Wednesday, December 17, 2014

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode 5

Samsul Bahri Berangkat ke Jakarta
Karya Marah Rusli

"Pak Ali, pada sangkaku baik dimulai memasang lampu, karena
hari hampir gelap," kata Samsu kepada kusirnya, di rumah orang
tuanya, di Kampung Jawa Dalam di Padang. Tatkala itu Samsu
telah berpakaian yang baik-baik, sebagai orang hendak pergi ke
mana-mana.
"Baiklah, Engku Muda," jawab sais Ali, sambil pergi
mengambil geretan api.
"Suruhlah si Amat kemari, supaya dapat membantu Pak Ali,"
kata Samsu pula.
Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, datanglah pula
sais Ali bersama-sama Amat, lalu memasang lampu-lampu di
serambi muka.
"Sekalian lampu harus dipasang, Pak Ali!" kata Samsu,
"sampai setengah rumah dan serambi belakang. Dan engkau
Amat, bawalah pot-pot bunga ini ke bawah dan susunlah mejameja
dan kursi-kursi ini di sana, sebab di sini tempat menari; tak
boleh ada apa-apa."
Kedua bujang ini bekerjalah menurut perintah tuannya yang
muda itu. Setelah selesai pekerjaan di serambi muka, masuklah
Samsu ke ruang tengah, lalu menyuruh mengatur meja panjang
dua buah, dengan beberapa kursi makan. Kemudian disuruhnya
tutup kedua meja itu dengan alas meja lenan putih yang berbunga.
Sedang mereka asyik bekerja itu, datanglah Nurbaya dari
rumahnya dengan berpakaian yang indah-indah, membawa dua
ikat karangan dari bermacam-macam bunga yang baik warnanya,
lalu bertanya, "Belum selesai, Sam?"
Tatkala mendengar perkataan ini, menolehlah Samsu ke
belakang dan ketika terpandang olehnya gadis ini, tiadalah
terkata-kata ia sejurus lamanya. Mukanya yang mula-mula riang,
tiba-tiba menjadi muram. Jika Nurbaya tiada lekas menegurnya
pula, barangkali kedatangan Nurbaya ini akan mengeluarkan air
matanya.
"Sakitkah engkau, Sam?" tanya Nurbaya pula.
Barulah Samsu seakan-akan terkejut, ingat akan dirinya
kembali, lalu menahan perasaan hatinya dan menjawab dengan
tersenyum, "Manis benar engkau kupandang hari ini, Nur; sehingga
lupalah aku akan diriku sejurus."
"Dengan sengaja aku memakai-makai hari ini, sebab esok
petang tiadalah engkau akan melihat aku lagi," jawab Nurbaya
sambil tersenyum pula.
Jawaban ini jangankan dapat melipur hati Samsu bahkan
rupanya menambah muram durjanya dan sedih hatinya. Dengan
pendek berkata pula ia, "Sesungguhnyalah katamu itu," lalu
ditundukkannya kepalanya.
Tatkala dilihat Nurbaya hal Samsu yang sedemikian itu,
dihampirinyalah sahabatnya ini, lalu dipegangnya bahunya,
sambil berkata, "Ayuh, Sam! Malam ini kita harus bersukasukaan.
Apabila engkau, yang punya rumah, berdukacita, bagaimanakah
kelak jamu yang datang?" kata Nurbaya, sambil membujuk
saudaranya ini.
"Benar sekali katamu itu, Nun' Tetapi apalah dayaku? Sejak
kemarin hatiku tak enak saja, walau bagaimana pun juga kulipur.
Makin dekat aku kepada hari esok, makin bertambah-tambahlah
duka nestapaku. Sungguhpun demikian, nantilah kukatakan
kepadamu, bagaimana rasa hatiku sekarang ini," kata Samsu
pula.
Ketika itu tiba-tiba masuk Bakhtiar ke tengah rumah, lalu
membuka topi rumputnya dan membungkuk, sehingga kepalanya
hampir sampai ke lututnya, seraya berkata, "Tabik Nyonyanyonya
dan Tuan-tuan sekalian!"
"Ada berapakah Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan di sini,
Bakhtiar?" tanya Nurbaya.
"Ada seratus satu Nyonya-nyonya dan seratus satu pula
Tuan-tuan," jawab Bakhtiar dengan mengeraskan kata "satu" itu.
"Ha... ai, siang-siang sudah datang! Amat rajin," kata Samsu.
"Disengaja, Tuan hamba, siang-siang datang kemari, karena
hendak memeriksa, adalah sekaliannya telah lengkap, untuk
menyambut kedatangan sekalian jamu Tuan-tuan dan Nyonyanyonya,
yang dipersilakan datang bermain-main kemari," kata
Bakhtiar pula dengan menghalus-haluskan bahasanya, sambil
membungkuk pula.
"Bohong," teriak Arifin yang telah berdiri di belakang
Bakhtiar. "Tuan Bakhtiar hendak melihat dahulu, banyakkah
makanan yang disediakan atau tidak. Kalau tak cukup, ia hendak
kembali saja, takut takkan kenyang perutnya. Demikian katanya
di atas bendi tadi."
"Memang engkau tak dapat memegang rahasia, Arifin. Telah
kupesan benar-benar, supaya maksudku yang sebenar-benarnya,
jangan kausampaikan kepada siapa pun juga. Sekarang kepada
orang yang mula-mula kaulihat saja telah kaubukakan rahasia itu
dan kelak, tentulah kepada sekalian orang kaukatakan. Malu aku
rasanya, terlebih-lebih kepada Nyonya Nurbaya, sebagai
sesungguhnyalah aku datang kemari ini, hanya karena kue-kue
saja," kata Bakhtiar pura-pura marah dan malu.
"Tak usah kau menangis, Bakhtiar, karena malu," kata
Nurbaya. "Rahasiamu itu bukan rahasia lagi bagiku, karena telah
lama kuketahui. Apabila kau tak percaya, bahwa makanan
cukup, walaupun untuk sepuluh Bakhtiar sekalipun, marilah
kubawa engkau ke belakang, akan melihat-lihat saja dahulu.
Tetapi hendaklah engkau berjanji dan bersumpah akan menahan
nafsumu dan tiada akan menganggu-ganggu makanan itu," kata
Nurbaya, seraya menghampiri Bakhtiar, akan membawanya
melihat makan-makanan yang telah tersedia.
Bakhtiar berpikir sejurus dengan menggaruk-garuk kepalanya,
seraya berkata dalam hatinya, "Sesungguhnya terlalu ingin
aku hendak melihat segala makanan yang akan kurasai kelak,
tetapi adakah akan dapat kutahan tanganku mengambil makanan
itu?"
