Karya Marah Rusli
Lebih dari setahun lamanya kita
tinggalkan gunung Padang,
sejak Samsulbahri berjalan-jalan
ke sana dengan Nurbaya dan
teman-temannya. Sekarang marilah
kita kembali pula ke sana,
karena pada hari ini sangatlah
ramai di gunung itu, penuh sesak
dengan beratus-ratus orang
laki-laki perempuan, kecil besar, tua
muda. Dekat-dekat pekuburan; di
bawah-bawah polion kayu, di
tempat yang teduh-teduh, duduklah
mereka berkumpul-kumpul.
Ada yang sedang asyik membaca
salawat, untuk sekalian ahli
kubur, ada yang sedang asyik
membersihkan kubur orang tuanya,
ada yang sedang meratap menangis
di atas kubur anaknya,
yang baharu meninggal dunia dan ada
pula yang sedang
menyiramkan air cendana dan
menaruh bunga rampai, di atas
kubur saudaranya, yang amat
dicintainya. Akan tetapi ada pula
yang hanya duduk bercakap-cakap
saja dan banyak pula yang
datang sekedar hendak
melihat-lihat atau beramai-ramai saja. Di
jalan ke gunung itu dan di
kakinya, penuh dengan orang, sebagai
di pasar rupanya. Ada yang
datang, ada yang pergi dan ada pula
yang berhenti melepaskan lelah.
Di batang Arau kelihatan
berpuluh-puluh sampan, yang
menyeberangkan mereka pulang
balik, sedang di pinggir jalan
raya kelihatan pula
berpuluh-puluh bendi berjejer, menunggu
muatan. Fakir dan miskin serta
alim ulama, demikian pula hajihaji
banyak yang datang, untuk mendoa.
Ada yang kedengaran
sedang ratib dan ada pula yang
sedang membaca fatihah.
Apakah sebabnya maka ramai
sungguh waktu itu di gunung
Padang? O, karena hari itulah
penghabisan bulan Sya'ban; esoknya
akan mulai puasa bulan Ramadan.
Sebelum masuk ke dalam
bulan yang baik ini, pergilah
seisi kota Padang mengunjungi
pekuburan sekalian kaum
keluarganya, yang telah berpulang ke
rahmatullah, untuk mendoakan
arwahnya dan memohonkan
selamat, supaya yang telah
meninggal dan yang masih hidup
pun, semuanya dipelihara Tuhan
dalam segala hal.
Oleh sebab tinggal sehari itulah
kaum Muslimin boleh makan
siang hari, dipuas-puaskan
merekalah nafsunya dengan segala
makan-makanan yang lezat cita
rasanya. Itulah sebabnya maka
dinamakan orang Padang hari itu
"hari makan-makan".
Pada petangnya, kelihatan bulan
sebagai secarik kertas, memancarkan
cahayanya di sebelah barat tiada
berapa tingginya
dari muka airlaut. Oleh sebab itu
berbunyilah tabuh pada
sekalian langgar dan mesjid akan
memberitahukan kepada segala
urnat Islam, bahwa keesokan
harinya, puasa akan dimulai.
Setelah tiga hari puasa
dijalankan, pada keempat harinya,
masuklah sebuah kapal, yang
datang dari Jakarta ke pelabuhan
Teluk Bayur, membawa beberapa
murid-murid sekolah Jakarta,
yang asalnya dari Sumatra Barat.
Mereka hendak pulang ke
rumahnya mengujungi orang tua dan
handai tolannya, karena
dalam bulan puasa sekalian
sekolah Bumiputra ditutup.
Di antara murid-murid itu, adalah
juga Samsulbahri dengan
sahabatnya Arifin dan Bakhtiar.
Tatkala merapatlah sudah kapal
ke pangkalan, naiklah ketiga
mereka ke darat, lalu pulang
tergesa-gesa ke rumah orang tuanya
masing-masing, karena
sangat rindu hendak bertemu
dengan ibu-bapaknya. Hanya
Samsulbahrilah yang sebagai tiada
mengindah, karena kekasihnya
yang ditinggalkannya dahulu tak
ada lagi. Yang akan
menyambutnya hanya ibu bapaknya
saja. Istimewa pula, karena
pulangnya itu niscaya akan
membangunkan kembali segala
ingatan kepada waktu yang telah
silam.
Setelah sampailah Samsu ke rumah
orang tuanya, lalu berjabat
tanganlah ia dengan ayahnya dan
ibunya dipeluknya.
Kemudian masuklah ia ke dalam
biliknya, akan menukar
pakaiannya. Sebab itu keluarlah
pula, bercakap-cakap dengan
orang tuanya, menceritakan
halnya, pelajarannya di Jakarta dan
pelayarannya dengan kapal pulang
balik. Tetapi sungguhpun ia
berkata-kata itu hati dan
pikirannya tiada di sana, melayang
entah ke mana. Halnya ini
diketahui oleh ibunya dan Sitti
Maryam turut berdukacita,
mengenangkan nasib anaknya, yang
sebiji mata ini. Sungguhpun
demikian, tiadalah dibayangkan
Samsu, pada mukanya, perasaan
hatinya.
"Kasihan," kata Samsu
dengan suara yang pilu, karena sesungguhnya
hatinya terlalu sedih, tatkala
melihat rumah orang
tuanya dan rumah Nurbaya dengan
sekalian yang menimbulkan
ingatan kepada waktu yang telah
lalu, sehingga hampirlah
menyesal ia pulang ke Padang,
"hamba melihat seorang
hukuman membuangkan dirinya ke
laut sebagai seorang yang
telah putus asa."
"Di mana?" tanya ibunya
dengan terperanjat, mendengar
kabar yang dahsyat itu, takut
kalau-kalau anaknya berbuat
demikian pula.
"Di laut Tanjung Cina, malam
kemarin dahulu. Tatkala
gelombang amat besar, melompatlah
ia dari geladak kapal ke
laut, lalu hilang tiada timbul
lagi."
"Ya Allah, ya rabbi,
kasihan!" sahut ibunya dengan ngeri.
"Rupanya karena putus asa,
lebih suka ia mati di dalam laut
daripada menanggung kesengsaraan,
kehinaan dan malu. Patutlah
acap kali hamba lihat ia
termenung dan terkadang-kadang
menangis di gisi kapal; makan pun
kerap kali tiada suka."
"Barangkali ia hendak
lari," kata Sutan Mahmud.
"Pada pikiran hamba bukan
demikian," sahut Samsu, "karena
kapal waktu itu jauh di tengah lautan;
daratan tak kelihatan.
Masakan dapat ia mencapai pantai.
Lagi pula tangannya
dibelenggu; bagaimanakah ia dapat
berenang?"
"Sedih amat! Bagaimanakah
rasa hati anak-bininya, ibu-bapa
dan sanak saudaranya, bila
mendengar kabar itu?" kata Sitti
Maryam pula.
"Barangkali ia sebatang kara
atau besar kesalahannya," sahut
Sutan Mahmud.
"Kesalahan manusia itu,
hanya Allah yang mengetahui,"
jawab istrinya.
"Kabarnya ia dipersalahkan
membunuh orang, sebab itu dihukum
buang dalam rantai lima belas
tahun lamanya ke Sawah
Lunto," kata Samsu pula.
"Nah, dengarlah itu! Kalau
tak bersalah, masakan dihukum
seberat itu," jawab Sutan
Mahmud.
"Biarpun telah dihukum,
belum tentu lagi bersalah, karena
hukuman itu, walau rupanya adil
sekalipun, masih hukuman
dunia dan hakimnya manusia, yang
gawat dan lemah, sebagai
kita sekalian juga," jawab
Sitti Maryam.
