Datuk Meringgih
Karya Marah Rusli
Di kampung Ranah, di kota Padang
adalah sebuah rumah kayu,
beratapan seng. Letaknya jauh
dari jalan besar, dalam kebun
yang luas, tersembunyi di bawah
pohon-pohon kayu yang
rindang. Jika ditilik pada alat
perkakas rumah ini dan susunannya,
nyatalah rumah ini suatu rumah
yang tiada dipelihara benarbenar,
karena sekalian yang ada dalamnya
telah tua kotor dan
tempatnya tiada teratur dengan
baik.
Di serambi muka hanya ada sebuah
lampu gantung macam
lama, yang telah berkarat
besi-besinya. Apabila tak ada orang
datang, lampu itu tiada dipasang.
Dan oleh sebab yang empunya
rumah rupanya jarang menerima
jamu pada malam hari di sana,
minyak tanah yang ada dalam lampu
itu, terkadang-kadang
berpekan-pekan belum habis.
Di bawah lampu ini, ada meja
bundar, yang rupanya telah
sangat tua, dikelilingi oleh
empat kursi goyang dari kayu, yang
warnanya hampir tak kelihatan
lagi, karena catnya telah hilang.
Di ruang tengah, hanya ada sebuah
lemari makan, yang umurnya
kira-kira setengah abad.
Sebuah meja marmar kecil, yang
batunya telah kuning serta
berlubang-lubang, terletak dekat
dinding, diapit oleh dua buah
kursi kayu yang tempat duduknya
dari kulit kambing, sedang di
lantai terhampar tikar rotan yang
telah tua. Ruang tengah ini
pada malam hari diterangi oleh
sebuah lampu dinding, yang
dipasang dari setengah tujuh
sampai pukul sepuluh malam. Di
serambi belakang, hanya ada suatu
perhiasan saja, yaitu kursi
malas kain, yang tak kelihatan
lagi coraknya.
Itulah rumah Datuk Meringgih,
saudagar yang termasyhur
kaya di Padang. Ia bergelar Datuk
bukanlah karena ia Penghulu
adat, melainkan panggilan saja
baginya. Walaupun rumahnya ini
katanya sekadar tempat bendi,
kereta dan kuda dengan kusirnya,
tetapi memang itulah rumahnya
yang sesungguh-sungguhnya;
karena di sanalah ia tetap
tinggal, sedang sebuah daripada
tokonya, yang dikatakannya
rumahnya yang sebenar-benarnya,
dipakainya hanya untuk menyambut
kedatangan sahabat kenalan
saja. Malukah Datuk Meringgih
mengaku rumahnya di Ranah itu
tempat kediamannya yang sejati?
Barangkali jawab pertanyaan
ini akan bertemu juga nanti.
Tatkala cerita ini terjadi, Datuk
Meringgih kelihatan duduk di
serambi belakang rumahnya yang
di Ranah itu, di atas kursi malas
tadi.
Sebelum diceritakan kekayaannya,
baiklah digambarkan
dahulu bentuk dan bangun badannya
dan diterangkan pula tabiat
dan kelakuannya, supaya kenal
benar kita akan dia dan tiada lupa
lagi, apabila ia kelak
berulang-ulang bertemu dalam hikayat ini.
Badannya kurus tinggi,
punggungnya bungkuk udang,
dadanya cekung, serta kakinya
pengkar, kepalanya besar, tetapi
tipis di muka, serta sulah pula.
Rambutnya yang tinggal sedikit
sekeliling kepalanya itu, telah
putih sebagai kapas dibusur. Misai
dan janggutnya panjang, tetapi
hanya beberapa helai saja, tergantung
pada dagu dan ujung bibirnya,
melengkung ke bawah.
Umurnya lebih dari setengah abad.
Matanya kecil, tetapi tajam,
hidungnya bungkuk, mulutnya
besar, giginya hitam dan kotor,
yang di muka keluar sebagai gigi
tupai. Telinganya besar, seperti
telinga gajah, kulit mukanya
berkarut marut dan penuh dengan
bekas penyakit cacar.
Menurut gambar yang terlukis di
atas, nyatalah Datuk
Meringgih ini bukan seorang yang
masih muda remaja dan
bersikap tampan, melainkan
seorang tua renta yang buruk.
Sekarang marilah kita ceritakan
adat dan tabiatnya, kalau-kalau
berpadanan dengan rupanya.
Saudagar ini adalah seorang yang
bakhil, loba dan tamak,
tiada pengasih dan penyayang,
serta bengis kasar budi
pekertinya. Asal ia akan beroleh
uang, asal akan sampai
maksudnya, tiadalah diindahkannya
barang sesuatu, tiadalah
ditakutinya barang apa pun dan
tiadalah ia pandang-memandang.
Terbujur lalu, terbelintang
patah, katanya.
