Samsul Bahri Berangkat ke Jakarta
Karya Marah Rusli
"Pak Ali, pada sangkaku baik
dimulai memasang lampu, karena
hari hampir gelap," kata
Samsu kepada kusirnya, di rumah orang
tuanya, di Kampung Jawa Dalam di
Padang. Tatkala itu Samsu
telah berpakaian yang baik-baik,
sebagai orang hendak pergi ke
mana-mana.
"Baiklah, Engku Muda,"
jawab sais Ali, sambil pergi
mengambil geretan api.
"Suruhlah si Amat kemari,
supaya dapat membantu Pak Ali,"
kata Samsu pula.
Tiada berapa lamanya kemudian
daripada itu, datanglah pula
sais Ali bersama-sama Amat, lalu
memasang lampu-lampu di
serambi muka.
"Sekalian lampu harus
dipasang, Pak Ali!" kata Samsu,
"sampai setengah rumah dan
serambi belakang. Dan engkau
Amat, bawalah pot-pot bunga ini
ke bawah dan susunlah mejameja
dan kursi-kursi ini di sana,
sebab di sini tempat menari; tak
boleh ada apa-apa."
Kedua bujang ini bekerjalah
menurut perintah tuannya yang
muda itu. Setelah selesai
pekerjaan di serambi muka, masuklah
Samsu ke ruang tengah, lalu
menyuruh mengatur meja panjang
dua buah, dengan beberapa kursi
makan. Kemudian disuruhnya
tutup kedua meja itu dengan alas
meja lenan putih yang berbunga.
Sedang mereka asyik bekerja itu,
datanglah Nurbaya dari
rumahnya dengan berpakaian yang
indah-indah, membawa dua
ikat karangan dari bermacam-macam
bunga yang baik warnanya,
lalu bertanya, "Belum
selesai, Sam?"
Tatkala mendengar perkataan ini,
menolehlah Samsu ke
belakang dan ketika terpandang
olehnya gadis ini, tiadalah
terkata-kata ia sejurus lamanya.
Mukanya yang mula-mula riang,
tiba-tiba menjadi muram. Jika
Nurbaya tiada lekas menegurnya
pula, barangkali kedatangan
Nurbaya ini akan mengeluarkan air
matanya.
"Sakitkah engkau, Sam?"
tanya Nurbaya pula.
Barulah Samsu seakan-akan
terkejut, ingat akan dirinya
kembali, lalu menahan perasaan
hatinya dan menjawab dengan
tersenyum, "Manis benar
engkau kupandang hari ini, Nur; sehingga
lupalah aku akan diriku
sejurus."
"Dengan sengaja aku
memakai-makai hari ini, sebab esok
petang tiadalah engkau akan
melihat aku lagi," jawab Nurbaya
sambil tersenyum pula.
Jawaban ini jangankan dapat
melipur hati Samsu bahkan
rupanya menambah muram durjanya
dan sedih hatinya. Dengan
pendek berkata pula ia,
"Sesungguhnyalah katamu itu," lalu
ditundukkannya kepalanya.
Tatkala dilihat Nurbaya hal Samsu
yang sedemikian itu,
dihampirinyalah sahabatnya ini,
lalu dipegangnya bahunya,
sambil berkata, "Ayuh, Sam!
Malam ini kita harus bersukasukaan.
Apabila engkau, yang punya rumah,
berdukacita, bagaimanakah
kelak jamu yang datang?"
kata Nurbaya, sambil membujuk
saudaranya ini.
"Benar sekali katamu itu,
Nun' Tetapi apalah dayaku? Sejak
kemarin hatiku tak enak saja,
walau bagaimana pun juga kulipur.
Makin dekat aku kepada hari esok,
makin bertambah-tambahlah
duka nestapaku. Sungguhpun
demikian, nantilah kukatakan
kepadamu, bagaimana rasa hatiku
sekarang ini," kata Samsu
pula.
Ketika itu tiba-tiba masuk
Bakhtiar ke tengah rumah, lalu
membuka topi rumputnya dan
membungkuk, sehingga kepalanya
hampir sampai ke lututnya, seraya
berkata, "Tabik Nyonyanyonya
dan Tuan-tuan sekalian!"
"Ada berapakah Nyonya-nyonya
dan Tuan-tuan di sini,
Bakhtiar?" tanya Nurbaya.
"Ada seratus satu
Nyonya-nyonya dan seratus satu pula
Tuan-tuan," jawab Bakhtiar
dengan mengeraskan kata "satu" itu.
"Ha... ai, siang-siang sudah
datang! Amat rajin," kata Samsu.
"Disengaja, Tuan hamba,
siang-siang datang kemari, karena
hendak memeriksa, adalah
sekaliannya telah lengkap, untuk
menyambut kedatangan sekalian
jamu Tuan-tuan dan Nyonyanyonya,
yang dipersilakan datang
bermain-main kemari," kata
Bakhtiar pula dengan
menghalus-haluskan bahasanya, sambil
membungkuk pula.
"Bohong," teriak Arifin
yang telah berdiri di belakang
Bakhtiar. "Tuan Bakhtiar
hendak melihat dahulu, banyakkah
makanan yang disediakan atau
tidak. Kalau tak cukup, ia hendak
kembali saja, takut takkan
kenyang perutnya. Demikian katanya
di atas bendi tadi."
"Memang engkau tak dapat
memegang rahasia, Arifin. Telah
kupesan benar-benar, supaya
maksudku yang sebenar-benarnya,
jangan kausampaikan kepada siapa
pun juga. Sekarang kepada
orang yang mula-mula kaulihat
saja telah kaubukakan rahasia itu
dan kelak, tentulah kepada sekalian
orang kaukatakan. Malu aku
rasanya, terlebih-lebih kepada
Nyonya Nurbaya, sebagai
sesungguhnyalah aku datang kemari
ini, hanya karena kue-kue
saja," kata Bakhtiar
pura-pura marah dan malu.
"Tak usah kau menangis,
Bakhtiar, karena malu," kata
Nurbaya. "Rahasiamu itu
bukan rahasia lagi bagiku, karena telah
lama kuketahui. Apabila kau tak
percaya, bahwa makanan
cukup, walaupun untuk sepuluh
Bakhtiar sekalipun, marilah
kubawa engkau ke belakang, akan
melihat-lihat saja dahulu.
Tetapi hendaklah engkau berjanji
dan bersumpah akan menahan
nafsumu dan tiada akan
menganggu-ganggu makanan itu," kata
Nurbaya, seraya menghampiri
Bakhtiar, akan membawanya
melihat makan-makanan yang telah
tersedia.
Bakhtiar berpikir sejurus dengan
menggaruk-garuk kepalanya,
seraya berkata dalam hatinya,
"Sesungguhnya terlalu ingin
aku hendak melihat segala makanan
yang akan kurasai kelak,
tetapi adakah akan dapat kutahan
tanganku mengambil makanan
itu?"
"Ah, masakan tak dapat
kutahan nafsuku," katanya pula
keras-keras, untuk menjawab perkataan
Nurbaya tetapi pada
mukanya nyata kelihatan, bahwa ia
tiada akan dapat menurut
janjinya. Maka dibukanyalah
topinya, diangkatnya tangannya ke
atas, serta berdiri benar-benar
lalu bersumpah, "Di atas nama
segala kue yang sangat kucintai,
terutama kue sepekuk, kue
koneng, kue tar, bolu, serikaya,
sus dan lain-lain, aku bersumpah
di hadapan tiga saksi, tiada akan
mengganggu makanan yang ada
di belakang, Jika aku tiada
menurut janjiku ini, maulah aku,
perutku dan perut tujuh
keturunanku, selama-lamanya diisinya."