"Baik; tetapi hakim itu
bukannya orang bodoh, melainkan
orang yang ahli dalam
undang-undang, orang yang telah terpelajar
dan bersekolah tinggi. Lagi pula
bukan seorang hakim
yang menghukum itu, melainkan
bersama-sama; bagaimana
boleh salah juga?" kata
Sutan Mahmud pula.
"Walau demikian sekalipun,
belum dapat juga lagi kita
pastikan, orang itu bersalah;
karena yang batin itu tak dapat
diketahui manusia," jawab
Sitti Maryam.
Samsulbahri tiada hendak
mencampuri pertengkaran ayah
dengan ibunya ini, istimewa pula
karena pikirannya tak ada di
sana.
"Bagaimana pula engkau
ini?" kata Sutan Mahmud,
"masakan hakim menghukum
orang dengan tiada semena-mena?
Tentulah telah cukup keterangannya
dengan saksi-saksinya
sekalian, baru dihukum."
"Saksi itulah yang acap kali
menyesatkan hakim untuk
mendapat kebenaran. Kakanda
jangan gusar, karena perkataan
adinda ini. Cobalah dengar misal
yang akan adinda ceritakan ini!
Seorang yang kaya atau berpangkat
tinggi, hendak membinasakan
seorang miskin. Dengan uang atau
pangkatnya itu, mudah
baginya mengadakan beberapa saksi
palsu. Bila hakim hanya
mendengar saksi saja, tentulah si
miskin, yang tiada bersalah itu,
akan dihukum.
Misal yang kedua. Di tempat yang
sunyi, dibunuh oleh
seorang penjahat seorang yang
melintas ke qana, karena hendak
merampas harta bendanya. Seorang
yang baik dan lurus hati,
yang tiada bersalah suatu apa
sampai pula ke sana. Tatkala
dilihatnya orang terhantar di
jalan raya, tentulah akan diperiksanya,
kalau-kalau masih dapat ditolong.
Karena memeriksa itu
pakaiannya kena darah. Ketika itu
datang empat orang yang lain
ke sana, lalu tampak olehnya si
lurus hati itu ada dekat mayat,
dengan pakaiannya berlumur darah.
Tidakkah ia akan didakwa
berbuat kejahatan itu? Sekalian
saksi tentu dapat mengaku di
hadapan hakim mereka telah
melihat dengan matanya sendiri
bahwa si lurus hatilah yang ada
dekat mayat, dengan berlumuran
darah pakaiannya. Saksi-saksi ini
berkata benar, tiada berdusta.
Tidaklah dapat dikatakan cukup
keterangan? Yaitu empat lima
saksi-saksi yang berkata benar
dan pakaian yang berlumuran
darah? Oleh sebab itu hakim
menghukum si lurus hati ini. Akan
tetapi benarkah ia bersalah dalam
pembunuhan itu?"
Oleh karena mendengar kebenaran
perkataan istrinya ini,
bangunlah Sutan Mahmud dari
kursinya, lalu pergi duduk di
serambi muka, karena kalah
bersoal jawab dengan istrinya, tetapi
malu mengaku kebodohannya.
Setelah keluar Sutan Mahmud,
barulah kelihatan oleh Sitti
Maryam, anaknya, Samsulbahri,
sedang termenung melihat ke
rumah Nurbaya, lalu ditegurnya
dengan pertanyaan, "Samsu,
apakah yang kaumenungkan?"
walaupun telah diketahuinya, apa
yang dipikirkan anaknya pada
waktu itu.
"Ah, tidak apa-apa,
Bu," sahut Samsu, "ingatan hamba belum
lepas dari kejadian yang telah
hamba ceritakan tadi. Rupanya
pengharapan yang putus itu, boleh
memberi bahaya, yang amat
sangat kepada manusia."
Mendengar jawaban anaknya ini,
berdebarlah Sitti Maryam,
takut kalau-kalau Samsu telah
putus asa pengharapan pula. Oleh
sebab itu, bertanyalah ia kepada
Samsu, akan menduga hati
anaknya ini, "Sudahkah
engkau tahu, bahwa Nurbaya telah
kawin dengan Datuk Meringgih? Ada
aku suruh ayahmu
mengabarkan hal itu kepadamu,
tetapi entah dikabarkannya
entah tidak, tiadalah kuketahui."
Yang sebenarnya dilarang oleh
Sitti Maryam, suaminya
menulis surat kepada Samsu,
tentang hal ini, sebab ia takut
anaknya ini akan putus asa.
"Sudah," jawab Samsu
dengan pendek, karena tak dapat
rupanya ia mendengar lagi kabar
itu.
"Barangkali engkau kurang
suka melihat perkawinan ini,
sebab sesungguhnya tak layak
saudaramu itu duduk dengan
Datuk Meringgih. Tetapi apa
hendak dikata? Sekalian itu takdir
daripada Tuhan semata-mata, tak
dapat dibatalkan lagi. Pergilah
engkau ke rumahnya! Ayahandanya
telah beberapa hari sakit. Di
sana akan kaudengar, bahwa itulah
jalan yang sebaik-baiknya
untuk melepaskan mereka daripada
kecelakaannya," kata Sitti
Maryam, membujuk anaknya.
"Sakit apakah Mamanda
Baginda Sulaiman?" tanya Samsu.
"Sakit demam dan sakit
kepala," jawab Sitti Maryam.
"Baiklah, segera hamba pergi
ke sana," kata Samsu, lalu
masuk ke biliknya akan menukar
pakaiannya. Tatkala itu
datanglah sais Ali membawa
sekalian buah-buahan yang dibawa
Samsu dari Jakarta.
"Sediakanlah sepiring untuk
Engkumu di muka dan sepiring
lagi untuk Engku Baginda
Sulaiman! Barangkali ada nafsunya
memakan buah-buahan. Telah
beberapa hari ia tidak makan,"
kata Sitti Maryam.
"Baiklah," jawab sais
Ali.
Tiada berapa lama kemudian
daripada itu, keluarlah Samsu
dari rumah orang tuanya,
diiringkan oleh Kusir Ali, pergi ke
rumah Baginda Sulaiman.
Setelah masuklah mereka ke
pekarangan rumah ini, berdebarlah
hati Samsu memandang bangku
tempat ia duduk
bersama-sama Nurbaya pada malam
ia akan berangkat ke
Jakarta, setahun yang telah lalu.
Teringat kembali olehnya
sekalian kelakuan dan perkataan
serta janjinya kepada Nurbaya,
pada malam itu dan apabila tak
malu ia kepada sais Ali, tentu
keluarlah air matanya, karena
sedih.
"Adakah Nurbaya dalam rumah
ini atau tiadakah?"
Demikianlah pikiran Samsu dalam
hatinya. Kalau ada bagaimana
ia bertemu dengan kekasihnya yang
telah meninggalkannya ini?
Setelah masuklah ia ke dalam
rumah Nurbaya, tiadalah
kelihatan olehnya seorang juga,
lalu ia berjalan perlahan-lahan,
masuk ke bilik Baginda Sulaiman.
Di sana tampaklah olehnya
saudagar ini sedang berbaring di
atas tempat tidurnya,
berselimutkan kain panas. Sangat
terperanjat Samsu serta sedih
hatinya melihat perubahan ayah
Nurbaya ini. Apabila di tempat
yang lain ia bertemu dengan
Baginda Sulaiman, tentulah tiada
percaya ia yang berbaring itu
memang mamanda angkatnya.
Rambutnya mulai putih, mukanya
pucat, badannya kurus,
mata dan pipinya serta napasnya
sekali-sekali, karena sangat
letih rupanya.
"Engkau Nurbaya? Hampirlah
kemari!"
"Hamba bukan Nurbaya,"
sahut Samsu dengan gemetar
bibirnya, karena menahan sedih
hatinya. "Hamba Samsulbahri,
baru datang dari Jakarta. Tatkala
hamba dengar Mamanda sakit,
segeralah hamba kemari."
