Karya Marah Rusli
Matahari silam bintang pun
terbit, bintang luput fajar menyingsing siang hilang berganti
malam, malam lenyap siangpun timbul. Hilang hari berganti
hari, habis bulan bersambung bulan! Musim bergilir takkan
bertukar, akan tetapi waktu itu tiadalah mengindahkan perubahan
dan pertukaran ini, melainkan
berjalanlah ia terus-menerus
dengan tiada berhenti-henti dari hari ke hari, dari tahun dan dad abad
ke abad. Dari manakah datangnya
waktu itu dan ke manakah
perginya? Adakah awalnya dan adakah akhimya? Wallahu alam.
Di Sekolah Dokter Jawa di
Jakarta, dalam masa yang hampir setahun, tiada banyak perubahan.
Pelajaran murid-murid, makin lama makin dilanjutkan, karena
tiada berapa lama lagi akan puasa dan sekolah tentulah akan
ditutup, supaya dapatlah beristirahat murid-murid yang
telah mengusahakan dirinya, belajar bersusah payah dalam
setahun itu.
Samsulbahri dan sahabatnya Arifin
rupanya adalah maju dalam pelajarannya. Pada
tiap-tiap ujian yang telah dilangsungkan tahun itu nyatalah, bahwa mereka
tiada tertinggal dalam pelajarannya daripada teman
sejawatnya. Keberatan dan kesusahan yang sangat dideritanya
pada mula-mula mereka datang ke Jakarta, hilanglah
sudah dan biasalah mereka pada kehidupannya yang baru. Hanya
ingatan dan rindu hati Samsulbahri kepada Nurbayalah yang tiada
hendak berkurang-kurang, bahkan kian hari kian bertambah
rasanya, sehingga terkadang-kadang hampir tak dapat ditanggungnya
denda yang sedemikian itu. Terlebih-lebih dalam
beberapa hari ini, hatinya sangat rawan bercampur sedih, dengan tiada
diketahuinya apa sebabnya;
sebagai adalah sesuatu mara
bahaya, yang telah jatuh ke atas diri
kekasihnya itu. Oleh sebab itu
makinlah ia teringat kepada Nurbaya dan makinlah bertambah
ingin hatinya hendak bertemu dengan adiknya ini.
"Heran," katanya dalam
hatinya, tatkala ia duduk termenung seorang diri, di atas sebuah
batu, dalam pekarangan sekolah, "mimpiku yang dahulu itu
datang pula menggoda pikiranku.
Senanglah hatiku, tatkala ingatan
kepada mimpi celaka itu mulai hilang; akan tetapi apakah
sebabnya sekarang ini datang pula
sekonyong-konyong menggoda
hatiku? Ah, mungkin sebab pikiranku telah dahulu kembali ke
Padang, karena tiada lama lagi hari akan puasa dan di sanalah
kelak akan dapat bertemu dengan kekasihnya itu."
Sedang ia berpikir-pikir
sedemikian, datanglah Arifin membawa
sepucuk surat yang dialamatkan
kepada Samsu, lalu diberikannya surat ini kepada
sahabatnya. Tatkala dilihat Samsu alamat surat itu dan nyata
datangnya dari Nurbaya, masuklah ia ke dalam biliknya, akan membaca
surat itu seorang diri. Ketika akan dibukanya surat ini,
berdebarlah hatinya dan ngerilah rasa badannya, seolah-olah ada sesuatu
kabar yang sedih akan didengarnya; istimewa pula karena
kelihatan olehnya, pembungkus surat itu, sebagai bekas kena
titik air.
"Kena hujankah surat ini
atau kena air laut?" tanya Samsu dalam hatinya.
Tatkala akan dikoyaknya
pembungkus surat itu, tiba-tiba jatuhlah gambar Nurbaya yang
tergantung pada dinding biliknya, sehingga hancur kaca dan
bingkainya, sedang potret itu sendiri rusak pula, karena sqbuah daripada
pecahan kaca yang runcing, menembus dada kekasihnya ini,
tentang jantungnya. Potret itu diangkat oleh Samsu, lalu
dicabutnya pecahan kaca yang masuk ke dalam dada Nurbaya
perlahan-lahan, takut akan bertambah rusak gambar itu. Akan tetapi
bagaimana pun ia berhati-hati, kertas potret itu rusak juga
tentang dada Nurbaya.
"Ajaib," pikir Samsu
dalain hatinya, sambil termenung.
"Apakah artinya alamat ini?
Apakah kabar yang akan kudengar?"
Setelah dibersihkannya pecahan
kaca-kaca tadi, lalu diambilnyalah
pula surat yang baru datang itu,
dibukanya dengan tangan yang gemetar dan hati yang
berdebar-debar. Ketika itu kelihatanlah olehnya surat itu penuh dengan
bekas titik air, serta tulisannya pun banyak yang kurang terang,
sebagai suatu surat yang tertulis oleh orang yang
pikirannya sedang kusut. Demikian bunyi surat itu:
Padang, 13 Mare11897.
