Kira-kira pukul satu siang,
kelihatan dua orang anak muda,
bernaung di bawah pohon ketapang
yang rindang, di muka
sekolah Belanda Pasar Ambacang di
Padang, seolah-olah mereka
hendak memperlindungkan dirinya
dari panas yang memancar
dari atas dan timbul dari tanah,
bagaikan uap air yang mendidih.
Seorang dari anak muda ini, ialah
anak laki-laki, yang umurnya
kira-kira 18 tahun. Pakaiannya
baju jas tutup putih dan celana
pendek hitam, yang berkancing di
ujungnya. Sepatunya sepatu
hitam tinggi, yang disambung ke
atas dengan kaus sutera hitam
pula dan diikatkan dengan ikatan
kaus getah pada betisnya.
Topinya topi rumput putih, yang
biasa dipakai bangsa Belanda.
Di tangan kirinya ada beberapa
kitab dengan sebuah peta bumi
dan dengan tangan kanannya
dipegangnya sebuah belebas, yang
dipukul-pukulkannya ke betisnya.
Jika dipandang dari jauh, tentulah
akan disangka, anak muda
ini seorang anak Belanda, yang
hendak pulang dari sekolah.
Tetapi jika dilihat dari dekat,
nyatalah ia bukan bangsa Eropa;
karena kulitnya kuning sebagai
kulit langsat, rambut dan
matanya hitam sebagai dawat. Di
bawah dahinya yang lebar dan
tinggi, nyata kelihatan alis
matanya yang tebal dan hitam pula.
Hidungnya mancung dan mulutnya
halus. Badannya sedang, tak
gemuk dan tak kurus, tetapi
tegap. Pada wajah mukanya yang
jernih dan tenang, berbayang,
bahwa ia seorang yang lurus,
tetapi keras hati; tak mudah
dibantah, barang sesuatu maksudnya.
Menilik pakaian dan rumah
sekolahnya, nyata ia anak
seorang yang mampu dan tertib
sopannya menyatakan ia anak
seorang yang berbangsa tinggi.
Teman anak muda ini, ialah
seorang anak perempuan yang
umurnya kira-kira 15 tahun.
Pakaian gadis ini pun sebagai
pakaian anak Belanda juga.
Rambutnya yang hitam dan tebal itu,
dijalinnya dan diikatnya dengan
benang sutera, dan diberinya
pula berpita hitam di ujungnya.
Gaunnya (baju nona-nona)
terbuat dari kain batis, yang
berkembang merah jambu. Sepatu
dan kausnya, coklat wamanya.
Dengan tangan kirinya dipegangnya
sebuah batu tulis dan sebuah
kotak yang berisi anak batu,
pensil, pena, dan lain-lain
sebagainya; dan di tangan kanannya
adalah sebuah payung sutera
kuning muda, yang berbunga dan
berpinggir hijau.
Alangkah elok parasnya anak
perawan ini, tatkala berdiri
sedemikian! Seakan-akan dagang
yang rawan, yang bercintakan
sesuatu, yang tak mudah
diperolehnya. Pipinya sebagai pauh
dilayang, yang kemerah-merahan
warnanya kena bayang baju
dan payungnya, bertambah merah
rupanya, kena panas matahari.
Apabila ia tertawa, cekunglah
kedua pipinya, menambahkan
manis rupanya; istimewa pula
karena pada pipi kirinya ada tahi
lalat yang hitam. Pandangan
matanya tenang dan lembut, sebagai
janda baru bangun tidur.
Hidungnya mancung, sebagai bunga
melur, bibirnya halus, sebagai
delima merekah, dan di antara
kedua bibir itu kelihatan
giginya, rapat berjejer, sebagai dua
baris gading yang putih. Dagunya
sebagai lebah bergantung, dan
pada kedua belah cuping
telinganya kelihatan subang perak,
yang bermatakan berlian besar,
yang memancarkan cahaya air
embun. Di lehernya yang jenjang,
tergantung pada ranjai emas
yang halus, sebuah dokoh
hati-hati, yang bermatakan permata
delima. Jika ia minum,
seakan-akan terbayanglah air yang
diminumnya di dalam
kerongkongannya. Suaranya lemahlembut,
bagai buluh perindu, memberi pilu
yang mendengarnya.