"Baiklah," kata Nurbaya
dengan tersenyum. "Sesungguhnya
sumpahmu itu sangat keras, tetapi
tiada mendatangkan
kecelakaan kepadamu. Salah tak
salah, perutmu akan penuh
berisi kue-kue. Tetapi tak
mengapa, marilah kubawa!" lalu
dipegangnya tangan Bakhtiar,
hendak dibawanya ke belakang.
"Jangan percaya!"
teriak Arifin, "Telah kelihatan olehku di
matanya, ia tiada akan menurut
sumpahnya. Aku tahu akal lain
yang lebih sempurna, yaitu kedua
belah tangannya harus diikat
ke belakang."
"Engkau benar terlalu amat
sangat, Arifin!" kata Bakhtiar
dengan pura-pura merengut.
"Masakan aku berani melanggar
sumpahku yang sekeras itu. Tentu
aku takut berdosa kepada
segala kue-kue lazat cita-rasanya
itu."
"Tidak percaya," kata
Arifin pula, lalu datang mengikat
kedua belah tangan Bakhtiar ke
belakang dengan sehelai
setangan. Setelah selesai,
barulah ia dibawa oleh Nurbaya.
"Pak Ali," kata
Nurbaya, tatkala hendak membawa Bakhtiar
ke belakang, "bunga-bungaan
itu masukkan ke dalam jambang
bunga itu dan taruh di atas meja
makan!"
"Baiklah, Siti," jawab
Ali.
Setelah sampailah Nurbaya dan
Bakhtiar ke belakang, diperlihatkanlah
oleh Nurbaya kepada Bakhtiar
segala kue-kue,
makanan-makanan dan minum-minuman
yang lezat-lezat yang
telah tersedia dan teratur di
atas beberapa meja, berbagai-bagai
warna dan baunya.
"Sekalian itu aku yang
mengatur dan membelinya di toko
Jansen. Cukupkah itu bagimu atau
tidak?" tanya Nurbaya.
Tatkala Bakhtiar melihat segala
makanan yang enak-enak itu,
timbullah keinginan dalam
hatinya, yang rasakan tak dapat
ditahannya lagi, hendak mengecap
segala yang lezat-lezat itu.
Apabila tangannya tiada terikat,
paslilah ia lupa akan sumpahnya
tadi dan tentulah akan
diterkamnya kue-kue itu, walaupun
bagaimana juga keras sumpahnya.
Tetapi apa daya? Ia tak dapat
berbuat apa-apa dengan tangannya
karena sungguh teguh ikatan
Arifin tadi. Maka berjalanlah ia,
sebagai hendak melipurkan
hatinya, dari sebuah meja ke meja
yang lain, dengan berkata,
"Alangkah cantiknya buatan
kue ini! Bagaimanakah rasanya?
Dan ini, sangat sedap baunya,"
lalu diciumnya kue itu.
Akan tetapi karena tiada tertahan
oleh seleranya, sebelum
diingatnya kembali sumpahnya
tadi, telah masuklah giginya ke
dalam suatu kue yang besar dan
dapatlah digigitnya sekerat,
sehingga berlubanglah kue itu.
Oleh sebab kue itu memakai rum
gula, hidung dan bibir serta muka
Bakhtiar, penuhlah berlumur
rum gula ini.
Tatkala Nurbaya melihat hal yang
demikian, ditariknya
Bakhtiar ke belakang dengan
berkata "Gilakah engkau,
Bakhtiar?" Tetapi ia tertawa
gelak-gelak, tatkala melihat muka
Bakhtiar yang penuh berlumuran
rum gula, sehingga Samsu dan
Arifin, yang sedang
bersedia-sedia di luar, berlari ke belakang.
Setelah sampai mereka ke sana,
diceritakanlah oleh Nurbaya,
apa sebabnya muka Bakhtiar
sebagai topeng itu. Kedua mereka
itu pun tertawa pula
mendekak-dekak, sehingga Arifin
memegang perutnya, karena tak
dapat menahan geli hatinya,
melihat temannya seperti
alan-alan. Hanya Bakhtiarlah yang
tiada berkata-kata, seakan-akan
malu atau menyesal rupanya
akan perbuatannya yang ceroboh itu.
Tetapi kue yang telah ada
dalam mulutnya, dikunyahnya juga,
lalu ditelannya.
Setelah puaslah mereka
mentertawakan Bakhtiar, berkatalah
Arifin, "Kesalahan ini
sangat besar; pertama karena tiada
menurut sumpah, kedua karena
mencuri dengan mulut;
sedangkan pencuri yang sangat
berbahaya sekalipun, hanya baru
dapat mencuri dengan tangan saja.
Oleh sebab kepandaian
Bakhtiar ini dapat memberi contoh
yang tak baik kepada
penjahat-penjahat lain, haruslah
ia dihukum dengan hukuman
yang berpadanan dengan kesalahannya.
Marilah kita bertiga
menjadi hakimnya! Apa hukuman
yang baik diberikan kepadanya?"
"Aku tahu suatu hukuman yang
patut," kata Nurbaya. "Ia tak
boleh mendapat kue-kue lagi
kelak, sebab sekarang sudah
dimakannya bagiannya."
"Jangan!" jawab Samsu.
"Hukuman yang sedemikian terlalu
berat baginya. Aku khawatir
kalau-kalau ia kelak menjadi buas,
apabila melihat temannya sekalian
makan enak-enak sedang ia
sendiri tak boleh."
"Lagi pula siapakah yang
berani menanggung, ia akan
menjalankan hukumannya itu dengan
patuh, kalau tidak diikat
kaki tangannya," kata Arifin
pula.
"Pada pikiranku lebih baik
begini. Tetapi janganlah kau
ceritakan lebih dahulu, supaya
jangan diketahuinya rahasia ini.
Nanti kaulihat sendiri! Maukah
engkau menerima hukumanku?"
tanya Arifin kepada Bakhtiar.
"Mau, asal boleh aku ikut
makan kue-kue nanti," jawab
Bakhtiar, pura-pura menangis,
tetapi gula yang melekat pada
bibirnya, dicobanya juga menjilat
dengan lidahnya.
"Baik, sabarlah
dahulu!" kata Arifin.
Tiada berapa lama kemudian
daripada itu, kedengaranlah
beberapa jamu telah datang di
serambi muka. Samsu dan
Nurbaya ke luar menjemput
sekalian mereka, yakni murid-murid
sekolah Belanda, sahabat Samsu
dan Nurbaya, laki-laki dan
perempuan, lalu dipersilakan
duduk, bercakap-cakap dan bersenda
gurau, terlalu ramainya.
Meskipun, waktu itu rupanya
telah ada, lalu mulai bermain
melagukan lagu mars.