Setelah mendengar perkataan ini,
menoleh si sakit kepada
Samsu dengan membesarkan matanya,
sebagai hendak menerangkan
penglihatannya.
"Samsulbahri?" tanyanya dengan
lemah suaranya.
"Hamba, Mamanda," jawab
Samsu.
"Marilah dekat kemari,
Samsu!" kata Baginda Sulaiman pula.
Samsu hampirlah dengan membawa
buah tangannya dari
Jakarta sambil berkata,
"Inilah hamba bawa buah-buahan sedikit;
kalau-kalau Mamanda dapat
memakannya."
"Buah apa itu?" tanya
si sakit, "sesungguhnya aku telah
beberapa hari tak enak
makan."
"Ada buah sauh Manila, ada
buah mangga, buah salak dan
nenas. Buah anggur dan apel pun
ada pula hamba beli di kedai.
Barangkali dapat menimbulkan
nafsu Mamanda," sahut Samsu.
"Cobalah beri aku buah sauh
itu sebuah; pilih yang lembut!"
kata Baginda Sulaiman.
Dipilihnya oleh Samsu sebuah sauh
Manila yang masak
benar, dibersihkannya dan
diberikannya kepada mamandanya
itu, lalu dimakanlah oleh Baginda
Sulaiman perlahan-lahan.
Rupanya nafsu makannya datang
sedikit, entah sebab segar buah
itu, entah sebab Samsu, yang
membawanya, wallahualam;
karena buah itu dimakannya
beberapa butir.
Sementara Baginda Sulaiman makan
itu, Samsu tiada putusputusnya
memandang mukanya dan sangatlah
besar hatinya
tatkala dilihatnya buah tangannya
itu dapat menimbulkan nafsu
si sakit, yang telah beberapa
hari tiada makan. `
"Sungguh nyaman buah yang
telah engkau bawa ini, Sam;
segar badanku rasanya
memakannya," kata si sakit. "Aku banyak
minta terima kasih kepadamu,
Samsu, apalagi karena rupanya
hatimu tiada berubah kepadaku, di
dalam aku ditimpa
kesengsaraan ini. Tadi aku sangka
engkau Nurbaya, karena ialah
yang kusuruh datang. Akan tetapi
bertambah-tambah besar
hatiku, tatkala kuketahui, engkau
pun telah ada di sini. Rupanya
petmintaanku dikabulkan Tuhan;
karena pertemuan ini telah
beberapa lama aku pohonkan.
Sangat ingin hatiku hendak berjumpa
dengan engkau, sebab adalah sesuatu
yang hendak kuminta
kepadamu."
"Permintaan apakah itu
Mamanda, katakanlah! Jika ada pada
hamba, tentulah hamba
berikan," jawab Samsu.
"Pada sangkaku tiadalah
berapa lama lagi aku hidup di atas
dunia ini. Sekalian gerak dan
tanda-tanda telah datang kepadaku,
memberi tahu, bahwa aku segera
akan berpulang ke
rahmatullah."
"Mamanda, janganlah berpikir
sedemikian! Ingatlah
Nurbaya!" kata Samsu dengan
berlinang-linang air matanya.
"Itulah yang menjadi alangan
padaku; itulah yang menggoda
pikiranku. Bila aku tak ada dalam
dunia ini, menjadilah Nurbaya
seorang anak yatim piatu, yang
tidak beribu-bapa dan sunyi pula
daripada segala sanak saudara
kaum keluarga. Bagaimanakah
halnya kelak, sepeninggalku;
sebatangkara di atas dunia ini?
Siapakah yang akin menolongnya
dalam segala kesusahannya,
dan siapakah yang akan menunjuk
mengajarnya dalam
kesalahannya? Karena maklumlah
engkau, umurnya baru
setahun jagung belum tahu hidup
sendiri, belum tahu kejahatan
dunia dan belum merasai azab
sengsara yang sebenar-benarnya.
Ketahuilah olehmu, Samsu,
walaupun di dalam dunia ini
dapat kita memperoleh kesenangan,
kesukaan, kekayaan, dan
kemuliaan, akan tetapi dunia ini
adalah mengandung pula segala
kesusahan, kesengsaraan,
kemiskinan, dan kehinaan yang
bermacam-macam rupa dan bangunnya,
tersembunyi pada segala
tempat mengintip kurbannya setiap
waktu, siap akan menerkam,
barang yang dekat kepadanya.
Lain daripada itu, dunia ini
penuh pula dengan ranjau
godaan, kelaliman, tipu daya,
hasud khasumat, sombong angkuh
dan dengki khianat. Apabila tiada
berhati-hati dan tak dapat
menghindarkan diri daripada
sekalian kejahatan itu, niscaya
terperosoklah kita ke dalamnya
dan binasalah badan. Pada
sebilang waktu, dalam segala
tempat, dapat kita bertemu dengan
bahaya ini. Di daratan, di lautan,
di udara, di dalam tanah, di
dalam rumah, di tengah jalan, di
dalam hutan, di tengah padang,
tidaklah luput kita daripada mara
bahaya itu. Sementara duduk,
sementara berjalan, tidur, minum
dan makan, berkata-kata,
melihat, mendengar, mencium dan
lain-lain sebagainya, dapat
bertemu dengan dia. Sesungguhnya,
Samsu, tak mudah hidup di
dunia ini. Itulah jembatan
siratalmustakim yang halusnya lebih
daripada rambut dibelah tujuh.
Tak mudah minitinya. Kebanyakan
orang jatuh, masuk ke
dalam api neraka yang menyala di
bawahnya. Hanya mereka
yang berhati-hati dalam segala
pekerjaannya dengan mempergunakan
pikiran yang sempurna, mereka
yang berhati suci dan
lurus, serta sabar dan tawakal,
itulah yang acap kali selamat
sampai ke seberang. Demikianlah
susahnya, jika hendak hidup
dengan baik di atas dunia ini,
apalagi bagi orang sebatangkara.
Telah kurasa sendiri, Samsu,
tatkala aku masih kecil. Itulah
sebabnya pada kebanyakan orang,
dunia neraka jahanam, perhubungan
seribu-ribu tali kesukaan dan
kesaktian, yang tidak
berkeputusan: patah tumbuh,
hilang berganti, dari awal sampai
akhir. Yang agak mujur sedikit
pun, bertukar-tukar pula
untungnya, sekali ke bawah sekali
ke atas; berputar sebagai roda
yang berpusing. Hanya beberapa
orang, saja yang mendapat
surganya di atas dunia ini.
Berilah aku beberapa buah anggur
lagi! Karena lemah
rasanya badanku, berkata-kata
ini."
Dengan segera Samsu memberikan
buah anggur kepada ayah
Nurbaya. Setelah buah itu
dimakannya beberapa butir, disambungnya
perkataannya tadi. "Oleh
sebab kuketahui dan
kurasai sendiri sekaliannya itu,
bertambah-tambah khawatirlah
hatiku meninggalkan Nurbaya.
Sedangkan bagi laki-laki, telah
sekian susahnya, istimewa pula
bagi perempuan yang bersifat:
lemah dan yang dipandang oleh
bangsa kita rendah derajatnya
daripada derajat laki-laki;
sedang bagi kebanyakan kaum
Muslimin hampir tiada berharga,
hampir sama dengan sahaya.
Bagaimanakah untungnya kelak?
Bingung hatiku memikirkan
hal itu. Akan tetapi, apa yang
hendak kukatakan, karena ajal,
untung, dan pertemuan itu tak
dapat ditentukan.
