuan, yang sangat dicintai kaum sekarang,
membawa manusia ke jalan yang seperti itu?
Lagi pula, haruslah engkau ketahui, kemajuan itu, ialah suatu
perkakas, yang boleh ditujukan ke tempat yang baik dan ke
tempat yang jahat. Bila ke tempat yang baik di kemudian, baik
pulalah hasilnya tetapi bila ditujukan tempat yang jahat, tentu
jahatlah jadinya. Orang sekarang, rupa-rupanya hendak
menunjukkan perahu kemajuannya itu, ke pulau kejahatan, jadi
bukan akan menyempurnakan manusia, bahkan akan memusnahkan
segala yang hidup.
Bedil itu apakah gunanya, jika tak untuk menghabiskannya?
Meriam itu apakah faedahnya, jika tidak untuk meleburkan
dunia? Dan apakah sebabnya, maka jadi begini? Tak lain karena
orang sekarang, yang mengaku dirinya terlebih pandai dan
beradab daripada orang dahulu, yang dikatakannya biadab itu,
sesungguhnya bertambah ganas dan buas, sebagai telah
kukatakan tadi.
Makin bertambah maju manusia itu, makin bertambah besar
kebaikan dan kejahatannya. Ilmu dokter, yaitu suatu hasil
daripada kemajuan.itu, walaupun dapat dipergunakan, untuk
menyembuhkan penyakit, tetapi dapat pula dipakai akan
pembunuh yang hidup. Oleh sebab orang yang tiada beriman,
memang terlebih mudah digoda oleh kejahatan dari dipimpin
oleh kebaikan, menjadilah kemajuannya suatu bisa, yang
meracun dunia. Itulah sebabnya orang yang sedemikian, tak baik
diberi senjata kemajuan. Bukankah penjahat yang terpelajar itu,
terlebih berbahaya daripada penjahat yang bodoh? Bila seorang
yang bodoh, hendak mencuri, ditunggunya dahulu sampai yang
empunya tak ada atau sampai ia tidur. Jika mereka masih ada,
atau masih jaga, tak dapatlah disampaikannya maksudnya.
Tetapi penjahat yang terpelajar, di dalam hal itu, tentulah akan
mempergunakan segala ilmunya, yang terkadang-kadang boleh
sangat memberi bahaya, untuk menyampaikan niatnya. Oleh
sebab itu, segala ilmu yang jatuh kepada mereka yang tiada
berhati baik, akan menjadi senjata yang berbisalah, di tangan
mereka. Sebelum menuntut ilmu, haruslah dibersihkan dahulu
hati. Alangkah besar faedahnya, bila di sekolah diajarkan juga
ilmu suci hati!"
Hingga itu berhentilah Baginda Sulaiman berkata-kata, lalu
meminta pula buah apel sebuah. Kemudian barulah berkata pula
ia, "Bila engkau beruntung baik, pakailah kelebihan hartamu itu,
untuk menolong yang susah dan miskin, kepandaianmu, untuk
menunjuk mengajari yang belum tahu dan pangkatmu, untuk
membawa sesamamu manusia ke tempat yang sejahtera. Jika itu
kau lakukan, tak dapat tiada, selamatlah dan terpeliharalah
engkau dunia dan akhirat. Dan apabila telah datanglah pula
waktunya engkau akan meninggalkan dunia ini, niscaya takkan
adalah lagi sesuatu yang menjadi alangan bagi perjalananmu dan
berpulanglah engkau, dengan perasaan yang tulus, karena
kauketahui bahwa engkau, semasa hidupmu, tiada berbuat salah.
Hatimu pun suci dan cinta kepada kebaikan.
Suatu lagi yang hendak kukatakan kepadamu, yaitu pepatah
kita: pikir itu pelita hati. Peribahasa ini sangat benar, baik lahir
ataupun batin. Barang sesuaiu yang hendak diperbuat atau
dikatakan, hendaklah dipikir lebih dahulu dengan sehabis-habis
pikiran. Janganlah terburu dan jangan pula memakai ilmu katak,
telah melompat sebelum diketahui, apa yang akan terjadi atas
diri! Itulah sebabnya, acap kali salah lompatnya, yang mendatangkan
celaka kepadanya. Bila telah binasa, datanglah sesal
yang tiada berkeputusan. Tetapi apa gunanya lagi sesalan itu?
Perkataan yang telah keluar dari mulut dan sesuatu yang telah
terjadi, tak dapat ditarik kemliali. Sesal dahulu pendapatan, sesal
kemudian tak berguna, kata orang kita. Kesusahan yang
menimpa, karena kesalahan itu, harus ditanggung. Kaki
terdorong, ini padahannya, mulut terlanjur, emas padahannya*).
Oleh sebab itu, haruslah perlahan-lahan dan berhati-hati
bekerja: biar lambat asal selamat, tak lari gunung dikejar. Bila
telah ditimbang buruk haiknya, laba ruginya dan bila telah
dibolak-balikkan, dan nyata benar kebaikan pekerjaan itu,
kerjakanlah! Insya Allah, selamat. Lagi pula jangan suka
*) Alamatnya
mendengar hasut fitnah dan ajaran yang tiada baik: nasihat yang
baik itulah yang akan ditaruh dalam hati dan dipakai selama
hidup. Jika terlalu suka mendengar perkataan orang, menjadi
kacau balau pikiranmu dan acap kali meu¬datangkan sesalan
kepada yang salah, teperbuat sebagai cerita peladang dengan

keledainya."

No comments:

Post a Comment