Saturday, December 6, 2014

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode 2



SUTAN MAHMUD DENGAN SAUDARANYA YANG PEREMPUAN
Karya Marah Rusli

Pada senja hari yang baru diceritakan, kelihatan bendi Sutan
Mahmud masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah gedung di
kampung Alang Lawas. Di dalam bendi ini duduk Sutan
Mahmud.
Memang gagah rupanya Penghulu ini duduk.di atas bendinya,
bertopangkan tongkat ruyung dengan kedua belah tangannya.
Destamya yang berbentuk "ciling menurun" itu adalah sebagai
suatu mahkota di atas kepalanya. Bajunya jas putih, berkancingkan
"letter W," dan ujung lengan bajunya itu berpetam
sebagai baju opsir. Celananya—celana panjang putih, sedang di
antara baju dan celana kelihatan sarungnya, kain sutera Bugis
hitam, yang terjuntai hampir sampai ke lututnya. Sepatunya
sepatu kasut, yang diperbuat dari kulit perlak hitam.
Rupanya Penghulu ini, tak guna kita rencanakan, karena
adalah sebagai pinang dibelah dua dengan rupa anaknya
Samsulbahri. Di antara Penghulu-penghulu yang delapan di kota
Padang waktu itu, Sutan Mahmud inilah yang terlebih dipandang
orang, karena bangsanya tinggi, rupanya elok, tingkah lakunya
pun baik; pengasih penyayang kepada anak buahnya, serta adil
dan lurus dalam pekerjaannya.
Tatkala sampai ke muka gedung tadi, berhentilah bendi Sutan
Mahmud, dan Penghulu ini turun dari atas kendaraannya, lalu
naik ke atas rumah ini. Dari jauh telah nyata kelihatan, gedung
ini kepunyaan seorang mampu, karena rupanya sederhana,
pekarangannya besar dan dipagar dengan kayu yang bercat
hitam. Di dalam pekarangan ini, banyak tumbuh-tumbuhan yang
sedang berbuah dan bunga-bungaan yang sedang berkembang.
Jalan masuk ke rumah ini, bentuknya sebagai bulan sebelah,
dan kedua pintunya, dapat ditutup dengan pagar besi yang bercat
putih. Pada bentuknya nyata, gedung ini buatan lama; karena
bangunnya tinggi, tiangnya besar-besar berukir-ukiran, lantainya
papan, demikian pula dindingnya; atapnya genting dilapisi
dengan rumbia, sehingga tak mudah bocor. Pada dindingnya
yang dicat putih itu, tergantung beberapa gambar Sultan Turki
dengan Wazir-Wazirnya. Kolong di bawah rumah itu, sekelilingnya
berkisi-kisi papan kecil-kecil, yang bercat hitam. Di serambi
muka, yang dipagari kisi-kisi kayu berpahat, ada sebuah lampu
gantung, yang dapat dikerek turun-naik, terbuat dari ukir-ukiran
timah, bertutupkan gelas, sedang di bawah lampu itu adalah
sebuah meja marmar bulat, yang kakinya berukir-ukiran pula, dikelilingi
oleh empat buah kursi goyang, macam dahulu. Serambi
ini tengahnya menganjur ke muka sedikit. Di sanalah bertemu
kedua tangga yang terletak di kanan-kiri serambi.
Rupanya Sutan Mahmud telah biasa masuk rumah ini, karena
ia terus berjalan ke serambi belakang. Di sana kelihatan olehnya
seorang anak gadis yang berumur kira-kira 15 tahun, sedang
duduk menjahit di atas tikar pandan dekat sebuah pelita.
Tatkala Sutan Mahmud melihat anak perempuan ini, berhentilah
ia sejurus, lalu bertanya, "Ke mana ibumu, Rukiah?"
Mendengar perkataan ini, terperanjatlah anak perempuan itu,
lalu mengangkat mukanya menoleh, kepada Sutan Mahmud.
Tatkala dilihatnya Penghulu ini berdiri di belakangnya, segeralah
diletakkannya jahitannya, lalu berdiri, sambil berkata, "Sedang
sembahyang, Mamanda." Kemudian ia hendak masuk ke dalam
sebuah bilik, akan melihat, sudahkah ibunya sembahyang.
"Sudahlah, biarlah! Aku nanti sebentar," kata Sutan Mahmud,
lalu duduk di atas sebuah kursi makan, di sisi sebuah meja
marmar kecil.