Kekasihku Samsulbahri!
Walaupun kuketahui, bahwa surat
yang malang ini, yang telah kutulis dengan air mata
yang bercucuran dan hati yang sangat sedih lagi pedih, terlebih
daripada diiris dengan sembilu dan dibubuh asam, garam;
serta pikiran yang kelam kabut akan datang membawa kabar
yang sangat dukacita kepadamu, barangkali juga akan
memutuskan pengharapanmu, yang kau amalkan siang dan malam
dan walaupun
rasakan putus rangkai jantung
hatiku mengenangkan sedih dan duka nestapa yang akan
menimpa engkau karena mendengar kabar yang malang ini,
akan tetapi kugagahilah juga diriku menulis surat ini,
karena takut kalau-kalau engkau bersangka, bahwa sesungguhnyalah
hatiku telah berpaling daripadamu.
Barangkali juga kabar ini akan
menimbulkan murka dan syak wasangka di dalam hatimu,
Sam, dan akan menghilangkan kepercayaanmu kepadaku dan karena
itu tiadalah hendak kauindahkan lagi aku ini
dan kaubuang aku, sebagai membuang sampah ke pelimbahan,
sebab pada sangkamu sesungguhnyalah aku seorang yang
tiada memegang janji dan tak boleh dipercayai.
Oleh sebab itu biarlah aku
bersumpah lebih dahulu, barangkali engkau percaya kembali
kepadaku. Wallah wa nabi, tiadalah hatiku berubah
dari sediakala kepadamu dan tiadalah ada ingatanku, akan
menyakiti hatimu dan memutuskan pengharapanmu. Tuhan Yang
Mahakuasa saksiku, dan apabila tiada benar aku di dalam
hal ini, biarlah diazab dan
disiksanya aku dari dunia sampai
ke akhirat. Sesungguhnya aku beribu kali lebih suka mati
berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai sebagai
ini, dan jika tiada takut dan tiada ingat aku akan engkau,
pastilah kubunuh diriku, supaya jangan menanggung sengsara lagi.
Sekarang apa hendak kukatakan?
Karena demikianlah rupanya nasibku yang telah
tertimpa. Walaupun bagaimana juga hendak kutolak atau
kuhindarkan diriku daripadanya, niscaya akan sia-sia belaka
pekerjaan itu, karena untung dan nasib manusia ditentukan,
semenjak di rahim bunda kandung.
Bukankah telah kukatakan dalam
pepatah: Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat
diraih? Bukankah setahun yang telah lalu, telah engkau ketahui
untungku, karena engkau telah mendapat mimpi tentang
nasibku itu? Sekarang datanglah waktunya rupanya, aku
harus menepati nasibku itu, tak dapat dimungkiri lagi. Aduhai
sia-sialah segala cita-cita dan kenang-kenanganku, lenyap
segala harapanku, putus tali tempat bergantung dan ..."
Di situ tak dapatlah Samsu
membaca surat ini lagi, karena kertasnya rupa-rupanya penuh
kejatuhan air mata, sehingga menjadi kembang dan huruf yang
tertulis di atasnya menjadi kurang terang. Oleh sebab itu
dilampauilah oleh Samsu tulisan yang kurang terang itu, lalu
dibacanya lanjutannya:
"Supaya dapat kauketahui
bagaimana anal mulanya kecelaka-anku ini, kutulislah juga
surat ini. Dengan demikian, dapatlah kautimbang berapa besar
kesalahanku dalam perkara ini.
Sebagai telah kuceritakan
kepadamu, toko ayahku telah terbakar sekaliannya. Itulah
permulaan sengsaraku; dari situlah asalnya azabku. Seperti
cerita yang kudengar dari ayahmu pada pemeriksaan yang
dijalankan kemudian daripada itu, ada tanda-tanda
yang menyatakan pembakaran itu perbuatan orang, karena dekat
di sana, ada bekas tempat minyak dan puntung suluh.
Sungguhpun demikian, Sam, sampai sekarang belum juga lagi
dapat keterangan, siapa yang berbuat kejahatan itu.
Bertambah-tambah syak hati
ayahmu, kebakaran itu perbuatan khianat, sebab yang mula-mula
terbakar, dari ketiga toko itu, ialah kedua toko yang
di sisi. Keduanya hampir serentak dimakan api. Bila
toko-toko itu tiada dibakar orang, bagaimana-kah api itu dapat
melompat dari toko yang pertama ke toko yang ketiga,
dengan melampaui toko yang di
tengah-tengah. Jika dapat pun
melompat, tentulah toko yang pertama itu terlebih dahulu hams
terbakar benar-benar, barulah api dapat melompat ke
toko yang ketiga. Tetapi sebagai kukatakan, kedua toko
yang di sisi itulah yang mula-mula sama-sama terbakar, barulah toko
yang di tengah.