Oleh sebab di atas dunia ini tak
ada yang lain, melainkan
engkaulah anakku yang kedua,
engkaulah saudara Nurbaya,
kupintalah kepadamu, dengan
sebesar-besar pinta, supaya sudilah
kiranya engkau menolong dan
membantu saudaramu yang
piatu ini kelak, di dalam segala
halnya. Janganlah kausia-siakan
dan kaubuang-buang ia dan sudilah
engkau menjadi ibubapanya!
Janganlah engkau menaruh dendam
dan sakit hati
sebab ia telah menjadi istri
Datuk Meringgih! Engkau maklum,
Samsu, perkawinannya itu tiada
dengan sesuka hatinya dan tidak
dengan sesuka hatiku, melainkan
semata-mata karena takdir
daripada Tuhan Yang Masa Esa
juga, tak dapat diubah lagi.
Walaupun aku dan ia lebih suka
mati daripada berbuat
sedemikian, akan tetapi apalah
kuasa kami, akan membantah
kehendak Tuhan ini! Bukan
kesalahan Nurbaya, bukan
kesalahanku dan bukan kesalahan
siapa pun maka terjadi hal ini,
melainkan semata-mata telah nasib
Nurbaya yang sedemikian
itu."
Ketika itu berhentilah Baginda
Sulaiman sejurus berkata-kata
sebagai hendak menantikan jawaban
dari Samsu, tetapi karena
Samsu berdiam diri, lalu
diulangnya pertanyaannya, "Sudikah
engkau mengabulkan permintaanku
itu?"
"Masakan hamba tak
sudi," jawab Samsu. "Perkara itu
janganlah Mamanda khawatirkan;
walau bagaimana sekalipun,
Nurbaya tinggal adik hamba, dunia
dan akhirat; tak boleli hamba
buang atau hamba hilangkan dari
dalam hati hamba. Berjanjilah
hamba dengan bersaksikan Tuhan
dan rasul-Nya, selagi hamba
hidup, tiadalah akan hamba
sia-siakan Nurbaya."
Maka dipeganglah tangan Samsu
oleh Baginda Sulaiman
dengan kedua belah tangannya,
lalu diletakkannya di atas dadanya
dan dipejamkannya matanya
sejurus, sambil berkata dengan
lapang bunyi suaranya,
"Terima kasih!"
Tatkala itu tiba-tiba masuklah
Nurbaya ke dalam bilik itu.
Sesungguhnya Nurbaya telah lama
datang, karena dipanggil
oleh ayahnya. Akan tetapi ketika
didengarnya suara Samsulbahri
dalam bilik ayahnya, tiadalah
tahu apa yang hendak dibuatnya.
Walaupun hatinya sangat ingin
hendak masuk melihat ayahnya,
tetapi malu dan takut rasanya ia
akan bertemu dengan Samsulbahri.
Dalam hal yang demikian
bingunglah ia, lalu berdiri
seketika, di luar bilik ayahnya,
dengan hati yang berdebar-debar.
Setelah didengarnya janji Samsu
kepada ayahnya, barulah
hilang bingungnya, bertukar
dengan sukacita yang sangat, karena
sekarang diketahuinyalah bahwa
hati kekasih dan saudaranya ini;
tiada berubah kepadanya. Itulah
sebabnya, maka berani.ia
masuk, menemui ayahnya dan Samsu.
Ketika Samsu memandang muka
Nurbaya, dengan sekonyong-
konyong terbukalah mulutnya,
tiada berkata-kata. Hatinya
suka bercampur duka. Suka karena
bertemu dengan kekasihnya
ini, duka. karena mengenangkan
pengharapannya yang telah
putus.... Dilihatnya rupa Nurbaya
sungguh sangat berubah dari
dahulu, tatkala ditinggalkannya.
Badannya yang tinggi lampai
dan lemah gcmulai itu menjadi
kurus, mukanya yang putih
kuning sertaa kemerah-merahan,
bila kepanasan, menjadi pucat;
matanya yang jernih itu menjadi
pudar, dikelilingi oleh suatu
lingkaran hitam yang dalam;
pipinya seakan-akan cekung,
rambutnya kusut, sebagaia tiada
diindahkannya benar-benar.
Sekaliannya rnenyatakan kedukaan
dan kesakitan hati yang tiada
terhingga. Sangatlah sedih hati
Samsu melihat hal kekasihnya
sedemikian itu; sehingga tiada
dapat ia berkata-kata, untuk
pengeluarkan perasaan hatinya.
Tatkala terpandang oleh Nurbaya
Samsu, pura-pura
terperanjatlah ia, lalu, berkata
dengann riang rupanya, "Engkau
ada di sini, Sam! Apa kabar? Bila
datang?." lalu didekatinya
kekasihnya dan dijabatnya
tangannya.
"Tadi, dengan kapal yang
baru masuk," sahut Samsu, sambil
menjabat tangan Nurbaya.
"Tatkala aku sampai ke rumah, aku
dengar mamanda sakit; itulah
sebabnya segera aku datang
kemari. Apa kabar dirimu
sendiri?"
"Sebagai engkau lihat,"
jawab Nurbaya. "Sekaliannya bukan
menyatakan kesenangan. Akan
tetapi nantilah kuceritakan lebih
panjang tentang hal ini."
Kemudian didekati Nurbaya
ayahnya, lalu berkata, "Ayah,
apa kabar? Bagaimana perasaan
Ayah sekarang? Dan apakah
aral, maka di suruh datang ananda
ini?"
"Hampir padaku dan duduklah
engkau di sini! Ada suatu
yang penting, yang hendak
kuceritakan kepadamu."
Setelah hampirlah Nurbaya kepada
ayahnya, berkata Baginda
Sulaiman.
"Anakku Nurbaya! Ketahuilah
olehmu, aku ini sesungguhnya
telah lama sakit, tetapi tiada
kuperlihatkan kepadamu, melainkan
kutahan seboleh-bolehnya, supaya
kesakitanku ini jangan pula
sampai menambahkan kedukaan
hatimu. Aku ini telah tua,
perjalananku dalam dunia ini
tiada mendaki lagi, melainkan
menurunlah, ke tempatku yang
kekal, tempat aku akan
beristirahat selama-lamanya. Dari
yang tak ada aku akan
diadakan, dari kecil menjadi
besar, setelah besar menjadi tua dan
bila telah tua, berbaliklah aku
kembali kepada asalku.
Demikianlah perjalanan segala
yang bernyawa di atas dunia ini;
tak ada simpang yang lain dan tak
dipat pula diubah. Segala yang
hidup akan matilah juga pada
akhirnya, dan segala yang ada
akan bertukar-tukar juga
romannya.
Walaupun hal itu biasanya tiada
diingat orang atau tiada
sempat dipikirkan, karena
dirintang kesukaan atau kedukaan dan
karena pikiran yang sedemikian
pada kebanyakan orang
mendatangkan ngeri dan takut,
sebab kematian adalah sesuatu
yang gaib, akan tetapi
sekaliannya itu tiadalah akan mengubah
perjalanan alarn ini.
Sesungguhpun ingatan kepada mati mendatangkan
dahsyat di dalam hati, tetapi
janganlah dihilangkan
benar-benar pikiran ini,
melainkan harulah diinsyafkan juga,
bahwa maut itu, pada suatu ketika
akan datang juga, supaya
janganlah kita bersangka, akan
hidup selama-lamanya dan dapat
kekal bercampur gaul dengan
sekalian yang ada ini. Dengan
demikian, bila datang waktunya
kelak, kita akan menlnggalkan
dunia ini pula, bercerai daripada
segala yang dikasihi dan
disayangi, tiadalah kita akan
sangat terkejut dan hilang akal;
karena inilah yang acap kali
menyesatkan perjalanan yang pergi
dan merusakkan badan dan pikiran
yang tinggal; sebab menyesal
dan merindu, serta bersedih
bersusah hati dengan amat sangat.