Tatkala itu terdengarlah suara seorang perempuan bertanya
dari dalam bilik, tempat perawan tadi akan masuk, "Siapakah itu,
Rukiah?"
"Mamanda Penghulu," jawab Rukiah.
"O, tunggulah sebentar! Kukenakan pakaianku dahulu,
karena aku baru sudah sembahyang."
Sementara itu bertanyalah Sutan Mahmud kepada Rukiah,
"Apakah yang kaujahit itu, Rukiah?"
"Baju kerawang, Mamanda," jawab Rukiah, seraya berkemas,
untuk menyimpan penjahitannya.
"Coba kulihat!" kata Sutan Mahmud pula. Rukiah, membawa
jahitannya, talu memperlihatkannya kepada Sutan Mahmud.
"Bagus benar buatanmu ini," kata Sutan Mahmud. "Untuk
siapa baju ini?"
Mendengar pertanyaan sedemikian, terdiamlah Rukiah, lalu
tunduk kemalu-maluan. "Untuk siapa-siapa saja yang suka,"
jawabnya.
"Yang suka, tentu banyak. Aku misalnya, ingin sekali
memakai baju kerawang yang sedemikian," kata Sutan Mahmud,
akan mempermain-mainkan gadis ini.
"Kalau Mamanda suka, bolehlah Mamanda ambil. Tetapi rasa
hamba baju ini kecil bagi Mamanda."
"Pada sangkaku pun demikian juga, Rukiah. Orang yang
akan memakai baju ini, tentulah remaja yang sebaya dengan
engkau, dan yang badannya seramping badanmu; bukannya lakilaki
tua tambun, sebagai aku ini," jawab Sutan Mahmud dengan
tersenyum.
Rukiah tunduk kembali kemalu-maluan, serta merah mukanya.
Tatkala itu keluarlah seorang perempuan yang umurnya
kira-kira 45 tahun, dari dalam bilik tadi, memakai baju kebaya
panjang, dari cela hitam dan kain Bugis. Rupanya perempuan ini
hampir seroman dengan Sutan Mahmud: hanya badannya kurus
sedikit. Pada air mukanya yang agak berlainan dengan wajah
muka Sutan Mahmud, terbayang tabiatnya yang kurang baik,
yaitu dengki dan bengis.
Tatkala dilihatnya Sutan Mahmud duduk di atas kursi lalu
ditegurnya, "Engkau, Penghulu! Alangkah besar hatiku melihat
engkau ada pula di rumah ini; karena telah sekian lama engkau
tiada datang kemari. Hampir aku bersangka, engkau telah lupa
kepada kami."
"Bukan demikian, Kakanda! Maklumlah hal kami pegawai
Pemerintah! Pekerjaan tiada berkeputusan: rodi, ronda, perkara
jalan, perkara polisi, perkara ini dan itu, tidak berhenti," jawab
Sutan Mahmud.
"Ya, tentu; tetapi ... Rukiah, pergilah masak air panas, untuk
mamandamu ini! Masih adakah kue-kue dalam lemari?"
"Ada, Bunda," jawab Rukiah.
"Ah, tak usah, karena aku baru minum teh di rumah, Rukiah,"
kata Sutan Mahmud pula.
"Mengapa? Tidakkah sudi lagi engkau makan di sini? Tidakkah
percaya lagi engkau kepada saudaramu?" tanya perempuan
itu, seraya rnengangkat mukanya, sebagai hendak marah.
"Ah, apakah sebabnya Kakanda berkata demikian? Masakan
hamba menaruh syak wasangka pada Kakanda? Kalau tiada
Kakanda, siapa lagi yang boleh hamba percayai?" jawab Sutan
Mahmud dengan tenangnya, tetapi, senyumnya mulai hilang dari
bibirnya.
"Pergilah Rukiah masak air, tetapi kopinya jangan terlalu
keras!" kata perempuan itu pula.
Setelah itu, anak perawan ini lalu pergi ke dapur, mengerjakan
apa yang telah dikatakan ibunya.
"Jangan engkau marah, apabila aku berkata demikian kepadamu,
karena sesungguhnya engkau rupanya makin lama makin
kurang kepada kami. Dahulu setiap hari engkau datang kemari,
makan dan minum di sini dan kadang-kadang tidur pula di sini.