Dadanya bidang, pinggangnya
ramping. Lengannya dilingkari
gelang ular-ular, yang bermatakan
beberapa butir berlian yang
bemyala-nyala sinarnya. Pada jari
manis tangan kirinya yang
halus itu, kelihatan sebentuk
cincin mutiara, yang besar matanya.
Kakinya baik tokohnya dan
jalannya lemah gemulai.
Menurut bangun tubuh, warna kulit
dan perhiasan gadis ini,
nyatalah ia bangsa anak negeri di
sana; anak orang kaya atau
orang yang berpangkat tinggi.
Barangsiapa memandangnya, tak
dapat tiada akan merasa tertarik
oleh sesuatu tali rahasia, yang
mengikat hati, dan jika mendengar
suaranya, terlalailah daripada
sesuatu pekerjaan. Sekalian orang
bersangka, anak ini kelak, jika
telah sampai umurnya, niscaya
akan menjadi sekuntum bunga,
kembang kota Padang, yang
semerbak baunya sampai ke manamana,
menjadikan asyik berahi segala
kumbang dan rama-rama
yang ada di sana.
"Apakah sebabnya Pak Ali
hari ini terlambat datang?
Lupakah ia menjemput kita?"
demikianlah tanya anak laki-laki
tadi kepada temannya yang
perempuan, sambil menoleh ke jalan
yang menuju ke pasar Kampung
Jawa.
"Ya, biasanya sebelum pukul
satu ia telah ada di sini.
Sekarang, cobalah lihat! Jam di
kantor telepon itu sudah hampir
setengah dua," jawab anak
perempuan yang di sisinya.
"Jangan-jangan ia tertidur,
karena mengantuk; sebab tadi
malam ia minta izin kepada
ayahku, pergi menonton komidi
kuda. Kalau benar demikian,
tentulah kesalahannya ini akan
kuadukan kepada ayahku,"
kata anak laki-laki itu pula, sebagai
marah rupanya.
"Ah, jangan Sam. Kasihanilah
orang tua itu! Karena ia bukan
baru sehari dua bekerja pada
ayahmu, melainkan telah bertahuntahun.
Dan di dalam waktu yang sekian
lamanya itu, belum ada
ia berbuat kesalahan apa-apa.
Bagaimanakah rasanya, kalau kita
sendiri sudah setua itu, masih
dimarahi juga? Pada sangkaku,
tentulah ada alangan apa-apa
padanya. Jangan jangan ia
mendapat kecelakaan di tengah jalan.
Kasihan orang tua itu!
Lebih baik kita berjalan kaki
saja perlahan-lahan, pulang ke
rumah; barangkali di tengah jalan
kita bertemu dengan dia
kelak," kata anak perempuan
itu pula seraya membuka payung
suteranya dan berjalan
perlahan-lahan ke luar pekarangan rumah
sekolah.
"Ya, tetapi aku lebih suka
naik bendi daripada berjalan kaki,
pulang ke rumah, sebab aku amat
lelah rasanya dan hari amat
panas. Lihatlah mukamu, telah
merah sebagai jambu air, kena
panas matahari!" jawab anak
laki-laki itu, seakan-akan merengut,
tetapi diikutinya juga temannya
yang perempuan tadi.
"Benar hari panas, tetapi
tak mengapa. Kaulihat sendiri, aku
ada membawa payung yang boleh
kita pakai bersama-sama.
Merah mukaku ini bukan karena
panas semata-mata, melainkan
memang sejak dari sekolah sudah
merah juga."
