“Ya.
Saya sangat menyesal karena tidak semua tentara Belanda di benteng Manggopoh
dibantai. Saya menyesal karena hanya 53 yang terbunuh. Saya menyesal karena ada
dua orang yang lolos dan mengadu kepada kalian sehingga Nagari kami
diporak-poranda!”
Itulah
yang diucapkan Siti Manggopoh ketika diinterogasi tentara Belanda, apakah dia
menyesali perbuatannya menyerang markas pasukan Belanda di Manggopoh sehingga
kemudian dicari-cari, ditahan dan diancam dengan hukuman gantung. Siti
Manggopoh memimpin Perang Belasting di Nagari Manggopoh yang terletak di
wilayah barat Kabupaten Agam, 100 KM dari Kota Padang dan 60 KM dari Bukittinggi
(Siti Manggopoh dan Perang Belasting-Berdikarionline).
Siti
Manggopoh atau Mandeh Siti memang tidak setenar Raden Ajeng Kartini yang telah
diangkat menjadi Pahlawan Nasional karena surat-suratnya diterbitkan menjadi
buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) oleh
Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda yang menjadi
sahabat penanya. Tetapi kisahnya menjadi buah bibir turun temurun dan setiap tahun
peristiwa Perang Manggopoh selalu diperingati Pemerintah Kabupaten Agam serta
ada sebuah patung di Simpang Gudang Manggopoh Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten
Agam menggambarkan Siti Manggopoh sebagai sosok pemimpin bagak (pemberani).
Sewaktu
menjadi menjadi Inspektur pada peringatan peristiwa Manggopoh di halaman Kantor
Camat Lubuk Basung pada tahun 2015 yang lalu,
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno dalam sambutannya menyampaikan, peristiwa
perang Manggopoh merupakan bentuk perlawanan orang Minang atas perilaku
penjajah yang terjadi pada tahun 1908 itu. “Peristiwa Manggopoh ini kita
peringati karena keberanian pejuang untuk melawan Belanda. Selain di Manggopoh
juga ada di Perang Kamang. Peristiwa itu bukan aksi biasa apalagi dipimpin
seorang perempuan yang dikenal dengan panggilan Siti Manggopoh,” Pada kesempatan tersebut masyarakat Agam,
khususnya mengusulkan Siti Manggopoh dijadikan
Pahlawan Nasional, karena atas jasa-jasanya dalam mempertahankan hak atas
tanah leluhurnya.
Pengusulan Siti Manggopoh menjadi pahlawan nasional telah
berulang kali dilakukan, dan pada tahun ini Pemerintah Kabupaten Agam kembali
mengusulkan tiga pejuang perang belasteng 1908 (Perang Kamang dan Perang
Manggopoh) untuk dijadikan Pahlawan Nasional yaitu Siti Manggopoh, Abdul
Manan dan Datuk Radjo Penghulu. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Agam akan
melengkapi dokumen serta mengadakan Seminar Nasional guna memenuhi persyaratan
pengusulan tersebut. Pada tanggal 11 November 2008,
dalam rangka se-abad kebangkitan nasional, Masyarakat Sejarawan Indonesia
cabang Sumatera Barat juga pernah mengadakan seminar Internasional yang
bertemakan Perlawanan Anti-Belasting dan Gerakan Kemajuan di Sumatera Barat
1908-2008 di View Parai Resort Bukittinggi, Kab. Agam.
Terlepas
dari persyaratan administrasi dan prosedural, Siti Manggopoh memenuhi semua
unsur yang dipersyaratkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009
tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Gelar
Pahlawan Nasional diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan
yang semasa hidupnya; pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau
perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut,
mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan
bangsa; tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan; melakukan pengabdian
dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas
yang diembannya; pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat
menunjang pembangunan bangsa dan negara; pernah menghasilkan karya besar yang
bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat
dan martabat bangsa; memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
dan martabat bangsa; memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
Kisah heroik Siti Manggopoh bermula ketika Pemerintah
Kolonial Belanda pada tanggal 21 Februari 1908 mengeluarkan aturan tentang
penerapan pajak langsung atau yang dikenal dengan istilah Belasting di Sumatera
Barat yang mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 1908. Belasting tersebut terdiri
dari hoofd
belasting (pajak kepala), inkomsten belasting (pajak pemasukan suatu
barang/cukai), hedendisten (pajak rodi), landrente (pajak tanah), wins
belasting (pajak kemenangan/keuntungan), meubels belasting (pajak rumah
tangga), slach belasting (pajak penyembelihan), tabak belasting (pajak
tembakau), dan adat huizen belasting (pajak rumah adat). Penerapan Pajak-pajak tersebut
sontak menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat. Penolakan terhadap
kebijakan pemerintah Belanda itu merebak diberbagai wilayah di Sumatera Barat.