Baran apa yang kaukehendaki, engkau minta atau kauambil
sendiri. Rumah ini kaupandang sebagai ramahmu sendiri. Akan
tetapi sekarang ini, jangankan tidur di sini, menjaga kami, datang
melihat kami kemari sekali sejumat pun tidak.
Apabila kuberikan apa-apa kepadamu, tak hendak kaumakan,
sebagai takut dan tak percaya engkau kepada rumah ini dan
isinqa; padahal di sinilah tumpah darahmu, di sinilah tumpah
darahku dan di sinilah pula orang tua-tua kita tinggal telah lebih
dari 80 tahun dan di sini pula ayah-bunda kita berpulang ke
rahmatullah. Bagaimana boleh sampai hatimu sedemikian itu,
tiadalah dapat kupikirkan," kata putri Rubiah, seraya menyapu
air matanya, yang berlinang-linang di pipinya.
Melihat kakandanya menangis, menjadi lemahlah kembali
hati Sutan Mahmud yang tadi mulai panas, lalu ia menjawab,
"Janganlah Kakanda berkecil hati, sebab tidaklah ada hamba
berhati sedemikian itu; hanya maklumlah Kakanda, Tuan
Kemendur ini baru, perintahnya keras; jadi harus berhati-hati
memegang pekerjaan, supaya jangan mendapat nama yang
kurang baik. Kakanda tahu sendiri, sejak dari nenek moyang
kita, yang semuanya bekerja pada kompeni, belum ada yang
mendapat nama jahat, melainkan pujianlah yang diperoleh
selama-lamanya. Alangkah sayangnya dan malunya hamba, bila
nama yang baik itu, pada hamba menjadi kurang baik!"
"Ah, tetapi pada sangkaku, walaupun engkau tiada menjadi
Penghulu sekalipun, engkau akan lupa juga kepada kami dan
rumah ini," kata putri Rubiah pula. "Semenjak engkau telah
kawin dan beranak, tiadalah lain yang kaupikirkan anak dan
istrimu, serta rumah tanggamu saja."
"Jika tiada begitu, bagaimana pula? Kalau tiada hamba yang
harus memelihara anak istri hamba, siapa lagi," tanya Sutan
Mahmud dengan tercengang.
"Lihatlah! Memang benar sangkaku, pikiranmu telah berubah
daripada yang diadatkan di Padang ini. Istrimu sudahlah, sebab
ia tinggal di rumahmu, tetapi anakmu? Bukanlah ada mamandanya,
saudara istrimu? Bukankah anakmu itu kemenakannya?
Bukankah dia yang harus memelihara anakmu, menurut adat
kita?" mendakwa putri Rubiah. "Atau telah lupa pula engkau
adat nenek moyang kita itu?"
"Benar, tetapi si Marhum tak berapa pendapatannya dan
banyak pula tanggungannya yang lain; jadi malu hamba, kalau si
Samsu hamba serahkan ke tangannya," jawab Sutan Mahmud.
"Ya, tetapi apabila kemenakanmu yang menjadi tanggunganmu
sendiri tersia-sia, tiada engkau malu," kata putri Rubiah pula.
"Tersia-sia bagaimana?" tanya Sutan Mahmud.
"Tidakkah tersia-sia namanya itu? Tidak dilihat-lihat dan
tidak diindahkan. Entah berbaju entah tidak, entah kelaparan
entah kesusahan, entah sakit entah mati. Anakmu kaumasukkan
ke sekolah Belanda, kauturut segala kehendaknya, makan tak
kurang, pakaian cukup. Jika hendak pergi, bendimu telah tersedia
akan membawanya, dan tiada lama lagi akan engkau kirim
pula ia ke Jakarta, meneruskan pelajarannya. Dari situ barangkali
ke negeri Belanda pula karena kepandaian di sana, belumlah
memadai baginya. Kalau ada sekolah untuk menjadi raja,
tentulah. ke sana pula kauserahkan anakmu itu, sebab ia tak
boleh menjadi orang sebarang saja, melainkan harus menjadi
orang yang berpangkat tinggi. Bukankah sekalian itu memakan
biaya? Untuk anakmu selalu ada uangmu, untuk anakku
selamanya tak ada."
