Saturday, September 6, 2014

Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh Rakyat atau Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh DPRD?

Polemik Pemilihan Langsung oleh Rakyat atau Pemilihan Langsung oleh DPRD mengingatkan saya ketika tahun 1996 dalam Ujian Skripsi, waktu itu saya mengusulkan perubahan sistem pemilihan kepala daerah serta perubahan UU Nomor 5 Tahun 1974 karena aspirasi rakyat daerah tidak tersalurkan dalam pemilihan Kepala Daerah Tingkat II yang dilakukan DPRD. Dan yang paling saya ingat komentar Dosen Penguji (Yuslim, SH.MH) “Kalau Mendagri membaca Skripsi Saudara bisa merah kupingnya!”, Keterlibatan rakyat pada Pemilihan Kepala Daerah waktu itu “hanya” pada saat penjaringan bakal calon Kepala Daerah, itu pun waktunya hanya maksimal 2 bulan. Rakyat secara langsung menyampaikan dukungan bakal calon Kepala Daerah kepada DPRD melalui surat dukungan secara perorangan atau kelompok/organisasi. Setelah itu rakyat tidak lagi terlibat secara langsung dalam proses pemilihan Kepala Daerah.
Berdasarkan penelitian untuk penulisan skripsi berjudul “Pengisian Jabatan Bupati Kepala Daerah Tingkat II dan Penyaluran Aspirasi Rakyat Daerah” yang saya lakukan waktu itu, disimpulkan bahwa Aspirasi Rakyat mempunyai kedudukan yang lemah sehingga tidak menentukan mengenai siapa yang akan menjadi Kepala Daerah mereka nantinya. Berdasarkan hasil penjaringan bakal calon Bupati KDH Tk. II Periode 1995-2000 yang dilakukan di Kabupaten Agam, Kol. Inf. Gustiar Agus mendapatkan surat dukungan sebanyak 115 surat, berikutnya Kol. Inf. Ismu Nazif sebanyak 49, Kol. CKM. Drs. Syahrial 23 Surat dan 6 orang lainnya mendapat dukungan dibawah 5 surat. Tetapi yang ditetapkan oleh DPRD setelah melakukan konsultasi dengan Pejabat Berwenang adalah Kol. Inf. Ismu Nazif, Drs. Amran Zai (1 surat dukungan), Prof. H. Sofyarma Marsidin, Mpd (3 surat dukungan) dan DR. H. Agustiar Syah Nur, MA (4 surat dukungan). Begitu juga yang terjadi di Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Solok, Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Tanah Datar. Banyak Bakal Calon yang mendapat dukungan mayoritas rakyat tetapi tidak ditetapkan menjadi Calon yang akan dipilih DPRD. Kegagalan Kol. Inf. Gustiar Agus di Agam, juga terjadi di pada Drs. Fahmi Rasyad, SH di Kabupaten 50 Kota, walau mendapatkan dukungan mayoritas rakyat secara langsung tetapi tidak ditetapkan menjadi Calon yang akan dipilih DPRD. Bahkan cenderung nama-nama yang ditetapkan tidak mempunyai kekuatan yang seimbang sehingga muncul istilah Calon Jadi dan Calon Pendamping. Perubahan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah sekaligus merubah sistem Pemilihan Kepala Daerah serta suasana politik di daerah. Perubahan yang paling signifikan adalah diberlakukannya Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung sejak tahun 2005, dimana Kepala Daerah dipilih dari pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan tertentu. Tetapi persoalan tetap saja muncul, ajang lima tahunan tersebut cenderung menjadi lahan bisnis, Parpol seakan hanya berfungsi sebagai mobil rental karena jarang sekali calon yang berasal dari pengurus/anggota Parpol. “penyewa” yang berasal dari luar partai harus membayar ongkos tanda jadi (DP) yang mahal untuk ikut proses sebagai peserta Pilkada. Mereka cenderung menjadi objek pemerasan, sebab “tanda jadi” tersebut baru untuk sebagai pendaftaran calon kepala daerah saja dan belum tentu diterima dan diloloskan menjadi calon yang diajukan dan diikutkan dalam Pilkada. Dalam perkembangannya Makamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan bahwa calon dari Non Partai Politik (Parpol) atau calon independen boleh ikut Pemilihan Kepala Daerah. Pasal yang mengharuskan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan tertentu dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK ini bagi banyak pihak tentu disambut suka-cita, karena tanpa berpolitik dalam arti tidak berhubungan, tidak menjadi anggota/pengurus bahkan tak perlu mendaftar untuk dicalonkan oleh Parpol bisa ikut kegiatan (Politik ) pemilihan kepala pemerintah daerah. Terbukanya kesempatan bagi calon independen banyak membawa kebaikan, mau tidak mau Parpol harus berbenah dan mempersiapkan kadernya untuk diterjunkan dalam ajang Pilkada. Sebab dukungan Parpol bukan lagi syarat mutlak, karena dengan dukungan Non Parpol pun bisa. Para akademisi, birokrat, pakar, kaum professional dan tokoh masyarakat yang mempunyai popularitas dan selama ini menahan diri, berposisi netral yang tidak menjadi pengurus, anggota dan simpatisan Parpol tentunya akan menjadi lawan tangguh bagi calon-calon dari Parpol. Calon independen juga akan (diharapkan) mengurangi ongkos politik, tidak harus membeli dukungan atau dengan kata lain tidak mesti menghabiskan atau menghambur-hamburkan uang milyaran rupiah untuk mendapatkan posisi Gubernur, Bupati/Walikota. Karena semakin besar uang diinvestasikan untuk meraih kursi Kepala Pemerintah Daerah Otonom maka semakin banyak APBD yang dialokasikan untuk mengembalikan modal tersebut. Terkait pemilihan Kepala Daerah akan dilakukan DPRD, menurut saya itu artinya memindahkan “pesta” dari rakyat ke Anggota DPRD. Pemilihan Langsung oleh Rakyat artinya oleh rakyat untuk rakyat, Pemilihan Langsung oleh DPRD bisakah oleh DPRD untuk rakyat? Pernah suatu ketika dalam pemilihan Gubernur oleh DPRD, terjadi perang tarif,..ada yang terang-terangan mengatakan siap mengeluarkan uang sebanyak 100 miliar rupiah untuk dibagikan kepada anggota DPRD (sebelum penetapan orang tersebut ditangkap atas tuduhan korupsi). Calon yang menang dalam pemilihan Gubernur oleh DPRD itu dikabarkan memberikan uang sebanyak 1,5 miliar rupiah pada masing-masing Anggota DPRD yang memilihnya. Pesaing kuatnya dikabarkan sebelumnya telah memberikan masing-masing 1 miliar, karena kalah uang tersebut ditagih kembali. Gubernur dan pesaing kuatnya tersebut pada akhirnya juga ditangkap karena kasus korupsi. Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh Rakyat atau Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh DPRD bukan semata persoalan biaya yang besar atau kecil maupun persoalan lainnya, tetapi yang paling penting adalah pemenuhan hak kedaulatan rakyat.

No comments:

Post a Comment