"Apa sebabnya? Barangkali
engkau dimarahi gurumu," tanya
Sam, demikianlah nama anak
laki-laki itu, sambil memandang
kepada temannya.
"Bukan begitu, Sam, hanya
... O, itu Pak Ali datang!"
Tiada berapa lama kemudian,
berhentilah di muka anak muda
ini sebuah bendi yang ditarik
oleh seekor kuda Batak. Rupanya
kuda ini telah lama dipakai,
karena badannya basah dengan
peluh. Di atas bendi ini duduk
seorang kusir, yang umurnya kirakira
45 tahun, tetapi badannya masih
kukuh. Pada air mukanya,
nyata kelihatan, bahwa ia seorang
yang lurus hati dan baik budi,
walaupun ia tiada remaja lagi.
"Pak Ali, mengapa terlambat
datang menjemput kami?
Tahukah, bahwa sekarang ini sudah
setengah dua? Setengah jam
lamanya kami harus berdiri di
bawah pohon ketapang, sebagai
anak ayam ditinggalkan
induknya," kata Sam seakan-akan
marah, sambil menghampiri bendi
yang telah berhenti itu.
"Engku muda*), janganlah
marah! Bukannya sengaja hamba
terlambat. Sebagai biasa,
setengah satu telah hamba pasang
bendi ini, untuk menjemput Engku
Muda. Tetapi Engku
Penghulu**) menyuruh hamba pergi
sebentar menjemput engku
Datuk Meringgih, karena ada
sesuatu, yang hendak dibicarakan.
Kebetulan Engku Datuk itu tak ada
di tokonya, sehingga
terpaksa hamba pergi ke Ranah,
mencarinya di rumahnya. Itulah
sebabnya terlambat hamba
datang," jawab kusir tua itu dengan
sabar.
"Hm ... Marilah Nur,
naiklah, supaya lekas kita sampai ke
rumah, sebab perutku telah
berteriak minta makan," kata Sam
pula.
*) Panggilan kepada anak orang
yang
berpangkat di Padang
**) Nama pangkat di Padang, yang
hampir
sama dengan Wedana di tanah Jawa
Kedua anak muda tadi lalu naiklah
ke atas bendi Pak Ali dan
dengan segera berlarilah kuda
Batak yang amat tangkas itu,
menarik tuannya yang muda remaja,
pulang ke rumahnya di
Kampung Jawa Dalam.
Setelah sejurus lamanya berbendi,
berkatalah anak laki-laki
tadi, "Nur, belum
kanceritakan kepadaku, apa sebabnya mukamu
merah."
"O, ya, Sam. Tadi aku diberi
hitungan oleh Nyonya Van der
Stier, tentang perjalanan jarum
pendek dan jarum panjang, pada
suatu jam. Dua tiga kali kucari
hitungan itu, sampai pusing
kepalaku rasanya, tak dapat juga.
Bagaimanakah jalannya
hitungan yang sedemikian?"
"Bagaimanakah soalnya?"
tanya si Sam.
"Demikian," jawab si
Nur. "Pukul 12, jarum pendek dan
jarum panjang berimpit. Pukul
berapa kedua jam itu berimpit
pula, sesudah itu?"
"Ah, jalan hitungan yang
semacam ini, hampir sama dengan
jalan hitungan yang telah
kuterangkan dahulu kepadamu," jawab
si Sam, "yaitu tentang
perjalanan orang yang berjalan kaki dan
naik kuda. Yang terutama harus
kau ketahui pada hitungan yang
sedemikian ini, ialah jarak dari
angka XII ke angka XII, pada
jam kalau lingkaran itu dibuka
dan dijadikan baris yang lurus.
Berapa?"
Si Nur terdiam, sebagai berpikir.
"Begini. Cobalah pinjami aku
batu tulismu itu!" kata si Sam
pula, seraya mengambil batu tulis
si Nur dan membuat sebuah
garis yang panjang di atasnya.
