Rekaman Video dan
berita Pertengkaran Bupati Tolitoli Sulawesi Tengah, Saleh Bantilan dengan
Wakilnya Abdul Rahman menjadi virral di publik dan menarik untuk dicermati.
Kejadian itu semakin membuktikan secara nyata bahwa banyak Kepala Daerah dan Wakilnya
pecah kongsi. Apa yang pernah disampaikan mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi bahwa 95% kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi di tengah jalan tidak
terbantahkan.
Jika sebelumnya pecah
kongsi itu terjadi diam-diam, belakangan terbuka secara kasat mata di hadapan publik.
Bukan hanya di
Tolitoli, di daerah kita Sumatera Barat baru-baru ini juga dihebohkan dengan
Pecah Kongsi yang terjadi di Kota Padang Panjang dan Kabupaten Lima Puluh Kota.
Pertikaian yang
terjadi Tolitoli karena Wakil Bupati Abdul Rahman tersinggung tidak dilibatkan
dalam proses pelantikan pejabat di Tolitoli, sehingga dirinya menendang meja
dan berteriak-teriak saat pelantikan berlangsung.
Rahman mengaku alasannya
mengamuk karena usulannya untuk mengganti seorang Kepala Dinas ada tidak
diacuhkan Bupati. Emosi Wabup tidak tertahan, selama ini Bupati lebih sering
berada di luar daerah, urusan pemerintahan di handle oleh Wabup. Wabup merasa
lebih mengetahui kondisi daerah daripada Bupati. Giliran pelantikan pejabat,
Bupati dengan sewenang-wenang dan tidak melibatkan Wabup ketika menentukan
pejabat yang akan dilantik.
Hal yang nyaris sama
juga terjadi hampir disetiap daerah. Di Lima Puluh Kota proses pelantikan
Pejabat Struktural pula lah yang mencuat ke permukaan. Pejabat yang semula di nonjobkan
oleh Bupati kembali dilantik oleh Wakil Bupati ketika Bupati sedang cuti.
Urusan Mutasi Pejabat
Struktural memang menjadi hal yang seksi bagi banyak Kepala Daerah ketimbang
urusan pemerintahan lainnya. Lihat saja ada beberapa daerah yang tiap bulan
bahkan ada yang lebih dari 12 kali dalam setahun melakukan Mutasi Pejabat
Struktural.
Banyak kejadian aneh
dan janggal dalam setiap pelantikan pejabat struktural, sebuah televisi swasta
pernah mengulasnya dengan topik berjudul SK 5 Menit, dimana banyak kejadian
Surat Keputusan (SK) Pengangkatan Pejabat itu baru ditandatangani menjelang
acara pelantikan dimulai.
Belakangan juga
terungkap fakta bahwa proses pengangkatan pejabat ini juga seringkali dibumbui
dengan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Sebagaimana terjadi di akhir tahun
2016, Bupati Klaten kena OTT KPK karena jual beli jabatan strutural yang
nilainya mencapai Rp.12 miliyar. Masing-masing jabatan mulai dari jabatan
Kepala Sekolah, Kepala Puskesmas, eselon IV (Kepala Seksi) sampai eselon II
(Kepala Dinas) dibanderol dengan harga Rp.20 juta - Rp.200 juta. Lebih
parahnya, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang terungkap bahwa jual beli
jabatan itu sudah tradisi dari sebelum-sebelumnya.
Banyak Kepala Daerah
melakukan Mutasi dan Pelantikan Pejabat Struktural seperti yang dilakukan
Presiden ketika memilih dan melantik Anggota Kabinetnya. Seakan-akan memliki
Hak Prerogatif pula, padahal Pengangkatan Pejabat Struktural berbeda jauh
dengan pemilihan Menteri oleh Presiden.
Peraturan Pengangkatan
Pejabat Struktural ( PP Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam
Jabatan Struktural dan Keputusan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2002 tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam
Jabatan Struktural Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2002) telah sangat rinci mengatur Syarat-syarat pengangangkatan,
pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari Jabatan Struktural.
Disamping persyaratan
yang telah ditentukan, Kepala Daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian harus
memperhatikan faktor senioritas dalam kepangakatan, usia, diklat jabatan dan
pengalaman yang dimiliki. Khusus mengenai syarat Diklat Jabatan diatur secara
tegas bahwa PNS/ASN yang akan atau telah diangkat dalam jabatan Struktural
harus mengikuti dan lulus Diklat Kepemimpinan sesuai kompetensi jabatan.