Oleh sebab kebakaran itu
perbuatan orang dan api makan sangat cepatnya, tiadalah dapat
ketolongan sepotong barang pun, karena tatkala diketahui
orang api itu, kedua toko itu telah hampir habis terbakar. Dan
karena panas apinya, seorang pun tak ada yang berani
mendekati toko-toko itu. Itulah juga sebabnya, maka
sehelai benang pun tak ada yang keluar; sekaliannya habis
dimusnahkan api. Oleh sebab ketiga toko itu belum dimasukkan
asuransi, rugilah ayahku pada
malam itu kira-kira lima puluh
ribu rupiah.
Suatu lagi yang mengherankan
ayahmu, yaitu penjaga toko itu rupanya tidur nyenyak,
sehingga mati kebakaran. Hanya penjaga toko yang di tengahlah
yang terlepas dari bahaya mati. Akan tetapi jika tiada
ditolong, tentulah ia mati pula; karena tatkala api memakan toko
yang di tengah, belum juga ia terbangun, sehingga ia dihela
oleh serdadu ke luar. Di luar, kelihatan sebagai orang mabuk,
tiada insaf akan dirinya.
Sebagai telah kuceritakan
kepadamu, ayahku malam itu tiada ada di rumah, pergi ke
Padang Panjang, menguruskan perniagaannya pada beberapa toko
langganannya di sana, yang rupanya hendak mungkir membayar
utangnya dan tak mau mengambil barang-barang lagi
kepada ayahku. Itulah yang menjadikan pikiran dalam
hatiku. Sesungguhnyakah sekalian itu perbuatan orang?
Jika benar, apakah maksudnya dan siapakah musuh yang
tersembunyi ini?
Setelah pulanglah ayahku pada
keesokan harinya, sebab dikirimi surat kawat oleh ayahmu,
kuceritakan kecelakaan itu kepadanya dan kukabarkanlah pula
syak hatiku kepada orang yang telah kaumimpikan itu. Akan
tetapi ayahku tiada hendak mendengar perkataanku ini, karena
ia sangat percaya rupanya kepada orang itu.
"Bukannya ia yang berbuat
jahat," kata ayahku, "melainkan nasib kitalah yang sedemikian.
Sungguhpun begitu, janganlah kaususahkan hal
itu!" kata ayahku pula, "karena kebun kelapaku masih ada dan
barang-barang hutan yang kuterima bulan ini, adalah pula lima
perahu banyaknya; cukup bagiku akan memulai berniaga,
sebagai dahulu. Jika dengan tolong Allah, akan kembalilah
segala yang telah hilang itu."
Ayahku, karena sabarnya rupanya
dengan sepenuh-penuh hatinya menyerahkan untungnya kepada
Tuhan Yang Mahakuasa dan memohonkan kurnia-Nya. Itulah
pula yang menimbulkan ajaib hatiku, karena kelak akan
nyata kepadamu, bahwa Tuhan telah meninggalkan
kami dan tiada menolong kami lagi, walaupun tiada
kuketahui, apakah dosa dan kesalahan yang telah kami
perbuat. Segala kesangsaraan dan
kecelakaan datangnya
bertimpa-timpa, sebagai adalah kutuk yang telah jatuh ke atas kepala
kami; karena dua hari kemudian daripada itu datanglah
anak perahu ayahku yang biasa membawa dan mengambil
barang perniagaan dari Terusan dan Painan mengabarkan,
kelima perahu ayahku telah karam di laut, dilanggar
topan yang berembus, tatkala malam kebakaran itu. Suatu pun
dari muatannya tak ada yang
ketolongan, sedang sekalian anak
perahu, niscaya akan mati di laut, jika tiada ditolong oleh
perahu lain.
Bagaimana rasa hati ayahku ketika
mendengar kabar itu, tak dapatlah kuceritakan di sini,
melainkan Allah jugalah yang mengetahuinya. Sungguhpun
air mukanya tetap, tiada berubah, dan rupanya menyerah dan
tawakal kepada Tuhan, tetapi aku tahu, hatinya di dalam
remuk redam sebagai kaca jatuh ke batu. Sejak hari itu
kami hidup berhemat-hemat.