Sejenak kemudian si Nur menjawab,
"60 menit."
"Benar, 60 menit atau 60
meter atau 60 pal, sekaliannya itu
sekadar nama saja. Panjang yang
60 menit antara dua angka XII
di jam, boleh kita samakan dengan
panjang jalan yang 60 Km,
antara dua buah negeri, misalnya
antara negeri P dan M.
Sekarang manakah yang lebih
cepat, jalan jarum panjangkah
atau jarum pendek?" tanya
Sam pula.
"Tentu jarum panjang,"
jawab si Nur.
"Nah, jarum panjang itu
misalkanlah si A, yang menunggang
kuda dari P ke M, dan jarum
pendek si B, yang berjalan kaki dari
P ke N." kata si Sam.
"Sekarang berapakah kecepatan perjalanan
kedua jarum itu?"
"Jarum panjang 60 menit
sejam dan jarum pendek 5 menit,"
jawab si Nur.
"Jadi berapa perbedaan
perjalanan kedua jarum itu dalam
sejam?"
"55 menit," jawab si
Nur.
"Nah, suruhlah kedua mereka
itu sama-sama berangkat! Si A
dari P ke M, dan si B dari P ke
N," kata si Sam pula.
"O, ya, benar, benar!"
kata si Nur, "sekarang mengertilah
aku."
"Ya, kalau tahu rahasia
hitungan, mudah benar mencarinya,
bukan?"
"Benar. Terima kasih,
Sam!" kata anak perempuan tadi
sambil melihat ke hadapan.
"Hai, dengan tiada diketahui, kita
telah sampai ke rumah."
Ketika itu berhentilah bendi tadi
di muka sebuah rumah kayu,
bercat putih dan beratap genting,
yang dihiasi sebagai rumah
Belanda. Anak perempuan tadi
turun dari kendaraan Pak Ali,
lalu hendak masuk ke rumah ini.
"O ya, Nur, tunggu sebentar,"
kata si Sam. "Hampir lupa aku.
Tadi, waktu keluar bermain-main,
aku telah bermupakat dengan
si Arifm dan si Bakhtiar, akan
pergi esok hari ke gunung Padang,
bermain-main mencari jambu
Keling, sebab hari Ahad sukakah
engkau mengikut?"
"Tentu sekali suka, Sam,"
jawab si Nur dengan girang.
"Tetapi aku harus minta izin
dahulu kepada ayahku. Jika dapat,
nanti petang kukabarkan
kepadamu."
"Baiklah. Tetapi kalau
engkau ikut serta, hendaklah kaubawa
apa-apa, yang dapat kita makan
bersama-sama di sana.
Perjanjian kami tadi, si Arifin
membawa air seterup dan aku
membawa roti. Kalau boleh, aku
hendak meminjam bedil angin
si Hendrik, supaya dapat berburu
pula sekali, kalau-kalau ada
burung di sana."
"Alangkah senangnya! Kalau
diizinkan aku mengikut, nanti
akan kupikirkanlah apa yang baik
kubawa," jawab si Nur.
"Baiklah. Tabik, Nur!"
.
"Tabik, Sam!"
Setelah itu bendi yang membawa
kedua anak muda ini,
masuk ke dalam pekarangan rumah
si Sam, yang letaknya di
sebelah rumah yang dimasuki anak
perempuan tadi. Ketika anak
laki-laki ini sampai ke rumahnya,
kelihatan olehnya di muka
rumahnya, ada sebuah kereta
berhenti dan ayahnya duduk
bertutur dengan seorang tamu, di
beranda muka.
Sebelum diteruskan cerita ini,
baiklah diterangkan lebih
dahulu, siapakah kedua anak muda
yang telah kita ceritakan tadi,
karena merekalah kelak yang acap
kali akan bertemu dengan
kita, di dalam hikayat ini.