Aku maklum, bercerai dengan
segala yang telah mengikat
hati, tak mudah; istimewa pula
bila perceraian itu perpisahan
yang akhir, bercerai tiada akan
bertemu lagi, pada sangka
setengah orang. Tetapi janganlah
lupa, bahwa sekaliannya itu
memanglah seharusnya demikian.
Walaupun suka atau tak suka,
riang ataupun duka, takut atau
berani, menyerah atau membantah,
bila ajal itu telah datang, tak
akan dapat dihindarkan lagi,
melainkan harus diterima dengan
menyerah, tulus dan ikhlas.
Apakah kekuasaan kita, insan yang
hina dan daif ini? Tak ada.
Sungguhpun ada di antara orang
yang sombong dan angkuh,
yang membesarkan dirinya atas
kepandaian, kekayaan, bangsa
atau pangkatnya yang tinggi, akan
tetapi berapakah kekuasaan
mereka, jika dibandingkan dengan
kekuasaan alam ini? Adalah
sebagai setitik air dengan lautan
sedunia ini; barangkali tak
sampai pula sedemikian.
Tentang kepandaian, aku akui,
banyak yang telah diketahui
orang, agaknya berjuta-juta kali
lipat ganda daripada itu.
Barangkali engkau tiada percaya
akan perkataanku ini, oleh
sebab itu marilah tanyakan
kepadamu suatu hal yang mudah
saja: manakah yang terlebih
dahulu ada, ayamkah atau telurkah?
Tanyakanlah kepada orang
pandai-pandai, siapakah dapat
memberi keterangan itu?
Tentang kekayaan yang besar dan
pangkat yang tinggi itu,
janganlah aku ceritakan lagi;
banyak contoh yang telah kaulihat
dan kaudengar sendiri. Walau
sebagaimana pun kekayaan dan
tinggi pangkat, manusia itu, jika
dengan kehendak Tuhan, dalam
sekejap mata hilanglah ia. Bangsa
yang tinggi, tak boleh menjadi
alasan kesombongan, karena
ketinggian itu sebab ditinggikan
dan kerendahan itu sebab
direndahkan orang. Jika tak ada yang
meninggikan dan mcrendahkan,
tentulah sama rata sekaliannya.
Dan siapakah yang meninggi dan
merendahkan itu? Hanya
manusia jua. Bukankah sekalian
manusia itu asalnya dari nabi
Adam dan Sitti Hawa? Bagaimana
boleh bertinggi berendah dan
berlain-lain, apabila asalnya
sama? Bukannya hendak kusamakan
saja sekalian rnanusia itu,
tidak. Ada juga perbedaannya;
tetapi bukan kebangsawanannya,
melainkan derajatnyalah yang
tiada sama. Sungguhpun demikian
derajat itu pun karunia Tuhan
jua. Apa gunanya menyombongkan
dengan pemberian orang?
Kelebihan yang diperoleh sendiri
pun, sebagai ilmu kepandaian,
tak boleh juga disombongkan,
sebab sekalian orang dapat memperoleh
ilmu dan kcpandaian, asal ada
untung nasibnya akan
beroleh anugerah itu.
Ya, Nur! Jika aku tiada letih, tentulah
akan kuuraikan
sekaliannya, karena banyak lagi
yang harus kauketahui. Akan
tetapi, supaya jangan terlalu
panjang ceritaku ini, baiklah aku
kembali kepada maksudku
tadi."
Setelah berhenti beberapa
lamanya, berkata pula Baginda
Sulaiman perlahan-lahan.
"Oleh sebab itu, bukankah lebih baik
dalam hal yang telah kuceritakan
tadi, jangan terlalu berawan
hati melainkan diperbanyak juga
sabar dan tawakal kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dengan
menyerah dan berdoa, supaya
yang berjalan dan yang tinggal
pun dipelihara juga. Aku
ceritakan hal itu kepadamu,
karena penyakitku ini rupanya kian
hari kian bertambah. Siapa tahu,
kalau-kalau besok lusa harus
meninggalkan engkau."
Mendengar perkataan ini,
menjeritlah Nurbaya, menangis
tersedu-sedu, memeluk dan mencium
ayahnya, sambil berkata,
"Ayah, janganlah pergi,
tinggallah bersama-sama ananda! Bila
Ayahanda akan pergi juga, bawalah
ananda sekali; jangan
ditinggalkan seorang diri di atas
dunia ini! Siapakah kelak yang
akan sudi menolong ananda,
sebagai Ayahanda? Ke manakah
tempat bertanya dan siapakah
tempat meminta? Jika sakit,
siapakah yang mengobat dan
menjaga? Jika susah, siapakah
yang akan melipur hati ananda
ini? Aduh, menjadilah yatim
piatu, sebatang kara, ananda di
atas dunia ini! Tiada beribu, tiada
berbapa, dan tiada bersaudara
pula. Ya Allah, bagaimanakah hal
hamba Mu kelak, bila Ayah hamba
tak ada lagi?"
Demikian bunyi tangis Nurbaya di
dada ayahnya.
"Jangan menangis, Nur!"
kata Baginda Sulaiman membujuk
anaknya. "Sekalian itu belum
tentu. Harapan dan ucapanku siang
dan malam, lamalah juga hendaknya
kita dapat bercampur gaul.
Kukatakan hal itu kepadamu;
supaya engkau ingat dan jangan
terlalu terperanjat, bila datang
waktunya; karena walau
bagaimana sekalipun, waktu itu
niscaya akan datang juga; tidak
sekarang, tentulah nanti. Akan
hidup selama-lainanya, tentu tak
dapat. Nyawa itu dalam tangan
Allah; jika dikehendakinya, bila
saja, niscaya melayanglah ia
dalam sekejap mata. Selagi aku
dapat betkata-kata, wajib bagiku,
untuk memberi ingat engkau,
supaya jangan menjadi sesalan
bagiku kelak.
Memang sedih hatiku mengenangkan
halku. sekarang ini.
Bila aku berpulang dewasa ini,
tak adalah apa-apa yang dapat
kutinggalkan padamu, lain
daripada cinta dan doaku; karena
sekalian hartaku tak ada lagi.
Tetapi janganlah engkau khawatir
dan putus asa! Serahkanlah
untungmu kepada Rabbul-alamin!
Dialah yang akan memelihara
engkau. Dialah yang akan
menolong dan mengasihani engkau,
lebih daripada aku.
Jangankan manusia, sedangkan ulat
dalam lubang batu sekalipun,
dipeliharakan dan diberinya
rezeki. Oleh sebab itu, janganlah
hilang akal, melainkan pintalah
siang dan malam kepada
Yang Maha Kuasa, supaya engkau
dipeliharakan-Nya juga, di
dalam segala halmu. Kemudian
janganlah pula lupa akan Samsu
ini! Walaupun ia bukan saudaramu
sejati, tetapi ia lebih daripada
saudara kandungmu. Lagi pula ia
telah berjanji kepadaku akan
setia kepadamu; di dunia dan
akhirat."
"Sungguhkah demikian,
Sam?" tanya Nurbaya dengan
segera, seraya memegang kedua
belah tangan anak muda ini
sambil menentang mukanya. "Tak
dapat kukatakan, betapa
besarnya hatiku mendengar
perkataan ayahku tadi. Sungguhkah
tiada berubah hatimu
kepadaku?"
"Sungguh, Nur," jawab
Samsu. "Apa sebabnya hatiku akan
berubah kepadamu? Atas halmu pada
waktu ini, tak boleh aku
berkecil hati, karena sekaliannya
itu bukan kesalahanmu, melainkan
gerak daripada Tuhan juga.
Seharusnya, karena engkau telah
ditimpa bahaya sedemikian itu,
bertambah-tambah kasih
sayangku kepadamu, karena
pertolongan dan belaku atas dirimu
pada waktu engkau dalam kesusahan
ini, gkan amat berharga.