"Ah, masakan tak dapat kutahan nafsuku," katanya pula
keras-keras, untuk menjawab perkataan Nurbaya tetapi pada
mukanya nyata kelihatan, bahwa ia tiada akan dapat menurut
janjinya. Maka dibukanyalah topinya, diangkatnya tangannya ke
atas, serta berdiri benar-benar lalu bersumpah, "Di atas nama
segala kue yang sangat kucintai, terutama kue sepekuk, kue
koneng, kue tar, bolu, serikaya, sus dan lain-lain, aku bersumpah
di hadapan tiga saksi, tiada akan mengganggu makanan yang ada
di belakang, Jika aku tiada menurut janjiku ini, maulah aku,
perutku dan perut tujuh keturunanku, selama-lamanya diisinya."
"Baiklah," kata Nurbaya dengan tersenyum. "Sesungguhnya
sumpahmu itu sangat keras, tetapi tiada mendatangkan
kecelakaan kepadamu. Salah tak salah, perutmu akan penuh
berisi kue-kue. Tetapi tak mengapa, marilah kubawa!" lalu
dipegangnya tangan Bakhtiar, hendak dibawanya ke belakang.
"Jangan percaya!" teriak Arifin, "Telah kelihatan olehku di
matanya, ia tiada akan menurut sumpahnya. Aku tahu akal lain
yang lebih sempurna, yaitu kedua belah tangannya harus diikat
ke belakang."
"Engkau benar terlalu amat sangat, Arifin!" kata Bakhtiar
dengan pura-pura merengut. "Masakan aku berani melanggar
sumpahku yang sekeras itu. Tentu aku takut berdosa kepada
segala kue-kue lazat cita-rasanya itu."
"Tidak percaya," kata Arifin pula, lalu datang mengikat
kedua belah tangan Bakhtiar ke belakang dengan sehelai
setangan. Setelah selesai, barulah ia dibawa oleh Nurbaya.
"Pak Ali," kata Nurbaya, tatkala hendak membawa Bakhtiar
ke belakang, "bunga-bungaan itu masukkan ke dalam jambang
bunga itu dan taruh di atas meja makan!"
"Baiklah, Siti," jawab Ali.
Setelah sampailah Nurbaya dan Bakhtiar ke belakang, diperlihatkanlah
oleh Nurbaya kepada Bakhtiar segala kue-kue,
makanan-makanan dan minum-minuman yang lezat-lezat yang
telah tersedia dan teratur di atas beberapa meja, berbagai-bagai
warna dan baunya.
"Sekalian itu aku yang mengatur dan membelinya di toko
Jansen. Cukupkah itu bagimu atau tidak?" tanya Nurbaya.
Tatkala Bakhtiar melihat segala makanan yang enak-enak itu,
timbullah keinginan dalam hatinya, yang rasakan tak dapat
ditahannya lagi, hendak mengecap segala yang lezat-lezat itu.
Apabila tangannya tiada terikat, paslilah ia lupa akan sumpahnya
tadi dan tentulah akan diterkamnya kue-kue itu, walaupun
bagaimana juga keras sumpahnya. Tetapi apa daya? Ia tak dapat
berbuat apa-apa dengan tangannya karena sungguh teguh ikatan
Arifin tadi. Maka berjalanlah ia, sebagai hendak melipurkan
hatinya, dari sebuah meja ke meja yang lain, dengan berkata,
"Alangkah cantiknya buatan kue ini! Bagaimanakah rasanya?
Dan ini, sangat sedap baunya," lalu diciumnya kue itu.
Akan tetapi karena tiada tertahan oleh seleranya, sebelum
diingatnya kembali sumpahnya tadi, telah masuklah giginya ke
dalam suatu kue yang besar dan dapatlah digigitnya sekerat,
sehingga berlubanglah kue itu. Oleh sebab kue itu memakai rum
gula, hidung dan bibir serta muka Bakhtiar, penuhlah berlumur
rum gula ini.
Tatkala Nurbaya melihat hal yang demikian, ditariknya
Bakhtiar ke belakang dengan berkata "Gilakah engkau,
Bakhtiar?" Tetapi ia tertawa gelak-gelak, tatkala melihat muka
Bakhtiar yang penuh berlumuran rum gula, sehingga Samsu dan
Arifin, yang sedang bersedia-sedia di luar, berlari ke belakang.
Setelah sampai mereka ke sana, diceritakanlah oleh Nurbaya,
apa sebabnya muka Bakhtiar sebagai topeng itu. Kedua mereka
itu pun tertawa pula mendekak-dekak, sehingga Arifin
memegang perutnya, karena tak dapat menahan geli hatinya,
melihat temannya seperti alan-alan. Hanya Bakhtiarlah yang
tiada berkata-kata, seakan-akan malu atau menyesal rupanya
akan perbuatannya yang ceroboh itu. Tetapi kue yang telah ada
dalam mulutnya, dikunyahnya juga, lalu ditelannya.
Setelah puaslah mereka mentertawakan Bakhtiar, berkatalah
Arifin, "Kesalahan ini sangat besar; pertama karena tiada
menurut sumpah, kedua karena mencuri dengan mulut;
sedangkan pencuri yang sangat berbahaya sekalipun, hanya baru
dapat mencuri dengan tangan saja. Oleh sebab kepandaian
Bakhtiar ini dapat memberi contoh yang tak baik kepada
penjahat-penjahat lain, haruslah ia dihukum dengan hukuman
yang berpadanan dengan kesalahannya. Marilah kita bertiga
menjadi hakimnya! Apa hukuman yang baik diberikan kepadanya?"
"Aku tahu suatu hukuman yang patut," kata Nurbaya. "Ia tak
boleh mendapat kue-kue lagi kelak, sebab sekarang sudah
dimakannya bagiannya."
"Jangan!" jawab Samsu. "Hukuman yang sedemikian terlalu
berat baginya. Aku khawatir kalau-kalau ia kelak menjadi buas,
apabila melihat temannya sekalian makan enak-enak sedang ia
sendiri tak boleh."
"Lagi pula siapakah yang berani menanggung, ia akan
menjalankan hukumannya itu dengan patuh, kalau tidak diikat
kaki tangannya," kata Arifin pula.
"Pada pikiranku lebih baik begini. Tetapi janganlah kau
ceritakan lebih dahulu, supaya jangan diketahuinya rahasia ini.
Nanti kaulihat sendiri! Maukah engkau menerima hukumanku?"
tanya Arifin kepada Bakhtiar.
"Mau, asal boleh aku ikut makan kue-kue nanti," jawab
Bakhtiar, pura-pura menangis, tetapi gula yang melekat pada
bibirnya, dicobanya juga menjilat dengan lidahnya.
"Baik, sabarlah dahulu!" kata Arifin.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, kedengaranlah
beberapa jamu telah datang di serambi muka. Samsu dan
Nurbaya ke luar menjemput sekalian mereka, yakni murid-murid
sekolah Belanda, sahabat Samsu dan Nurbaya, laki-laki dan
perempuan, lalu dipersilakan duduk, bercakap-cakap dan bersenda
gurau, terlalu ramainya. Meskipun, waktu itu rupanya
telah ada, lalu mulai bermain melagukan lagu mars.