Tiada lama kemudian daripada itu,
rupanya ayahku meminjam duit kepada Datuk
Meringgih, banyaknya sepuluh ribu, dengan janji itu bagi
ayahku, tiadalah kuketahui. Barangkali akan pembayar utang
atau akan dijalankan pula membangunkan perniagaannya yang
telah jatuh itu. Tetapi rupanya di dalam tiga bulan itu
selalu ia rugi, sehingga habislah uang itu. Sekalian
orangnya di Terusan dan Painan, lari meninggalkan ayahku dengan
membawa uang yang ada padanya, dan segala toko
langganan ayahku di Padang Darat itu pun mungkir pula tiada hendak
membayar utangnya. Tinggal satu lagi harapan ayahku,
yaitu kebun kelapa di Ujung Karang, tetapi pengharapan
ini pun diputuskan pula,
karena kami harus jatuh ke
lumpur, tak boleh ditolong lagi. Iblis yang mendatangkan segala
mara bahaya itu rupanya belum puas melihat kami telah
jadi sedemikian. Bukannya harta kami saja yang akan
dilenyapkannya, tetapi jiwa kami pun akan dicabutnya pula dan bila
nasib yang malang ini, tiada hendak meninggalkan kami,
niscayalah maksud jahanam itu tiada lama lagi akan
sampai.
Pohon kelapa yang diharapkan
ayahku itu, tiada hendakberbuah lagi, sedang buahnya yang
ada pun, tua muda jadi busuk, gugur ke tanah. Batangnya
pun mati semuanya. Bagaimanakah boleh jadi
kecelakaan datang bertimpatimpa sedemikian itu, tak habis
kupikir-pikirkan. Pecah
otakku mengenangkan apakah dosa
ayahku maka sampai mendapat hukuman serupa itu? Aku
tak percaya, ayahku ada berbuat sesuatu yang tak baik
atau kesalahan yang besar, sampai disiksa sedemikian itu.
Akan tetapi apa hendak dikata?
Jika nasib akan jatuh, sekaliannya boleh menjadi sebab.
Bagiku adalah untung itu sebagai kata pepatah: Disangka
panas sampai petang, kiranya hujan tengah hari. Di situlah
nyata kebesaran Tuhan, yang boleh menjadi tamsil bagi segala
hartawan. Jika dikehendakiNya, harta yang sebagaimana banyaknya
pun dapat lenyap dalam sekejap mata."
Baharu hingga itu terbaca oleh
Samsu surat Nurbaya ini, bercucuranlah air matanya, yang
sejak tadi ditahan-tahannya.
"Larilah rupanya bahaya yang
kutakutkan itu," pikirnya dalam hatinya, "Bagaimanakah
akhirnya kekasihku ini?"
Setelah disapunya air matanya,
lalu diteruskannya membaca surat itu.
"Setelah sampailah tiga
bulan, datanglah Datuk Meringgih meminta uang kembali, katanya
sebab perlu dipakainya, tetapi ayahku tiada beruang lagi.
Walaupun berapa ayahku minta janji, tiadalah
diperkenan-kannya. Waktu itulah baru tahu ayahku,
bagaimana hati Datuk. Meringgih sebenarnya kepadanya.
Waktu itu berulah ia berasa, Datuk Meringgih bukan
sahabatnya, melainkan musuhnya; jadi musuh yang
sebesar-besarnya. Sekalian sangkaku yang telah kukatakan
kepadanya, mulai dipercayainya.
Akan tetapi apa boleh buat, Sam!
Gadai telah terlanjur ke Cina, tak dapat diubah lagi.
Siapa tahu, barangkali Datuk Meringgih inilah yang
mendatangkan sekalian malapetaka itu, sehingga ayahku sampai jatuh
sedemikian. Sudah itu dengan sengaja dipinjaminya ayahku uang,
supaya ia jatuh pula ke dalam tangannya. Jika demikian,
sesungguhnyalah Datuk Meringgih itu penjahat yang
sebesar-besarnya, yang mengail dalam belanga, menggunting dalam
lipatan.
Setelah dipinta oleh ayahku
dengan susah payah, barulah diberinya tangguh sepekan lagi,
akan tetapi dengan perjanjian, apabila dalam sepekan
itu tiada juga dibayar hutang itu, tentulah akan
disitanya rumah dan barang-barang ayahku dan ayahku akan
dimasukkannya ke dalam penjara. Hanya bila aku diberikan
kepadanya, raksasa buas ini,
bolehlah ayahku membayar utang
itu, bila ada uangnya.
Membaca kekejian ini, merah
padamlah warna muka Samsu. Matanya sebagai berapi, urat
keningnya membengkak dan sekujur badannya gemetar.
Tangannya dikepalkannya sebagai hendak menerkam Datuk Meringgih,
yang pada penglihatannya barangkali ada di mukanya.
"Jahanam!" demikianlah
perkataan yang keluar dari mulutnya, "Anjing tua yang
tiada berbudi. Ingat rupa dan umurmu hendak meminta Nurbaya.
Dengan hantu, patut engkau kawin!"
Setelah disabarkan Samsu hatinya,
lalu dibacanya pula surat itu, karena sangat ingin ia
hendak mengetahui, apakah jadinya dengan kekasihnya itu.