Sedang ramai mereka
bersuka-sukaan itu, tiba-tiba dibawalah
Bakhtiar oleh Arifin ke
tengah-tengah jamu. Mula-mula
tercengang sekaliannya, karena
mereka tiada tahu, apakah
maksud pertunjukan ini. Akan
tetapi setelah diceritakan oleh
Arifin hal Bakhtiar mencuri kue
dengan mulutnya itu, dari
mulanya sampai ke akhirnya, riuh
rendahlah bunyi tertawa, rasa
tak dapat disabarkan. Sudah itu
barulah dilepaskan oleh Arifin
ikat tangan Bakhtiar. Akan tetapi
baru saja bebas tangan
Bakhtiar dari ikatannya, lalu
diambilnya rum gula yang masih
ada melekat di mukanya,
dilemparkannya ke muka Arifin, lalu ia
lari ke belakang membasuh
mukanya. Arifin yang menjadikan
orang tertawa kembali, pun lari
ke belakang, membersihkan
mukanya pula.
Sejurus kemudian musik pun
bermain pula, melagukan lagu
wals. Sekalian muda remaja
menarilah masing-masing dengan
pasangannya. Samsu menuntun
tangan Nurbaya, lalu menari
bersama-sama. Demikianlah perbuatan
anak-anak muda itu berganti-
ganti berdiri, menari dan duduk
berkata-kata, tertawa
gelak-gelak, bersenda gurau dan
bersuka-sukaan. Nurbaya,
setelah menari dengan Samsu
menari pula dengan Arifin dan
Bakhtiar. Oleh sebab Bakhtiar dan
Arifin selalu berbuat olokolok,
walaupun sedang menari, ramainya
tiadalah terkatakan
lagi.
Sementara itu segala kue-kue yang
lezat rasanya diedarkanlah,
dibawa kepada sekalian jamu.
Demikian pula minumminuman
kopi, teh, coklat, sirop, dan
limonade.
Bakhtiar pura-pura membantu
menjadi jongos mengedarkan
makanan dan minuman tadi, tetapi
terlebih dahulu segala kue
yang dapat disimpannya,
dimasukkannya ke kocek baju dan
celananya, sehingga gembunglah
pakaiannya rupanya. Dengan
tiada diketahui Bakhtiar
digantungkanlah oleh Arifm pada
punggung baju, Bakhtiar, sehelai
kertas yang lebar, yang
ditulisnya di atasnya, "Aku
inilah gergasi kue-kue". Maka
ramailah pula bunyi suara
murid-murid itu mentertawakan
Bakhtiar dengan tiada
diketahuinya, apa yang menggelikan hati
mereka.
Setelah diketahui Bakhtiar
perbuatan musuhnya Arifin itu,
dicarinyalah akal untuk membalas
kelakar ini, lalu pergilah ia ke
belakang meminta beberapa lada
kutu yang amat pedas itu, sebab
diketahuinya Arifin sangat takut
kepada lada. Lada kutu.ini
dimasukkannya beberapa butir ke
dalam sekerat kue lapis,
ditutupnya baik-baik dan
ditaruhnya di atas piring, lalu dibawanya
kepada Arifin, sambil berkata
dengan hormatnya, akan
menghilangkan syak wasangka hati
sahabatnya ini, "Jika Tuan
hamba sudi, persilakanlah santap
juadah ini!" Sekalian yang
mendengar basa Bakhtiar ini
tersenyum.
Dengan tiada berpikir lagi,
dimakanlah oleh Arifin kue itu.
Tetapi setelah dua tiga kali
dikunyahnya, tiba-tiba berteriaklah ia
kepedasan. Mulutnya ternganga,
sehingga segala kue yang ada di
dalamnya jatuh ke luar. Air ludah
dan air matanya meleleh,
sehingga ia hampir tak dapat
berkata-kata meminta air dingin
untuk menyejukkan mulutnya yang
sangat panas rasanya.
Mula-mula gemparlah sekalian tamu
karena tiada tahu apa
sebabnya Arifin jadi demikian.
Akan tetapi setelah diceritakannya,
ia termakan lada, kena tipu
Bakhtiar, sekaliannya tertawalah
pula gelak-gelak amat ramainya.
Setelah hari pukul sembilan,
masuklah sekalian anak muda
itu ke tengah rumah, lalu
masing-masing duduk di atas kursi
makan. Sup dan anggur dijalankan.
Seorang daripada sahabat
Samsu berdiri dengan memegang
gelas anggurnya, lalu berpidato.
Mula-mula ia memberi selamat
kepada Samsu, Arifin,
dan Bakhtiar di atas nama
sekalian yang datang, karena ketiga
mereka telah tamat pelajarannya
dalam sekolah Belanda di
Padang dan sekarang akan
meneruskan pelajarannya di Sekolah
Dokter Jawa dan Sekolah Opseter
di Jakarta. Diharapnya dengan
sepenuh-penuh pengharapan, mereka
di sana akan maju pula
dalam pelajarannya, supaya dapat
menjabat pangkat yang tinggi
dan beroleh kesenangan kemudian
hari.
Selama mereka bercampur dengan
ketiga sahabatnya yang
akan berangkat itu, belumlah
pernah berselisih, melainkan selalu
beramah-ramahan dan bersahabat
sahabat karib. Oleh sebab itu
ia percaya, tentulah ketiga
sahabat ini di Jakarta, akan segera
pula mendapat sahabat dan kenalan
baru yang baik, tempat
berkasih-kasihan dan
beramah-ramahan sebagai di Padang.
Supaya mereka jangan lekas-lekas
lupa kepada sahabat
kenalannya di Padang,
diberikannyalah tiga buah potret sekalian
murid sekolah Pasar Ambacang
dengan guru-gurunya, kepada
ketiga mereka. Akhirnya
diucapkannyalah selamat jalan dan
panjang umur kepada ketiga
sahabatnya yang akan berangkat itu
dan didoakan supaya mereka
kembali ke Padang dengan pangkat
yang diharapkannya itu. Kemudian
bersoraklah sekaliannya,
"Hip, hip, hura!!" tiga
kali, disambut oleh musik.
Samsu membalas ucapan ini.
Mula-mula ia minta terima
kasih kepada sekalian sahabatnya
yang hadir, atas kedatangan
mereka dan tanda mata yang telah
diberikan mereka itu. la berjanji
akan menyimpan potret itu
sungguh-sungguh dan akan
selalu mengingat sekalian sahabat
kenalannya yang akan ditinggalkannya
di Padang, yang banyak menolong
dan memberi
kesukaan hatinya. Diharapnya
supaya sekalian sahabatnya itu
pun akan lekas pula tamat
pelajarannya, supaya dapat melanjutkan
pelajarannya dalam sekolah yang
lebih tinggi dan ia berjanji
akan mengirimkan tanda mata
kepada sekalian mereka, apabila
ia telah sampai ke Jakarta kelak.
Akhirnya ia pun mengucapkan
selamat tinggal, selamat belajar
dan umur panjang kepada
mereka itu, lalu bersorak pula
tiga kali.
Sekali itu makanlah sekaliannnya,
mula-mula sup, kemudian
keroket, sudah itu kentang,
salada dan kue-kue; akhirnya barulah
ditutup dengan buah-buahan dan
kopi. Tengah makan, tak putusputusnya
Arifin dan Bakhtiar berolok-olok,
sehingga banyak
yang batuk, karena salah makan.
Setelah selesai makan,
masing-masing berjalan jalan di
halaman rumah, diterang bulan,
karena malam itu bulan terang
purnama raya. Sesudah itu menari
pulalah mereka dan bersukasuka
hati sampai pukul dua belas
malam; barulah pulang masingmasing
ke rumahnya. Yang akan tinggal,
memberi selamat jalan
kepada yang akan pergi, dan yang
pergi mengucapkan selamat
tinggal kepada yang akan tinggal.