Sedang ramai mereka bersuka-sukaan itu, tiba-tiba dibawalah
Bakhtiar oleh Arifin ke tengah-tengah jamu. Mula-mula
tercengang sekaliannya, karena mereka tiada tahu, apakah
maksud pertunjukan ini. Akan tetapi setelah diceritakan oleh
Arifin hal Bakhtiar mencuri kue dengan mulutnya itu, dari
mulanya sampai ke akhirnya, riuh rendahlah bunyi tertawa, rasa
tak dapat disabarkan. Sudah itu barulah dilepaskan oleh Arifin
ikat tangan Bakhtiar. Akan tetapi baru saja bebas tangan
Bakhtiar dari ikatannya, lalu diambilnya rum gula yang masih
ada melekat di mukanya, dilemparkannya ke muka Arifin, lalu ia
lari ke belakang membasuh mukanya. Arifin yang menjadikan
orang tertawa kembali, pun lari ke belakang, membersihkan
mukanya pula.
Sejurus kemudian musik pun bermain pula, melagukan lagu
wals. Sekalian muda remaja menarilah masing-masing dengan
pasangannya. Samsu menuntun tangan Nurbaya, lalu menari
bersama-sama. Demikianlah perbuatan anak-anak muda itu berganti-
ganti berdiri, menari dan duduk berkata-kata, tertawa
gelak-gelak, bersenda gurau dan bersuka-sukaan. Nurbaya,
setelah menari dengan Samsu menari pula dengan Arifin dan
Bakhtiar. Oleh sebab Bakhtiar dan Arifin selalu berbuat olokolok,
walaupun sedang menari, ramainya tiadalah terkatakan
lagi.
Sementara itu segala kue-kue yang lezat rasanya diedarkanlah,
dibawa kepada sekalian jamu. Demikian pula minumminuman
kopi, teh, coklat, sirop, dan limonade.
Bakhtiar pura-pura membantu menjadi jongos mengedarkan
makanan dan minuman tadi, tetapi terlebih dahulu segala kue
yang dapat disimpannya, dimasukkannya ke kocek baju dan
celananya, sehingga gembunglah pakaiannya rupanya. Dengan
tiada diketahui Bakhtiar digantungkanlah oleh Arifm pada
punggung baju, Bakhtiar, sehelai kertas yang lebar, yang
ditulisnya di atasnya, "Aku inilah gergasi kue-kue". Maka
ramailah pula bunyi suara murid-murid itu mentertawakan
Bakhtiar dengan tiada diketahuinya, apa yang menggelikan hati
mereka.
Setelah diketahui Bakhtiar perbuatan musuhnya Arifin itu,
dicarinyalah akal untuk membalas kelakar ini, lalu pergilah ia ke
belakang meminta beberapa lada kutu yang amat pedas itu, sebab
diketahuinya Arifin sangat takut kepada lada. Lada kutu.ini
dimasukkannya beberapa butir ke dalam sekerat kue lapis,
ditutupnya baik-baik dan ditaruhnya di atas piring, lalu dibawanya
kepada Arifin, sambil berkata dengan hormatnya, akan
menghilangkan syak wasangka hati sahabatnya ini, "Jika Tuan
hamba sudi, persilakanlah santap juadah ini!" Sekalian yang
mendengar basa Bakhtiar ini tersenyum.
Dengan tiada berpikir lagi, dimakanlah oleh Arifin kue itu.
Tetapi setelah dua tiga kali dikunyahnya, tiba-tiba berteriaklah ia
kepedasan. Mulutnya ternganga, sehingga segala kue yang ada di
dalamnya jatuh ke luar. Air ludah dan air matanya meleleh,
sehingga ia hampir tak dapat berkata-kata meminta air dingin
untuk menyejukkan mulutnya yang sangat panas rasanya.
Mula-mula gemparlah sekalian tamu karena tiada tahu apa
sebabnya Arifin jadi demikian. Akan tetapi setelah diceritakannya,
ia termakan lada, kena tipu Bakhtiar, sekaliannya tertawalah
pula gelak-gelak amat ramainya.
Setelah hari pukul sembilan, masuklah sekalian anak muda
itu ke tengah rumah, lalu masing-masing duduk di atas kursi
makan. Sup dan anggur dijalankan. Seorang daripada sahabat
Samsu berdiri dengan memegang gelas anggurnya, lalu berpidato.
Mula-mula ia memberi selamat kepada Samsu, Arifin,
dan Bakhtiar di atas nama sekalian yang datang, karena ketiga
mereka telah tamat pelajarannya dalam sekolah Belanda di
Padang dan sekarang akan meneruskan pelajarannya di Sekolah
Dokter Jawa dan Sekolah Opseter di Jakarta. Diharapnya dengan
sepenuh-penuh pengharapan, mereka di sana akan maju pula
dalam pelajarannya, supaya dapat menjabat pangkat yang tinggi
dan beroleh kesenangan kemudian hari.
Selama mereka bercampur dengan ketiga sahabatnya yang
akan berangkat itu, belumlah pernah berselisih, melainkan selalu
beramah-ramahan dan bersahabat sahabat karib. Oleh sebab itu
ia percaya, tentulah ketiga sahabat ini di Jakarta, akan segera
pula mendapat sahabat dan kenalan baru yang baik, tempat
berkasih-kasihan dan beramah-ramahan sebagai di Padang.
Supaya mereka jangan lekas-lekas lupa kepada sahabat
kenalannya di Padang, diberikannyalah tiga buah potret sekalian
murid sekolah Pasar Ambacang dengan guru-gurunya, kepada
ketiga mereka. Akhirnya diucapkannyalah selamat jalan dan
panjang umur kepada ketiga sahabatnya yang akan berangkat itu
dan didoakan supaya mereka kembali ke Padang dengan pangkat
yang diharapkannya itu. Kemudian bersoraklah sekaliannya,
"Hip, hip, hura!!" tiga kali, disambut oleh musik.
Samsu membalas ucapan ini. Mula-mula ia minta terima
kasih kepada sekalian sahabatnya yang hadir, atas kedatangan
mereka dan tanda mata yang telah diberikan mereka itu. la berjanji
akan menyimpan potret itu sungguh-sungguh dan akan
selalu mengingat sekalian sahabat kenalannya yang akan ditinggalkannya
di Padang, yang banyak menolong dan memberi
kesukaan hatinya. Diharapnya supaya sekalian sahabatnya itu
pun akan lekas pula tamat pelajarannya, supaya dapat melanjutkan
pelajarannya dalam sekolah yang lebih tinggi dan ia berjanji
akan mengirimkan tanda mata kepada sekalian mereka, apabila
ia telah sampai ke Jakarta kelak. Akhirnya ia pun mengucapkan
selamat tinggal, selamat belajar dan umur panjang kepada
mereka itu, lalu bersorak pula tiga kali.
Sekali itu makanlah sekaliannnya, mula-mula sup, kemudian
keroket, sudah itu kentang, salada dan kue-kue; akhirnya barulah
ditutup dengan buah-buahan dan kopi. Tengah makan, tak putusputusnya
Arifin dan Bakhtiar berolok-olok, sehingga banyak
yang batuk, karena salah makan.