"Di dalam sepekan itu,"
demikianlah sambungan surat Nurbaya," pergilah ayahku ke
sana kemari mencari uang, tetapi tiadalah seorang juga yang
percaya lagi kepadanya, karena ia telah jatuh sengsara.
Sedangkan sahabat karibnya, yang acap kali ditolongnya di
dalam kesenangannya, telah meninggalkannya pula. Rupanya
begitulah adat dunia ini, patut dikiaskan oleh orang
Jakarta dengan sindiran: Ada uang
abang sayang, tak ada uang abang
melayang. Ya! Kawan gelak yang banyak, tetapi kawan
menangis jarang bersua. Rupanya uang itulah yang
dipandang, ditakuti, dihormati, dan dicintai orang; uang itulah
sahabat kerabat, ibu-bapa dan sanak saudara. Yang tak beruang
akan yatim piatulah, sunyi daripada sekaliannya, hidup
sebatang kara.
Jika demikian, alangkah
lancungnya dunia ini, alangkah jahatnya manusia itu! Tetapi
sesungguhnya tak ada orang yang tiada memandang uang di
dalam dunia ini? Hormat karena hormat, takut karena
takut, sayang karena sayang, dan cinta karena cinta? Walaupun aku
percaya, tentulah ada juga orang yang tiada memandang uang,
orang yang sebenarnya orang, di antara penduduk kota
Padang ini, tetapi sebab kecelakaan yang bertimba-timpa
ini, menjadilah syak hatiku dan kurang kepercayaanku.
Sekarang marilah kuteruskan
ceritaku, supaya jangan terlalu panjang surat ini.
Kebun kelapa yang di Ujung Karang
itu, harta ayahku yang penghabisan, tak lalai dijual,
karena kelapanya sekalian telah mati."
Ketika itu hati Samsu makin
bertambah-tambah tak enak, sehingga ia menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Oleh sebab itu; tatkala
akan sampailah janji ayahku itu kepada Datuk Meringgih, pada
malamnya, datanglah ia kepadaku, bertanyakan pikiranku
tentang hal ini, karena esoknya tentulah akan
datang Datuk ini mendengar keputusan kami.
Aku tiada terkata-kata lagi;
sejak terbakar toko ayahku, hatiku tak dapat kusenangkan.
Acap kali menangislah aku pada malam hari mengenangkan
nasibku yang malang ini. Mimpirnu pun selalu
terbayang-bayang di mataku. Setelah Datuk Meringgih menagih
piutangnya, tiadalah aku dapat tidur setiap malam, melainkan
selalu menangis bersedih hati.
Kerap kali aku terkejut, karena
sebagai kelihatan olehku Datuk Meringgih datang menguasai
aku. Dengan demikian, badanku menjadi kurus kering tinggal
kulit pembalut tulang: Jika engkau lihat aku sekarang
jni, pastilah tak kenal lagi engkau kepadaku. Demikianlah
perubahan badanku, karena sedih, susah, takut dan makan
hati."
"Aku tahu, Nur, bahwa engkau
tiada suka kepada Datuk Meringgih," kata ayahku pada
malam itu kepadaku. "Pertama umurnya telah tua, kedua karena
rupanya tak elok, ketiga karena tabiatnya keji. Itulah
sebabnya ia bukan jodohmu. Dan aku tahu pula bagaimana hatimu
kepada Samsu dan hatinya kepadamu. Aku pun tiada lain.
melainkan itulah yang kucitacitakan dan kuharapkan siang dan malam,
yakni akan melihat engkau duduk bersama-sama dengan
Samsu kelak, karena
ialah jodohmu yang sebanding
dengan engkau. Aku percaya pula, bahwa orang
tuanya yang waktu ini sangat bersedih hati melihat
halku ini dan terlalu ingin hendak menolong aku, tetapi karena tak
dapat, hanya berawan hati menjauhkan diri, bahwa Sutan
Mahmud pun tiada akan mengalangi cita-cita kita ini,
bahkan akan serta mencukupi
perjodohan itu. Sungguhpun aku
tahu akan sekalian itu, tapi hendak juga kutanyakan pikiranmu,
supaya jangan sampai menjadi sesalan kemudian han,
karena engkau sendirilah yang dapat memutuskan perkara ini.
Jika sudi engkau menjadi istri Datuk Meringgih, selamatlah aku,
tak masuk ke dalam penjara dan tentulah tiada akan
terjual rumah dan tanah kita ini. Akan tetapi jika tak sudi
engkau, niscaya aku dan sekalian kita yang masih ada ini, akan
jatuh ke dalam tangannya."
Mendengar perkataan ayahku ini,
tiadalah dapat kutahan lagi sedih hatiku, hancur luluh
rasa jantungku, lalu menangislah aku tersedu-sedu di dada ayahku,
sehingga basahlah baju dan kainnya, karena air mataku
yang bercucuran. Tiadalah kujawab perkataannya sepatah pun
karena dadaku bagaikan pecah dan leherku bagai terkunci.
