SUTAN MAHMUD DENGAN
SAUDARANYA YANG PEREMPUAN
Karya Marah Rusli
Pada senja hari yang baru
diceritakan, kelihatan bendi Sutan
Mahmud masuk ke dalam pekarangan
sebuah rumah gedung di
kampung Alang Lawas. Di dalam
bendi ini duduk Sutan
Mahmud.
Memang gagah rupanya Penghulu ini
duduk.di atas bendinya,
bertopangkan tongkat ruyung
dengan kedua belah tangannya.
Destamya yang berbentuk
"ciling menurun" itu adalah sebagai
suatu mahkota di atas kepalanya.
Bajunya jas putih, berkancingkan
"letter W," dan ujung
lengan bajunya itu berpetam
sebagai baju opsir.
Celananya—celana panjang putih, sedang di
antara baju dan celana kelihatan
sarungnya, kain sutera Bugis
hitam, yang terjuntai hampir
sampai ke lututnya. Sepatunya
sepatu kasut, yang diperbuat dari
kulit perlak hitam.
Rupanya Penghulu ini, tak guna
kita rencanakan, karena
adalah sebagai pinang dibelah dua
dengan rupa anaknya
Samsulbahri. Di antara
Penghulu-penghulu yang delapan di kota
Padang waktu itu, Sutan Mahmud
inilah yang terlebih dipandang
orang, karena bangsanya tinggi,
rupanya elok, tingkah lakunya
pun baik; pengasih penyayang
kepada anak buahnya, serta adil
dan lurus dalam pekerjaannya.
Tatkala sampai ke muka gedung
tadi, berhentilah bendi Sutan
Mahmud, dan Penghulu ini turun
dari atas kendaraannya, lalu
naik ke atas rumah ini. Dari jauh
telah nyata kelihatan, gedung
ini kepunyaan seorang mampu,
karena rupanya sederhana,
pekarangannya besar dan dipagar
dengan kayu yang bercat
hitam. Di dalam pekarangan ini,
banyak tumbuh-tumbuhan yang
sedang berbuah dan bunga-bungaan
yang sedang berkembang.
Jalan masuk ke rumah ini,
bentuknya sebagai bulan sebelah,
dan kedua pintunya, dapat ditutup
dengan pagar besi yang bercat
putih. Pada bentuknya nyata, gedung
ini buatan lama; karena
bangunnya tinggi, tiangnya
besar-besar berukir-ukiran, lantainya
papan, demikian pula dindingnya;
atapnya genting dilapisi
dengan rumbia, sehingga tak mudah
bocor. Pada dindingnya
yang dicat putih itu, tergantung
beberapa gambar Sultan Turki
dengan Wazir-Wazirnya. Kolong di
bawah rumah itu, sekelilingnya
berkisi-kisi papan kecil-kecil,
yang bercat hitam. Di serambi
muka, yang dipagari kisi-kisi
kayu berpahat, ada sebuah lampu
gantung, yang dapat dikerek
turun-naik, terbuat dari ukir-ukiran
timah, bertutupkan gelas, sedang
di bawah lampu itu adalah
sebuah meja marmar bulat, yang
kakinya berukir-ukiran pula, dikelilingi
oleh empat buah kursi goyang,
macam dahulu. Serambi
ini tengahnya menganjur ke muka
sedikit. Di sanalah bertemu
kedua tangga yang terletak di
kanan-kiri serambi.
Rupanya Sutan Mahmud telah biasa
masuk rumah ini, karena
ia terus berjalan ke serambi
belakang. Di sana kelihatan olehnya
seorang anak gadis yang berumur
kira-kira 15 tahun, sedang
duduk menjahit di atas tikar
pandan dekat sebuah pelita.
Tatkala Sutan Mahmud melihat anak
perempuan ini, berhentilah
ia sejurus, lalu bertanya,
"Ke mana ibumu, Rukiah?"