Ketika Nurbaya hendak kembali
pula ke rumahnya,
berkatalah Samsu,
"Biarlah kuantarkan engkau
ke rumahmu, sebab hari telah
jauh malam. Tak baik perempuan
berjalan seorang diri."
Oleh karena Nurbaya setuju dengan
maksud Samsu ini,
kedua anak muda ini berjalanlah
perlahan-lahan menuju rumah
Nurbaya. Tatkala itu bulan
bercahaya bagaikan siang. Bintangbintang
yang serupa mestika,
berkilau-kilauan di langit tinggi,
sebagai kunang-kunang di tempat
yang gelap. Awan berarak
beriring-iring dari barat lalu ke
timur.
"Alangkah terang bulan
ini," kata Samsu tengah berjalan itu,
"menambah rawan dan pilu
hatiku, sehingga bertambah-tambah
berat bagiku meninggalkan Padang
ini. Memang sejak dari
kemarin, tiadalah dapat kulipur
hatiku dengan pikiran akan
melihat negeri yang lebih besar
dan menuntut pelajaran yang
lebih tinggi saja. Makin dekat
aku pada waktu akan berangkat,
makinlah hancur rasa
hatiku."
"Apakah yang engkau
susahkan? Sekaliannya telah tersedia;
engkau tinggal berangkat saja
lagi. Sampai ke sana, lalu belajar.
Apabila telah tamat pelajaranmu
kelak, tentulah engkau akan
berpangkat tinggi dan bergaji
besar. Kami sekadar akan inelihat
dan berbesar hati dari jauh saja.
Perceraian dengan ibu-bapa dan
kami sekalian, tentu saja
mula-mula berat bagimu. Akan tetapi,
pada sangkaku, lekas juga engkau
biasa kepada keadaan yang
baru itu. Dan bila engkau telah
biasa, tentulah tiada akan engkau
rasai lagi keberatan perceraian
ini. Ingatlah akan pepatah: Hilang
bisa karena biasa, hilang geli
karena gelitik. Tetapkanlah hatimu!
Jangan banyak pikiran yang
lain-lain."
"Tentu, tentu," jawab
Samsu, "tetapi ada suatu pikiran yang
menggoda hatiku, yang selalu
melintas dalam ingatan dan tak
dapat kulupakan siang
malam."
"Pikiran apakah itu? Adakah
orang atau sesuatu benda yang
mengikat hatimu, sehingga tak
dapat engkau tinggalkan?" tanya
Nurbaya, sambil memandang muka
Samsu.
"Bukan demikian, Nur. Dahulu
tatkala kita berjalan jalan ke
gunung Padang, telah kuceritakan
kepadamu mimpiku. Sejak
waktu itu sampai sekarang ini,
pikiran yang menggoda itu
tiadalah hendak meninggalkan aku.
Beberapa malam aku tak
dapat tidur nyenyak, karena
mengenang-ngenangkan mimpi itu.
Sebagai kelihatan olehku bahaya
mengintai dan mengikut kita,
barang ke mana kita pergi,
menanti saat yang baik akat
menerkam engkau dan aku, bila
kita telah bercerai kelak. Itulah
yang memberatkan hatiku; itulah
yang menjadikan aku was-was.
Apabila aku tiada ingat akan
janjiku kepada ayahku untuk pergi,
tentulah lebih suka aku tinggal
menjaga engkau."
Dengan bercakap-cakap sedemikian
sampailah keduanya ke
dalam pekarangan Nurbaya, lalu
duduklah mereka berdekatdekatan
di atas sebualt bangku, di bawah
pohon tanjung yang
rindang, dalam kebun anak gadis
ini.
"Sebagai telah
kukatakan," kata Nurbaya pula, "janganlah
engkau terlalu percaya akan mimpi
itu, karena tiada selamanya
mimpi ada artinya. Bahaya apakah
yang akan menimpa diri kita?
Sebab kita tiada berbuat dosa
atau kesalahan kepada siapa pun.
Apabila sesungguhnya untung kita
ini malang, apa hendak
dikata? Karena sekaliannya itu
telah takdir daripada TuhanYang
Mahakuasa. Biar bagaimana
sekalipun kita tiada suka, jika telah
nasib sedemikian itu, tak dapat
diubah lagi. Siapakah yang dapat
mengubah suratan pada
lahulmahfut?
Oleh sebab itu berhati-hatilah
menjaga diri, dan marilah kita
pohonkan bersama-sama kepada
Rabbul-alamin, supaya mudahmudahan
dipeliharakannya juga kita di
dalam segala hal. Jika
kaugoda hatimu dengan pikiran
yang semacam tadi, tentulah
pelajaranmu tiada akan maju
kelak. Alangkah sayangnya!
Apabila engkau telah menjadi
dokter, berapakah besar hati
ibu-bapamu dan hatiku, melihat
anak dan saudaranya telah
berpangkat tinggi. Jika Susah
bagimu kelak meninggalkan
Padang ini, kaumintalah tetap
bekerja di sini supaya dapat bercampur
gaul selama-lamanya dengan
sekalian orang yang kau
cintai."
"Engkau tiada tahu rasa
hatiku sekarang ini; itulah sebabnya
agaknya kaupermudah saja hal ini.
Pikiran yang ada dalam
hatiku rupanya tak ada dalam
hatimu, sehingga tak dapat kau
pikirkan halku."
"Pikiran apa pula itu?"
tanya Nurbaya, sambil melihat muka
Samsu.
"Nurbaya, karena besok aku
akan meninggalkan kota Padang
ini, akan pergi ke rantau orang,
entah berbalik entah tidak, sebab
itu pada sangkaku inilah waktunya
akan membukakan rahasia
hatiku. Ketahuilah olehmu, Nur,
bahwa aku ini sangat cinta
kepadamu. Percintaan itu telah
lama kusembunyikan dalam
hatiku; sekarang baru kubukakan,
karena pada sangkaku, rahasia
itu harus kauketahui, sebelum
kita bercerai. Siapa tahu,
barangkali tak dapat aku kembali
lagi; tak dapat kita bertemu
pula. Jika tiada kubukakan rahasiaku
ini kepadamu, pastilah ia
menjadi sebagai duri di dalam
daging padaku; terasa-rasa
sebilang waktu.
Mula-mula percintaan itu memang
percintaan persaudaraan.
Akan tetapi lama-kelamaan, dengan
tiada kuketahui, bertukarlah
ia menjadi cinta yang sebenar-benarnya
cinta. Barangkali tak
baik aku berbuat demikian, pada
pikiranmu, tetapi apa hendak
kukata? Dari kecil kita bercampur
gaul, bukan sehari dua hari,
makan sepiring, tidur setilam,
lebih daripada saudara kandung
sendiri. Bagaimanakah tiada akan
tersangkut hatiku padamu?
Sejenak pun belum pernah kita
bercerai; tiba-tiba sekarang aku
harus pergi meninggalkan engkau
dengan tiada kuketahui,
bilakah dapat pulang kembali.
Bagaimanakah tiada rusak binasa
hatiku? Bagaimanakah aku dapat
meninggalkan engkau?
Dengarlah olehmu pantun ini:
Bulan terang
bulan purnama,
nagasari
disangka daun.