"Rukiah tidak bersekolah itu bukan salah hamba, melainkan
salah Kakanda sendiri. Sudah berapa kali hamba minta kepada
Kakanda, supaya anak itu disekolahkan, tetapi Kakandalah yang
tak suka, karena tak baik, kata Kakanda, anak perempuan pandai
menulis dan membaca; suka menjadi jahat. Sekarang hamba
yang disalahkan. Lagi pula hamba sekolahkan si Samsu bukan
karena apa-apa, melainkan sebab pada pikiran hamba, kewajiban
bapaklah memajukan anaknya," kata Sutan Mahmud sambil
merengut.
"Bukan kewajibanmu, melainkan kewajiban mamaknya*)"
jawab putri Rubiah. "Untung anakku perempuan, tak banyak merugikan
engkau. Akan tetapi walaupun ia laki-laki sekalipun,
belum tentu juga akan kauserahkan ke sekolah, karena orang bersekolah
itu orang yang hina dan miskin, yang tak dapat makan,
kalau tiada berkepandaian. Anakku putri, bangsanya tinggi, tak
perlu bekerja untuk mencari makan. Biarpun ia bodoh, masih
banyak orang kaya dan bangsawan yang suka kepada ketinggian
bangsanya. Anakmu bukan demikian halnya; ia hanya marah
karena ibunya orang kebanyakan. Kalau tak berkepandaian, tentu
tak laku..." kata putri Rubiah dengan keras suaranya, lalu berhenti
sejurus, sebagai tak dapat meneruskan sesalannya.
*) Saudara ibu yang laki-laki
"Sampai sekarang aku belum mengerti, bagaimana pikiranmu,
tatkala mengawini perempuan itu. Apanya yang kau
pandang? Bagusnya itu saja? Apa gunanya beristri bagus, kalau
bangsa tak ada, Serdadu Belanda bagus juga, tetapi siapa yang
suka menjemputnya?" *)
"Rupanya bagi Kakanda, perempuan itu haruslah berbangsa
tinggi, baru dapat diperistri. Pikiran hamba tidak begitu; bahwa
kawin dengan siapa saja, asal perempuan itu hamba sukai dan ia
suka pula kepada hamba. Tiada hamba pandang bangsa, rupa
atau kekayaannya," jawab Sutan Mahmud yang mulai naik
darahnya.
"Memang adat dan kelakuanmu telah berubah benar. Tiada
lama lagi tentulah akan kautukar pula agamamu dengan agama
Nasrani," kata putri Rubiah.
Sutan Mahmud tiada menjawab melainkan mengangkat
bahunya, seraya menoleh ke tempat lain.
"Pekasih**) apakah yang telah diberikan istrimu itu kepadamu,
tidaklah kuketahui; hingga tidak tertinggalkan olelunu
perempuan itu; sebagai telah tetikat kaki tanganmu olehnya.
Sekalian Penghulu di Padang ini beristri dua tiga, sampai empat
orang. Hanya engkau sendirilah yang dari dahulu, hanya
*) Memberi uang tatkala kawin
**) Ilmu supaya dikasihi atau dicintai, biasanya
memakai obat-obatan (guna-guna di tanah
Jawa).
perempuan itu saja istrimu tidak berganti-ganti, tiada bertambahtambah.
Bukankah harus orang besar itu beristri banyak?
Bukankah baik orang berbangsa itu beristri berganti-ganti,
supaya kembang keturunannya? Bukankah hina, jika ia beristri
hanya seorang saja? Sedangkan orang kebanyakan, yang tiada
berpangkat dan tiada berbangsa, terkadang-kadang sampai empat
istrinya, mengapa pula engkau tiada?"
"Pada pikiranku, hanya hewan yang banyak bininya, manusia
tidak," jawab Sutan Mahmud dengan merah mukanya. "Kalau
perempuan tak boleh bersuami dua tiga, tentu tak harus laki-laki
beristri banyak."
"Cobalah dengar perkataannya itu! Adakah layak pikiran
yang sedemikian? Tiap-tiap laki-laki yang berbangsa dan berpangkat
tinggi, malu beristri seorang, tetapi engkau malu beristri
banyak. Bukankah sttdah bertukar benar pikiranmu itu? Sudah
lupakah engkau, bahwa engkau seorang yang berbangsa dan
berpangkat tinggi? Malu sangat rasanya aku, bila kuingat
saudaraku, sebagai seorang yang tak laku kepada perempuan,
kepada putri dan Sitti-Sitti Padang ini, walaupun bangsa dan
pangkatnya tinggi," kata putri Rubiah. "Dan bukankah rugi itu?