Anak laki-laki yang dipanggil Sam
oleh temannya tadi, ialah
Samsulbahri, anak Sutan Mahmud
Syah, Penghulu di Padang;
seorang yang berpangkat dan berbangsa
tinggi. Anak ini telah
duduk di kelas 7 Sekolah Belanda
Pasar Ambacang. Oleh sebab
ia seorang anak yang pandai,
gurunya telah memintakan kepada
Pemerintah, supaya ia dapat
meneruskan pelajarannya pada
Sekolah Dokter Jawa di Jakarta.
Ia bukannya seorang anak yang
pandai sahaja, tingkah
lakunya pun baik; tertib, sopan
santun, serta halus budi
bahasanya. Lagi pula ia lurus
hati dan boleh dipercayai.
Walaupun ia rupanya sebagai
seorang anak yang lemah-lem¬but,
akan tetapi jika perlu, tidaklah
ia takut menguji kekuatan dan
keberani¬annya dengan siapa saja;
lebih-lebih untuk membela
yang lemah. Dalam hal itu,
tiadalah ia pandang-memandang
bangsa ataupun pangkat. Itulah
sebabnya ia sangat dimalui
teman-temannya. Kalau tak ada
alangan apa-apa, tiga bulan lagi
berangkatlah Samsulbahri ke tanah
Jawa, untuk menuntut ilmu
yang lebih tinggi.
Temannya yang dipanggilnya Nur
tadi ialah Sitti Nurbaya,
anak Baginda Sulaiman, seorang
saudagar kaya di Padang, yang
mempunyai beberapa toko yang
besar-besar, kebun yang lebarlebar
serta beberapa perahu di laut,
untuk pembawa
perdagangannya melalui lautan.
Anak ini pun seorang gadis,
yang dapat dikatakan tiada
bercacat, karena bukan rupanya saja
yang cantik, tetapi kelakuan dan
adatnya, tertib dan sopannya,
serta kebaikan hatinya, tiadalah
kurang daripada kecantikan
parasnya.
Oleh sebab ia anak seorang yang
kaya dan karena ia cerdik.
dan pandai pula, ia disukai dan
disayangi pula oleh temantemannya.
Hanya ayahnya, bukan seorang yang
berasal tinggi,
sebagai Sultan Mahmud Syah,
Penghulu yang tinggal di sebelah
rumahnya. Sungguhpun demikian,
Penghulu dan saudagar ini
bukannya dua orang yang
bersahabat karib saja, tetapi adalah
sebagi orang yang bersaudara
kandung. Hampir setiap hari
saudagar Baginda Sulaiman datang
ke rumah Penghulu Sutan
Mahmud Syah. Kalau tidak,
tentulah Penghulu itu datang ke
rumah saudagar ini. Jika seorang
mempunyai makanan, tak dapat
tiada diberikannya juga
sebahagian kepada sahabatnya. Barang
sesuatu yang akan diperbuatnya,
dirundingkannya lebih dahulu
dengan karibnya.
Oleh sebab itulah, Samsulbahri
dan Nurbaya tiada berasa
orang lain lagi, melainkan serasa
orang yang seibu sebapa
keduanya. Istimewa pula, karena
mereka masing-masing anak
yang tunggal tiada beradik, tiada
berkakak. Dari kecil, sampai
kepada waktu cerita ini dimulai,
kedua remaja itu belumlah
pernah bercerai barang sehari
pun; boleh dikatakan makan
sepiring, tidur sebantal.
Bagaimanakah hal kedua anak muda
ini kelak, apabila datang
waktunya, Samsulbahri harus
berangkat meninggalkan kampung
halamannya dan ibu-bapa serta
handai tolannya? Nantilah akan
diceritakan betapa berat
perceraian itu.
Tadi telah dikatakan, tatkala
Samsulbahri sampai ke rumahnya,
ayahnya sedang bercakap-cakap
dengan seorang jamu, di
serambi muka. Orang ini masuk
bilangan sahabat Penghulu itu
juga, sebab ia acap kali
kelihatan makan minum di sana.