Jangan dikata
bercerai lama,
bercerai sehari
rasa setahun.
Oleh sebab untung manusia tak
dapat ditentukan, itulah
sebabnya sangat ingin hatiku
hendak mengetahui, bagaimanakah
hatimu kepadaku? Atau hanya aku
sendirilah yang rindu
seorang?" kata Samsu, sambil
memegang tangan Nurbaya.
Mendengar perkataan dan pantun
Samsu ini, terdiamlah
Nurbaya, sambil menundukkan
kepalanya, tidak berkata-kata
sejurus lamanya, sebagai malu
rasanya ia akan membukakan
rahasia hatinya. Samsu
menghampiri Nurbaya lalu bertanya
perlahan-lahan dengan mendekatkan
kepalanya kepada kepala
Nurbaya, "Sudikah engkau
kelak menjadi istriku, apabila aku
telah berpangkat dokter?"
"Masakan tak sudi,"
sahut Nurbaya perlahan-lahan, sebagai
takut mengeluarkan perkataan ini.
Maka diciumlah oleh Samsu
perlahan-lahan punggung
tangan perawan ini.
Nurbaya tiada membantah,
melainkan dibiarkan perbuatan
Samsu itu.
"Memang telah
kusangka," kata Samsu dengan lemah-lembut
suaranya, "engkau tak benci
kepadaku dan engkau cinta pula
kepadaku.
Dengarlah olehmu pantun ini!
Seragi kain
dengan benang,
biar terlipat
jangan tergulung.
Serasi adik
dengan abang,
sejak di rahim
bunda kandung."
"Sesungguhnya demikian
rupanya," jawab Nurbaya, sambil
membalas pantun Samsu:
"Dari
Medang ke pulau Banda,
belajarlalu ke
Bintuhan.
Tiga bulan di
kandung Bunda
jodoh 'lah ada
pada Tuan."
Lalu dijawab oleh Samsu:
"Anak Cina
duduk menyurat,
menyurat di atas
meja batu.
Dari dunia
sampai akhirat,
tubuh yang dua
jadi satu.
Sekarang maklumlah engkau,
bagaimana takkan khawatir
hatiku meninggalkan engkau. Kalau
sesungguhnya engkau mendapat
sesuatu bahaya di sini, betapakah
rasa hatiku? Hancur
luluh, tak dapat dikatakan. Jika
dekat aku padamu, tak kupikirkan.
Hidup mati tidak kuindahkan, asal
bersama dengan engkau
sebagai kata pantun:
Berlubur negeri
berdesa,
ditaruh pinang
dalam puan.
Biar hancur biar
binasa,
asal bersama dengan
Tuan."
Memang demikian," kata
Nurbaya. "Dengarlah pula pantun
ini:
Pulau Pinang
kersik berderai,
tempat burung
bersangkar dua.
Jangan bimbang
kasih'kan cerai,
jika untung
bertemu jua.
Jika ada sumur
di ladang,
tentulah boleh
menumpang mandi.
Jika ada umur
yang panjang,
tentulah dapat
bertemu lagi.
Ke rimba ke
padang jangan,
bunga cempaka
kembang biru.
Tercinta
terbimbang jangan,
adat muda
menanggung rindu.
Ke rimba orang
Kinanti,
bersuluh api
batang pisang.
Jika tercinta
tahankan hati,
kirimkan rindu
di burung terbang"
"Benar sekali katamu itu,
adikku Nurbaya! Berpantunlah
engkau, berpantunlah! Semalam ini
kita dapat bersendau gurau,
besok kakanda tak ada lagi,"
kata Samsu pula, sambil mencium
punggung tangan kekasihnya yang
halus itu, beberapa kali.
"Mempelam
tumbuh di pulau
patah sedahan
dijatuhkan.
Semalam ini kita
bergurau,
esok Adik kutinggalkan
"
Maka menyahutlah Nurbaya;
"Berlayarlah
ke pulau bekal,
nakhoda makan
bertudung saji.
Sambutlah salam
adik yang tinggal,
selamat Kakanda
pulang pergi.
Ribu-ribu di
pinggir jalan,
tanam di ladang
kunyit temu.
Jika rindu
pandanglah bulan,
di situ cinta
dapat bertemu."
Setelah keduanya berdiam diri
sejurus, berpantun pulalah
Samsu:
"Kapal
kembali dari Jawaa
masuk kuala
Inderagiri.
Tinggallah Adik
tinggallah nyawa,
besok kakanda
akan pergi."
Disahuti oleh Nurbaya:
"Berbunyi
gendang di Pauh,
orang menari di
halaman.
Sungguh Kakanda
berjalan jauh,
hilang di mata
di hati jangan."
"Suatu lagi," kata
Nurbaya:
"Meletus
gunung dekat Bantan,
terbenam pulau
dekat Jawa.
Cinta jangan
diubahkan,
jika putus,
sambungkan nyawa."
Dibalas pula oleh Samsu:
"Jika hari,
hari Jumat,
haji memakai
baju jubah.
Walaupnn had
akan kiamat,
cinta di hati
jangan berubah."
"Suatu lagi," kata
Samsu:
"Jika Perak
kerani Keling,
berlayar tentang
Tapak Tuan.
Putih gagak
hitamlah gading,
tidak putus
cintakan 'Iuan."
"Neng," berbunyi
lonceng di rumah jaga, tanda hari sudah
pukul satu malam. Ketika itu
barulah asyik dan masyuk ini
sadarkan dirinya:
"Sam!" kata Nurbaya.
"Hari telah pukul satu, kalau-kalau
kelak aku ditanya oleh orang
tuaku. Biarlah kita bercerai dahulu
sekarang ini, esok kita bertemu
pula. Tambahan lagi engkau
akan berangkat tentulah banyak
yang akan kausediakan, untuk
dibawa, supaya jangan ketinggalan
apa-apa. Pergilah tidur lekaslekas,
supaya jangan terlalu lelah
engkau; barangkali esok hari
harus bangun pagi-pagi."
"Nur! Bagiku, asal
bersama-sama dengan engkau, tiadalah
aku akan mengantuk dan lelah.
Biarpun sampai pagi kita begini
saja, maulah aku; itulah kehendak
hatiku. Tak dapatlah kukatakan
bagaimana perasaan dalam kalbuku
waktu ini; tak dapat
kuceritakan betapa senang hatiku
malam ini, melainkan
Tuhanlah yang lebih
mengetahuinya. Telah lama kucita-citakan
pertemuan yang sedemikian ini;
baru sekarang kuperoleh,
sebagai kata pantun komidi:
Tinggi-tinggi si
matahari,
akan kerbau
terlambat.
Sekian lama aku
mencari,
baru sekarang
aku mendapat.
Sungguhpun kebesaran dan
kesenangan hatiku ini takkan
seberapa lama, tetapi tak
mengapa, karena sekarang kuketahuilah
sudah, bahwa engkau pun cinta
kepadaku. Kini tiadalah syak dan
wasangka lagi aku akan
meninggalkan kota Padang ini, untuk
menjelang negeri orang,
Nurbaya!" kata Samsu pula, sambil
memeluk Nurbaya. "Malam
inilah malam yang sangat penting
bagiku dan bagi kehidupanku di
kemudian hari, karena pada
malam inilah aku mendapat cinta
hatiku dan jodohku yang
kurindukan siang dan malam.