Tentu saja tak sampai-menyampai belanjamu, bila gajimu saja
yang kauharapkan. Cobalah lihat adikmu! Walaupun tiada
bergaji, tetapi tidak pernah kekurangan uang. Belum tahu ia
kemari dengan tiada memberi aku dan kemanakannya. Wahai,
kasihan Anakku! Celaka benar untungnya. Sudah tiada
diindahkan oleh mamandanya, jodohnya pun tak dapat pula
dicarikannya. Anak orang umur 12 atau 13 tahun, setua-tuanya
umur 14 tahun, telah dikawinkan, tetapi anakku, hampir beruban,
masih perawan juga. Kalau masih hidup ayahnya, tentulah tiada
akan dibiarkannya anaknya sedemikian ini, walaupun akan
digadaikannya kepalanya. Dan aku ini mengapalah sampai
begini nasibku? Berbeda benar dengan untung perempuan yang
lain. Meskipun ada saudaraku yang berpangkat tinggi, tetapi aku
adalah sebagai anak dagang, yang tiada berkaum keluarga. Tiada
diindahkan, tiada dilihat-lihat; belanja dan pakaian pun tak
diberi. Kepada siapakah aku akan meminta lagi, jika tiada
kepadamu, Mahmud?" kata putri Rubiah, sambil menangis
bersedih hati.
Sutan Mahmud yang mulai merah mukanya, karena marah
mendengar umpatan yang sedemikian, hatinya menjadi reda
kembali, tatkala melihat saudaranya menangis.
"Sudahlah Kakanda, jangan menangis lagi! Memang maksud
hamba datang ini hendak membicarakan hal Rukiah."
"Apakah gunanya dibicarakan juga lagi? Menambah sedih
hatiku saja. Kalau engkau tak beruang, masakan ia mau.
Sudahlah, biarlah anakku menjadi perawan tua. Bukan aku saja
yang akan malu, tetapi terlebih-lebih engkau; karena tentulah
orang akan berkata, "Seorang Penghulu tiada sanggup mencarikan
suami kemanakannya!"
"Berapa uang jemputan yang dimintanya?" tanya Sutan
Mahmud pula dengan tiada mengindahkan perkataan saudaranya
itu.
"Sudah beberapa kali kukatakan 300 rupiah*)," jawab
perempuan itu.
"Tak mau ia kurang? 200 atau 250 rupiah misalnya?" tanya
Sutan Mahmud.
"Kalau kepada tukang ikan ia akan dikawinkan, tentu tak
usah menjemput sedikit jua pun. Tetapi engkau tentu maklum,
anakku tak boleh dan tak suka kukawinkan dengan sebarang
orang saja. Apakah jadinya dengan keturunan kita kelak?"
"Baiklah, apa lagi permintaannya?" tanya Sutan Mahmud
dengan sabar.
"Arloji mas dengan rantainya, cincin berlian sebentuk,
pakaian selengkapnya, dengan beberapa helai kain sarung Bugis
dan kain batik Jawa, bendi dengan kudanya," jawab putri
Rubiah.
"Astaga! Dari mana akan hamba peroleh sekaliannya itu?"
kata sutan Mahmud.
*) Harga uang dulu tinggi dari uang sekarang
"Bukankah sudah kukatakan; kalau tak cakap engkau
mengadakan permintaan orang itu, janganlah dibicarakan juga
perkara ini. Apa gunanya engkau menyedihkan hatiku? Laki-laki
lain, aku tak suka."
"Sudahlah, apa boleh buat! Jemputlah dia!" kata Sutan
Mahmud, sambil mengeluh. "Perkara bendi itu gampang; jika tak
ada, boleh ambil bendiku."
"Benar?" tanya putri Rubiah, dan matanya terang kembali
karena mendengar perkataan ini.
"Benar," jawab Sutan Mahmud dengan pendek.
"Di mana engkau dapat uang?" tanya perempuan itu pula.
"Dari Datuk Meringgih," jawab Sutan Mahmud. "Berapa?"
"3000 rupiah," jawab Sutan Mahmud.
"O, kalau sekian, tentu cukup; sebab engkau maklum,
perkakas Rukiah untuk penyambut' suaminya, tentu harus cukup.