Menurut air muka dan rambutnya
yang telah putih ditumbuhi
uban, nyatalah ia tiada remaja
lagi. Akan tetapi, walaupun ia
telah tua, badannya masih
sempurna, kukuh dan sehat, karena ia
seorang yang mampu.
Itulah Datuk Meringgih, saudagar
Padang yang termasyhur
kayanya, sampai ke negeri-negeri
lain. Pada masa itu, di antara
saudagar-saudagar bangsa Melayu
di padang, tiada seorang pun
dapat melawan kekayaan Datuk
Meringgih ini. Hampir sekalian
toko dan rumah yang besar-besar
di Pasar Gedang, kepunyaannya.
Hampir sekalian tanah di Padang,
tertulis di atas namanya.
Sawahnya beratus piring dan
kebunnya beratus bahu. Hampir
sekalian perahu yang berlabuh di
Muara, di dalam tangannya.
Sekalian rotan dan damar, serta
hasil hutan yang lain-lain, yang
datang dari Painan dan Terusan,
masuk ke dalam tempat
penyimpanannya. Berkapal-kapal
kelapa keringnya, yang
dikirimkannya ke benua Eropah.
Bergudang-gudang barangbarang
yang dipesannya dari negeri lain-lain.
Siapakah yang tiada mengenal
namanya? Sampai ke
Singapura dan Melaka, Datuk
Meringgih diketahui orang. Tak
ada seorang bangsa Eropah atau
Cina, Arab atau Keling yang
kaya dan berpangkat di Padang,
yang tiada bersahabat dengan
dia. Ia pun sangat pula merapati
mereka, terlebih-lebih yang
berpangkat tinggi. Adakah
maksudnya berbuat demikian? Atau
sebab memang ia seorang yang baik
budi? Kelak akan kita
ketahui juga hal ini.
Sungguhpun Datuk Meringgih
seorang yang kaya raya, tetapi
tiadalah ia berbangsa tinggi.
Konon khabarnya, tatkala mudanya,
ia sangat miskin. Bagaimana ia
boleh menjadi kaya sedemikian
itu, tiadalah seorang juga yang
tahu, lain daripada ia sendiri.
Suatu sifat yang ada padanya,
yang dapat menambah kekayaannya
itu, ialah ia amat sangat kikir.
Perkara uang sesen, maulah ia
rasanya berbunuhan. Jika ia
hendak mengeluarkan duitnya,
dibolak-balikkannya dahulu uang
itu beberapa kali, sebagai tak
dapat ia bercerai dengan mata
uang ini, seraya berkata dalam
hatinya, "Aku berikanlah
uang ini atau tidak?" Hanya untuk
suatu perkara saja ia tiada
bakhil, yaitu untuk perempuan. Berapa
kali ia telah kawin dan bercerai,
tiadalah dapat dibilang. Hampir
dalam tiap-tiap kampung, ada
anaknya. Tiada boleh ia melihat
perempuan yang cantik rupanya,
tentulah dipinangnya. Walaupun
ia harus mengeluarkan uang seribu
rupiah sekalipun, tiadalah
diindahkannya, asal sampai
maksudnya. Kebanyakan
perempuan yang jatuh ke dalam
tangan Datuk Meringgih ini,
semata-mata karena uangnya itu
juga. Sebab lain daripada itu,
tak ada yang dapat dipandang
padanya. Rupanya buruk, umurnya
telah lanjut, pakaian dan rumah
tangganya kotor, adat dan
kelakuannya kasar dan bengis,
bangsanya rendah, pangkat dan
kepandaianpuntak ada, selain dari
pada kepandaian berdagang.
Akan tetapi karena kekuasaan
uangnya, yang tinggi menjadi
rendah, yang keras menjadi lunak
dan yang jauh men-jadi dekat.