Apabila ia hendak mengeluarkan
uangnya, walau sesen sekali
pun, dibalik-balik dan
ditungkuptelentangkannya duit itu beberapa
kali; karena sangat sayang ia
akan bercerai dengan mata
uangnya itu.
Ditimbangnya benar-benar,
sungguhkah perlu uang itu
dibelanjakan atau tidak dan tak
adakah jalan lain yang akan
dapat menyampaikan maksudnya,
dengan tiada mengeluarkan
uang atau dengan mengeluarkan
belanja yang sedikit.
Dicekiknya lehernya, diikatnya
perutnya, ditahannya nafsunya,
asal jangan keluar uangnya. Jika
ia makan nasi, hanya
dengan sambal lada atau ikan
kering saja yang disimpannya
sampai beberapa hari. Lauk-pauk
ini padalah baginya, karena
sangkanya dapur yang berasap
setiap hari, tiada berguna dan
banyak mengeluarkan biaya.
Makanan dimakan, sedapnya
sehingga leher sudah itu jadi
kotoran.
Rumahnya sebagai kandang kambing
dan pakaiannya yang
seperti pakaian kuli itu, tiada
mengapa baginya, asal jangan
keluar duitnya, untuk sekaliannya
itu. "Di luar dibersih-bersihkan,
sedang di dalam perut sendiri
tiada terhingga kotornya,"
demikianlah katanya.
Ditulikannya telinganya atas
segala maki, nista, dan cacat
orang kepadanya, dibutakannya
matanya kepada sekalian
penglihatan yang menyedapkan
pemandangan asal uangnya
jangan keluar. Tiada lain
kesukaan yang diketahuinya, melainkan
memandang peti hartanya,
menghitung mata uang dan
meraba uang kertasnya.
Diguncangnya peti uangnya, akan
mendengar bunyi uang
yang ada dalamnya dan
ditimang-timangnya tabungnya untuk
mengetahui beratnya. Berjam-jam
lamanya ia dapat bermainmain
dengan hartanya itu dan
berhari-hari lamanya ia dapat bermain-
main dengan hartanya itu dan
berhari-hari lamanya ia dapat
menghitung uangnya itu, dan di
dalam hal yang sedemikian,
lupalah ia akan dunia ini dan
akan dirinya sendiri.
Berapi matanya, kembang hidupnya,
kuncup telinganya, ternganga
mulutnya, gemetar tangannya dan
busung badannya, bila
dilihatnya cahaya uang mas dan
uang perak yang berkilat-kilatan
atau didengarnya bunyi logam ini
mendering. Diambilnya mata
uang itu sebiji-sebiji, lalu
diperhatikan dan diamat-amatinya
capnya gerigi pinggirnya,
gambarnya dan tulisannya. Gambar
pada uang itu rupanya baginya
terlebih indah daripada lukisan
buah tangan pelukis yang masyhur-masyhur.
Bunyi uang itu
terlebih merdu didengarnya
daripada lagu yang indah-indah yang
dimainkan oleh ahli musik. Oleh
sebab itu kerap kali dipermainmainkannya
hartanya itu dan dibawanya tidur
bersama-sama
untuk mendapat mimpi yang
menyenangkan hatinya.
Harapan, ingatan, dan niatnya,
siang malam, petang dan pagi,
tiada lain, melainkan akan
menambah harta bendanya yang telah
banyak itu, tiada berkeputusan
dan tiada berhingga. Sekalian
kekayaan dunia ini hendaknya
janganlah jatuh pada orang lain,
melainkan pada dirinya sendiri
sebelumnya. Itu pun agaknya
belum juga puas hatinya.
Makmurlah kehidupannya, bila tubuhnya
tertutup dalam timbungan mata
benda itu. Takut ia sakit dan
mati, karena tiada dapat bercerai
dengan harta dania ini.
Padanya tak ada lagi kesenangan
yang lain daripada uang;
sekaliannya uang, uang dan sekali
lagi uang. Ibu-bapa, anak-istri,
sanak saudara, sahabat kenalanan,
handai tolan, dan pelipur
laranya, tiadalah lain daripada
uang. Uang itulah kekasilmya,
uang itulah Tuhannya. "Hidup
dengan uang, mati dengan uang,"
katanya. Tiada ia hendak bercerai
barang sekejap pun dengan
uangnya. Uang baginya bukan alat
untuk memperoleh
kesenangan, tetapi uang itulah
kesenangan.
Untuk memperoleh harta benda itu,
tiada ia ngeri akan
perbuatan yang kejam dan jahat,
tiada ia malu akan kelakuan
yang keji dan hina. Tiada ia
pandang-memandang, tilik-menilik,
segan-menyegani; tiada ibu-bapa,
tiada adik tiada kakak, tiada
sahabat tiada kenalan, tiada
tinggi tiada rendah dan tiada hina
tiada mulia baginya, untuk mencapai
keinginannya yang rendah
ini. Tiada ia menaruh takut,
tiada menaruh ngeri, tiada menaruh
kasihan, tiada menaruh sedih.