Janganlah engkau syak wasangka
kepadaku! Walau bagaimana
sekalipun, engkau tinggal adikku,
tak dapat dan tak boleh
kubuang-buang. Tali yang telah
memperhubungkan aku dengan
engkau, telah tersimpul mati, tak
dapat diungkai lagi. Dagingmu
telah menjadi dagingku, darahmu
telah menjadi darahku; siapa
dapat menceraikan kita?"
"Aku banyak meminta terima
kasih kepadamu, Samsu!
Hanya Allah yang mengetahui
betapa sanangnya hatiku, mendengar
perkataanmu dan Dialah juga yang
dapat membalas
kebaikanmu itu."
Tatkala ia berkata-kita
sedemikian itu, tak dapatlah ditahan
oleh Nurbaya air matanya, yang
telah berlinang-linang, jatuh
berderai ke tikar, sebagai manik
putus talinya.
"Apabila aku tak ada
lagi," kata Baginda Sulaiman pula,
"lebih berhati-hatilah
engkau menjaga diri, pandai-pandai
memeliharakan badan; berkata di
bawah-bawah*), mandi di
hilir-hilir, sebagai kata
peribahasa. Karena sesungguhnya, bahasa
itulah yang menunjukkan bangsa,
istimewa pula, karena sekalian
manusia yang baik, lebih suka kepada
budi bahasa yang manis,
perkataan yang lemah-lembut
daripada tingkah laku yang kasar,
perkataan yang tiada senonoh.
Dengan kelakuan yang baik, lebih
banyak kita akan beroleh maksud
kita dan lebih banyak pula kita
mendapat pertolongan, daripada
dengan paksaari dan kekerasan.
Jika hendak mulia, hinakan diri.
Sebab kemuliaan dan kehinaan
itu bukan datang dari kita
sendiri, melainkan dari orang lain.
Apakah salahnya merendahkan diri?
Tak hilang pangkat dan
bangsa; karena hati dan perkataan
yang rendah. Tak mati ular
menyusup akar, kata pepatah kita.
Perkataan yang rendah, budi
bahasa yang manis, tidak menjadi
salah, bahkan acap kali membawa
kita ke tempat yang tinggi.
Kebalikannya, perkataan yang
tinggi, sifat yang gaduk,
mendatangkan kebencian. Jika pergi ke
negeri orang, haruslah air orang
disauk**) dan ranting orang
dipatah, artinya jangan membawa
aturan sendiri, melainkan adat
*) Merendah diri
**) Ditimba
kebiasaan orang dan negeri itulah
yang dipakai dan dijalanan,
supaya disukai orang dan lekas
mendapat sahabat kenalan yang
baik, yang sudi menolong kita
dalam segala kesusahan kita.
Sahabat kesukaan, janganlah
diperbanyak, sebab biasanya tiada
memberi faedah, bahkan acap kali
menyedihkan hati. Sahabat
kedukaan, itulah yang baik
dirapati. Sahabat musuh, yaitu orang
yang mengail dalam belanga dan
menggunting dalam lipatan,
yang pura-pura bersahabat dengan
kita, karena hendak mencelakakan
kita, haruslah berhati-hati
benar, karena ialah yang
rupanya terlalu karib kepada kita
dengan manis budi bahasanya.
Oleh sebab itu, janganlah lupa
pula akan pepatah kita: Buah
yang manis itu acap kali berulat.
Yang tua harus dihormati, yang
muda dikasihi, sama besar
mulia-memuliakan. Walaupun yang
tua itu rupanya kurang
daripada kita, tentang
pengetahuan, kekayaan, pangkat, bangsa,
ataupun yang lain-lain
sebagainya, tetapi ia terlebih dahulu
makan garam daripada kita dan
terlebih banyak merasai
kehidupan yang baik dan jahat.
Ingatlah, lama hidup banyak
dirasai, jauh berjalan banyak
dilihat. Oleh sebab itu pada orang
yang sedemikian, tak dapat tiada
adalah juga pengetahuan atau
penglihatan atau penanggungan
yang belum ada pada kita, atau
belum kita rasai. Itulah sebabnya
orang ini harus dihormati.
Yang muda harus dikasihi; sebab
mereka adik kita, yang
kurang kekuatan dan pengetahuannya
daripada kita. Tak patut
kita mempergunakan kelebihan
kita, akan menganiaya mereka.
Demikian pula segala mahluk yang
ada, terlebih-lebih yang
lemah dan lata, haruslah
disayangi. Jangan disakiti, karena
sekalian itu hamba Allah sebagai
kita juga. Dengan sesama
manusia, haruslah
berkasih-kasihan, beramah-ramahan dan
bertolong-tolongan, dalam segala
pekerjaan, suka dan duka.
Terlebih-lebih yang sengsara dan
kesusahan itulah, yang terutama
harus ditolong. Yang mulia dan
kaya pun tak perlu
dihindarkan, karena yang miskin
dapat membantu dengan
kekuatan dan nasehat dan yang
kaya dapat menolong dengan
uang. Janganlah angkuh dan
sombong; istimewa pula karena
pada kita sekarang ini, tak ada
yang dapat disombongkan; uang
tidak, bangsa pun kurang.
Walaupun ada berharta, berbangsa dan
berpangkat sekalipun, tak perlu
disombongkan, karena sebagai
telah kukatakan, sekalian itu
barang pinjaman belaka dan
hanyalah dalam dunia ini saja ada
harganya. Bila yang empunya
kelak meminta kembali hartanya
itu, tak dapat tiada haruslah
dipulangkan.
Jangan suka berbuat kejahatan dan
kelaliman, melainkan
kebaikan itulah yang akan
kaucintai. Itulah, pepatah: Raja adil
raja disembah, raja lalim raja
disanggah. Sedangkan raja lagi
diperbuat demikian, apalagi kita.
Pikiranmu pun haruslah suci
dan bersih, jangan suka berniat
yang salah kepada dirimu atau
diri orang lain, karena segala
perbuatan dan pikiran itu tak
hilang; ada awal tentu ada pula
akhirnya. Segala perbuatan atau
pikiran yang jahat, tak kan tiada
jahat jugalah jadinya kepada
dirimu sendiri atau diri sesamamu
manusia. Kebalikannya,
segala perbuatan dan niat yang
baik itu, tak dapat tiada akan
mendatangkan kebaikan juga atas
dirimu atau diri orang lain.
Walaupun terkadang-kadang akibat
perbuatan dan niatmu itu
berlainan rupanya daripada
maksudmu, janganlah engkau syak;
sekalian itu takkan salah. Jika
tak sekarang, kemudian tentulah
akan membalas juga kebaikan atau
kejahatan itu. Yang baik itu,
tak dapat menimbulkan yang jahat
itu, yang jahat tak dapat pula
mendatangkan yang baik.
Bila permintaanmu tiada kabul dan
maksudmu tiada sampai,
dan jika engkau beroleh sesuatu
kesusahan atau mara bahaya,
janganlah lekas putus asa, serta
menyesal akan untungmu dan
murka akan Tuhanntu, karena
segala sesuatu itu memanglah
karunia juga daripada Tuhanmu dan
Tuhan itu sesungguhnya
bersifat adil serta pengasih
penyayang kepada hamba-Nya;
sekali-kali tiadalah la
berkehendak membinasakan hamba-Nya,
dalam waktu yang bagaimana
sekalipun. Oleh sebab itu segala
yang dikurniakan-Nya kepada
hamba-Nya, meskipun rupanya
jahat bagi mereka yang tiada
mengerti, tetapi sesungguhnya
hakekatnya baik juga: Jika engkau
pikirkan dan perhatikan
benar-benar akan nyatalah
kepadamu, bahwa segala yang jahat
rupanya yang telah jatuh ke atas
dirimu itu, ada juga
mengandung kebaikan, yaitu
pelajaran, yang dapat membawa
engkau ke padang kemajuan yang
sebenar-benarnya. Oleh
karena kesusahan dan kesengsaraan
itulah, maka jadi bertambahtambah
pengetahuanmu dan ilmumu, tentang
rahasia-rahasia
alam ini, dan kehidupan di atas
dunia ini. Kesenangan dan
kesukaan jarang mendatangkan
pelajaran, bahkan acap kali melupakan
manusia itu akan dirinya dan
Tuhannya; terkadangkadang
menjadikan mereka itu sombong,
angkuh serta tekebur.