Setelah selesai makan, masing-masing berjalan jalan di
halaman rumah, diterang bulan, karena malam itu bulan terang
purnama raya. Sesudah itu menari pulalah mereka dan bersukasuka
hati sampai pukul dua belas malam; barulah pulang masingmasing
ke rumahnya. Yang akan tinggal, memberi selamat jalan
kepada yang akan pergi, dan yang pergi mengucapkan selamat
tinggal kepada yang akan tinggal.
Ketika Nurbaya hendak kembali pula ke rumahnya,
berkatalah Samsu,
"Biarlah kuantarkan engkau ke rumahmu, sebab hari telah
jauh malam. Tak baik perempuan berjalan seorang diri."
Oleh karena Nurbaya setuju dengan maksud Samsu ini,
kedua anak muda ini berjalanlah perlahan-lahan menuju rumah
Nurbaya. Tatkala itu bulan bercahaya bagaikan siang. Bintangbintang
yang serupa mestika, berkilau-kilauan di langit tinggi,
sebagai kunang-kunang di tempat yang gelap. Awan berarak
beriring-iring dari barat lalu ke timur.
"Alangkah terang bulan ini," kata Samsu tengah berjalan itu,
"menambah rawan dan pilu hatiku, sehingga bertambah-tambah
berat bagiku meninggalkan Padang ini. Memang sejak dari
kemarin, tiadalah dapat kulipur hatiku dengan pikiran akan
melihat negeri yang lebih besar dan menuntut pelajaran yang
lebih tinggi saja. Makin dekat aku pada waktu akan berangkat,
makinlah hancur rasa hatiku."
"Apakah yang engkau susahkan? Sekaliannya telah tersedia;
engkau tinggal berangkat saja lagi. Sampai ke sana, lalu belajar.
Apabila telah tamat pelajaranmu kelak, tentulah engkau akan
berpangkat tinggi dan bergaji besar. Kami sekadar akan inelihat
dan berbesar hati dari jauh saja. Perceraian dengan ibu-bapa dan
kami sekalian, tentu saja mula-mula berat bagimu. Akan tetapi,
pada sangkaku, lekas juga engkau biasa kepada keadaan yang
baru itu. Dan bila engkau telah biasa, tentulah tiada akan engkau
rasai lagi keberatan perceraian ini. Ingatlah akan pepatah: Hilang
bisa karena biasa, hilang geli karena gelitik. Tetapkanlah hatimu!
Jangan banyak pikiran yang lain-lain."
"Tentu, tentu," jawab Samsu, "tetapi ada suatu pikiran yang
menggoda hatiku, yang selalu melintas dalam ingatan dan tak
dapat kulupakan siang malam."
"Pikiran apakah itu? Adakah orang atau sesuatu benda yang
mengikat hatimu, sehingga tak dapat engkau tinggalkan?" tanya
Nurbaya, sambil memandang muka Samsu.
"Bukan demikian, Nur. Dahulu tatkala kita berjalan jalan ke
gunung Padang, telah kuceritakan kepadamu mimpiku. Sejak
waktu itu sampai sekarang ini, pikiran yang menggoda itu
tiadalah hendak meninggalkan aku. Beberapa malam aku tak
dapat tidur nyenyak, karena mengenang-ngenangkan mimpi itu.
Sebagai kelihatan olehku bahaya mengintai dan mengikut kita,
barang ke mana kita pergi, menanti saat yang baik akat
menerkam engkau dan aku, bila kita telah bercerai kelak. Itulah
yang memberatkan hatiku; itulah yang menjadikan aku was-was.
Apabila aku tiada ingat akan janjiku kepada ayahku untuk pergi,
tentulah lebih suka aku tinggal menjaga engkau."
Dengan bercakap-cakap sedemikian sampailah keduanya ke
dalam pekarangan Nurbaya, lalu duduklah mereka berdekatdekatan
di atas sebualt bangku, di bawah pohon tanjung yang
rindang, dalam kebun anak gadis ini.
"Sebagai telah kukatakan," kata Nurbaya pula, "janganlah
engkau terlalu percaya akan mimpi itu, karena tiada selamanya
mimpi ada artinya. Bahaya apakah yang akan menimpa diri kita?
Sebab kita tiada berbuat dosa atau kesalahan kepada siapa pun.
Apabila sesungguhnya untung kita ini malang, apa hendak
dikata? Karena sekaliannya itu telah takdir daripada TuhanYang
Mahakuasa. Biar bagaimana sekalipun kita tiada suka, jika telah
nasib sedemikian itu, tak dapat diubah lagi. Siapakah yang dapat
mengubah suratan pada lahulmahfut?
Oleh sebab itu berhati-hatilah menjaga diri, dan marilah kita
pohonkan bersama-sama kepada Rabbul-alamin, supaya mudahmudahan
dipeliharakannya juga kita di dalam segala hal. Jika
kaugoda hatimu dengan pikiran yang semacam tadi, tentulah
pelajaranmu tiada akan maju kelak. Alangkah sayangnya!
Apabila engkau telah menjadi dokter, berapakah besar hati
ibu-bapamu dan hatiku, melihat anak dan saudaranya telah
berpangkat tinggi. Jika Susah bagimu kelak meninggalkan
Padang ini, kaumintalah tetap bekerja di sini supaya dapat bercampur
gaul selama-lamanya dengan sekalian orang yang kau
cintai."
"Engkau tiada tahu rasa hatiku sekarang ini; itulah sebabnya
agaknya kaupermudah saja hal ini. Pikiran yang ada dalam
hatiku rupanya tak ada dalam hatimu, sehingga tak dapat kau
pikirkan halku."
"Pikiran apa pula itu?" tanya Nurbaya, sambil melihat muka
Samsu.
"Nurbaya, karena besok aku akan meninggalkan kota Padang
ini, akan pergi ke rantau orang, entah berbalik entah tidak, sebab
itu pada sangkaku inilah waktunya akan membukakan rahasia
hatiku. Ketahuilah olehmu, Nur, bahwa aku ini sangat cinta
kepadamu. Percintaan itu telah lama kusembunyikan dalam
hatiku; sekarang baru kubukakan, karena pada sangkaku, rahasia
itu harus kauketahui, sebelum kita bercerai. Siapa tahu,
barangkali tak dapat aku kembali lagi; tak dapat kita bertemu
pula. Jika tiada kubukakan rahasiaku ini kepadamu, pastilah ia
menjadi sebagai duri di dalam daging padaku; terasa-rasa
sebilang waktu.
Mula-mula percintaan itu memang percintaan persaudaraan.
Akan tetapi lama-kelamaan, dengan tiada kuketahui, bertukarlah
ia menjadi cinta yang sebenar-benarnya cinta. Barangkali tak
baik aku berbuat demikian, pada pikiranmu, tetapi apa hendak
kukata? Dari kecil kita bercampur gaul, bukan sehari dua hari,
makan sepiring, tidur setilam, lebih daripada saudara kandung
sendiri. Bagaimanakah tiada akan tersangkut hatiku padamu?