Ranjangnya tentulah sekurang-kurangnya tiga lapis kelambunya,
daripada sutera. Dan bantal seraga (bantal tinggi) harus dari
sutera pula, diberi bertekat benang Makau sekaliannya harus
diadakan. Belanja alat yang tujuh hari tujuh malam, dengan
biaya perarakan dan gajah mena*) tidak sedikit."
Tatkala itu datanglah putri Rukiah membawa suatu hidangan,
yang berisi semangkuk kopi dengan kue-kue, ke hadapan Sutan
*) Kendaraan atau usung-usungan untuk
pengantin, bentuknya semacam ikan laut
Mahmud, lalu diletakkannya di atas meja. Kemudian masuklah
ia ke dalam biliknya. Rupanya ia mengerti, bahwa orang tuanya
itu sedang memperbincangkan hal yang tak boleh didengarnya,
sebab ketika ia sampai ke sana, tiba-tiba kedua mereka berhenti
sejurus berkata-kata. Tetapi ada juga didengarnya namanya
disebut. "Barangkali mereka memperbincangkan perkara perkawinanku,"
pikir putri Rukiah dalam hatinya. Tetapi tatkala itu
juga ia berkata dalam hatinya, sebagai hendak melenyapkan
pikiran yang demikian, "Ah, tak layak bagi seorang anak
perawan, memikirkan hal ini."
"Jadi bilakah maksud Kakanda hendak melangsungkan
pekerjaan itu?" tanya Sutan Mahmud, tatkala putri Rukiah tak
ada lagi, sambil mengangkat mangkuk kopinya.
"Kehendak hatiku selekas-lekasnya," jawab putri Rubiah.
"Tetapi engkau tentu maklum, pekerjaan ini tak dapat diburuburukan.
Tiga bulan lagi, barulah dapat pada sangkaku, karena
tentulah aku harus bersedia-sedia lebih dahulu. Pakaian Rukiah
belum ada dan pakaian penerimaan Sutan Mansyur, yang bakal
menjadi suaminya itu pun belum cukup. Perkakas ranjang dan
bantal-bantal seraga pun belum disediakan, demikian pula kuekue.
Lagi pula tentulah sekalian kaum keluarga sahabat kenalan
kita yang dekat dan yang jauh, harus diberi tahu lebih dahulu."
"Kepada sanak saudara yang jauh jauh, boleh hamba tulis
surat, tetapi kepada yang dekat-dekat biarlah si Hamzah saja
memberitahukan," kata Sutan Mahmud.
Belum sampai habis diminum kopi itu oleh Penghulu Sutan
Mahmud, tiba-tiba kedengaranlah dari jauh katuk-katuk berbunyi,
alamat ada orang mengamuk. Sutan Mahmud segera
mengangkat kepalanya, akan mendengarkan benar-benar bunyi
itu. Katuk-katuk itu makin lama makin keras dan makin cepat
bunyinya, dan sejurus kemudian disahutinya oleh katuk-katuk
rumah jaga yang dekat dari sana.
"Orang mengamuk!" kata Sutan Mahmud, sambil berdiri
hendak pergi ke luar.
"Ya," kata putri Rubiah dengan gemetar suaranya, "tetapi
janganlah kaupergi ke sana."
"Mesti," jawab Sutan Mahmud, "barangkali dalam daerah
hamba." Tatkala itu juga putri Rukiah keluar dan dalam biliknya,
lalu pergi kepada mamandanya, sarnbil memegang tangan Sutan
Mahmud, dan berkata dengan gemetar dan pucat mukanya,
"Jangan Mamanda pergi! Hamba sangat takut, kalau-kalau orang
itu masuk ke dalam rumah ini."
"Ah, barangkali di kampung Jawa atau di Olo; bukan di
kampung ini," sahut Sutan Mahmud akan menghilangkan takut
kemanakannya.
"Tetapi janganlah pergi! Sebab di sini tak ada laki-laki. Si
Lasa sakit dan si Hamzah tak ada," kata putri Rubiah pula.
Sutan Mahmud terdiri sejurus, tak tahu apa yang akan
diperbuatnya. Pergilah ia menjalankan kewajibannya atau
tinggalkan menjaga saudaranya dan kemanakannya.
"Ke mana si Hamzah?" tanyanya, setelah berdiam seketika.
"Entahlah," jawab saudaranya, "jangan jangan ia yang mendapat
bahaya."