Mendengar perkataan ini,
terperanjatlah anak perempuan itu,
lalu mengangkat mukanya menoleh,
kepada Sutan Mahmud.
Tatkala dilihatnya Penghulu ini
berdiri di belakangnya, segeralah
diletakkannya jahitannya, lalu
berdiri, sambil berkata, "Sedang
sembahyang, Mamanda."
Kemudian ia hendak masuk ke dalam
sebuah bilik, akan melihat,
sudahkah ibunya sembahyang.
"Sudahlah, biarlah! Aku
nanti sebentar," kata Sutan Mahmud,
lalu duduk di atas sebuah kursi
makan, di sisi sebuah meja
marmar kecil.
Tatkala itu terdengarlah suara
seorang perempuan bertanya
dari dalam bilik, tempat perawan
tadi akan masuk, "Siapakah itu,
Rukiah?"
"Mamanda Penghulu,"
jawab Rukiah.
"O, tunggulah sebentar!
Kukenakan pakaianku dahulu,
karena aku baru sudah
sembahyang."
Sementara itu bertanyalah Sutan
Mahmud kepada Rukiah,
"Apakah yang kaujahit itu,
Rukiah?"
"Baju kerawang,
Mamanda," jawab Rukiah, seraya berkemas,
untuk menyimpan penjahitannya.
"Coba kulihat!" kata
Sutan Mahmud pula. Rukiah, membawa
jahitannya, talu
memperlihatkannya kepada Sutan Mahmud.
"Bagus benar buatanmu
ini," kata Sutan Mahmud. "Untuk
siapa baju ini?"
Mendengar pertanyaan sedemikian,
terdiamlah Rukiah, lalu
tunduk kemalu-maluan. "Untuk
siapa-siapa saja yang suka,"
jawabnya.
"Yang suka, tentu banyak.
Aku misalnya, ingin sekali
memakai baju kerawang yang
sedemikian," kata Sutan Mahmud,
akan mempermain-mainkan gadis
ini.
"Kalau Mamanda suka,
bolehlah Mamanda ambil. Tetapi rasa
hamba baju ini kecil bagi
Mamanda."
"Pada sangkaku pun demikian
juga, Rukiah. Orang yang
akan memakai baju ini, tentulah
remaja yang sebaya dengan
engkau, dan yang badannya
seramping badanmu; bukannya lakilaki
tua tambun, sebagai aku
ini," jawab Sutan Mahmud dengan
tersenyum.
Rukiah tunduk kembali
kemalu-maluan, serta merah mukanya.
Tatkala itu keluarlah seorang
perempuan yang umurnya
kira-kira 45 tahun, dari dalam
bilik tadi, memakai baju kebaya
panjang, dari cela hitam dan kain
Bugis. Rupanya perempuan ini
hampir seroman dengan Sutan
Mahmud: hanya badannya kurus
sedikit. Pada air mukanya yang
agak berlainan dengan wajah
muka Sutan Mahmud, terbayang
tabiatnya yang kurang baik,
yaitu dengki dan bengis.
Tatkala dilihatnya Sutan Mahmud
duduk di atas kursi lalu
ditegurnya, "Engkau,
Penghulu! Alangkah besar hatiku melihat
engkau ada pula di rumah ini;
karena telah sekian lama engkau
tiada datang kemari. Hampir aku
bersangka, engkau telah lupa
kepada kami."
"Bukan demikian, Kakanda!
Maklumlah hal kami pegawai
Pemerintah! Pekerjaan tiada
berkeputusan: rodi, ronda, perkara
jalan, perkara polisi, perkara
ini dan itu, tidak berhenti," jawab
Sutan Mahmud.
"Ya, tentu; tetapi ...
Rukiah, pergilah masak air panas, untuk
mamandamu ini! Masih adakah
kue-kue dalam lemari?"
"Ada, Bunda," jawab
Rukiah.
"Ah, tak usah, karena aku
baru minum teh di rumah, Rukiah,"
kata Sutan Mahmud pula.