Belanda diangap telah melanggar kesepakatan yang dibuat 65 tahun silam yang
tertuang dalam Plakat Panjang. Perlawanan terhadap penerapan pajak mulai
memakan korban dengan terjadinya serangkaian perang yang kemudian dikenal
dengan istilah perang pajak. Diantara perlawanan tersebut yang paling ternama
adalah Perang Kamang dan Perang Manggopoh.
Siti
Manggopoh yang waktu itu berusia sekitar 28 tahun melakukan perlawanan terhadap
penindasan yang dilakukan Tentara Kolonial Belanda. Pada tanggal 16 Juni 1908,
tengah malam buta Siti Manggopoh memimpin 16 orang rekannya melakukan penyerbuan
ke markas pasukan kavaleri Belanda di Ketinggian, wilayah antara Bukit Bunian
Berpuncak Tujuh, jaraknya dua kilo meter dari Pasar Manggopoh. 53 dari 55 pasukan
Belanda berhasil dibunuh oleh Siti Manggopoh bersama rekan-rekannya hanya dengan
bersenjatan ruduih (golok) dan keris.
Atas
kejadian tersebut, keesokan harinya bala bantuan tentara belanda didatangkan
dari luar Lubuk Basung untuk mencari Siti Manggopoh. Setelah 17 hari dilakukan pencarian, akhirnya Siti Manggopoh
dan suaminya menyerahkan diri kepada Belanda karena bumi hangus yang dilakukan
terhadap Nagari Manggopoh. Belanda memasukkan Siti Manggopoh dan Suaminya Rasyid
ke penjara secara terpisah. Siti Manggopoh dan Suaminya mendekam dipenjara
selama 14 bulan di penjara di Lubuk Basung, 16 bulan di Pariaman dan 12 bulan
di Padang. Selanjutnya, Rasyid divonis hukuman dibuang ke Menado dan meninggal
di Tondano.
Setelah
Republik ini merdeka pada tahun 1945, Siti Manggopoh dan kisahnya sempat
terlupakan. Baru pada tahun 1957, orang
mulai mengingat akan perjuangan heroik Siti Manggopoh. Pemerintah Sumatera
Tengah yang beribukota di Bukittinggi mengirim satu tim ke Lubuk Basung dan
memberikan bantuan ala kadarnya. Siti Manggopoh merasa senang. Bantuan yang ia
terima dijadikannya sebagai modal untuk membuka warung kecil di depan rumahnya.
Pada tahun 1960, Kepala Staf
Angkatan Darat Jend. Nasution mendengar cerita heroik perjuangan Siti Manggopoh.
Ia sangat terharu sekali atas keperkasaan Siti Manggopoh. Akhirnya ia
memutuskan untuk datang ke Manggopoh untuk menemui Siti Manggopoh. Ia
mengalungkan selendang kepada Siti Manggopoh sebagai lambang kegigihan dan
keberaniannya melawan penjajahan. Masyarakat Manggopoh jadi haru ketika Jend.
Nasution membopong dan mencium wajah tua keriput itu. Pada tahun 1964, Menteri
Sosial mengeluarkan Sk tertanggal 17 November 1964 No. Pal. 1379/64/P.K yang
isinya menyatakan bahwa Siti Manggopoh berhak menerima tunjangan atas jasa
kepahlawanannya sebesar Rp 850,-. Tetapi kabarnya hanya sekali saja Siti
Manggopoh menerima tunjangan tersebut.
Gelar Pahlawan Nasional memang seharusnya (kembali)
diberikan terhadap Siti Manggopoh, karena perjuangannya telah diakui Pemerintah
melalui Jenderal Besar AH. Nasution pada tahun 1964 dan dengan SK Menteri
Sosial tahun 1964 yang sekaligus memberikan tunjangan atas kepahlawanannya.
*dari berbagai sumber.
Lubuk Basung, 9 Maret 2016