Sejenak pun belum pernah kita bercerai; tiba-tiba sekarang aku
harus pergi meninggalkan engkau dengan tiada kuketahui,
bilakah dapat pulang kembali. Bagaimanakah tiada rusak binasa
hatiku? Bagaimanakah aku dapat meninggalkan engkau?
Dengarlah olehmu pantun ini:
Bulan terang bulan purnama,
nagasari disangka daun.
Jangan dikata bercerai lama,
bercerai sehari rasa setahun.
Oleh sebab untung manusia tak dapat ditentukan, itulah
sebabnya sangat ingin hatiku hendak mengetahui, bagaimanakah
hatimu kepadaku? Atau hanya aku sendirilah yang rindu
seorang?" kata Samsu, sambil memegang tangan Nurbaya.
Mendengar perkataan dan pantun Samsu ini, terdiamlah
Nurbaya, sambil menundukkan kepalanya, tidak berkata-kata
sejurus lamanya, sebagai malu rasanya ia akan membukakan
rahasia hatinya. Samsu menghampiri Nurbaya lalu bertanya
perlahan-lahan dengan mendekatkan kepalanya kepada kepala
Nurbaya, "Sudikah engkau kelak menjadi istriku, apabila aku
telah berpangkat dokter?"
"Masakan tak sudi," sahut Nurbaya perlahan-lahan, sebagai
takut mengeluarkan perkataan ini.
Maka diciumlah oleh Samsu perlahan-lahan punggung
tangan perawan ini.
Nurbaya tiada membantah, melainkan dibiarkan perbuatan
Samsu itu.
"Memang telah kusangka," kata Samsu dengan lemah-lembut
suaranya, "engkau tak benci kepadaku dan engkau cinta pula
kepadaku.
Dengarlah olehmu pantun ini!
Seragi kain dengan benang,
biar terlipat jangan tergulung.
Serasi adik dengan abang,
sejak di rahim bunda kandung."
"Sesungguhnya demikian rupanya," jawab Nurbaya, sambil
membalas pantun Samsu:
"Dari Medang ke pulau Banda,
belajarlalu ke Bintuhan.
Tiga bulan di kandung Bunda
jodoh 'lah ada pada Tuan."
Lalu dijawab oleh Samsu:
"Anak Cina duduk menyurat,
menyurat di atas meja batu.
Dari dunia sampai akhirat,
tubuh yang dua jadi satu.
Sekarang maklumlah engkau, bagaimana takkan khawatir
hatiku meninggalkan engkau. Kalau sesungguhnya engkau mendapat
sesuatu bahaya di sini, betapakah rasa hatiku? Hancur
luluh, tak dapat dikatakan. Jika dekat aku padamu, tak kupikirkan.
Hidup mati tidak kuindahkan, asal bersama dengan engkau
sebagai kata pantun:
Berlubur negeri berdesa,
ditaruh pinang dalam puan.
Biar hancur biar binasa,
asal bersama dengan Tuan."
Memang demikian," kata Nurbaya. "Dengarlah pula pantun
ini:
Pulau Pinang kersik berderai,
tempat burung bersangkar dua.
Jangan bimbang kasih'kan cerai,
jika untung bertemu jua.
Jika ada sumur di ladang,
tentulah boleh menumpang mandi.
Jika ada umur yang panjang,
tentulah dapat bertemu lagi.
Ke rimba ke padang jangan,
bunga cempaka kembang biru.
Tercinta terbimbang jangan,
adat muda menanggung rindu.
Ke rimba orang Kinanti,
bersuluh api batang pisang.
Jika tercinta tahankan hati,
kirimkan rindu di burung terbang"
"Benar sekali katamu itu, adikku Nurbaya! Berpantunlah
engkau, berpantunlah! Semalam ini kita dapat bersendau gurau,
besok kakanda tak ada lagi," kata Samsu pula, sambil mencium
punggung tangan kekasihnya yang halus itu, beberapa kali.
"Mempelam tumbuh di pulau
patah sedahan dijatuhkan.
Semalam ini kita bergurau,
esok Adik kutinggalkan "
Maka menyahutlah Nurbaya;
"Berlayarlah ke pulau bekal,
nakhoda makan bertudung saji.
Sambutlah salam adik yang tinggal,
selamat Kakanda pulang pergi.
Ribu-ribu di pinggir jalan,
tanam di ladang kunyit temu.
Jika rindu pandanglah bulan,
di situ cinta dapat bertemu."
Setelah keduanya berdiam diri sejurus, berpantun pulalah
Samsu:
"Kapal kembali dari Jawaa
masuk kuala Inderagiri.
Tinggallah Adik tinggallah nyawa,
besok kakanda akan pergi."
Disahuti oleh Nurbaya:
"Berbunyi gendang di Pauh,
orang menari di halaman.
Sungguh Kakanda berjalan jauh,
hilang di mata di hati jangan."
"Suatu lagi," kata Nurbaya:
"Meletus gunung dekat Bantan,
terbenam pulau dekat Jawa.
Cinta jangan diubahkan,
jika putus, sambungkan nyawa."
Dibalas pula oleh Samsu:
"Jika hari, hari Jumat,
haji memakai baju jubah.
Walaupnn had akan kiamat,
cinta di hati jangan berubah."
"Suatu lagi," kata Samsu:
"Jika Perak kerani Keling,
berlayar tentang Tapak Tuan.
Putih gagak hitamlah gading,
tidak putus cintakan 'Iuan."
"Neng," berbunyi lonceng di rumah jaga, tanda hari sudah
pukul satu malam. Ketika itu barulah asyik dan masyuk ini
sadarkan dirinya:
"Sam!" kata Nurbaya. "Hari telah pukul satu, kalau-kalau
kelak aku ditanya oleh orang tuaku. Biarlah kita bercerai dahulu
sekarang ini, esok kita bertemu pula. Tambahan lagi engkau
akan berangkat tentulah banyak yang akan kausediakan, untuk
dibawa, supaya jangan ketinggalan apa-apa. Pergilah tidur lekaslekas,
supaya jangan terlalu lelah engkau; barangkali esok hari
harus bangun pagi-pagi."
"Nur! Bagiku, asal bersama-sama dengan engkau, tiadalah
aku akan mengantuk dan lelah. Biarpun sampai pagi kita begini
saja, maulah aku; itulah kehendak hatiku. Tak dapatlah kukatakan
bagaimana perasaan dalam kalbuku waktu ini; tak dapat
kuceritakan betapa senang hatiku malam ini, melainkan
Tuhanlah yang lebih mengetahuinya. Telah lama kucita-citakan
pertemuan yang sedemikian ini; baru sekarang kuperoleh,
sebagai kata pantun komidi:
Tinggi-tinggi si matahari,
akan kerbau terlambat.
Sekian lama aku mencari,
baru sekarang aku mendapat.