"Mengapa? Tidakkah sudi lagi
engkau makan di sini? Tidakkah
percaya lagi engkau kepada
saudaramu?" tanya perempuan
itu, seraya rnengangkat mukanya,
sebagai hendak marah.
"Ah, apakah sebabnya Kakanda
berkata demikian? Masakan
hamba menaruh syak wasangka pada
Kakanda? Kalau tiada
Kakanda, siapa lagi yang boleh
hamba percayai?" jawab Sutan
Mahmud dengan tenangnya, tetapi,
senyumnya mulai hilang dari
bibirnya.
"Pergilah Rukiah masak air,
tetapi kopinya jangan terlalu
keras!" kata perempuan itu
pula.
Setelah itu, anak perawan ini
lalu pergi ke dapur, mengerjakan
apa yang telah dikatakan ibunya.
"Jangan engkau marah,
apabila aku berkata demikian kepadamu,
karena sesungguhnya engkau
rupanya makin lama makin
kurang kepada kami. Dahulu setiap
hari engkau datang kemari,
makan dan minum di sini dan
kadang-kadang tidur pula di sini.
Baran apa yang kaukehendaki, engkau
minta atau kauambil
sendiri. Rumah ini kaupandang
sebagai ramahmu sendiri. Akan
tetapi sekarang ini, jangankan
tidur di sini, menjaga kami, datang
melihat kami kemari sekali
sejumat pun tidak.
Apabila kuberikan apa-apa
kepadamu, tak hendak kaumakan,
sebagai takut dan tak percaya
engkau kepada rumah ini dan
isinqa; padahal di sinilah tumpah
darahmu, di sinilah tumpah
darahku dan di sinilah pula orang
tua-tua kita tinggal telah lebih
dari 80 tahun dan di sini pula
ayah-bunda kita berpulang ke
rahmatullah. Bagaimana boleh
sampai hatimu sedemikian itu,
tiadalah dapat kupikirkan,"
kata putri Rubiah, seraya menyapu
air matanya, yang
berlinang-linang di pipinya.
Melihat kakandanya menangis,
menjadi lemahlah kembali
hati Sutan Mahmud yang tadi mulai
panas, lalu ia menjawab,
"Janganlah Kakanda berkecil
hati, sebab tidaklah ada hamba
berhati sedemikian itu; hanya
maklumlah Kakanda, Tuan
Kemendur ini baru, perintahnya
keras; jadi harus berhati-hati
memegang pekerjaan, supaya jangan
mendapat nama yang
kurang baik. Kakanda tahu
sendiri, sejak dari nenek moyang
kita, yang semuanya bekerja pada
kompeni, belum ada yang
mendapat nama jahat, melainkan
pujianlah yang diperoleh
selama-lamanya. Alangkah
sayangnya dan malunya hamba, bila
nama yang baik itu, pada hamba
menjadi kurang baik!"
"Ah, tetapi pada sangkaku,
walaupun engkau tiada menjadi
Penghulu sekalipun, engkau akan
lupa juga kepada kami dan
rumah ini," kata putri
Rubiah pula. "Semenjak engkau telah
kawin dan beranak, tiadalah lain
yang kaupikirkan anak dan
istrimu, serta rumah tanggamu
saja."
"Jika tiada begitu,
bagaimana pula? Kalau tiada hamba yang
harus memelihara anak istri
hamba, siapa lagi," tanya Sutan
Mahmud dengan tercengang.
"Lihatlah! Memang benar
sangkaku, pikiranmu telah berubah
daripada yang diadatkan di Padang
ini. Istrimu sudahlah, sebab
ia tinggal di rumahmu, tetapi
anakmu? Bukanlah ada mamandanya,
saudara istrimu? Bukankah anakmu
itu kemenakannya?
Bukankah dia yang harus
memelihara anakmu, menurut adat
kita?" mendakwa putri
Rubiah. "Atau telah lupa pula engkau
adat nenek moyang kita itu?"