Yang mulia dihinakannya, yang
kaya dimiskinkannya, yang
berpangkat dijatuhkannya. Hamba
itu diletakkannya di atas
singgasana dan anjing itu diangkatnya
ke puncak Gunung Merapi. Terbujur
lalu, terbelintang patah,
lamun uang harus diperolehnya.
Demikianlah Datuk Meringgih,
saudagar yang termasyhur
kaya di Padang itu. Ia kaya dan
beringin hendak bertambah kaya
itulah, artinya karena hendak
mempunyai harta. Bukan kekayaan
itu yang dimintanya hanya itulah
yang dikehendakinya.
Hai Datuk Meringgih! Apakah
paedahnya kekayaan yang
sedemikian bagimu dan bagi
sesamarnu? Engkau dilahirkan dari
perut ibumu dengan tiada membawa
suatu apa, dan apabila
engkau kelak meninggalkan dunia
yang fana ini, karena maut itu
tak dapat kauhindarkan, walaupun
hartamu sebanyak harta raja
Karun sekalipun tiadalah lain
yang akan engkau bawa ke tempat
kediamanmu yang baka itu,
melainkan selembar kain putih yang
cukup untuk menutup badanmu jua.
Semasa engkau masih hidup,
berlelah-lelah engkau
mengumpulkan harta benda dengan
tiada jemu jemunya. Berapa
kesusahan dan kesakitan yang
kaurasai, berapa azab dan
sengsara yang kauderita, berapa
umpat dan sumpah yang
kautanggung, berapa maki dan
nista yang kaudengar, akan tetapi,
bila engkau kelak berpulang ke
rahmatullah, akan tinggallah dan
berbagi-bagilah kembali hartamu
itu kepada yang masih hidup.
Harta dunia dan harta akhirat
itulah yang dapat kau bawa pulang
ke negeri yang baka dan menolong
engkau dalam perjalananmu
ke sana dan kehidupanmu yang
kekal di sana kelak.
Semasa hidupmu, engkau rebut
harta itu dari tangan orang
lain, bila engkau telah mati
niscaya jatuhlah kembali harta itu ke
tangan orang lain itu. lnilah
yang dikatakan pepatah; adat dunia
balas-berbalas. Segala sesuatu
tiada kekal, melainkan bertukartukar
dan berpindah-pindah juga. Bulan
berputar mengedari
matahari, dan matahari berputar
pula mengedari alam. Apakah
yang tetap? Tak ada, melainkan
Tuhan Yang Esa juga.
Kekayaanmu yang dikurniakan Tuhan
kepadamu itu tiada
memberi paedah bagi dirimu
sendiri, bagi sesamamu manusia
dan bagi isi dunia ini; melainkan
mendatangkan kesenangan dan
kedukaan juga kepada mereka
sekalian dan kepada dirimu
sendiri pun.
Sungguhpun telah adat manusia
bersifat loba dan tamak,
walaupun tiada sama pada
tiap-tiap orang, karena jika telah ada
yang sejari hendak yang
sejengkal, bila telah ada yang sejengkal
hendak sedepa, dan bila ada yang
sedepa pun hendak lebih juga
tiada berkeputusan, selagi hayat
di kandung badan, dan
walaupun sifat yang demikianlah
yang membawa manusia itu ke
padang kemajuan, tetapi hendaklah
berhati-hati, sebab jalan yang
ditempuh bercabang dua; sebuah
jalan kebaikan dan sebuah lagi
jalan kejahatan. Apabila jalan
yang baik itu kauturut, berhasillah
pekerjaanmu, karena memberi
paedah kepada dirimu sendiri dan
sesamamu manusia. Akan tetapi
apabila jalan yang jahat itu yang
kautempu,. takkan tiada
pekerjaanmu itu akan mendatangkan
bahaya dan bencana juga kepada
sesamamu manusia dan kepada
dirimu sendiri pun.
Apabila hartamu itu kaupergunakan
untuk pembela dirimu,
supaya mendapat kehidupan yang
senang, makan minum yang
cukup, rumah tangga dan pakaian
yang baik, ataupun akan
engkau habiskan, untuk memuaskan
hawa nafsumu yang baik,
sudahlah; karena seharusnyalah
tiap-tiap manusia itu berikhtiar
mencari kesenangan dan kemajuan
segala hal, asal jangan
melewati batas kebaikan.