Akan menerangkan, bahwa
kecelakaan itu tak lain daripada
pelajaran, dengarlah misal ini!
Seorang kanak-kanak, belum tahu
akan bahaya api. Bagaimana dapat
diterangkan kepadanya,
supaya mengerti benar ia, akan
kebesaran bahaya itu sehingga
dapat ia menghindarkan dirinya
daripada api itu? Susah sangat
bukan'? Hampir tak dapat, karena
bahaya itu tak dapat
diperlihatkan, atau dimisalkan
kepada kanak-kanak yang kecil
itu dengan sebenar-benarnya,
sebelum dirasainya sendiri. Pada
suatu hari, tatkala ia
bermain-main api, dengan takdir Allah,
terbakarlah tangannya. Pada waktu
itu, baharulah dirasainya
bahaya api itu. Mereka yang tiada
tahu atau yang tiada hendak
berpikir lebih panjang,
mengatakan kanak-kanak itu mendapat
hukuman daripada Tuhan, tetapi
sesungguhnya mendapat kurnia,
yaitu suatu pengetahuan dan
pelajaran yang tak dapat diperolehnya,
jika tiada dirasainya sendiri.
Oleh karena kecelakaan itu,
bertambahlah pengetahuan
kanak-kanak tadi dan dapatlah ia
menghindarkan dirinya daripada
bahaya api, yang boleh berlipat
ganda besarnya daripada yang
telah dirasainya itu. Bukankah ini
kurnia? Demikianlah juga segala
kesusahan dan kecelakaan yang
lain-lain, tak dapat tiada, ada
juga baiknya. Bila kaupikirkan
segala mara bahaya yang menimpa
dirimu, niscaya terjatuhlah
engkau daripada was-was dan
penyesalan hati serta beberapa
penyakit yang asalnya dari itu.
Pikiran yang masgul, sedih dan
susah, tidak mendatangkan
kebaikan kepada dirimu,
semata-mata kejahatan juga; melainkan
sabar dan tawakal, serta pikiran
yang suci itulah juga, yang
menambah kesehatan badan.
Bukankah telah dikatakan: sabar itu
anak kunci pintu surga. Bukankah
sabar itu tanda faham yang
dalam, iman yang tetap, yaitu
sifat-sifat yang mulia. Sabar itulah
yang acap kali memberi jalan ke
surga dunia dan surga akhirat,
sedang tiada sabar, pemarah,
pengumpat, dengki, khianat, loba
dan tamak dan sifat yang
lain-lain, yang sebagai ini, acap kali
menuntun kita ke dalam neraka.
Jika dapat engkau sabarkan
hatimu daripada segala kesedihan,
kesusahan dan amarah, tentulah
dapat pula engkau tahan segala
nafsumu yang tiada baik.
Sifat yang dengki khianat loba
dan tamak itu, harus dilawan
dengan sekeras-kerasnya, supaya
nyahlah sekaliannya dari
hatimu.
Kekayaan yang besar, pangkat yang
tinggi, bangsa yang
mulia, tiada selamanya membawa
kesenangan; karena
kebanyakan manusia bersifat tamak,
tiada menerima yang telah
dikurniakan Tuhan kepadanya,
melainkan hendak bertambahtambah
dan berlebih-lebihan juga. Dan
jika dapat pun
dipenuhinya segala kehendak dan
maksudnya itu bukan puas
hatinya, bahkan bertambah-tambah
pulalah tamak dan lobanya,
dan semakin lupalah ia akan
dirinya dan Tuhannya, karena asyik
hendak memuaskan hawa nafsunya
yang tak dapat dipenuhi itu.
Dan jika tak dapat disampaikannya
segala maksudnya itu,
menyesallah ia akan untungnya dan
mengumpatlah ia kepada
Allah. Ke sini ke sana, tiadalah
orang yang sedemikian itu akan
mendapat kesenangan dan
kesejahteraan.
Oleh sebab itu terimalah segala
yang telah dikurniakan
Tuhan itu dengan sabar. Jika
hendak menambah yang telah ada
itu, boleh tetapi hendaklah minta
kepada-Nya dan. dengan jalan
yang baik. Jika tiada dikabulkan
permintaan itu sekarang,
sabarlah dahulu barangkali
kemudian dapat juga, karena barang
sesuatu yang dikehendaki itu,
niscaya akan diperoleh juga akhir
kelaknya, asal dengan yakin dan
bersungguh-sungguh hati
meminta. Sebagai telah kukatakan,
Tuhan itu bersifat pengasih
dan penyayang.
Orang yang pada lahirnya hina,
miskin dan daif, terkadangkadang
hatinya terlebih senang daripada
yang kaya, mulia atau
berpangkat tinggi. Misalnya,
seorang anak, yang tinggal tersembunyi
di hutan atau di gunung, jauh
dari¬pada segala
keindahan, kesukaan, kekayaan dan
kepintaran dunia, acap kali
terlebih senang daripada orang
kota, yang selalu diselimuti oleh
sekalian kebesaran dan kemuliaan;
sebab keperluan untuk
kehidupan anak hutan itu, tiada
seberapa, sehingga keinginan
hatinya hampir tak ada dan
nafsunya pun kurang. Keinginan dan
nafsu itulah penggoda yang
teramat besar
Setelah berhenti sejurus memakan
buah-buahan bawaan
Samsu disambunglah pula oleh
Baginda Sulaiman nasihat
kepada anaknya itu,
"Janganlah engkau bersangka, kemajuan
dunia itu selamanya mendatangkan
manfaat kepada manusia,
tidak. Misal yang mudah, yaitu
ini: Apakah sebabnya maka
orang tua-tua dahulu kala umurnya
lebih panjang dan badannya,
lebih sehat daripada orang
sekarang ini? Padahal kehidupan
mereka itu tidak sernpurna dan
keperluan mereka itu pun tiada
sebanyak orang sekarang ini?
Pakaiannya terkadang-kadang
hanya sehelai kain kulit kayu,
makanannya tiada dimasak dan
tiada diberi bumbu atau
rempah-rempah, rumah tangganya, di
pokok kayu atau dalam gua batu.
Bukan umur dan kesehatan badannya
saja yang lebih
daripada orang sekarang, tetapi
ilmunya pun terlebih dalam pula;
misalnya ilmu bertanam padi, yang
asalnya daripada orang
Hindu, zaman dahulu kala, sampai
kepada waktu ini, belum
dapat diperbaiki orang.
Candi-candi, yang diperbuat orang Hindu
itu, belum dapat ditiru oleh
insinyur-insinyur.yang pandai,
tentang kekuatannya. Ilmu orang
Mesir membungkus mayat
rajanya, sampai dapat disimpan
beribu-ribu tahun lamanya pun,
tiada diketahui orang sekarang.
Sampai dewasa ini masih ada
juga bekas-bekas orang dahulu
itu, walaupun tiada sebagai di
masa mereka itu mesih hidup.
Ingatlah pula akan orang-orang
gunung, di negeri kita ini
yang tinggal tersisih, jauh dari
kota, di tempat yang sunyi!
Bukankah badan mereka itu
terlebih sehat dan kuat daripada
orang kota? Hati dan pikirannya
terlebih baik dan lebih bersih
pula? Apakah makanan mereka itu?