"Benar, tetapi si Marhum tak
berapa pendapatannya dan
banyak pula tanggungannya yang
lain; jadi malu hamba, kalau si
Samsu hamba serahkan ke
tangannya," jawab Sutan Mahmud.
"Ya, tetapi apabila
kemenakanmu yang menjadi tanggunganmu
sendiri tersia-sia, tiada engkau
malu," kata putri Rubiah pula.
"Tersia-sia bagaimana?"
tanya Sutan Mahmud.
"Tidakkah tersia-sia namanya
itu? Tidak dilihat-lihat dan
tidak diindahkan. Entah berbaju
entah tidak, entah kelaparan
entah kesusahan, entah sakit
entah mati. Anakmu kaumasukkan
ke sekolah Belanda, kauturut
segala kehendaknya, makan tak
kurang, pakaian cukup. Jika
hendak pergi, bendimu telah tersedia
akan membawanya, dan tiada lama
lagi akan engkau kirim
pula ia ke Jakarta, meneruskan
pelajarannya. Dari situ barangkali
ke negeri Belanda pula karena
kepandaian di sana, belumlah
memadai baginya. Kalau ada
sekolah untuk menjadi raja,
tentulah. ke sana pula
kauserahkan anakmu itu, sebab ia tak
boleh menjadi orang sebarang
saja, melainkan harus menjadi
orang yang berpangkat tinggi.
Bukankah sekalian itu memakan
biaya? Untuk anakmu selalu ada
uangmu, untuk anakku
selamanya tak ada."
"Rukiah tidak bersekolah itu
bukan salah hamba, melainkan
salah Kakanda sendiri. Sudah
berapa kali hamba minta kepada
Kakanda, supaya anak itu
disekolahkan, tetapi Kakandalah yang
tak suka, karena tak baik, kata
Kakanda, anak perempuan pandai
menulis dan membaca; suka menjadi
jahat. Sekarang hamba
yang disalahkan. Lagi pula hamba
sekolahkan si Samsu bukan
karena apa-apa, melainkan sebab
pada pikiran hamba, kewajiban
bapaklah memajukan anaknya,"
kata Sutan Mahmud sambil
merengut.
"Bukan kewajibanmu,
melainkan kewajiban mamaknya*)"
jawab putri Rubiah. "Untung
anakku perempuan, tak banyak merugikan
engkau. Akan tetapi walaupun ia
laki-laki sekalipun,
belum tentu juga akan kauserahkan
ke sekolah, karena orang bersekolah
itu orang yang hina dan miskin,
yang tak dapat makan,
kalau tiada berkepandaian. Anakku
putri, bangsanya tinggi, tak
perlu bekerja untuk mencari
makan. Biarpun ia bodoh, masih
banyak orang kaya dan bangsawan
yang suka kepada ketinggian
bangsanya. Anakmu bukan demikian
halnya; ia hanya marah
karena ibunya orang kebanyakan.
Kalau tak berkepandaian, tentu
tak laku..." kata putri
Rubiah dengan keras suaranya, lalu berhenti
sejurus, sebagai tak dapat
meneruskan sesalannya.
*) Saudara ibu yang laki-laki
"Sampai sekarang aku belum
mengerti, bagaimana pikiranmu,
tatkala mengawini perempuan itu.
Apanya yang kau
pandang? Bagusnya itu saja? Apa
gunanya beristri bagus, kalau
bangsa tak ada, Serdadu Belanda
bagus juga, tetapi siapa yang
suka menjemputnya?" *)
"Rupanya bagi Kakanda,
perempuan itu haruslah berbangsa
tinggi, baru dapat diperistri.
Pikiran hamba tidak begitu; bahwa
kawin dengan siapa saja, asal
perempuan itu hamba sukai dan ia
suka pula kepada hamba. Tiada
hamba pandang bangsa, rupa
atau kekayaannya," jawab
Sutan Mahmud yang mulai naik
darahnya.