Tatkala ayahku melihat halku
sedernikian itu, air matanya tak dapat ditahannya, sehingga
keluar berlinang-linang jatuh ke pipinya, lalu diciumnya
kepalaku sambil berkata,"Nurbaya, sekali-kali aku
tiada berniat hendak memaksa engkau. Jika tak sudi engkau,
sudahlah; tak mengapa. Biarlah harta yang masih ada ini hilang
ataupun aku masuk penjara sekalipun, asal jangan
bertambah-tambah pula dukacitamu.
Pada pikiranku tiadalah akan
sampai dipenjarakannya aku; mungkin masih boleh ia dibujuk.
Sesungguhnya aku terlebih suka mati daripada memaksa engkau
kawin dengan orang yang tiada kausukai; dan jika aku
tiada ingat akan engkau dan tiada takut akan Tuhanku, niscaya
telah lama tak ada lagi aku dalam dunia ini. Tetapi engkaulah
yang menjadi alanganku.
Bagaimanakah halmu kelak, bila
aku tak ada lagi? Siapakah yang akan memeliharamu?"
Ketika itu berlinang-linanglah
pula air mata ayahku di pipinya. Sesungguhnya harta benda
itu tiada berguna bagiku, jika engkau tiada ada. Apa yang
akan kubela? Tanggunganku yang lain tak ada ibumu pun telah
lama meninggal dunia. Pikiran kepadamulah yang
membangkitkan hatiku hendak berniaga, mencari keuntungan yang
banyak, supaya engkau kelak jangan susah dalam
Whidupanmu. Tiada lain yang kuingini dan kuamalkan serta
kupohonkan kepada Rabbulalamin, melainkan kesenangan dan kesentosaanmulah
kelak,
bila aku telah berpulang.
Sekarang engkau tak suka pada orang itu, sudahlah! Kewajibarrku
telah kujalankan, supaya jangan engkau menyesali aku pula
kelak. Sekarang marilah kita nanti segala kehendak Tuhan
dengan tawakal dan menyerah!"
Mendengar bujukan ayahku ini,
barulah dapat aku mengeluarkan suara lalu bertanya,
"Tidakkah cukup untuk pembayar utang itu, kalau
sekalian barang hamba jual dengan rumah dan tanah Ayah? Karena
hamba lebih suka miskin daripada jadi istri Datuk Me
ringgih."
"Tanah tak laku, sebab tak
ada orang yang hendak membelinya dan harga barang-barangmu dengan
rumah ini tentulah tak lebih dari.enam tujuh ribu
rupiah. Di mana dicari yang lain dengan bunga uang utang itu?
Tetapi sudahlah, jangan kaupikirkan lagi perkara ini
senangkanlah hatimu, dan kita tunggulah apa yang akan
datang."
Semalam-malaman itu tak dapat aku
memejamkan mataku barang sekejap pun; menangis pun
tak dapat pula, sebagai kehabisan air mata. Sungguhpun
mataku terbuka, tetapi tak dapat aku berpikir apa-apa;
adalah sebagai otakku telah lelah.
Oleh sebab itu berbaringlah lalu
semalam-malaman itu dengan mata yang terbuka dan
pikiran yang kacau-balau. Halku adalah seperti orang yang
tiada khabarkan dirinya, antara bangun dengan tidur,
antara hidup dengan mati.
Berbagai-bagai penglihatan dengan
perasaan yang memberi takut dan dahsyat hatiku, datang
menggoda. Dikatakan bermimpi, mataku terbuka, dikatakan jaga,
pikiranku tiada hendak menurut kemauanku. Inilah
agaknya yang disebut orang bermimpi dalam bangun.
Setelah menyingsinglah fajar di
sebelah timur dan berkokoklah ayam berbalas-balasan, barulah
sadar aku akan diriku dan nyatalah kepada hari
telah subuh, lalu keluarlah aku membasahi kepalaku yang masih
panas, sebagai besi menyala. Kemudian aku mandi akan
menyegarkan tubuhku.
Sesudah mandi, barulah agak dapat
aku berfikir dengan benar. Tatkala ingatlah pula aku akan
halku, kecutlah kembali hatiku dan berdebar-debarlah jantungku
serta gemetar sendi tulangku, karena sebentar lagi akan
jatuhlah hukumanku atau hukuman ayahku. Bila aku tiada
diterkamnya, niscaya ayahkulah yang akan disiksanya, binatang
buas itu.
Tiada berapa lama kemudian
daripada itu, sesungguhnya datanglah Datuk Meringgih dengan
dua orang Belanda. Setelah naik ke rumahku dengan
tiada duduk lagi, ia bertanya kepada ayahku,
"Bagaimana?"