Sungguhpun demikian, akan lebih
berpaedah juga pekerjaanmu,
bila hartamu itu kaupergunakan
untuk berbuat baik kepada
sesamamu manusia dan berbuat
bakti kepada Tuhanmu supaya
dapat engkau memperbaiki yang
rusak, menyelesaikan yang
kusut, menolong yang kesusahan,
melipur yang miskin, jadi
mengurangi azab sengsara dunia
ini. Karena ketahuilah olehmu,
bahwa dunia ini terlebih banyak
mengandung yang susah
daripada yang senang, yang hina
daripada yang mulia, yang,
kurang daripada yang cukup, yang
miskin daripada yang kaya,
yang daif daripada yang kuat,
yang malang daripada yang mujur.
Apabila tiada daripada engkau dan
orang-orang kaya-kaya lain,
yang sebagai engkau, daripada
siapakah mereka akan mendapat
pertolongan?
Ingatlah! Kekayaan dan
kemiskinan, kemuliaan dan
kehinaan, kesusahan dan
kesenangan, ya sekaliannya, datangnya
daripada Tuhan Yang Esa juga.
Jika dikehendakinya, dengan
sekejap mata, bertukarlah
kekayaan itu menjadi kemiskinan,
kemuliaan menjadi kehinaan,
kesukaan menjadi kedukaan dan
tinggilah yang rendah, kayalah
yang miskin, mulialah yang hina,
dan tertawalah yang menangis.
Oleh sebab itu, janganlah sombong
dan angkuh, karena
beroleh kekayaan, kemuliaan,
kesenangan, dan kesukaan
melainkan insyaflah, bahwa
sekalian itu selydar pinjaman, yang
setiap waktu boleh diambil
kembali oleh yang empunya.
Dan engkau pun yang berasa miskin
dan hina, yang selalu
mendapat bahaya, kesengsaraan,
dan kesedihan, janganlah putus
asa, melainkan sabar dan
tawakallah juga kepada Tuhanmu serta
pohonkan pertolongan dan
kurnia-Nya. Sesudah hujan, niscaya
panas.
Yang beruntung janganlah
menghinakan yang malang, dan
yang malang janganlah dengki
kepada yang beruntung
melainkan berkasih-kasihanlah
selama-lamanya, serta tolongmenolong
dalam segala hal, karena yang
ber¬untung perlu
kepada yang malang, dan yang
malang perlu pula kepada yang
mujur. Jika tak ada yang malang,
niscaya tak ada pula yang
inujur, dan jika tak ada yang
beruntung, yang malang pun tak
ada pula.
Apabila engkau pergunakan hartamu
itu hai Datuk
Meringgih, untuk kebaikan, takkan
tiada kebaikan pulalah yang
akan datang kepadamu, yang
terlebih daripada kesukaan dan
kesenangan, yang engkau peroleh
daripada bunyi dan cahaya
mata bendamu itu: karena suatu
perbuatan atau pil.iran pun,
buruk dan baik, tiada hilang,
sebagai hujan jatuh ke pasir,
melainkan hidup selama-lamanya
dan timbul kembali pada
dirimu atau diri sesamamu.
Apabila kelak datang waktunya
engkau akah meninggalkan
dunia ini dan engkau menoleh ke
belakang, kepada jalan yang
telah kautempuh, niscaya perasaan
yang sejahteralah yang akan
mengikutmu, karena aku ketahui,
bahwa hidupmu tiada kosong,
sebagai padi hampa, melainkan
banyak mendatangkan jasa
kepada sesamamu manusia.
Sungguhpun Datuk Meringgih tiada
disukai orang, karena
tabiat dan kelakuannya yang buruk
dan loba tamaknya itu, tetapi
ia ditakuti dan disegani orang
juga, sebab hartanya yang tiada
ternilai banyaknya itu:
lebih-lebih oleh mereka yang acap kali
kesusahan uang. Karena ialah
tempat walaupun dengan
bunganya yang terkadang-kadang
sampai separuh dari pinjaman.
Bila telah sampai kepada waktu
perjanjian, hutang itu belum
dibayar oleh yang meminjam,
niscaya tiada diberi maaf lagi
Datuk Meringgih, melainkan
didakwanyalah mereka dan
dirampasnya panjar gadaian itu.
Di manakah diperoleh Datuk
Meringgih harta yang sekian
banyaknya itu? Inilah suatu
rahasia yang selalu menjadi permainan
mulut dan buah pikiran isi kota
Padang. Acap kali diperbincangkan,
kerapkali diterka-terka, tetapi
tiadalah seorang jua
pun yang mengetahui hal itu.
Demikian pula tiada seorang juga
yang tahu, siapakah Datuk
Meringgih ini sebenarnya dan dari
mana asalnya.