"Memang adat dan kelakuanmu
telah berubah benar. Tiada
lama lagi tentulah akan kautukar
pula agamamu dengan agama
Nasrani," kata putri Rubiah.
Sutan Mahmud tiada menjawab
melainkan mengangkat
bahunya, seraya menoleh ke tempat
lain.
"Pekasih**) apakah yang
telah diberikan istrimu itu kepadamu,
tidaklah kuketahui; hingga tidak
tertinggalkan olelunu
perempuan itu; sebagai telah
tetikat kaki tanganmu olehnya.
Sekalian Penghulu di Padang ini
beristri dua tiga, sampai empat
orang. Hanya engkau sendirilah
yang dari dahulu, hanya
*) Memberi uang tatkala kawin
**) Ilmu supaya dikasihi atau
dicintai, biasanya
memakai obat-obatan (guna-guna di
tanah
Jawa).
perempuan itu saja istrimu tidak
berganti-ganti, tiada bertambahtambah.
Bukankah harus orang besar itu
beristri banyak?
Bukankah baik orang berbangsa itu
beristri berganti-ganti,
supaya kembang keturunannya?
Bukankah hina, jika ia beristri
hanya seorang saja? Sedangkan
orang kebanyakan, yang tiada
berpangkat dan tiada berbangsa,
terkadang-kadang sampai empat
istrinya, mengapa pula engkau
tiada?"
"Pada pikiranku, hanya hewan
yang banyak bininya, manusia
tidak," jawab Sutan Mahmud
dengan merah mukanya. "Kalau
perempuan tak boleh bersuami dua
tiga, tentu tak harus laki-laki
beristri banyak."
"Cobalah dengar perkataannya
itu! Adakah layak pikiran
yang sedemikian? Tiap-tiap
laki-laki yang berbangsa dan berpangkat
tinggi, malu beristri seorang,
tetapi engkau malu beristri
banyak. Bukankah sttdah bertukar
benar pikiranmu itu? Sudah
lupakah engkau, bahwa engkau
seorang yang berbangsa dan
berpangkat tinggi? Malu sangat
rasanya aku, bila kuingat
saudaraku, sebagai seorang yang tak
laku kepada perempuan,
kepada putri dan Sitti-Sitti
Padang ini, walaupun bangsa dan
pangkatnya tinggi," kata
putri Rubiah. "Dan bukankah rugi itu?
Tentu saja tak sampai-menyampai
belanjamu, bila gajimu saja
yang kauharapkan. Cobalah lihat
adikmu! Walaupun tiada
bergaji, tetapi tidak pernah
kekurangan uang. Belum tahu ia
kemari dengan tiada memberi aku
dan kemanakannya. Wahai,
kasihan Anakku! Celaka benar
untungnya. Sudah tiada
diindahkan oleh mamandanya,
jodohnya pun tak dapat pula
dicarikannya. Anak orang umur 12
atau 13 tahun, setua-tuanya
umur 14 tahun, telah dikawinkan,
tetapi anakku, hampir beruban,
masih perawan juga. Kalau masih
hidup ayahnya, tentulah tiada
akan dibiarkannya anaknya
sedemikian ini, walaupun akan
digadaikannya kepalanya. Dan aku
ini mengapalah sampai
begini nasibku? Berbeda benar
dengan untung perempuan yang
lain. Meskipun ada saudaraku yang
berpangkat tinggi, tetapi aku
adalah sebagai anak dagang, yang
tiada berkaum keluarga. Tiada
diindahkan, tiada dilihat-lihat;
belanja dan pakaian pun tak
diberi. Kepada siapakah aku akan
meminta lagi, jika tiada
kepadamu, Mahmud?" kata
putri Rubiah, sambil menangis
bersedih hati.
Sutan Mahmud yang mulai merah
mukanya, karena marah
mendengar umpatan yang
sedemikian, hatinya menjadi reda
kembali, tatkala melihat
saudaranya menangis.
"Sudahlah Kakanda, jangan
menangis lagi! Memang maksud
hamba datang ini hendak
membicarakan hal Rukiah."
