Pada Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei atau yang juga
dikenal dengan May Day, seperti biasanya selalu diramaikan dengan aksi
demonstransi buruh dimana-mana. Ratusan bahkan mungkin mencapai ribuan buruh
yang tergabung dalam berbagai komunikasi atau oranganisasi buruh turun ke jalan
untuk menyurarakan aspirasi mereka, dan tuntutan utama para kryawan tersebut
adalah perbaikan kesejaterahan atau dengan kata lain masalah upah!
Bagi sebagian orang aksi demonstrasi yang dilakukan buruh
dianggap mengganggu karena membuat jalanan jadi macet, apalagi jika sampai
berakhir rusuh. Bahkan sampai ada yang mengumpat dan memaki mereka “bukannya
bersyukur sudah dikasih kerja malah menuntut macam-macam, di PHK baru tau
rasa!’
Padahal kalau kita mau memperhatikan lebih seksama akan
terlihat diwajah kaum buruh itu terlukis kerasnya hidup yang mereka lalui untuk
mencari nafkah keluarga. Di wajah mereka tergambar rona penderitaan karena
tenaganya diforsir siang malam hanya untuk mendapatkan upah yang tidak
seberapa.
Selain masalah minimnya upah yang mereka terima, ancaman
terbesar yang mereka hadapi yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang bisa
datang kapan saja. PHK sepihak yang diputuskan oleh pengusaha terhadap buruh
sering dilakukan dengan alasan efisiensi, rasionalisasi, restrukturisasi,
relokasi, take over, atau kondisi ekonomi yang kurang mendukung kelanjutan
usaha mereka dan lain sebagainya. Pekerja/buruh cenderung menjadi opsi pertama
untuk dikorbankan sebagai solusi jika perusahaan dalam masalah.
Dan sangat disayangkan regulasi yang ada seperti
Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum mampu
memberikan perlindungan terhadap ancaman PHK sepihak tesebut. Buruh tetap
berada diposisi yang lemah karena perusahaan bisa kapan saja melakukan PHK
tanpa harus melalui prosedur yang berbelit seperti izin dari Dinas Tenaga
Kerja. Dan buruh seringkali terpaksa menerima di PHK secara sepihak karena
untuk memperkarakannya membutuhkan energi dan biaya yang tidak sedikit. Harus
bolak balik ke kantor Dinas Tenaga Kerja atau ke Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI) sementara pesangon yang diperjuangkan tidaklah seberapa. Ketika terjadi
PHK banyak buruh yang langsung putus asa “dari pada harus sibuk berurusan
apalagi sampa ke PHI lebih baik terima apa adanya”.
Dan bila dilihat sepintas, posisi buruh dengan posisi
pengusaha buruh memang sangat tidak seimbang. Para buruh dianggap “kasar”.
bepenghasilan kecil serta terkesan “massal” berpendidikan rendah dan kurang
memahami aturan dan hak-haknya. Bertolak belakang dengan pengusaha yang
terkesan lebih intelek, sangat berjasa karena berinvestasi membayar pajak
membuka lapangan kerja.
Melihat kondisi buruh yang lemah seharusnya pemerintah
mengambil kebijakan yang lebih berpihak kepada buruh agar tidak terjadi PHK
secara sepihak oleh para induk semangnya. Misalnya dengan memperpanjang
prosedur PHK karena dengan semakin sulitnya buruh di PHK maka akan menciptakan
ketenangan dalam bekerja sekaligus akan meminimalisir perselisihan hubungan
indurstrial. Karena gejolak demostrasi atau mogok massal yang dilakukan buruh
dari dulu hingga kini adalah terjadi karena didorong oleh masalah upah dan PHK.