Tujuan dari adanya
peraturan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural antara
lain dimaksudkan untuk memberikan pedoman kepada Pejabat Pembina Kepegawaian
(Kepala Daerah) dalam membina karier PNS/ASN sehinga pola kariernya jelas,
menggambarkan alur pengembangan karier yang menunjukkan keterkaitan dan
keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihan jabatan,
kompetensi, serta masa jabatan seseorang Pegawai Negeri Sipil sejak
pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun.
Tetapi yang banyak
terjadi adalah seperti di Tolitoli, Lima Puluh Kota, Klaten dan banyak lagi
daerah lainnya dimana pengangkatan pejabat didasarkan atas kehendak dan kemauan
Kepala Daerah/Wakil Kepala itu sendiri tanpa mempertimbangkan ketentuan dan
kaedah-kaedah Hukum Kepegawaian yang ada.
Mereka dengan
seenaknya memilih dan dan mengangkat pejabat dari PNS/ASN yang sepaham (saling
mengerti, tau sama tau), bisa diatur, yang selalu mengiyakan dan membenarkan
segala permintaan dan perkataan Kepala Daerah walau hal itu tidak sesuai aturan
yang berlaku. Para PNS/ASN itu tidak berani mengatakan yang salah itu salah
karena takut dianggap tidak loyal yang berujung pencopotan jabatan. Dan
praktek-praktek pengangkatan pejabat diluar aturan itu terus-menerus terjadi
karena Sekretaris Daerah dan Badan Kepegawaian tidak berani menyampaikan
prosedur dan persyaratan yang sebenarnya.
Akibatnya birokrasi
pemerintahan berjalan seperti sebuah Kerajaan Tirani dimana ada seseorang yang
sangat berkuasa dikelilingi para Abdi Dalem yang sangat loyal serta rakyat yang
penuh ketakutan.
Kita tidak sepenuhnya
menyalahkan Kepala Daerah karena kesalahan itu bisa saja terjadi karena Kepala
Daerah benar-benar tidak tahu dan tidak ada pula yang memberi tahu.
Memang dibanyak Daerah
terutama Kepala Daerah yang minim pengalaman birokrasi, Kepala Daerahnya lebih
percaya terhadap usulan calon pejabat yang disampaikan oleh Tim Sukses Pilkada
atau orang-orang kepercayaannya. Pejabat baru diangkat tanpa memperhatikan
faktor profesionalisme, kompetensi, bakat, kemampuan dan keahlian.
Konon kabarnya
pengaturan pengangkatan Pejabat struktural itu juga diembel-embeli dengan
kepentingan politik untuk menjaga atau mendapatkan kekuasaan pada Pilkada
periode berikutnya. Penempatan pejabat diatur sedemikian rupa seperti mengatur
strategi perang, yang ditargetkan menguasai kantong-kantong suara pada Pilkada
berikutnya.
PNS/ASN dijadikan
mesin politik dengan imbalan jabatan. Akibatnya banyak PNS/ASN yang kehilangan
integritas, tidak berani menyatakan bahwa itu salah dan yang ini benar. Banyak
juga yang memilih sikap diam, tidak peduli, pura-pura tidak mengerti dengan
kondisi disekitarnya.
Keadaan seperti itu
seharusnya bisa dicegah dengan menjalankan fungsi dan tugas pokok Baperjakat in
the track. Setiap proses pengangkatan, pemindahan dan maupun Pemberhentian
Pejabat struktural harus melalui Baperjakat. Pada gilirannya objektifitas dan keadilan
dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pejabat dapat diwujudkan
Dengan adanya
pemisahan yang jelas, tegas dan sistematis antara apa yang bersifat pribadi
dengan apa yang bersifat birokratis, sehingga perasaan, hubungan politik dan
kepentingan pribadi atau kelompok tidak ikut campur dan bermain dalam pengisian
jabatan.
Dampak baiknya, Kepala
Daerah terhindar dari kepentingan politik balas jasa dan balas dendam ketika
Pilkada dalam menjalankan tugasnya sesuai azas2 pemerintahan yang baik. Kepala
Daerah bisa bekerja dengan cermat, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang,
menjamin akuntabilitas dan transparansi serta tidak berpihak.
Para PNS/ASN pun bisa
bekerja sambil meningatkan kulitas profesionalisme supaya menjadi kompetitif
dalam meniti karier. Semoga
Lubuk Basung, 4 Februari 2018