"Apakah gunanya dibicarakan
juga lagi? Menambah sedih
hatiku saja. Kalau engkau tak
beruang, masakan ia mau.
Sudahlah, biarlah anakku menjadi
perawan tua. Bukan aku saja
yang akan malu, tetapi
terlebih-lebih engkau; karena tentulah
orang akan berkata, "Seorang
Penghulu tiada sanggup mencarikan
suami kemanakannya!"
"Berapa uang jemputan yang
dimintanya?" tanya Sutan
Mahmud pula dengan tiada
mengindahkan perkataan saudaranya
itu.
"Sudah beberapa kali
kukatakan 300 rupiah*)," jawab
perempuan itu.
"Tak mau ia kurang? 200 atau
250 rupiah misalnya?" tanya
Sutan Mahmud.
"Kalau kepada tukang ikan ia
akan dikawinkan, tentu tak
usah menjemput sedikit jua pun.
Tetapi engkau tentu maklum,
anakku tak boleh dan tak suka
kukawinkan dengan sebarang
orang saja. Apakah jadinya dengan
keturunan kita kelak?"
"Baiklah, apa lagi
permintaannya?" tanya Sutan Mahmud
dengan sabar.
"Arloji mas dengan
rantainya, cincin berlian sebentuk,
pakaian selengkapnya, dengan
beberapa helai kain sarung Bugis
dan kain batik Jawa, bendi dengan
kudanya," jawab putri
Rubiah.
"Astaga! Dari mana akan
hamba peroleh sekaliannya itu?"
kata sutan Mahmud.
*) Harga uang dulu tinggi dari
uang sekarang
"Bukankah sudah kukatakan;
kalau tak cakap engkau
mengadakan permintaan orang itu,
janganlah dibicarakan juga
perkara ini. Apa gunanya engkau
menyedihkan hatiku? Laki-laki
lain, aku tak suka."
"Sudahlah, apa boleh buat!
Jemputlah dia!" kata Sutan
Mahmud, sambil mengeluh.
"Perkara bendi itu gampang; jika tak
ada, boleh ambil bendiku."
"Benar?" tanya putri
Rubiah, dan matanya terang kembali
karena mendengar perkataan ini.
"Benar," jawab Sutan
Mahmud dengan pendek.
"Di mana engkau dapat
uang?" tanya perempuan itu pula.
"Dari Datuk Meringgih,"
jawab Sutan Mahmud. "Berapa?"
"3000 rupiah," jawab
Sutan Mahmud.
"O, kalau sekian, tentu
cukup; sebab engkau maklum,
perkakas Rukiah untuk penyambut'
suaminya, tentu harus cukup.
Ranjangnya tentulah
sekurang-kurangnya tiga lapis kelambunya,
daripada sutera. Dan bantal
seraga (bantal tinggi) harus dari
sutera pula, diberi bertekat
benang Makau sekaliannya harus
diadakan. Belanja alat yang tujuh
hari tujuh malam, dengan
biaya perarakan dan gajah mena*)
tidak sedikit."
Tatkala itu datanglah putri
Rukiah membawa suatu hidangan,
yang berisi semangkuk kopi dengan
kue-kue, ke hadapan Sutan
*) Kendaraan atau usung-usungan
untuk
pengantin, bentuknya semacam ikan
laut
Mahmud, lalu diletakkannya di atas
meja. Kemudian masuklah
ia ke dalam biliknya. Rupanya ia
mengerti, bahwa orang tuanya
itu sedang memperbincangkan hal
yang tak boleh didengarnya,
sebab ketika ia sampai ke sana,
tiba-tiba kedua mereka berhenti
sejurus berkata-kata. Tetapi ada
juga didengarnya namanya
disebut. "Barangkali mereka
memperbincangkan perkara perkawinanku,"
pikir putri Rukiah dalam hatinya.