Sungguhpun kebesaran dan kesenangan hatiku ini takkan
seberapa lama, tetapi tak mengapa, karena sekarang kuketahuilah
sudah, bahwa engkau pun cinta kepadaku. Kini tiadalah syak dan
wasangka lagi aku akan meninggalkan kota Padang ini, untuk
menjelang negeri orang, Nurbaya!" kata Samsu pula, sambil
memeluk Nurbaya. "Malam inilah malam yang sangat penting
bagiku dan bagi kehidupanku di kemudian hari, karena pada
malam inilah aku mendapat cinta hatiku dan jodohku yang
kurindukan siang dan malam. Selagi ada hayatku dikandung
badan, tiadalah akan lupa aku kepada malam ini, yaitu malam
yang memberi harapan yang baik bagiku, kepada waktu yang
akan datang. Itu saksiku, Nur," kata Samsu, seraya menunjuk
bulan dan bintang yang di atas langit, "tiadalah aku akan mencintai
perempuan lain, melainkan engkau seorang. Tiada lain
perempuan yang akan menjadi istriku hanya engkaulah.
Engkaulah harapanku, engkaulah mestika yang mendatangkan
kesenangan dan kesentosaan atas diriku. Bila tiada engkau,
haramlah bagiku perempuan lain," lalu diciumnya pula Nurbaya.
"Aku pun demikian pula, Sam" jawab Nurbaya. "Tuhan
saksiku, tak ada laki-laki di alam ini yang kucintai lain daripada
engkau. Engkaulah suamiku dunia akhirat."
"Sekarang baiklah engkau masuk ke dalam rumahmu, supaya
jangan diketahui orang rahasia ini," kata Samsu, seraya berjalan
berpimpin-pimpinan mengantarkan Nurbaya sampai ke tangga
rumahnya. Tatkala pintu rumah telah dibukakan, yakni setelah
kedua asyik masyuk itu berjabat salam yang amat akrab,
masuklah Nurbaya, dan Samsu pun pulanglah kembali ke
rumahnya.
***
Tiada jauh dari kota Padang, arah ke sebelah selatan, adalah
sebuah pelabuhan yang dinamakan anak negeri Teluk Bayur.
Pelabuhan ini masyhur namanya ke negeri yang lain-lain;
pertama karena selalu disinggahi kapal-kapal besar, yang pulangpergi
ke benua Eropah, sebab letaknya di jalan antara Tanah
Jawa, Hindustan, Arab dan benua Eropah. Kedua karena di
pelabuhan itu dapat mengambil batubara, yang asalnya dari
Ombilin. Tambahan pula pelabuhan ini memang sangat baik
bangunnya. Memanjang dari barat ke timur, kemudian memutar
ke utara, tersembunyilah di balik suatu tanjung dan sebuah pulau
pasir, sehingga terlindung dari gelombang besar-besar, yang
terlebih-lebih pada musim barat sangat hebatnya. Oleh sebab itu
lautan dalam teluk ini sangat tenang, tiada mendatangkan susah
kepada kapal-kapal yang berlabuh di sana. Dan oleh sebab pantai
di sana curam, karena bergunung-gunung, yang memagari
pelabuhan ini. di pihak utara, timur dan selatan air lautan di sana
dalam, sehingga dapat masuk kapal yang besar-besar, yang
mudah dapat ke tepi, pada beberapa pangkalan yang menganjur
ke laut.
Pada sebelah utara dan barat pelabuhan ini, kelihatan di
belakang pangkalan-pangkalan tadi beberapa gudang tempat
menyimpan barang-barang yang datang atau yang akan dikirim
ke mana-mana. Dekat gudang-gudang ini adalah setasiun kereta
api, yang memperhubungkan pelabuhan Teluk Bayur dengan
kota Padang. Jalan raya pun ada pula antara kedua tempat itu,
untuk kendaraan yang lain-lain. Tiada jauh dari setasiun tadi,
kelihatan gudang batu bara yang amat besar, diperbuat pada
suatu tempat yang tinggi. Dari gudang ini adalah sebuah
jembatan kereta api yang tinggi, tempat daripada besi, menganjur
ke laut. Kapal yang hendak dimuati batu bara, berlabuh di bawah
jembatan itu; dengan demikian mudahlah dapat dicurahkan batu
bara yang ada dalam gerobak kereta api itu, langsung ke kapal.
Kelengkapan inilah yang menambahkan indah dan masyhur
nama pelabuhan ini ke negeri lain-lain, sebagai pelabuhan
tempat mengambil batu bara.
Pada keesokan harinya daripada malam Samsu bersukasukaan
di rumahnya, karena hendak berpisah dari sahabat
kenalannya, kelihatan beberapa kapal berlabuh di pelabuhan tadi.
Ada yang hendak berlayar ke selatan, ada yang hendak ke utara
dan ada pula yang hendak terus ke Bombai, Kalkuta, Mesir dan
benua Eropa. Kemudian kelihatan pula kapal Cina dan Jepun,
yang hendak kembali ke negerinya, melalui pulau Pinang dan
Singapura. Kapal Inggris dan Jerman pun ada, nyata kelihatan
pada benderanya, yang berkibar di atas tiang. Sebuah daripada
kapal-kapal itu, ialah kapal yang hendak ditumpangi Samsu dan
sahabat-sahabatnya, berlayar ke Jakarta.
Oleh sebab kapal ini hendak bertolak pukul dua belas siang
dan daripada waktu itu telah pukul sepuluh, sangatlah ramai
dekat kapal ini; riuh rendah pendengaran, tiada keruan. Ada yang
memuat batu bara, ada yang mengeluarkan barang-barang, ada
yang membongkar muatan dan ada pula yang naik-turun berlarilari,
sebagai ada sesuatu yang ketinggalan.
Di atas kapal, kelasi-kelasi sedang asyik mengerjakan
pekerjaan masing-masing dan mualim-mualim sedang ribut
memerintah ini dan itu. Beberapa penumpang geladak mencari
tempat yang baik dan mengatur bawa-bawaannya. Penumpang
kelas dua dan kelas satu, ada yang duduk bercakap-cakap di
meja makan, ada pula yang berdiri di beranda kapal, melihat
sekalian ingar bingar itu. Orang yang berdagang buah-buahan
dan makan-makanan pun tak kurang, berjalan kian kemari,
sambil menawarkan dan menghargakan jualannya.
Pangkalan penuh dengan beratus-ratus laki-laki perempuan,
baik bangsa anak negeri, baik bangsa asing yang akan turut
berlayar atau mengantarkan sanak saudara, sahabat kenalannya.
Ada yang duduk berkata-kata, ada yang berdiri berpayung,
karena kepanasan dan ada pula yang berjalan bolak-balik,
sebagai jemu menunggu.
Di sisi gudang bercakap-cakap seorang perempuan tua
dengan anaknya yang rupanya hendak berlayar, sambil memberi
nasihat, supaya anaknya berhati-hati di jalan dan di negeri orang.
Di atas batu duduk seorang laki-laki tua bertutur-tutur dengan
saudaranya, yang rupanya pun hendak meninggalkan tanah
airnya, berlayar mencari penghidupan di rantau orang. Yang
sekedar datang melihat saja pun tiada kurang pula, tertawa gelakgelak
serta bertanya kepada temannya; bilakah ia akan berlayar
pula.