Kira-kira dua puluh tahun yang
telah lalu, Datuk ini dikenal
orang di Padang sebagai penjual
ikan kering, di pasar di
Kampung Jawa. Tiba-tiba, pada
suatu waktu, dibelinya sebuah
kota dan sejak waktu itu
sangatlah lekas bertambah-tambah
kekayaannya, sehingga tatkala
umurnya telah lebih daripada
empat puluh tahun, ia telah
mempunyai beberapa toko-toko yang
besar dan gudang-gudang yang
penuh berisi barang-barang
dagangan. Rumah sewaannya
berpuluh-puluh, hampir sekalian
tanah di kota Padang ada dalam
tangannya. Kebun kelapanya
berbahu-bahu dan sawahnya
beratus-ratus piring. Di Muara,
hampir sekalian perahu yang
membawa dan mengambil
dagangan, kepunyaannya. Seisi
kota Padang heran melihat
kekayaan yang sebanyak itu dan
yang bertambah-tambah secepat
itu, dengan tiada diketahui orang
bagaimanakah Datuk
Meringgih memperolehnya, karena
yang didengar dan dilihat
orang, hanyalah bakhil dan
lobanya saja.
Oleh sebab itu, berbagai-bagailah
cerita yang kedengaran
tentang asal kekayaan Datuk
Meringgih ini. Ada yang berkata ia
mendapat lotere seratus ribu dan
ada pula yang berkata ia mendapat
harta yang tersembunyi di dalam
tanah. Orang yang keras
beragama menyangka ia telah
bertemu dengan Nabi Khaidir
pada malam dua puluh tujuh bulan
Ramadhan. Orang yang
percaya kepada takhyul, mengira
bersahabat dengan jin. Dan
orang yang benci kepada Datuk ini
mengatakan ia memasukkan
candu gelap. Akan tetapi yang
sebenarnya, hanyalah Datuk
Meringgih seorang yang
mengetahui.
Sekarang marilah kita dekati
Datuk Meringgih, yang sedang
duduk di atas kursi malas di
serambi belakang rumahnya itu,
untuk mengetahui apakah kerjanya,
duduk seorang diri.
Tiada lama datuk meringgih duduk
sedemikian itu, hari pun
malamlah dan gelaplah segala yang
di darat dan di udara pun
telah masuk ke dalam kandang atau
sarangnya. Hanya
kelelawarlah yang ke luar terbang
ke sana-sini, mencari
mangsanya. Keluang terbang tinggi
beriring-iringan arah selatan,
mencari buah-buahan yang masak.
Burung hantu mulai berbunyi
dalam lubang-lubang kayu musang
pun bangunlah daripada
tidurnya, lalu mengintip ke sana
kemari, akan mengetahui,
tiadakah ada bahaya di luar
sarangnya. Ular menjalar di celahcelah
batu mengintip katak dan binatang
yang kecil-kecil.
Si sebelah barat, langit tertutup
oleh awan hitam yang
mengandung hujan, yang mengembang
dari laut ke darat. Cuaca
yang terang, menjadi
gelap-gulita, sehingga tiada kelihatan
barang sesuatu pun.
Bintang-bintang di langit lenyap, sebagai
ditutup tabir hitam. Hari tenang,
angin tak ada, tanda topan akan
datang. Di jalan, raya sunyi
senyap, sebagai negeri dialahkan
garuda. Terkadang-kadang melintas
orang seorang-seorang yang
berjalan cepat-cepat, sebagai
takut akan kehujanan. Pada tiaptiap
rumah tiada kelihatan lampu,
sebab jendela-jendela telah
ditutup. Walaupun gelap
sedemikian, tetapi Datuk Meringgih
tiada menyuruh menerangi serambi
belakang rumahnya. Sebab
bakhilnya pulakah atau sebab yang
lain? Segera akan kita
ketahui.
Sekonyong-konyong kelihatanlah
sekejap mata, kilat yang
menerangi seluruh alam yang gelap
gulita itu dan tatkala itu juga
kedengaran halilintar berbunyi
bagai membelah bumi, disertai
oleh hujan yang amat lebat,
seperti air dicurahkan dari
langit.Tiada lama kemudian
daripada itu bertiuplah angin topan
yang sangat hebat, menumbangkan
beberapa pohon kayu yang
besar-besar.
Walaupun hari rupanya seakan-akan
kiamat, tetapi Datuk
Meringgih tiadalah masuk ke dalam
rumahnya, adalah sebagai
sekalian kekacauan alam itu tiada
diindahkannya, bahkan
diingininya, karena ia masih
duduk termenung di atas kursinya
memikirkan sesuatu hal yang
penting.
Tiba-tiba kedengaran di tempat
yang gelap, suara orang batuk
tiga kali. Tatkala itu barulah
ingat Datuk Meringgih akan
dirinya, lalu melihat ke kanan
dan ke kiri, kalau-kalau ada orang
dekat di sana. Kemudian batuk
pula ia dua kali. Seketika itu juga
kelihatan, seperti suatu
bayang-bayang, bergerak di tempat yang
gelap, kemudian kelihatan
seorang-orang yang memakai serba
hitam, datang menghampiri Datuk
Meringgih, lalu masuk
keduanya ke dalam sebuah bilik,
di serambi belakang. Pintu bilik
ini segera ditutup rapat-rapat oleh
Datuk Meringgih.