Tetapi tatkala itu
juga ia berkata dalam hatinya,
sebagai hendak melenyapkan
pikiran yang demikian, "Ah,
tak layak bagi seorang anak
perawan, memikirkan hal
ini."
"Jadi bilakah maksud Kakanda
hendak melangsungkan
pekerjaan itu?" tanya Sutan
Mahmud, tatkala putri Rukiah tak
ada lagi, sambil mengangkat
mangkuk kopinya.
"Kehendak hatiku
selekas-lekasnya," jawab putri Rubiah.
"Tetapi engkau tentu maklum,
pekerjaan ini tak dapat diburuburukan.
Tiga bulan lagi, barulah dapat
pada sangkaku, karena
tentulah aku harus bersedia-sedia
lebih dahulu. Pakaian Rukiah
belum ada dan pakaian penerimaan
Sutan Mansyur, yang bakal
menjadi suaminya itu pun belum cukup.
Perkakas ranjang dan
bantal-bantal seraga pun belum
disediakan, demikian pula kuekue.
Lagi pula tentulah sekalian kaum
keluarga sahabat kenalan
kita yang dekat dan yang jauh,
harus diberi tahu lebih dahulu."
"Kepada sanak saudara yang
jauh jauh, boleh hamba tulis
surat, tetapi kepada yang
dekat-dekat biarlah si Hamzah saja
memberitahukan," kata Sutan
Mahmud.
Belum sampai habis diminum kopi
itu oleh Penghulu Sutan
Mahmud, tiba-tiba kedengaranlah
dari jauh katuk-katuk berbunyi,
alamat ada orang mengamuk. Sutan
Mahmud segera
mengangkat kepalanya, akan
mendengarkan benar-benar bunyi
itu. Katuk-katuk itu makin lama
makin keras dan makin cepat
bunyinya, dan sejurus kemudian
disahutinya oleh katuk-katuk
rumah jaga yang dekat dari sana.
"Orang mengamuk!" kata
Sutan Mahmud, sambil berdiri
hendak pergi ke luar.
"Ya," kata putri Rubiah
dengan gemetar suaranya, "tetapi
janganlah kaupergi ke sana."
"Mesti," jawab Sutan
Mahmud, "barangkali dalam daerah
hamba." Tatkala itu juga
putri Rukiah keluar dan dalam biliknya,
lalu pergi kepada mamandanya,
sarnbil memegang tangan Sutan
Mahmud, dan berkata dengan
gemetar dan pucat mukanya,
"Jangan Mamanda pergi! Hamba
sangat takut, kalau-kalau orang
itu masuk ke dalam rumah
ini."
"Ah, barangkali di kampung
Jawa atau di Olo; bukan di
kampung ini," sahut Sutan
Mahmud akan menghilangkan takut
kemanakannya.
"Tetapi janganlah pergi!
Sebab di sini tak ada laki-laki. Si
Lasa sakit dan si Hamzah tak
ada," kata putri Rubiah pula.
Sutan Mahmud terdiri sejurus, tak
tahu apa yang akan
diperbuatnya. Pergilah ia
menjalankan kewajibannya atau
tinggalkan menjaga saudaranya dan
kemanakannya.
"Ke mana si Hamzah?"
tanyanya, setelah berdiam seketika.
"Entahlah," jawab
saudaranya, "jangan jangan ia yang mendapat
bahaya."
Ketika itu kedengaran suara orang
cepat-cepat naik tangga
rumah. Kedua perempuan ini makin
bertambah-tambah takut,
lalu datang menghampiri Sutan
Mahmud dan berdiri di
belakangnya.
"Siapa itu?" tanya
putri Rubiah kepada Sutan Mahmud.
"Ah, barangkali si Ali akan
memberitahukan hal ini," jawab
Sutan Mahmud.
"Engkau Ali?" tanyanya.
Tiada beroleh jawaban.