Bukankah besar kekuasaan uang
itu? Tentu, apakah yang
lebih daripada uang? Dunia ini
berputar mengelilingi uang.
Sekaliannya ujudnya uang.
"Hai, telah pukul satu!"
demikian kata Sutan Mahmud,
tatkala dilihatnya anaknya pulang
dari sekolah.
"Sudah setengah dua,"
jawab Datuk Meringgih, setelah
melihat arlojinya, yang besar,
yang berantaikan pita berpintal,
dari kantung atas bajunya.
"Jadi Engku Datuk beri
pinjam hamba uang yang 3000
rupiah itu?" tanya Sutan
Mahmud.
"Tentu," jawab Datuk
Meringgih dengan pastinya.
"Tetapi apakah yang akan
hamba berikan kepada Engku
Datuk untuk jadi andalan?"
tanya Sutan Mahmud.
"Tidak apa-apa. Hamba
percaya kepada Tuanku Penghulu,
karena Tuankn bukan baru hamba
kenal. Jika orang lain, tentu
hamba minta jaminan."
"Bukan begitu," kata
Sutan Mahmud pula. "Hamba banyak
meminta terima kasih kepada Engku
Datuk, sebab percaya pada
hamba; tetapi utang harus ada
tandanya. Bila besok lusa hamba
meninggal dunia sebelum utang itu
lunas dibayar, bagaimanakah?
Oleh sebab itu, kelak akan hamba
kirimkan kepada Engku
Datuk, suatu surat perjanjian,
bahwa rumah hamba ini dengan
tanah-tanahnya, telah hamba
gadaikan kepada Engku dengan
harga 3000 rupiah."
"Mana suka Tuankulah;
sekarang hamba minta diri dahulu,
sebab Tuanku tentulah sudah
lapar," jawab Datuk Meringgih.
"Tidakkah Engku datuk makan
di sini? tanya Sutan Mahmud.
"Tak usah, kemudian
marilah," jawab Datuk Meringgih pula,
sambil berdiri.
Kedua mereka kelihatan berjabat
tangan, lalu Datuk
Meringgih turun dari atas rumah
itu dan naik ke atas keretanya.
Seketika lagi, hilanglah ia dari
mata Sutan Mahmud.
Waktu itu kelihatan Sutan Mahmud
menarik napasnya,
sebagai terlepas daripada sesuatu
bahaya, lalu masuk ke dalam
rumahnya, sambil berkata,
"Kalau tak dapat kupinjam padanya,
tentulah aku akan terpaksa
menjual sawah pusaka. Untung
benar! Kepada Baginda Sulaiman,
tak hendak kupinta tolong.
Segan aku, kalau-kalau ia tak mau
dibayar kembali."
Tatkala ia sampai ke dalam
rurnahnya, kelihatan olehnya
Samsulbahri baru keluar dari
dalam biliknya dan telah memakai
baju Cina putih dan celana
genggang, yang baru dikenakannya;
penukar pakaian sekolahnya.
Setelah dilihat Samsu ayahnya,
lalu dihampirinya orang
tuanya itu, seraya berkata,
"Kalau Ayah izinkan, hamba hendak
pergi esok hari bermain-main ke
gunung Padang."
"Dengan siapa?" tanya
Sutan Mahmud.
"Dengan si Arifin dan si
Bakhtiar dan barangkali juga dengan
si Nurbaya," jawab Samsu.
"Dengan si Nurbaya?"
tanya Sutan Mahmud pula, sambil
berpikir. "Baiklah, tetapi
hati-hati engkau menjaga dirimu dan si
Nurbaya! Jangan sampai ada
alangan apa-apa dan jangan berlaku
yang tiada senonoh."
"Baiklah, Ayah," jawab
Samsu.
Sejurus lagi, duduklah anak dan
bapa, makan di meja
bersama-sama ibu Samsu, yang
telah lama duduk menanti.
.....Bersambung.
.....Bersambung.
No comments:
Post a Comment