Di dalam kamar ini, yang hanya
diterangi oleh sebuah pelita
minyak kelapa, ada sebuah tilam
dan sebuah peti. Di lantai ada
terbentang sehelai tikar pandan
dan di atas tikar inilah duduk
kedua mereka itu.
Di sana nyata kelihatan, orang yang
baru datang itu memakai
destar hitam yang lembut yang
ujungnya dibalikkannya ke
mukanya sehingga dahinya
tertutup. Bajunya baju Cina hitam
yang besar lengannya, dan
celananya seluar Aceh, yang warnanya
hitam pula. Sarung yang
disandangnya di bahunya, yaitu
sarung Bugis hitam.
"Tiada basah engkau,
Pendekar Lima?" tanya Datuk
Meringgih perlahan-lahan kepada
jamunya ini.
"Tidak, Engku, sebab hamba
telah hampir ada di sini, tatkala
hari akan hujan," jawab
Pendekar Lima.
"Apa kabar pekerjaan kita
yang di Hulu Limau Manis?"
"Tidak baik jadinya."
"Tidak baik? Apa
sebabnya?" tanya Datuk Meringgih sambil
mengangkat mukanya, menentang
Pendekar Lima. Di situ
kelihatan bengis muka Datuk
Meringgih.
"Murid-murid kita tiada
menurut aturan yang telah diberikan
kepadanya."
"Siapa yang menjadi guru
waktu itu?"
"Si Patah."
"Apakah sebabnya, maka tiada
engkau sendiri yang mengajar
di sana? Bukankah telah
kuperintahkan kepadamu?"
"Sebab hamba pada waktu itu
harus mengajar di Bukit Putus;
karena di sana pun ada ilmu baru
yang datang dari Tanah Jawa,
yang sangat besar harganya."
"Si Patah belum cukup
kepandaiannya untuk mengajar
murid-murid pada sasaran yang
besar-besar dan ia kurang sabar.
Itulah sebabnya, maka salah
ajarannya. Sekarang di mana dia?"
"Dalam rumah batu."
"Rumah batu?" tanya
Datuk Meringgih dengan mengangkat
kepalanya pula. "Rumah batu
di mana?"
"Rumah batu di Lubuk
Bagalung, bersama-sama dua orang
murid."
"Itulah upah yang patut,
bagi orang yang sedemikian. Tetapi
sudahlah diperiksa
perkaranya?"
"Sudah," jawab pendekar
Lima, "dan rupanya ia teguh
memegang sumpahnya, karena tiada
disebut-sebutnya nama
hamba."
"Cobalah kauceritakan dari
mulanya, apa sebabnya maka
sampai jadi sedemikian itu?"
,
"Tatkala hamba ketahui,
bahwa hamba tak dapat pergi ke
Hulu Limau Manis," kata
Pendekar Lima, "hamba suruhlah
seorang murid tua ke sana, yaitu
si Patah, serta hamba katakan
kepadanya aturan yang telah Engku
Datuk berikan itu. Mulamula
rupanya ada diturutnya aturan
itu, karena sekalian barangbarang,
jatuh ke dalam tangannya. Tetapi
pendapatan ini tiada
disimpannya pada tempat yang
telah ditetapkan, melainkan hari
itu juga dikirimkannya kemari;
dimasukkannya ke dalam
beberapa karung, lalu
ditumpangkannya pada tukang pedati,
yang berangkat malam itu juga ke
sini. Rupanya pedati itu lama
berhenti di Lubuk Bagalung dan di
sanalah kedapatan oleh yang
kuning leher*). Oleh sebab tukang
pedati itu mengatakan ia
menerima barang-barang itu dari
si Patah, hari itu juga ia
ditangkap dengan kedua
muridnya."
"Baiklah, tetapi carilah
akal, sebelum hukumannya
dijatuhkan, supaya mereka lepas
dari rumah batu itu dan bila
telah lepas, suruhlah si Patah
pergi ke Terusan atau ke Painan,
untuk sementara bekerja mengambil
rotan, supaya jangan
kelihatan oleh orang. Dan kedua
muridnya, suruh ke bukit
Tambun Tulang, belajar di sana
dengan sungguh-sungguh," kata
Datuk Meringgih.
"Baiklah, Engku."
"Tentang perkara ilmu yang
kaupelajari di Bukit Putus itu,
bagaimana pula? Aku tiada tahu
hal itu."
"Sesungguhnya perkara ini
belum hamba kabarkan kepada
Engku, sebab sejak waktu itu
belum sempat hamba datang
kemari."
"Akan tetapi apakah
sebabnya, maka engkau tiada
bermupakat lebih dahulu dengan
daku?" tanya Datuk Meringgih
pula.