Tiada lama kemudian daripada itu
berdiri seorang-orang
muda di hadapan mereka, yang
rupanya hampir serupa dengan
Sutan Mahmud. Hanya umurnya lebih
muda. Anak muda ini
memakai baju putih berkerawang,
kain Palembang, selop hitam,
topi sutera hitam yang miring
letaknya di atas kepalanya.
Bibirnya merah sebagai baru makan
sirih. Di kocek bajunya tergantung
rantai arloji naga-naga, yang
terbuat daripada mas. Buah
bajunya pun dari mas pula. Pada
jari manisnya kelihatan sebentuk
cincin yang bermata intan.
Menurut wajah mukanya,
kecil badannya, bangsa dan mampu,
yang dari kecilnya belum
pernah merasai kesengsaraan dan
kesusahan. Oleh sebab itu
tiadalah lain yang diketahuinya,
melainkan bersuka-suka dan
bersenang-senangan. Perkara yang
akan datang dan hal yang
telah lalu tiadalah pernah
dipikirkannya.
Apabila ada uangnya 100 rupiah,
sehari itu juga dihabiskannya,
diboroskannya atau
diperjudikannya. Jika tak beruang, dijual
atau digadaikannya segala barang
yang ada padanya. Itulah
sebabnya maka kehidupannya tak
tentu; terkadang-kadang ada ia
beruang, terkadang-kadang tak
ada. Akan tetapi sebab ia seorang
yang "pandai hidup",
sebagai kata peribahasa Melayu, selalulah
rupanya seperti orang yang tak
pernah kekurangan.
"Ha, untung engkau datang,
Hamzah! Kalau tidak, tak tahu
aku apa yang akan diperbuat waktu
ini. Tetapi dari mana
engkau?" tanya Sutan Mahmud.
"Dari tanah lapang, hendak
kemari. Tatkala sampai ke rumah
jaga, di ujung jalan ini,
kedengaran oleh hamba bunyi katukkatuk;
sebab itu hamba berlari-lari
kemari."
"Di mana orang
mengamuk?" tanya Sutan Mahmud.
"Entah! Orang jaga pun tak
tahu pula," jawab Sutan Hamzah.
"Baiklah, tinggallah engkau
di sini, sebab aku hendak pergi
memeriksa pengamukan ini."
"Ah jangan, Mahmud! Biarlah
mereka berbunuh-bunuhan di
sana. Apa pedulimu?" kata
putri Rubiah.
"Tak boleh demikian. Seorang
Kepala Negeri harus
mengetahui dan memeriksa hal ini;
lebih-lebih kalau
pengamukan itu terjadi dalam
kampung pegangan hamba," jawab
Sutan Mahmud.
"Lebih sayangkah kepada
pangkatmu daripada kepada
jiwamu?" tanya putri Rubiah
pula.
"Ah, jangan kuatir! Belum
tentu hamba mati."
"Kalau di dalam pegangan
Kakanda terjadi pengamukan itu,
sedang Kakanda tak ada, tentulah
Kakanda dapat nama kurang
baik," kata Sutan Hamzah
mencampuri percakapan ini.
Oleh sebab tiada tertahan rupanya
oleh putri Rubiah maksud
saudaranya ini, berkatalah ia,
"Baiklah, tetapi hati-hati menjaga
diri! Pangkat dapat dicari,
tetapi nyawa tak dapat disambung dan
bawalah keris pusaka Ayah itu
besar tuahnya."
"Baiklah," jawab Sutan
Mahmud, "mana dia?"
"Tunggu!" kata. utri
Rubiah, lalu masuk ke biliknya.
Sebentar lagi keluarlah putri
Rubiah membawa sebilah keris
tua, yang dibungkus dengan kain
putih, lalu diberikannya kepada
Sutan Mahmud: "Hamzah,
tutuplah pintu dan tinggallah engkau
di sini! Jaga rumah
baik-baik!"
Sambil berkata demikian, Sutan
Mahmud pun keluarlah, lalu
turun dan melompat naik bendinya,
yang berangkat waktu itu
juga.
......Bersambung
No comments:
Post a Comment