Catatan: Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan "Testimoni : Korban Tragedi Birokrasi" (http://bangkomaragam.blogspot.com/2012/09/testimoni-korban-tragedi-birokrasi.html), mudah2an ini akan memperjelas apa yang sebenarnya terjadi.
Tahun 2011 ketika saya mencabut
gugatan di PTUN Padang, isu yang berkembang
bahwa saya mencabut gugatan itu karena tahu akan kalah. Saya tidak
pernah membantah atau mengkonfirmasi isu tersebut karena bagi saya kalah atau
menang saya sendiri dan keluarga yang merasakannya.
Setelah tiga tahun berlalu,
ternyata isu tersebut masih dihembuskan…seakan-akan saya seorang pecundang. Dan
saya merasa perlu untuk bercerita apa sebenarnya yang terjadi sampai akhirnya
mencabut gugatan itu.
Pagi hari sekitar pukul 05.30
ketika akan memasukan gugatan ke PTUN Padang, HP saya berdering… ada panggilan
masuk dari seseorang yang sangat saya hormati.
Ananda, iyo ka mamasuak an
gugatan hari ko? Tanya beliau.
Iyo Pak, dari ma Bapak tau,
padahal selain istri hanya 1 orang yang tahu rencana saya ini…itu pun baru tadi
malam pukul 11.
Itulah… Bapak ditelpon
mereka,…mereka meminta bantuan Bapak untuk “melarang” ananda memasukan gugatan
itu demi Kabupaten Agam!
Terus, menurut Bapak
bagaimana?... kalau kata Bapak jangan, saya tidak akan memasukan gugatan itu.
Saya tidak akan melarang atau
menyuruh Ananda memasukan gugatan itu,… Bapak percaya Ananda dan isteri telah
dewasa…bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Dan sebelum melakukan sesuatu
harus mempunyai pertimbangan dan keyakinan….kalau yakin itu yang terbaik,
lakukan! Kalau ragu-ragu, jangan!
Pak, saya sebetulnya mau
menyelesaikan persoalan ini secara sederhana…cukup hanya dengan meminta Maaf!
Tetapi mereka terlalu angkuh dan sombong dengan jabatan mereka!... anehnya,
saya pula yang diminta untuk mengalah, bukankah kalau mereka merasa sebagai
Pejabat atau orang besar…mereka lah yang harus mengalah. Yang besar dan kuat
lah yang harus mengalah….
Ya,… saya pun berpikir bahwa
penyelesaian persoalan itu bisa secara sederhana, mungkin sambil makan sate
dengan beberapa orang saja. Bapak percaya… bahwa ananda memiliki rasa hormat
yang tinggi…
Iya Pak, tuntutan saya tidak lah
terlalu rumit…. Tetapi persepsi mereka, saya menuntut jabatan… dan berkali-kali
mereka mencoba menyelesaikan dengan solusi pemberian jabatan. Mudah-mudahan apa
yang saya lakukan ini akan memberikan mereka sebuah “catatan” yang akan mereka
ingat sepanjang hidup mereka….
Iyalah Ananda,… Bapak mendoakan
apa langkah yang kalian lakukan merupakan jalan terbaik. Dan jangan pernah
lupa berdoa kepada Tuhan… karena tidak ada kekuatan di atas itu!
-------------000000000000------------
Malamnya, saya dipanggil oleh
seseorang yang mengaku “Orang Dekat” Bupati. Dia bercerita tentang kegelisahan
Bupati karena banyaknya orang yang ikut campur dalam persoalan tersebut.
Saya mengatakan bahwa saya tidak
pernah mengadu kepada siapa pun dalam menghadapi persoalan tersebut, tetapi
memang banyak orang lain yang ikut campur. Saya tidak mungkin melarang mereka
ikut campur karena itu adalah bentuk simpati mereka atau bentuk kasihan
terhadap apa yang saya alami.
Orang dekat Bupati, itu
menyarankan saya untuk menemui Bupati dan “maunjua” tetapi saya langsung
memotong pembicaraannya bahwa saya tidak akan pernah melakukan itu! Karena saya
tidak pernah mengharapkan jabatan, bahkan untuk mempertahankan pendirian saya
telah mempersiapkan diri selama 10 (sepuluh) tahun untuk tidak berjabatan
(andai Bupati itu menang lagi)..... Bersambung.
No comments:
Post a Comment