"Tak dapat kubayar utang
itu," jawab ayahku, "dan anakku tak dapat pula kuberikan
kepadamu."
Tatkala mendengar perkataan
ayahku ini, merentaklah ia dengan marahnya, lalu berkata,
"Jika demikian, tanggunglah olehmu!" lalu diserahkannya
perkara itu kepada pegawai Belanda, yang datang bersama-sama
dengan dia. Seorang daripada tuan ini berkata, sambil
mendekati ayahku,
"Walaupun dengan sedih hati,
tetapi terpaksa hamba akan membawa tuan ke dalam penjara,
atas kemauan Datuk Meringgih."
"Dan hamba terpaksa pula
menyita rumah dan sekalian harta tuan hamba," kata
pegawai yang lain.
Ayahku tiada dapat menyahut
apa-apa lain daripada,
"Lakukan kewajiban
tuan-tuan!"
Tatkala kulihat ayahku akan
dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang
bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan
dengan tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak,
"Jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk
Meringgih!"
Mendengar perkataanku itu,
tersenyumlah Datuk Meringgih dengan senyum, yang pada
penglihatanku, sebagai senyum seekor harimau yang hendak
menerkam mangsanya, dan terbayanglah sukacitanya dan berahi serta hawa
nafsu hewan kepada matanya, sehingga terpaksa
aku menutup mataku.
Ayahku tiada berkata apa-apa
melainkan datang memeluk aku, sambil bertanya
"Benarkah katamu itu?" Seperti suatu perkakas mengangguklah aku,
karena mengeluarkan perkataan tak dapat lagi.
"Oleh sebab hendak menolong
ayahku, anakku menyerahkan dirinya kepadamu, untuk memuaskan
hawa nafsu dan hatimu, yang sebagai hati
binatang itu." kata ayahku kepada Datuk Meringgih." Sekarang
barulah kuketahui bahwa kejatuhanku ini semata-mata
karena perbuatanmu juga karena busuk hatimu, dengki dan tak
dapat engkau melihat orang lain berharta pula seperti engkau.
Dengan berbuat pura-pura bersahabat karib dengan aku, kauperdayakan
aku, sampai aku
jatuh ke dalam tanganmu dan harus
menurut sebarang kehendakmu yang keji itu. Tetapi
tak apa, Datuk Meringgih!
Tuhan itu tiada buta; lambat-laun
tentulah engkau akan beroleh juga hukuman atas
khianatmu ini," lalu ayahku menuntun aku masuk ke dalam
rumah. Sejak waktu itulah Samsu, aku menjadi istri Datuk
Meringgih ...
Di sini tulisan surat itu tiada
terang pula, sebab kertasnya penuh dengan bekas air mata. Setelah Samsu membaca kecelakaan
ini, lalu ia menundukkan kepalanya ke atas mejanya,
menangis amat sangat, karena sedih akan nasib kekasihnya dan
untungnya sendiri pun. Segala
cita-cita hatinya yang sekian
lama diharap-harapkannya, pada saat itu hilang lenyap, sebagai
batu jatuh ke lubuk, hujan jatuh ke pasir, tak dapat dicari lagi.
Pengharapan yang telah sekian lama berurat berdaging dalam
jantungnya, tiba-tiba diputuskan oleh Datuk Meringgih, dengan putus
yang tak dapat disambung lagi. "Inilah jadinya segala
kenang-kenanganku yang sekian lama aku hasratkan! Inilah buah
permintaan dan doaku yang kupohonkan siang dan malam kepada Tuhan yang
Maha Kuasa! Alangkah malangnya untung nasibku
ini!" demikianlah buah tangis
Samsulbahri seorang diri di dalam
biliknya.
Setelah menangis amat sedih
beberapa lamanya, tiba-tiba berdirilah ia dengan
menggertakkan giginya dan mengepalkan tangannya. Dengan muka yang pucat
dan mata yang bernyalanyala, karena menahan marahnya,
dipegangnyalah potret Nurbaya yang ada dekatnya sambil
mengangkat mukanya ke atas lalu bersumpah, "Demi Allah,
demi rasul-Nya! Selagi ada napas di dalam dadaku, akan kubalas jua
kejahatan ini! Tiada puas hatiku sebelum kutuntut bela atas
aniayanya ini. Ya Allah, ya Tuhanku!
Perkenankanlah juga permintaanku ini dan janganlah dicabut nyawaku
lebih dahulu, sebelum sampai maksudku ini."
Setelah bersumpah itu, tunduklah
Samsu beberapa saat lamanya,
sebagai hendak menahan sedih dan
amarahnya; kemudian terduduklah pula ia ke atas
kursinya, tiada berkata-kata barang sepatah pun. Tatkala sadarlah ia
kembali akan dirinya, lalu diteruskannya membaca surat Nurbaya dengan mata
yang masih merah dan basah.