Selagi ada hayatku dikandung
badan, tiadalah akan lupa aku
kepada malam ini, yaitu malam
yang memberi harapan yang baik
bagiku, kepada waktu yang
akan datang. Itu saksiku,
Nur," kata Samsu, seraya menunjuk
bulan dan bintang yang di atas
langit, "tiadalah aku akan mencintai
perempuan lain, melainkan engkau
seorang. Tiada lain
perempuan yang akan menjadi
istriku hanya engkaulah.
Engkaulah harapanku, engkaulah
mestika yang mendatangkan
kesenangan dan kesentosaan atas
diriku. Bila tiada engkau,
haramlah bagiku perempuan
lain," lalu diciumnya pula Nurbaya.
"Aku pun demikian pula,
Sam" jawab Nurbaya. "Tuhan
saksiku, tak ada laki-laki di
alam ini yang kucintai lain daripada
engkau. Engkaulah suamiku dunia
akhirat."
"Sekarang baiklah engkau
masuk ke dalam rumahmu, supaya
jangan diketahui orang rahasia
ini," kata Samsu, seraya berjalan
berpimpin-pimpinan mengantarkan
Nurbaya sampai ke tangga
rumahnya. Tatkala pintu rumah
telah dibukakan, yakni setelah
kedua asyik masyuk itu berjabat
salam yang amat akrab,
masuklah Nurbaya, dan Samsu pun
pulanglah kembali ke
rumahnya.
***
Tiada jauh dari kota Padang, arah
ke sebelah selatan, adalah
sebuah pelabuhan yang dinamakan
anak negeri Teluk Bayur.
Pelabuhan ini masyhur namanya ke
negeri yang lain-lain;
pertama karena selalu disinggahi
kapal-kapal besar, yang pulangpergi
ke benua Eropah, sebab letaknya
di jalan antara Tanah
Jawa, Hindustan, Arab dan benua
Eropah. Kedua karena di
pelabuhan itu dapat mengambil
batubara, yang asalnya dari
Ombilin. Tambahan pula pelabuhan
ini memang sangat baik
bangunnya. Memanjang dari barat
ke timur, kemudian memutar
ke utara, tersembunyilah di balik
suatu tanjung dan sebuah pulau
pasir, sehingga terlindung dari
gelombang besar-besar, yang
terlebih-lebih pada musim barat
sangat hebatnya. Oleh sebab itu
lautan dalam teluk ini sangat
tenang, tiada mendatangkan susah
kepada kapal-kapal yang berlabuh
di sana. Dan oleh sebab pantai
di sana curam, karena
bergunung-gunung, yang memagari
pelabuhan ini. di pihak utara,
timur dan selatan air lautan di sana
dalam, sehingga dapat masuk kapal
yang besar-besar, yang
mudah dapat ke tepi, pada
beberapa pangkalan yang menganjur
ke laut.
Pada sebelah utara dan barat
pelabuhan ini, kelihatan di
belakang pangkalan-pangkalan tadi
beberapa gudang tempat
menyimpan barang-barang yang
datang atau yang akan dikirim
ke mana-mana. Dekat gudang-gudang
ini adalah setasiun kereta
api, yang memperhubungkan
pelabuhan Teluk Bayur dengan
kota Padang. Jalan raya pun ada
pula antara kedua tempat itu,
untuk kendaraan yang lain-lain.
Tiada jauh dari setasiun tadi,
kelihatan gudang batu bara yang
amat besar, diperbuat pada
suatu tempat yang tinggi. Dari
gudang ini adalah sebuah
jembatan kereta api yang tinggi,
tempat daripada besi, menganjur
ke laut. Kapal yang hendak
dimuati batu bara, berlabuh di bawah
jembatan itu; dengan demikian
mudahlah dapat dicurahkan batu
bara yang ada dalam gerobak
kereta api itu, langsung ke kapal.
Kelengkapan inilah yang
menambahkan indah dan masyhur
nama pelabuhan ini ke negeri
lain-lain, sebagai pelabuhan
tempat mengambil batu bara.
Pada keesokan harinya daripada
malam Samsu bersukasukaan
di rumahnya, karena hendak
berpisah dari sahabat
kenalannya, kelihatan beberapa
kapal berlabuh di pelabuhan tadi.
Ada yang hendak berlayar ke
selatan, ada yang hendak ke utara
dan ada pula yang hendak terus ke
Bombai, Kalkuta, Mesir dan
benua Eropa. Kemudian kelihatan
pula kapal Cina dan Jepun,
yang hendak kembali ke negerinya,
melalui pulau Pinang dan
Singapura. Kapal Inggris dan
Jerman pun ada, nyata kelihatan
pada benderanya, yang berkibar di
atas tiang. Sebuah daripada
kapal-kapal itu, ialah kapal yang
hendak ditumpangi Samsu dan
sahabat-sahabatnya, berlayar ke
Jakarta.
Oleh sebab kapal ini hendak
bertolak pukul dua belas siang
dan daripada waktu itu telah
pukul sepuluh, sangatlah ramai
dekat kapal ini; riuh rendah
pendengaran, tiada keruan. Ada yang
memuat batu bara, ada yang
mengeluarkan barang-barang, ada
yang membongkar muatan dan ada
pula yang naik-turun berlarilari,
sebagai ada sesuatu yang
ketinggalan.
Di atas kapal, kelasi-kelasi
sedang asyik mengerjakan
pekerjaan masing-masing dan
mualim-mualim sedang ribut
memerintah ini dan itu. Beberapa
penumpang geladak mencari
tempat yang baik dan mengatur
bawa-bawaannya. Penumpang
kelas dua dan kelas satu, ada
yang duduk bercakap-cakap di
meja makan, ada pula yang berdiri
di beranda kapal, melihat
sekalian ingar bingar itu. Orang
yang berdagang buah-buahan
dan makan-makanan pun tak kurang,
berjalan kian kemari,
sambil menawarkan dan
menghargakan jualannya.
Pangkalan penuh dengan beratus-ratus
laki-laki perempuan,
baik bangsa anak negeri, baik
bangsa asing yang akan turut
berlayar atau mengantarkan sanak
saudara, sahabat kenalannya.
Ada yang duduk berkata-kata, ada
yang berdiri berpayung,
karena kepanasan dan ada pula
yang berjalan bolak-balik,
sebagai jemu menunggu.
Di sisi gudang bercakap-cakap
seorang perempuan tua
dengan anaknya yang rupanya
hendak berlayar, sambil memberi
nasihat, supaya anaknya
berhati-hati di jalan dan di negeri orang.
Di atas batu duduk seorang
laki-laki tua bertutur-tutur dengan
saudaranya, yang rupanya pun
hendak meninggalkan tanah
airnya, berlayar mencari
penghidupan di rantau orang. Yang
sekedar datang melihat saja pun
tiada kurang pula, tertawa gelakgelak
serta bertanya kepada temannya;
bilakah ia akan berlayar
pula.
Di dalam orang yang banyak itu
tiadalah kelihatan oleh kita
sahabat kita Samsulbahri, karena
ia waktu itu ada di dalam bilik
kelas dua, sedang
berkumpul-kumpul dengan ibu-bapak, sanak
saudara dan sahabat kenalannya.
"Tak kelupaan apa-apa engkau
Sam?" tanya Sutan Mahmud.