Di dalam orang yang banyak itu tiadalah kelihatan oleh kita
sahabat kita Samsulbahri, karena ia waktu itu ada di dalam bilik
kelas dua, sedang berkumpul-kumpul dengan ibu-bapak, sanak
saudara dan sahabat kenalannya.
"Tak kelupaan apa-apa engkau Sam?" tanya Sutan Mahmud.
"Tidak, Ayah," sahut Samsu.
"Petimu di mana?" tanya Sutan Mahmud pula.
"Ada di sini sekaliannya."
"Dan uang belanjamu, sudahkah disimpan dalam peti?"
"Ada pada hamba."
"Ingat-ingat engkau di negeri orang, Samsu!" kata ibunya.
"Tahu-tahu membawakan diri: mandi di hilir-hilir, berkata di
bawah-bawah. Janganlah disamakan saja dengan di sini;
janganlah disangka masih anak orang berpangkat juga di sana,
sebab engkau akan berdiri sendiri lagi, jauh daripada kami,
sekalian. Bila ada apa-apa, lekaslah tulis surat kepada Ayahmu!"
lalu Sitti Maryam menyapu air matanya, yang berlinang-linang
di pipinya.
"Belajar sungguh-sungguh, jangan suka beriang-riang tiada
pada tempat dan waktunya; jangan bercampur dengan orang
yang kurang baik, dan jangan pula berbelanja yang tiada keruan,
supaya cukup uang yang akan dikirimkan kepadamu tiap-tiap
bulan," kata ayahnya pula.
Tatkala itu Nurbaya ada berdiri dekat Samsu, bersandar di
pinggir tempat tidur. Walaupun rupanya ia tiada mengindahkan
segala percakapan itu, tetapi pikirannya kepada Samsu saja dan
dipandangnya kekasihnya ini dengan tiada putus-putusnya. Pada
waktu itulah sangat terasa olehnya keberatan perceraian ini.
Sebelum ia berdiri di pinggir laut, yang akan memisahkannya
daripada kekasih dan saudaranya ini, pada sangkanya—tentulah
mudah dapat dilipurnya kesedihan perceraian itu. Akan tetapi
tatkala dilihatnya kapal yang akan membawa jantung hatinya,
jauh daripadanya, barulah dirasainya, bahwa perceraian itu tentu
akan melukai hatinya dengan luka yang parah. Berdebar
jantungnya, jika diingatnya sejurus lagi cahaya matanya ini akan
luput dari pemandangannya, bukan untuk sehari dua hari ataupun
sepekan dua pekan. Entah beberapa tahun lagi, baru dapat pula ia
melihat wajah Samsu tiadalah dapat ditentukan. Dan apabila
teringat olehnya mimpi Samsu yang dahsyat itu, bertambahtambahlah
bimbang dan susah hatinya. Itulah sebabnya selalu
dipandangnya Samsu dan dipuas-puaskannya hatinya melihat
teman sekolah yang dicintainya ini.
Tatkala itu masuklah beberapa orang membawa hadiah buahbuahan
sebagai mangga, jeruk dan nenas, lalu berkata, "Inilah
yang dapat kami berikan kepada Engku Muda, obat mabuk di
jalan. Kami pohonkan kepada Allah supaya mudah-mudahan
Engku Muda selamat pulang pergi."
"Terima kasih," jawab Samsu, sambil menerima pemberian
itu. "Hamba pun berharap, Adik dan Kakak yang tinggal,
sekaliannya dipeliharakan Tuhan selama-lamanya."
Setelah berjabat salam, keluarlah mereka sekalian, sehingga
akhirnya tinggallah Samsu berdua dengan Nurbaya. Maka dipandanglah
oleh Samsu muka kekasihnya ini, serta dipegangnya
kedua belah tangannya, sedang air matanya bercucuran keluar,
dengan tiada dirasainya. Lama ia berdiri sedemikian itu dengan
tiada dapat berkata-kata, karena dadanya bagaikan penuh dan
mulutnya bagai terkunci. Akhirnya keluarlah juga suaranya
walaupun terhenti-henti.
"Nurbaya!" katanya. "Ingat-ingat menjaga diri! ... Jika ada
apa-apa, lekas tulis surat kepadaku ... Meskipun tak dapat aku
tolong engkau dengan tenaga ataupun dengan uang, barangkali
dapat juga dengan nasihat. Mungkin dapat pula kuberi ingat
engkau dan kuberi pelajaran dari jauh. Orang tuaku, janganlah
kauperbedakan dengan orang tuamu dan datanglah kerap-kerap
ke sana, melihat-lihati mereka, walaupun aku tak ada lagi.
Barang apa kesusahanmu, katakanlah pula kepadanya, karena
mereka itu pun sayang kepadamu, sebagai kepadaku.
Bila ada sesuatu hal dalam rumah orang tuaku, kabarkanlah
dengan segera kepadaku, lebih-lebih tentang hal-ihwal ibuku,
karena rupanya ia sangat berdukacita atas perceraian ini.
Kemudian kupinta kepadamu, janganlah engkau lupa akan janji
dan sumpah kita tadi malam, karena sejak waktu itu batinnya
telah kawinlah kita; engkau telah suka menjadi istriku, aku pun
telah suka pula menjadi suamimu. Hanya menurut syarat dunialah,
belum lagi kita berhubung. Tulislah surat kepadaku tiap-tiap
kapal bertolak dari sini dan ceritakanlah hal-hal di sini kepadaku,
supaya aku jangan sangat canggung.
Apabila aku telah sampai kelak ke Jakarta, kukirimkanlah
kepadamu apa-apa yang dapat kubelikan untuk engkau. Sekarang
inilah saja yang dapat kuberikan kepadamu sebagai tanda mata.
Terimalah olehmu dokoh ini! Di dalamnya ada gambarku. Bila
engkau tercinta akan daku, lihatlah gambar itu; itulah ganti
diriku."
Nurbaya menerima tanda mata Samsu itu lalu diciumnya,
sedang air matanya jatuh bercucuran. "Aku banyak minta terima
kasih kepadamu, Sam," jawab Nurbaya, "dan aku berjanji akan
memakai dokoh ini seumur hidupku. Akan jadi tanda mata
daripadaku, tiadalah lain yang dapat kuberikan kepadamu, hanya
cincin inilah. Moga-moga sudi engkau memakainya!" lalu
Nurbaya menanggalkan cincin mutiara yang dipakainya pada jari
manisnya dan memberikan cincin itu kepada Samsu, seraya berkata,
"Engkau pun, jika teringat kepadaku, misalkanlah cincin ini
diriku dan simpanlah ia baik-baik, karena bagiku itulah tali yang
mengikat kita dari dunia sampai ke akhirat. Dengan segera akan
kusuruh perbuat potretku supaya dapat kukirimkan kelak
kepadamu.
Aku pun mengucapkan selamat jalan.kepadamu. Moga-moga
dipeliharakan Tuhan engkau dalam perjalananmu ke negeri
orang, pulang balik, dan sampailah juga maksud yang kautujui,
supaya, apabila engkau telah ada pula di sini, bukannya Samsu
saja lagi namamu, melainkan dapatlah kupanggil engkau dokter
Samsu.
