Malamnya, mereka
berkesempatan duduk berdua dan bercerita di teras rumah yang menghadap ke arah
danau Maninjau. Keindahan Maninjau bukan hanya di
siang hari. Malam hari Maninjau juga sangat mempesona. Bagai memandang hiasan
cahaya yang melingkar mengelilingi danau.
Dari
teras rumah itu Danau terlihat sangat dekat, dan seperti duduk di tepi danau, lampu-lampu
keramba terlihat berkerlap kerlip cahaya laksana bintang yang bersenandung menemani
Danau Maninjau. Tenang, sepi....damai…tidak ada riak....diam...seakan danau-pun
beristirahat melepas penat. Tapi tidak dengan 2 anak manusia itu.
“Aida
!” suara Irwan seperti mendesah dan berbisik.
“Ya
Uda!” Jawab Aida pelan. “Ada yang ingin kusampaikan, tidak tahu apakah ini ada
gunanya atau tidak”
“Apakah
sama dengan yang ingin uda sampaikan di bandara ?” Aida berdebar menunggu.
Ingatan
Irwan dan Aida kembali melayang mengingat pertemuan terakhir di bandara itu.
Ketika sama-sama terpaku. Saling berpandangan seakan saling berusaha untuk
menyampaikan sesuatu. Tetapi hanya bisa dilakukan lewat tatapan. Dan akhirnya
mereka berpisah.
“Ya
Aida, namun lebih banyak dari itu, ada lagi yang lain...yang aku rasakan sejak
siang tadi”.
“Sampaikan
lah uda !”
“Tidak tau persis apa sebab awalnya…tapi ada yang tarasa beda ketika pertama kali melihatmu, ada
getar dihati, kemudian tubuh
ini seperti menuruti kata hati, entah itu persepsi yang salah atau tidak.
Ada rasa takut dan malu untuk mengungkapkannya, ada pula keinginan untuk
menyampaikannya, tetapi waktu kita terlalu singkat...”
“Uda, aku tahu semua itu...dari
tatapan itu...ada sesuatu disana..dan bahasa tubuh uda,...”
“Ya, entah ini persepsi yang
salah, ada jawaban pula dari bahasa tubuh dan perhatian darimu, dari itu aku mulai berani berharap
walau masih dalam hati, ketika masa itu akan berakhir, ingin sekali mengungkapkannya...I Love You!”
“Ndeeeh Udaaa, merinding mendengarnya…ndak tau mesti bagaimana. Ini
tidak boleh ada uda, tidak mungkin...terlarang. Please Uda, buang jauh jauah rasa itu…!”,
Aida gemetar. Hatinya berkecamuk dan matanya
berlinang.
“Terlarang dan tidak mungkin memang! Tapi tidak akan aku buang, melainkan akan disimpan jauh-jauh dalam hati karena baru kali ini
merasakannya tapi ini pula yang terjadi…” Irwan mengalihkan
pandangannya ke arah danau, menatap jauh.
“Biarlah ini menjadi kenangan
ketika nanti kembali ke Gorontalo. Mungkin aku akan cerita ke ayah bahwa
keinginan beliau untuk bermenantukan gadis Minang hampir saja terlaksana”
Lanjut Irwan.
“Simpanlah kalau Uda ingin menyimpannya.
Akupun tidak kuat menahan hati sejak siang tadi, pikiranku berkecamuk, mengapa
begini. Sejak berpisah itu, ada rasa rindu ingin bertemu lagi tetapi tidak
menyangka akan secepat ini dan seperti ini.
Entahlah uda...sesak dada ini terasa”, Aida berhentik sejenak, menarik
nafas panjang.
“Mudah-mudahan uda mendapat
mendapatkan si Upiak (Gadis Minang) sesuai harapan Ayah”
“Aida,
suruh lah Udamu itu istirahat, besok pagi-pagi Mak Datuak menyuruh kerumahnya
di Sungai Batang. Pulang dari situ, ajak lah Udamu keliling danau!” terdengar
suara Nursidah setengah berteriak dari dalam rumah.
Aida
dan Irwan saling berpandangan, kemudian Irwan melihat jam ditangannya, pukul 10
malam.
“Istirahat
lah Uda, besok kita kerumah Mamak !”
***
Pagi-pagi, dengan memakai motor yang biasa dipakai Aida
kerja di Kantor Pemerintah Daerah mereka pergi ke rumah Mamak Menan yang berjarak
sekitar 3 km dari rumah Aida.
Irwan membawa motor itu dan Aida berbonceng di belakang.
Beberpa kali Irwan tergagap karena jalan yang berliku dan menurun tajam. Beberapa
kali pula Aida beteriak kecil, “Awas Udaa!!” sambil berpegangan pada bahu
Irwan. Hampir saja Irwan hilang
konsentrasi, bukan karna jalan itu tetapi karena sentuhan Aida. Darahnya
berdesir. Aida cepat menyadari dan segera menurunkan tangannya dari bahu Irwan.