"Barangkali tak dapat
kaupikirkan. Samsu, bagaimana hancur hatiku sekarang ini.
Pertama karena telah mungkir janji kepadamu dan memutuskan
pengharapanmu; kedua karena terpaksa duduk dengan
seorang-orang yang sebagai Datuk Meringgih ini; iblis tua
yang sangat kubenci. Tiadalah suatu yang dapat kupandang
padanya. Sungguh kaya, rupanya sama dengan hantu pemburu,
bangsanya, Allah yang tahu,
asalnya penjual ikan kering,
tabiatnya lebih daripada tabiat binatang, kelakuannya kasar dan
bengis. Lagi pula ialah orang yang menjatuhkan ayahku dari
kekayaan dan namanya; ialah musuh kami yang sebesar-besarnya
dan ialah pula yang akan menjadi algojoku, untuk mencabut
nyawaku. Kepada orang yang sedemikian itu aku harus
menyerahkan diriku. Dengan dia aku harus hidup bersama-sama.
Cobalah kaupikir; Aduh!
Agaknya tak ada orang yang sama
sengsaranya dengan aku dalam dunia ini!
Sungguhpun telah kupaparkan
sekalian hal ihwalku ini, barangkali belumlah juga engkau
percaya kepadaku dan masih bersangka, bahwa segala hal
itu kuperbuat-buat jua, untuk memperdayakan engkau. Akan
tetapi Allah subhanahu wata ala saksiku, Sam, dan Dialah
juga yang mengetahui bagaimana rasa hatiku, tatkala
aku harus menyerahkan diriku.
Sungguhpun demikian tiadalah
boleh juga aku berkecil hati, bila engkau tiada hendak percaya
kepadaku, karena walau bagaimana sekalipun aku memang
teiah mungkir janji, tiada menurut perkataan dan sumpahku
yang telah kukeluarkan.
Dan akulah seorang perempuan yang
telah memutuskan pengharapan
kekasihnya. Sekalian itu tak
dapat kutidakkan. Akan tetapi adakah jalan lain yang
dapat kuturut di dalam kecelakaan ini?
Oleh sebab tiada terderita olehku
penanggungan yang sebagai ini, timbullah ingatan
dalam hatiku hendak membunuh diriku. Itulah hukuman yang
berpadanan dengan dosaku. Seribu kali lebih suka aku mati
berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai, sebagai
ini. Akan tetapi tatkala aku hendak memakan racun, datanglah
ingatanku, kalau-kalau perbuatan ini salah pula pada
hematku.
Oleh sebab itu kutulislah surat
ini, supaya kau ketahui halku ini dari awal sampai akhirnya dan
tahu pula segala sebabsebab yang telah menjadikan aku sampai
mungkir janji. Bila telah kaubaca surat ini, dapatlah
kautimbang hukuman yang akan kaujatuhkan ke atas diriku,
dan yang akan kuterima dengan rela dan tulus. Bila dari
padamu pun aku tiada akan mendapat ampun, tahulah aku,
bahwa di dalam dunia ini tak ada harapanku lagi. Oleh sebab
itu kupinta kepadamu dengan
sebesar-besar permintaan,
kaubalaslah surat ini dengan segera.
Sebagai kaulihat, sebagian
daripada mimpimu dahulu itu telah terjadi, tinggal jatuh ke
dalam jurang itu saja lagi. Bila telah sampai ke sana, tentulah
ajalku pun akan sampailah pula. Jadi kejatuhanku karena
Datuk Meringgih ini, tak dapat kutolak lagi, karena demikianlah
sudah untung nasibku. Oleh sebab itu, di dalam hal ini,
terlebih baik bagiku, lekas-lekas dihabiskan umurku, supaya jangan
menanggung terlalu lama.
Suatu yang akan melipur hatiku
kelak. apabila aku telah sampai ke sana, kepada
penghabisan mimpimu itu, ialah jatuh ke dalam jurang itu adalah
bersama-sama dengan engkau. Barangkali di sanalah kita tiada
akan bercerai lagi, walaupun dalam dunia ini masih dapat dipisahkan
orang. Di akhiratlah kita akan bersatu selama-lamanya. Sehingga inilah dahulu,
kekasihku. Kelak, jika masih ada hayat di kandung badanku,
kusambunglah pula cerita yang malang ini, asal masih sudih
engkau melihat bekas tanganku yang akan melukiskan untungku
yang celaka ini. Barangkali juga aku tiada boleh lagi
memanggil engkau kekasihku, tetapi menjadi abangku, barangkali masih
suka engkau dan sambutlah peluk cium daripada
adikmu yang sengsara ini.
NURBAYA
Setelah Samsu membaca surat ini,
dire bahkannyal ah dirinya
di tempat tidurnya, lalu
menelungkup menangis tersedu-sedu
semalam-malaman itu.
No comments:
Post a Comment