"Tidak, Ayah," sahut
Samsu.
"Petimu di mana?" tanya
Sutan Mahmud pula.
"Ada di sini
sekaliannya."
"Dan uang belanjamu,
sudahkah disimpan dalam peti?"
"Ada pada hamba."
"Ingat-ingat engkau di
negeri orang, Samsu!" kata ibunya.
"Tahu-tahu membawakan diri:
mandi di hilir-hilir, berkata di
bawah-bawah. Janganlah disamakan
saja dengan di sini;
janganlah disangka masih anak
orang berpangkat juga di sana,
sebab engkau akan berdiri sendiri
lagi, jauh daripada kami,
sekalian. Bila ada apa-apa,
lekaslah tulis surat kepada Ayahmu!"
lalu Sitti Maryam menyapu air
matanya, yang berlinang-linang
di pipinya.
"Belajar sungguh-sungguh,
jangan suka beriang-riang tiada
pada tempat dan waktunya; jangan
bercampur dengan orang
yang kurang baik, dan jangan pula
berbelanja yang tiada keruan,
supaya cukup uang yang akan
dikirimkan kepadamu tiap-tiap
bulan," kata ayahnya pula.
Tatkala itu Nurbaya ada berdiri
dekat Samsu, bersandar di
pinggir tempat tidur. Walaupun
rupanya ia tiada mengindahkan
segala percakapan itu, tetapi
pikirannya kepada Samsu saja dan
dipandangnya kekasihnya ini
dengan tiada putus-putusnya. Pada
waktu itulah sangat terasa
olehnya keberatan perceraian ini.
Sebelum ia berdiri di pinggir
laut, yang akan memisahkannya
daripada kekasih dan saudaranya
ini, pada sangkanya—tentulah
mudah dapat dilipurnya kesedihan
perceraian itu. Akan tetapi
tatkala dilihatnya kapal yang
akan membawa jantung hatinya,
jauh daripadanya, barulah
dirasainya, bahwa perceraian itu tentu
akan melukai hatinya dengan luka
yang parah. Berdebar
jantungnya, jika diingatnya
sejurus lagi cahaya matanya ini akan
luput dari pemandangannya, bukan
untuk sehari dua hari ataupun
sepekan dua pekan. Entah beberapa
tahun lagi, baru dapat pula ia
melihat wajah Samsu tiadalah
dapat ditentukan. Dan apabila
teringat olehnya mimpi Samsu yang
dahsyat itu, bertambahtambahlah
bimbang dan susah hatinya. Itulah
sebabnya selalu
dipandangnya Samsu dan
dipuas-puaskannya hatinya melihat
teman sekolah yang dicintainya
ini.
Tatkala itu masuklah beberapa orang
membawa hadiah buahbuahan
sebagai mangga, jeruk dan nenas,
lalu berkata, "Inilah
yang dapat kami berikan kepada
Engku Muda, obat mabuk di
jalan. Kami pohonkan kepada Allah
supaya mudah-mudahan
Engku Muda selamat pulang
pergi."
"Terima kasih," jawab
Samsu, sambil menerima pemberian
itu. "Hamba pun berharap,
Adik dan Kakak yang tinggal,
sekaliannya dipeliharakan Tuhan
selama-lamanya."
Setelah berjabat salam, keluarlah
mereka sekalian, sehingga
akhirnya tinggallah Samsu berdua
dengan Nurbaya. Maka dipandanglah
oleh Samsu muka kekasihnya ini,
serta dipegangnya
kedua belah tangannya, sedang air
matanya bercucuran keluar,
dengan tiada dirasainya. Lama ia
berdiri sedemikian itu dengan
tiada dapat berkata-kata, karena
dadanya bagaikan penuh dan
mulutnya bagai terkunci. Akhirnya
keluarlah juga suaranya
walaupun terhenti-henti.
"Nurbaya!" katanya.
"Ingat-ingat menjaga diri! ... Jika ada
apa-apa, lekas tulis surat
kepadaku ... Meskipun tak dapat aku
tolong engkau dengan tenaga
ataupun dengan uang, barangkali
dapat juga dengan nasihat.
Mungkin dapat pula kuberi ingat
engkau dan kuberi pelajaran dari
jauh. Orang tuaku, janganlah
kauperbedakan dengan orang tuamu
dan datanglah kerap-kerap
ke sana, melihat-lihati mereka,
walaupun aku tak ada lagi.
Barang apa kesusahanmu, katakanlah
pula kepadanya, karena
mereka itu pun sayang kepadamu,
sebagai kepadaku.
Bila ada sesuatu hal dalam rumah
orang tuaku, kabarkanlah
dengan segera kepadaku,
lebih-lebih tentang hal-ihwal ibuku,
karena rupanya ia sangat
berdukacita atas perceraian ini.
Kemudian kupinta kepadamu,
janganlah engkau lupa akan janji
dan sumpah kita tadi malam,
karena sejak waktu itu batinnya
telah kawinlah kita; engkau telah
suka menjadi istriku, aku pun
telah suka pula menjadi suamimu.
Hanya menurut syarat dunialah,
belum lagi kita berhubung.
Tulislah surat kepadaku tiap-tiap
kapal bertolak dari sini dan
ceritakanlah hal-hal di sini kepadaku,
supaya aku jangan sangat
canggung.
Apabila aku telah sampai kelak ke
Jakarta, kukirimkanlah
kepadamu apa-apa yang dapat
kubelikan untuk engkau. Sekarang
inilah saja yang dapat kuberikan
kepadamu sebagai tanda mata.
Terimalah olehmu dokoh ini! Di
dalamnya ada gambarku. Bila
engkau tercinta akan daku,
lihatlah gambar itu; itulah ganti
diriku."
Nurbaya menerima tanda mata Samsu
itu lalu diciumnya,
sedang air matanya jatuh
bercucuran. "Aku banyak minta terima
kasih kepadamu, Sam," jawab
Nurbaya, "dan aku berjanji akan
memakai dokoh ini seumur hidupku.
Akan jadi tanda mata
daripadaku, tiadalah lain yang
dapat kuberikan kepadamu, hanya
cincin inilah. Moga-moga sudi
engkau memakainya!" lalu
Nurbaya menanggalkan cincin
mutiara yang dipakainya pada jari
manisnya dan memberikan cincin
itu kepada Samsu, seraya berkata,
"Engkau pun, jika teringat
kepadaku, misalkanlah cincin ini
diriku dan simpanlah ia
baik-baik, karena bagiku itulah tali yang
mengikat kita dari dunia sampai
ke akhirat. Dengan segera akan
kusuruh perbuat potretku supaya
dapat kukirimkan kelak
kepadamu.
Aku pun mengucapkan selamat
jalan.kepadamu. Moga-moga
dipeliharakan Tuhan engkau dalam
perjalananmu ke negeri
orang, pulang balik, dan
sampailah juga maksud yang kautujui,
supaya, apabila engkau telah ada
pula di sini, bukannya Samsu
saja lagi namamu, melainkan
dapatlah kupanggil engkau dokter
Samsu.
Ingat-ingatlah menjaga diri di
negeri orang, karena sekarang
engkau akan berdiri sendiri, jauh
daripada ibu-bapak dan handai
tolanmu, sehingga barang sesuatu,
engkau sendirilah yang akan
memutuskannya. Dan janganlah
sampai tergoda oleh segala yang
tak baik, karena Jakarta negeri
besar, banyak godaan yang tak
patut di sana."