Nasi dengan asam-asam dan
sayur-sayuran, yang tiada dimasak
dengan sempurna. Sungguhpun
demikian, badannya sebagai gajah
dan kekuatannya bukan
sedikit. Hujan dan panas tiada
diindahkannya, bahkan seakanakan
menambahkan kesehatan badannya.
Pakaiannya hanya
secarik kain, rumah tangganya
dimasuki hujan dan angin, tetapi
jarang mereka itu sakit.
Akan orang kota yang telah maju
itu, berbagai-bagai akal dan
obat yang dipakainya, supaya
jangan sakit. Rumah tangganya
haruslah baik, menurut ilmu
dokter, pakaiannya cukup daripada
kain yang baik-baik, makanannya
haruslah dijaga benar-benar;
jangan sampai kekurangan dan
kotor. Pada sangkaku kehidupan
yang serupa itulah, yang meracun
manusia, menjadikan pendek
umurnya dan lemah badannya.
Kebaikan mereka, orang yang
dikatakan setengah biadab itu,
aku sendiri telah acap kali
merasainya; suka tolong-menolong,
beramah-ramahan,
berkasih-kasihan, lurus hati, boleh dipercayai,
setia, hormat, tertib, sopan,
santun, adil dan lain-lain;
sekaliannya, sifat-sifat yang
telah dilupakan oleh kebanyakan
orang kota. Sayang orang yang
sedemikian, makin lama makin
berkurang-kurang, bertukar dengan
orang yang dinamakan
dirinya cerdik pandai dan
beradab, tetapi yang sebenarnya,
makin pandai makin ganas dan
makin buas, serta menukar sifatsifat
nenek moyangnya, yang mulia-mulia
itu dengan dengki,
khianat, loba, tamak, hidup
sendiri-sendiri, tiada hendak tolongmenolong,
tiada hendak beramah-ramahan dan
berkasih-kasihan;
sombong, angkuh, kikir, tekebur,
tak boleh dipercayai, tiada
setia, lalim dan sebagainya. Ah,
bagaimanakah akhirnya dunia
ini, apabila kemajuan, yang
sangat dicintai kaum sekarang,
membawa manusia ke jalan yang
seperti itu?
Lagi pula, haruslah engkau
ketahui, kemajuan itu, ialah suatu
perkakas, yang boleh ditujukan ke
tempat yang baik dan ke
tempat yang jahat. Bila ke tempat
yang baik di kemudian, baik
pulalah hasilnya tetapi bila
ditujukan tempat yang jahat, tentu
jahatlah jadinya. Orang sekarang,
rupa-rupanya hendak
menunjukkan perahu kemajuannya
itu, ke pulau kejahatan, jadi
bukan akan menyempurnakan
manusia, bahkan akan memusnahkan
segala yang hidup.
Bedil itu apakah gunanya, jika
tak untuk menghabiskannya?
Meriam itu apakah faedahnya, jika
tidak untuk meleburkan
dunia? Dan apakah sebabnya, maka
jadi begini? Tak lain karena
orang sekarang, yang mengaku
dirinya terlebih pandai dan
beradab daripada orang dahulu,
yang dikatakannya biadab itu,
sesungguhnya bertambah ganas dan
buas, sebagai telah
kukatakan tadi.
Makin bertambah maju manusia itu,
makin bertambah besar
kebaikan dan kejahatannya. Ilmu
dokter, yaitu suatu hasil
daripada kemajuan.itu, walaupun
dapat dipergunakan, untuk
menyembuhkan penyakit, tetapi
dapat pula dipakai akan
pembunuh yang hidup. Oleh sebab
orang yang tiada beriman,
memang terlebih mudah digoda oleh
kejahatan dari dipimpin
oleh kebaikan, menjadilah
kemajuannya suatu bisa, yang
meracun dunia. Itulah sebabnya
orang yang sedemikian, tak baik
diberi senjata kemajuan. Bukankah
penjahat yang terpelajar itu,
terlebih berbahaya daripada
penjahat yang bodoh? Bila seorang
yang bodoh, hendak mencuri,
ditunggunya dahulu sampai yang
empunya tak ada atau sampai ia
tidur. Jika mereka masih ada,
atau masih jaga, tak dapatlah
disampaikannya maksudnya.
Tetapi penjahat yang terpelajar,
di dalam hal itu, tentulah akan
mempergunakan segala ilmunya,
yang terkadang-kadang boleh
sangat memberi bahaya, untuk
menyampaikan niatnya. Oleh
sebab itu, segala ilmu yang jatuh
kepada mereka yang tiada
berhati baik, akan menjadi
senjata yang berbisalah, di tangan
mereka. Sebelum menuntut ilmu,
haruslah dibersihkan dahulu
hati. Alangkah besar faedahnya,
bila di sekolah diajarkan juga
ilmu suci hati!"
Hingga itu berhentilah Baginda
Sulaiman berkata-kata, lalu
meminta pula buah apel sebuah.
Kemudian barulah berkata pula
ia, "Bila engkau beruntung
baik, pakailah kelebihan hartamu itu,
untuk menolong yang susah dan
miskin, kepandaianmu, untuk
menunjuk mengajari yang belum
tahu dan pangkatmu, untuk
membawa sesamamu manusia ke
tempat yang sejahtera. Jika itu
kau lakukan, tak dapat tiada,
selamatlah dan terpeliharalah
engkau dunia dan akhirat. Dan
apabila telah datanglah pula
waktunya engkau akan meninggalkan
dunia ini, niscaya takkan
adalah lagi sesuatu yang menjadi
alangan bagi perjalananmu dan
berpulanglah engkau, dengan
perasaan yang tulus, karena
kauketahui bahwa engkau, semasa
hidupmu, tiada berbuat salah.
Hatimu pun suci dan cinta kepada
kebaikan.
Suatu lagi yang hendak kukatakan
kepadamu, yaitu pepatah
kita: pikir itu pelita hati.
Peribahasa ini sangat benar, baik lahir
ataupun batin. Barang sesuaiu
yang hendak diperbuat atau
dikatakan, hendaklah dipikir
lebih dahulu dengan sehabis-habis
pikiran. Janganlah terburu dan
jangan pula memakai ilmu katak,
telah melompat sebelum diketahui,
apa yang akan terjadi atas
diri! Itulah sebabnya, acap kali
salah lompatnya, yang mendatangkan
celaka kepadanya. Bila telah
binasa, datanglah sesal
yang tiada berkeputusan. Tetapi
apa gunanya lagi sesalan itu?
Perkataan yang telah keluar dari
mulut dan sesuatu yang telah
terjadi, tak dapat ditarik
kemliali. Sesal dahulu pendapatan, sesal
kemudian tak berguna, kata orang
kita. Kesusahan yang
menimpa, karena kesalahan itu,
harus ditanggung. Kaki
terdorong, ini padahannya, mulut
terlanjur, emas padahannya*).
Oleh sebab itu, haruslah
perlahan-lahan dan berhati-hati
bekerja: biar lambat asal
selamat, tak lari gunung dikejar. Bila
telah ditimbang buruk haiknya,
laba ruginya dan bila telah
dibolak-balikkan, dan nyata benar
kebaikan pekerjaan itu,
kerjakanlah! Insya Allah,
selamat. Lagi pula jangan suka
*) Alamatnya
mendengar hasut fitnah dan ajaran
yang tiada baik: nasihat yang
baik itulah yang akan ditaruh
dalam hati dan dipakai selama
hidup. Jika terlalu suka
mendengar perkataan orang, menjadi
kacau balau pikiranmu dan acap
kali meu¬datangkan sesalan
kepada yang salah, teperbuat
sebagai cerita peladang dengan
keledainya."
No comments:
Post a Comment