"Sebab tak sempat.
Sebenarnya malam itu hamba akan pergi
ke Hulu Limau Manis, menolong si
Patah, sebagai telah Engku
katakan. Tetapi tatkala sampai ke
Bukit Putus, dapat kabar dari
*) Opas polisi, pada masa
dahulunya opas-opas memakai
setrip kuning ada leher bajunya
dan pada celananya.
seorang murid di sana, ada ilmu
baru, datang dari Jawa, dengan
kapal yang masuk hari itu. Ilmu
itu banyak harganya. Karena tak
sempat balik kemari, memberi tahu
Engku, khawatir kalau ilmu
itu segera dibawa ke tempat lain,
hamba tuntut sendiri ilmu itu,
sebab rupanya tak berapa
susah."
"Dan dapatkah ilmu
itu?"
"Dapat, sekarang ditanam
dalam tanah, dekat Tanah Merah."
"Kira-kira berapa
harganya?"
"Kira-kira enam atau tujuh
ratus, semuanya emas dan intan.
Itulah yang hendak hamba
mupakatkan, karena dua orang murid
yang bersama-sama pergi dengan
hamba, minta bagiannya."
"Nanti kuberi seorang lima
puluh."
"Jika boleh, ia minta
seratus seorang."
"Masakan seratus, karena
harga ilmu itu belum tentu sekian
banyaknya dan gajinya tiap-tiap
bulan, tiadakah diingatnya?
Sudahlah, aku beri tiap-tiap
orang tujuh puluh lima dan engkau
seratus lima puluh, jika benar
ilmu enam atau tujuh ratus
harganya. Janganlah banyak cakap
lagi! Bawalah ilmu itu kemari
dahulu! Jika telah kutaksir,
tentu segera engkau mendapat
bagianmu masing-masing. Dan
bawalah pula tukang mas kita
sekali, supaya lekas dapat
dihancurkannya masnya yang
diperbuatnya barang-barang lain;
kemudian berikan kepada
tukang penjaja mas in'tan kita,
suruh jual ke negeri lain."
"Baiklah, Engku," jawab
Pendekar Lima dengan riangnya,
sedang matanya yang sebagai mata
burung hantu itu bercayacaya,
karena mengenangkan upah yang
akan diperolehnya. Dari
uang yang tiga rarus rupiah itu,
tentulah sekurang-kurangnya dua
ratus dapat olehnya, sehingga
dapatlah pula ia beberapa hari
minum candu dan berjudi, sesuka
hatinya.
"Suatu lagi yang hendak
hamba kabarkan kepada Engku.
Tukang cetak kita, malam kemarin
mati," kata Pendekar Lima.
"Mati?" jawab Datuk
Meringgih dengan terperanjat. "apa
sebabnya?"
"Sakit perut."
"Siapa gantinya."
"Itulah yang hendak hamba
tanyakan, siapakah yang akan
menggantikannya?"
"Temannya si Baso, belumkah
dapat bekerja sendiri?"
"Sudah," jawab Pendekar
Lima. "Pada pikiran hamba, dialah
yang baik pengganti yang mati
itu. Tetapi siapakah yang akan
menjadi ganti si Baso pula?"
"Carilah seorang yang boleh
dipercaya di antara orang-orang
kita!"
"Baiklah!"
"Hanya sekarang, janganlah
terlalu banyak mencetak uang
perak, melainkan uang mas itulah
yang harus dilebihkan, sebab
uang perak, lekas dikenal
orang."
"Baiklah! Lagi pula tiadakah
baik tempat itu dipindahkan?
Sebab hamba baru mendapat sebuah
gua batu dalam gunung
yang dekat di sana yang baik
rupanya, tersembunyi di pinggir
laut."
"Baiklah, nanti kita periksa
bersama-sama."
"Perkara toko Bombai itu,
bagaimana?" tanya Pendekar
Lima, yang rupanya sangat rajin
hendak bekerja, karena
mengenangkan uang dua ratus
rupiah tadi. .
"Perkara itu. nantilah; aku
hendak mencari muslihat yang
baik dahulu. Sekarang ini ada
perkara lain, yang hendak
kukatakan kepadamu."
"Perkara apa, Engku?"
jawab Pendekar lima.
"Aku sesungguhnya tiada
senang melihat perniagaan Baginda
Sulaiman, makin hari makin
bertambah maju, sehingga berani ia
bersaing dengan aku. Oleh sebab
itu hendaklah ia dijatuhkan."
"Akan tetapi bagaimanakah
akal kita? Karena barang-barangnya
bukan sedikit, tak dapat diangkat
dalam sehari dua. Dan
diambil separuhnya pun, tiadalah
dirasainya," kata Pendekar
Lima.