Tatkala itu berbunyilah seruling
kapal yang pertama, mengingatkan
kepada orang-orang kapal ataupun
penumpang, supaya
bersiap, karena kapal akan
berangkat. Maka keluarlah Samsu
dengan Nurbaya dari dalam kamar
kapal, lalu turun ke
pangkalan. Di sana bersalamlah ia
dengan sekalian orang yang
mengantarkan, serta meminta maaf
dan ampun atas segala dosa
dan kesalahannya, lahir dan
batin, yang boleh memberati dunia
dan akhirat.
Sekalian mereka menangis
mencucurkan air mata, karena
hampir sekaliannya sayang, kepada
Samsu, sebab adat dan
kelakuannya yang baik. Samsu pun
tak dapat pula menahan air
matanya, walaupun digagahinya
dirinya. Ayahnya diciumnya
tangannya, dan ibunya dipeluk dan
diciumnya pipinya.
Akhirnya pergilah ia kepada Nurbaya,
lalu dipegangnya
tangan gadis ini beberapa
lamanya, sebagai tak hendak dilepaskannya.
Dadanya rasakan sesak menahan
kesedihan yang timbul
dalam hatinya karena perceraian
ini, sehingga tiadalah dapat ia
berkata-kata lain daripada,
"Selamat tinggal, Nur!... Mudahmudahan
lekas bertemu kembali," lalu
berjalanlah ia cepat-cepat
naik ke kapal.
Nurbaya pun tiada pula dapat
menjawab apa-apa melainkan,
"Selamat jalan, Sam! ...
selamat sampai ke Jakarta!"
Setelah naiklah Samsu ke atas
kapal, lalu berdirilah ia bertopang
dagu pada pagar besi yang ada di
sisi geladak kapal,
karena pada waktu itu seruling
yang kedua telah berbunyi pula.
Dan tiadalah lama kemudian
daripada itu berbunyilah seruling
yang ketiga, lalu dilepaskanlah
tali-temali dan diangkatlah
jangkar.
Tatkala baling-baling kapal telah
berputar, bergeraklah kapal
itu; mula-mula perlahan-lahan,
tetapi kemudian bertambahtambah
cepat, sehingga kapal itu makin
lama makin jauhlah dari
pangkalan. Setangan berkibaran di
sisi kapal, tanda yang pergi
memberi selamat kepada yang
tinggal. Dari pangkalan dibalas
oleh yang tinggal dengan
mengibarkan setangan pula memberi
selamat jalan kepada yang pergi.
Di antara orang-orang ini ada
yang masih berteriak,
"Jangan lupa!" ada pula yang berkata,
"Lekas balik!" Dari kapal
pun dibalas dengan jawaban,
"Baiklah!"
Samsu tiada lepas-lepas memandang
Nurbaya sambil
mengibarkan setangan sutera
birunya dan dari daratan tiada pula
putus-putusnya dibalas alamat itu
oleh Nurbaya, dengan
setangan merah jambunya.
Makin lama kapal makin jauh dari
cerocok dan jalannya pun
bertambah cepat. Akhimya tiadalah
dapat dibedakan lagi oleh
Samsu orang-orang yang berdiri di
pangkalan, lalu masuklah ia
ke biliknya, tidur berselimut,
karena tiada dapat lagi dipandangnya
tanah airnya yang akan ditinggalkannya.
Dadanya ditekannya
ke bantal, sebagai hendak menahan
sakit yang menyesak ke
hulu jantungnya, dan kepalanya
pusing, seperti orang mabuk
cendawan.
Tatkala Nurbaya tiada dapat lagi
membedakan kekasihnya,
daripada orang lain, di atas
kapal, berjalanlah ia perlahan-lahan
ke ujung suatu tanjung, akan
mengikuti kapal itu dengan matanya.
Makin lama makin sunyilah rasanya
padanya alam ini.
Sekalian tempik sorak orang yang
bekerja di pelabuhan dan
segala bunyi perkakas pembongkar,
penaikan dan pembawa
barang-barang, yang masih riuh
rendah, pada pendengaran
Nurbaya makin lama makin jauh.
Orang yang berpuluh-puluh
banyaknya, berjalan pulang
kembali ke muka hanggar, menjadi
kecil-kecil pada pemandangannya.
Akhirnya terduduklah ia di
atas batu, lalti bertopang dagu
memandang kapal yang membawa
kekasihnya, yang keluar dari
kuala.
Tatkala berbunyi meriam yang
dipasang di kapal, akan
memberi selamat tinggal kepada
pelabuhan Teluk Bayur,
baharulah nyata oleh Nurbaya,
bahwa kapal itu telah membelok
menuju ke barat. Di sanalah
teringat olehnya, bagaimanakah
halnya kelak, seorang diri di
rumahnya. Dengan siapakah ia akan
bercakap-cakap dan bermain-main
lagi, waktu dan pulang
sekolah? Bila ada sesuatu halnya,
kepada siapakah hendak
dikatakannya? Siapakah tempat ia
membukakan rahasia hatinya,
siapakah tempat ia bertanya dan
bermupakat dalam halnya yang
sulit-sulit, siapakah yang akan
menolongnya lagi, bila ia di
sekolah beroleh hitungan yang
sukar?
Demikian ingatan yang timbul
dalam hati Nurbaya, tatkala ia
duduk termenung seorang diri di
atas batu, walaupun matanya
selalu memandang ke kapal yang
hampir lenyap itu.
Tiada berapa lama kemudian
daripada itu, hilanglah kapal ini
daripada pemandangan Nurbaya,
hilang di balik Bukit Sikabau.
Hanya asapnyalah yang masih
tinggal tergantung di udara, di
atas air laut. Tatkala itu
hilanglah pula segala penglihatan dan
pendengaran.Nurbaya, sebagai
lulus tempatnya berpijak dan tergantung
badannya di awang-awangan.
Apabila tak ada ayahnya
dekat padanya, yang memegang
bahunya perlahan-lahan dari
belakang, pastilah ia jatuh rebah
ke tanah, karena tak ingatkan
dirinya lagi. Untunglah Baginda
Sulaiman lekas datang
menolong anaknya, lalu
diangkatnya, dipimpinnya berjalan
perlahan-lahan pulang kembali.
Dialog yg hilang
Sitti : Saya ingin menangis rasanya, seperti akan ada yang hilang..... terimakasih karena telah memberi warna dalam hidupku.
Samsul : Izinkan aku untuk terus menghayal dan bermimpi serta berharap tentang sesuatu bukan hanya sampai waktu berhenti berputar, tetapi bahkan hingga setelah waktu berakhir.
Siti: Maliek uda se ndak bisa rasonyo...maliek uda tu ...ndak sanggup, ndak tau...campua aduak perasaan tu.
Dialog yg hilang
Sitti : Saya ingin menangis rasanya, seperti akan ada yang hilang..... terimakasih karena telah memberi warna dalam hidupku.
Samsul : Izinkan aku untuk terus menghayal dan bermimpi serta berharap tentang sesuatu bukan hanya sampai waktu berhenti berputar, tetapi bahkan hingga setelah waktu berakhir.
Siti: Maliek uda se ndak bisa rasonyo...maliek uda tu ...ndak sanggup, ndak tau...campua aduak perasaan tu.
No comments:
Post a Comment