Ketika itu kedengaran suara orang cepat-cepat naik tangga
rumah. Kedua perempuan ini makin bertambah-tambah takut,
lalu datang menghampiri Sutan Mahmud dan berdiri di
belakangnya.
"Siapa itu?" tanya putri Rubiah kepada Sutan Mahmud.
"Ah, barangkali si Ali akan memberitahukan hal ini," jawab
Sutan Mahmud.
"Engkau Ali?" tanyanya. Tiada beroleh jawaban.
Tiada lama kemudian daripada itu berdiri seorang-orang
muda di hadapan mereka, yang rupanya hampir serupa dengan
Sutan Mahmud. Hanya umurnya lebih muda. Anak muda ini
memakai baju putih berkerawang, kain Palembang, selop hitam,
topi sutera hitam yang miring letaknya di atas kepalanya.
Bibirnya merah sebagai baru makan sirih. Di kocek bajunya tergantung
rantai arloji naga-naga, yang terbuat daripada mas. Buah
bajunya pun dari mas pula. Pada jari manisnya kelihatan sebentuk
cincin yang bermata intan. Menurut wajah mukanya,
kecil badannya, bangsa dan mampu, yang dari kecilnya belum
pernah merasai kesengsaraan dan kesusahan. Oleh sebab itu
tiadalah lain yang diketahuinya, melainkan bersuka-suka dan
bersenang-senangan. Perkara yang akan datang dan hal yang
telah lalu tiadalah pernah dipikirkannya.
Apabila ada uangnya 100 rupiah, sehari itu juga dihabiskannya,
diboroskannya atau diperjudikannya. Jika tak beruang, dijual
atau digadaikannya segala barang yang ada padanya. Itulah
sebabnya maka kehidupannya tak tentu; terkadang-kadang ada ia
beruang, terkadang-kadang tak ada. Akan tetapi sebab ia seorang
yang "pandai hidup", sebagai kata peribahasa Melayu, selalulah
rupanya seperti orang yang tak pernah kekurangan.
"Ha, untung engkau datang, Hamzah! Kalau tidak, tak tahu
aku apa yang akan diperbuat waktu ini. Tetapi dari mana
engkau?" tanya Sutan Mahmud.
"Dari tanah lapang, hendak kemari. Tatkala sampai ke rumah
jaga, di ujung jalan ini, kedengaran oleh hamba bunyi katukkatuk;
sebab itu hamba berlari-lari kemari."
"Di mana orang mengamuk?" tanya Sutan Mahmud.
"Entah! Orang jaga pun tak tahu pula," jawab Sutan Hamzah.
"Baiklah, tinggallah engkau di sini, sebab aku hendak pergi
memeriksa pengamukan ini."
"Ah jangan, Mahmud! Biarlah mereka berbunuh-bunuhan di
sana. Apa pedulimu?" kata putri Rubiah.
"Tak boleh demikian. Seorang Kepala Negeri harus
mengetahui dan memeriksa hal ini; lebih-lebih kalau
pengamukan itu terjadi dalam kampung pegangan hamba," jawab
Sutan Mahmud.
"Lebih sayangkah kepada pangkatmu daripada kepada
jiwamu?" tanya putri Rubiah pula.
"Ah, jangan kuatir! Belum tentu hamba mati."
"Kalau di dalam pegangan Kakanda terjadi pengamukan itu,
sedang Kakanda tak ada, tentulah Kakanda dapat nama kurang
baik," kata Sutan Hamzah mencampuri percakapan ini.
Oleh sebab tiada tertahan rupanya oleh putri Rubiah maksud
saudaranya ini, berkatalah ia, "Baiklah, tetapi hati-hati menjaga
diri! Pangkat dapat dicari, tetapi nyawa tak dapat disambung dan
bawalah keris pusaka Ayah itu besar tuahnya."
"Baiklah," jawab Sutan Mahmud, "mana dia?"
"Tunggu!" kata. utri Rubiah, lalu masuk ke biliknya.
Sebentar lagi keluarlah putri Rubiah membawa sebilah keris
tua, yang dibungkus dengan kain putih, lalu diberikannya kepada
Sutan Mahmud: "Hamzah, tutuplah pintu dan tinggallah engkau
di sini! Jaga rumah baik-baik!"
Sambil berkata demikian, Sutan Mahmud pun keluarlah, lalu
turun dan melompat naik bendinya, yang berangkat waktu itu
juga.
......Bersambung

No comments:

Post a Comment