Tetapi kondisi jalan yang menurun tajam, mau tidak mau tangannya harus memegang
punggung Irwan,kalau tidak maka badannya kan terdorong kedepan.
Cuaca mendung seperti mauhujan lebat. Angin bertiup kencang.
Tidak sampai 10 menit mereka sampai di rumah Mamak Menan. Disana Irwan
diperkenalkan kepada isteri dan anak-anak Mamak Menan. Mamak Menan
mempunyai 3 orang anak yang kesemuanya perempuan tapi yang ada dirumah hanya 2
orang. Anak perempuannya yang sulung tinggal di Jakarta ikut suaminya. Yang
nomor baru tamat sekolah kebidanan, dan yang bungsu kelas 3 SMA. Setelah
bersalam-salaman Isteri dan kedua anak Mamak Menan serta Aida langsung menuju
dapur. Sementara Irwan dan Mamak Menan
duduk diruangan tamu.
Baru sebentar berbicang-bincang, terdengar suara Aida,
“Mamak, Da Irwan..nasi sudah terhidang, silakan
makan”
“Ayo Irwan, mari kita makan” sambung Mamak Menan sambil
berdiri dan berjalan ke arah meja makan yang ada di ruangan tengah rumah itu.
Irwan pun berdiri mengikuti Mamak Menan. Irwan duduk
dikursi kosong sebelah kanan Mamak Menan. Disampingnya duduk Aida. Pas didepannya
duduk anak menan yang baru tamat sekolah kebidanan.
“Makan lah Irwan, ada panggang ikan danau, goreng bada
masiak jo palai rinuak, jarang-jarang ada di Sulawesi !” ujar isteri Mamak Menan.
“Iyo Etek!”, sahut Irwan sambil mengangguk pelan.
Irwan makan dengan lahap, dua kali nambah. Masakan itu
enak sekali dan terasa pas sekali di lidahnya. Mungkin karena dia keturunan
Minang dan mungkin juga karena isteri Mak Menan pintar memasak.
Ketika hampir selesai makan, terdengar hujan mulai turun.
Makin lama makin lebat. Irwan dan Aida saling berpandangan.
“Ada apa?” tanya Mamak Menan ketika melihat Irwan dan Aida
saling bertatapan begitu.
“Ini Mamak, tadi rencananya setelah dari sini, Aida akan
mengajak Uda Irwan keliling Danau...ke Bayur, ke Muko-muko, Tanjung Sani....kan
besok Da irwan akan balik Mamak!”, sahut Aida.
“Oo...tunggu saja...mudah-mudahan hujan reda, baru
berangkat kalian!”
“Iya mamak!” sahut Aida dan Irwan hampir bersamaan.
***
Ternyata hujan tidak reda-reda
juga. Langit bahkan semakin kelam seakan akan menumpahkan semua air yang ada
dilangit. Hingga pukul 4 sore Irwan dan Aida terkurung di rumah Mak Menan.
Irwan resah karena hasratnya untu berkeling danau berdua dengan Aida tidak
tercapai. Dan pembicaraan di rumah Mamak Menan pun mulai terasa membosankan
karena topiknya sudah berulang-ulang. Keresahan Irwan itu diketahui oleh Aida,
sesekali Aida tersenyum sambil menatap kepada Irwan seakan memberi tahu,”hari
hujan, tidak mungkin kita pergi”.
Irwan seakan mengerti isi
tatapan Aida itu dan itu membuat hatinya lega apalagi Aida tersenyum sangat
manis seperti ketika saat pertama kali melihat senyum itu.
Setelah shalat Asyar, hujan
mulai reda. Dan kesempatan itu dipergunakan Irwan dan Aida untuk pamit. Tetapi
pamit untuk kembali pulang karena tidak mungkin lagi pergi berkeliling danau,
sudah sore dan cuaca tidak mendukung.
Baru saja sampai dirumah hujan
kembali turun dengan deras. Bahkan semakin deras bunyinya. Irwan dan Aida
kembali duduk di teras memandang ke Danau yang tidak terlihat jelas karena
curah hujan yang deras.
Sudah beberapa saat berlalu
keduanya masih saling diam. Irwan menatap jauh ke arah Danau, entah apa yang
dilihatnya karena tidak ada yang bida dilihat kecuali hujan. Bahasa tubuhnya menyuratkan kegelisahan.
Aida sedari tadi memperhatikan
perubahan sikap Irwan. Berkali-kali Aida berusaha meberikan senyuman agar Irwan
juga tersenyum tapi balasan senyum Irwan menggambarkan kesedihan.
“Udaa...!
“Ya Aida..” jawab Irwan sambil
menoleh kepada Aida, tetapi kemudian kembali menatap lurus kedepan.
“Cerita lah uda...jangan hanya
diam!”
“Cerita apa Aida,...besok aku
pergi, pulang...dan mungkin kita tidak kan betemu lagi!”
Bersambung.....