Ingat-ingatlah menjaga diri di negeri orang, karena sekarang
engkau akan berdiri sendiri, jauh daripada ibu-bapak dan handai
tolanmu, sehingga barang sesuatu, engkau sendirilah yang akan
memutuskannya. Dan janganlah sampai tergoda oleh segala yang
tak baik, karena Jakarta negeri besar, banyak godaan yang tak
patut di sana."
Tatkala itu berbunyilah seruling kapal yang pertama, mengingatkan
kepada orang-orang kapal ataupun penumpang, supaya
bersiap, karena kapal akan berangkat. Maka keluarlah Samsu
dengan Nurbaya dari dalam kamar kapal, lalu turun ke
pangkalan. Di sana bersalamlah ia dengan sekalian orang yang
mengantarkan, serta meminta maaf dan ampun atas segala dosa
dan kesalahannya, lahir dan batin, yang boleh memberati dunia
dan akhirat.
Sekalian mereka menangis mencucurkan air mata, karena
hampir sekaliannya sayang, kepada Samsu, sebab adat dan
kelakuannya yang baik. Samsu pun tak dapat pula menahan air
matanya, walaupun digagahinya dirinya. Ayahnya diciumnya
tangannya, dan ibunya dipeluk dan diciumnya pipinya.
Akhirnya pergilah ia kepada Nurbaya, lalu dipegangnya
tangan gadis ini beberapa lamanya, sebagai tak hendak dilepaskannya.
Dadanya rasakan sesak menahan kesedihan yang timbul
dalam hatinya karena perceraian ini, sehingga tiadalah dapat ia
berkata-kata lain daripada, "Selamat tinggal, Nur!... Mudahmudahan
lekas bertemu kembali," lalu berjalanlah ia cepat-cepat
naik ke kapal.
Nurbaya pun tiada pula dapat menjawab apa-apa melainkan,
"Selamat jalan, Sam! ... selamat sampai ke Jakarta!"
Setelah naiklah Samsu ke atas kapal, lalu berdirilah ia bertopang
dagu pada pagar besi yang ada di sisi geladak kapal,
karena pada waktu itu seruling yang kedua telah berbunyi pula.
Dan tiadalah lama kemudian daripada itu berbunyilah seruling
yang ketiga, lalu dilepaskanlah tali-temali dan diangkatlah
jangkar.
Tatkala baling-baling kapal telah berputar, bergeraklah kapal
itu; mula-mula perlahan-lahan, tetapi kemudian bertambahtambah
cepat, sehingga kapal itu makin lama makin jauhlah dari
pangkalan. Setangan berkibaran di sisi kapal, tanda yang pergi
memberi selamat kepada yang tinggal. Dari pangkalan dibalas
oleh yang tinggal dengan mengibarkan setangan pula memberi
selamat jalan kepada yang pergi. Di antara orang-orang ini ada
yang masih berteriak, "Jangan lupa!" ada pula yang berkata,
"Lekas balik!" Dari kapal pun dibalas dengan jawaban,
"Baiklah!"
Samsu tiada lepas-lepas memandang Nurbaya sambil
mengibarkan setangan sutera birunya dan dari daratan tiada pula
putus-putusnya dibalas alamat itu oleh Nurbaya, dengan
setangan merah jambunya.
Makin lama kapal makin jauh dari cerocok dan jalannya pun
bertambah cepat. Akhimya tiadalah dapat dibedakan lagi oleh
Samsu orang-orang yang berdiri di pangkalan, lalu masuklah ia
ke biliknya, tidur berselimut, karena tiada dapat lagi dipandangnya
tanah airnya yang akan ditinggalkannya. Dadanya ditekannya
ke bantal, sebagai hendak menahan sakit yang menyesak ke
hulu jantungnya, dan kepalanya pusing, seperti orang mabuk
cendawan.
Tatkala Nurbaya tiada dapat lagi membedakan kekasihnya,
daripada orang lain, di atas kapal, berjalanlah ia perlahan-lahan
ke ujung suatu tanjung, akan mengikuti kapal itu dengan matanya.
Makin lama makin sunyilah rasanya padanya alam ini.
Sekalian tempik sorak orang yang bekerja di pelabuhan dan
segala bunyi perkakas pembongkar, penaikan dan pembawa
barang-barang, yang masih riuh rendah, pada pendengaran
Nurbaya makin lama makin jauh. Orang yang berpuluh-puluh
banyaknya, berjalan pulang kembali ke muka hanggar, menjadi
kecil-kecil pada pemandangannya. Akhirnya terduduklah ia di
atas batu, lalti bertopang dagu memandang kapal yang membawa
kekasihnya, yang keluar dari kuala.
Tatkala berbunyi meriam yang dipasang di kapal, akan
memberi selamat tinggal kepada pelabuhan Teluk Bayur,
baharulah nyata oleh Nurbaya, bahwa kapal itu telah membelok
menuju ke barat. Di sanalah teringat olehnya, bagaimanakah
halnya kelak, seorang diri di rumahnya. Dengan siapakah ia akan
bercakap-cakap dan bermain-main lagi, waktu dan pulang
sekolah? Bila ada sesuatu halnya, kepada siapakah hendak
dikatakannya? Siapakah tempat ia membukakan rahasia hatinya,
siapakah tempat ia bertanya dan bermupakat dalam halnya yang
sulit-sulit, siapakah yang akan menolongnya lagi, bila ia di
sekolah beroleh hitungan yang sukar?
Demikian ingatan yang timbul dalam hati Nurbaya, tatkala ia
duduk termenung seorang diri di atas batu, walaupun matanya
selalu memandang ke kapal yang hampir lenyap itu.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, hilanglah kapal ini
daripada pemandangan Nurbaya, hilang di balik Bukit Sikabau.
Hanya asapnyalah yang masih tinggal tergantung di udara, di
atas air laut. Tatkala itu hilanglah pula segala penglihatan dan
pendengaran.Nurbaya, sebagai lulus tempatnya berpijak dan tergantung
badannya di awang-awangan. Apabila tak ada ayahnya
dekat padanya, yang memegang bahunya perlahan-lahan dari
belakang, pastilah ia jatuh rebah ke tanah, karena tak ingatkan
dirinya lagi. Untunglah Baginda Sulaiman lekas datang
menolong anaknya, lalu diangkatnya, dipimpinnya berjalan

perlahan-lahan pulang kembali.


Dialog yg hilang
Sitti : Saya ingin menangis rasanya, seperti akan ada yang hilang..... terimakasih karena telah memberi warna dalam hidupku.
Samsul : Izinkan aku untuk terus menghayal dan bermimpi serta berharap tentang sesuatu bukan hanya sampai waktu berhenti berputar, tetapi bahkan hingga setelah waktu berakhir.
 Siti: Maliek uda se ndak bisa rasonyo...maliek uda tu ...ndak sanggup, ndak tau...campua aduak perasaan tu.



No comments:

Post a Comment