"Bukan aku suruh engkau
mencuri barang-barangnya, karena
berapakah yang akan terbawa
olehmu? Aku bukan bodoh. Aku
tahu akal yang lebih baik, yaitu
gudang-gudang dan tokotokonya
harus dibakar, perahu yang
membawa barang-barangnya
dari Painan harus ditenggelamkan
dan orang-orang yang ada di
sana dibujuk, supaya jangan mau
bekerja dengan dia lagi;
sekalian pohon kelapanya di Ujung
Karang, haruslah diobati,
biar busuk dan tak berbuah,"
kata Datuk Meringgih dengan suara
keras, serta memukul¬mukul
telapak tangan kirinya dengan
tangan kanannya, yang
dikepalkannya, karena geramnya.
"Esok hari juga engkau mulai
bekerja di Ujung Karang!
Beritahukan kepada sekalian murid
yang ada di sana! Sekalian
pohon kelapanya hendaklah dibubuh
obat, supaya inati.
Kemudian pergilah engkau ke
Terusan dan Painan. Bujuklah
sekalian orangnya di sana supaya
meninggalkan pekerjaannya
dan masuk kaum kita. Dan bujuklah
pula tukang perahunya,
supaya perahu-perahunya, dengan
isi-isinya sekali, dikaramkan
di laut. Sudah itu pergilah
engkau ke Padang Darat dan ke manamana,
menghasut sekalian toko yang
berlangganan dengan dia,
supaya jangan membeli apa-apa
lagi padanya.
Dengan demikian dapat kubeli
barang-barangnya itu dengan
harga murah. Biar aku rugi.
sedikit, asal Baginda Sulaiman jatuh.
Setelah selesai pekerjaan itu,
barulah engkau mulai membakar
toko dan gudangnya."
Pendekar Lima termenung seketika
mendengar perintah ini,
karena belum pernah ia
mengerjakan yang sedemikian. Pada
pikirannya bukan sedikit belanja
dan susahnya pekerjaan itu.
Melihat Pendekar Lima berdiam
diri, berkata pula Datuk
Meringgih, "Aku tahu,
pekerjaan ini memang tak mudah dan
harus berhati-hati benar
melakukannya supaya jangan sampai
diketahui orang. Tetapi ia akan
memberi keuntungan berpuluh
ribu kepada kita. Dan pada
pikiranku engkau cakap menjalankannya.
Oleh sebab itu aku tiada akan
memandang berapa biaya
yang berguna; biar aku rugi
beribu sekalipun, asal sampai
maksudku ini. Aku tiada senang,
kalau di Padang ini masih ada
saudagar yang berani bersaingan
dengan daku. Sebelum jatuh ia,
belumlah puas hatiku. Kau boleh
memakai duit seberapa sukamu
dan boleh pula menyuruh
orang-orangku, kalau perlu."
Mendengar perkataan Datuk
Meringgih ini yaitu ia boleh
memakai duit seberapa sukanya,
hilanglah takut dan ngeri
Pendekar Lima lalu menjawab
dengan gembira, "Baiklah, Engku
Datuk. Jangankan sekian, disuruh
membunuh orang senegeri
pun, hamba mau, asal Engku Datuk
yang menyuruh."
Dengan berkata demikian, pikirannya
melayang kepada uang
beribu-ribu yang akan
diterimanya.
"Tetapi ingat!" kata
Datuk Meringgih pula. "Kalau tak
sampai maksudku ini, tak perlu
engkau datang-datang lagi
kemari."
Mendengar perkataan ini
berdebarlah hati Pendekar Lima,
karena artinya tentulah ia akan
dilepaskan oleh Datuk
Meringgih, apabila maksudnya ini
tak sampai. Dan akan
dapatkah ia mencari tuan yang
sebagai Datuk Meringgih ini?
Betul ia sangat bakhil, tetapi
tiada memandang apa pun, bila ada
sesuatu hajatnya. Oleh sebab itu
berjanjilah ia dalam hatinya
akan menjalankan perintah yang
berat ini dengan sesungguhsungguh
hati, walaupun apa pun juga yang
akan terjadi atas
dirinya.
Sementara itu masuklah Datuk
Meringgih ke dalam
rumahnya dan seketika lagi
keluarlah pula ia lalu berkata, "lni
uang seratus untuk belanjamu
sementara. Bila habis, uang ini,
boleh kauminta pula kepadaku atau
kepada sekalian orangku
yang memegang uang. Nanti
kukirimkan surat kepadanya
sekalian."
"Terima kasih, Engku!"
jawab Pendekar Lima. "Akan tetapi
pekerjaan hamba di sini
bagaimana?"
"Serahkan kepada Pendekar
Empat dan suruhlah ia kemari,
supaya kukatakan kepadanya, apa
yang harus diperbuatnya."
Tiada berapa lama kemudian
daripada itu kelihatanlah
Pendekar Lima keluar dari dalam
bilik tadi, lalu hilang di dalam
gelap.
No comments:
Post a Comment