Tidak terasa lima tahun berlalu, musim
baliho dari orang-orang yang merasa pantas menjadi bakal calon Kepala Daerah
(Gubernur, Bupati/Walikota) di Sumatera Barat mulai bertebaran di
mana-mana. Baliho tidak hanya terpampang di dalam kota, tetapi juga merambah
keluar kota, di sepanjang tepi jalan hingga ke Kecamatan dan Nagari/Desa di
seluruh Ranah Minangkabau.
Pada hakikatnya pemasangan baliho tersebut
merupakan bentuk promosi politik untuk mendongkrak citra dengan memasang foto
diri, dan slogan-slogan janji politik bagi mereka yang berambisi menjadi kepala
daerah. Tidak perduli terpilih atau tidak terpilih nantinya, yang penting
foto diri telah bertebar di mana-mana, yang penting tambah terkenal. Semua
baliho di samping terpampang foto diri, juga ada slogan-slogan yang
mempromosikan janji-janji politiknya.
Tak perlu memiliki visi dan misi yang
logis, cukup dengan memajang gambar diri dengan senyum lebar tanpa dosa
ditambah janji-janji, maka seseorang sudah bisa mengaku diri sebagai calon
pemimpin masa depan.
Memang, bila sepintas lalu, tidak ada yang
salah dengan baliho-baliho tersebut, namun ketika melihat baliho para incumbent (petahana, pejabat yang tengah memerintah), muncul keheranan dibenak kita, untuk
apa?. Apakah sama dengan baliho lainnya atau sekedar untuk memberitahu bahwa
dia akan maju lagi. Seorang incumbent yang telah mempimpin selama 5 tahuan,
seharusnya tidak perlu lagi memajang dan menjual diri dalam baliho yang
besar-besar. Tak perlu melakukan politik pencitraan lewat baliho, kalau memang
sukses maka Rakyat dengan sendirinya yang akan meminta kembali untuk memimpin.
Para incumbent pada umumnya memiliki banyak
keuntungan, terutama nama yang sudah dikenal luas (awareness) dan kemampuan mendapatkan sumber dana (fundraising ability). Incumbent secara alamiah telah
mempunyai bekal instrumen perangkat dan institusi di bawahnya, bisa dengan
mudah mengendalikan uang APBD untuk dialokasikan pada upaya pencitraannya. Juga
bisa mengendalikan Penyelenggara Pemilukada
dengan mengangkat aparat birokrasi yang bisa “disetir” menjadi petugas-petugas
KPU, KPPS, PPS, PPK. Mengendalikan aparat birokrasi, menggunakan
fasilitas-fasilitas kedinasan untuk kepentingan pencalonan. Dan yang tak kalah
penting calon incumbent memiliki fasilitas informasi yang lebih banyak sehingga
dapat digunakan untuk meyakinkan publik. Incumbent juga lebih tahu secara
detail yang menjadi kelebihan dan kekurangan daerahnya, terutama terkait dengan
program yang sudah dan belum dilaksanakan.
Para
incumbent saat menjalankan tugasnya sebagai pejabat dan pada saat bersamaan,
secara tidak langsung juga melakukan kampanye. Mengunjungi masyarakat, berdialog,
memberikan informasi dan menyajikan tanggapan atas pertanyaan masyarakat,
meresmikan sebuah kegiatan atau proyek adalah bagian dari tugas seorang
pejabat. Aktivitas tersebut secara bersamaan juga sering dimanfaatkan untuk
menjual diri sebagai orang yang akan mencalonkan diri lagi. Pendeknya, jika
kandidat lain hanya berkampanye menjelang pemilihan, para incumbent telah
berkampanye selama 5 tahun menjabat. Tidak mengherankan kalau potensi
kemenangan dari incumbent ini jauh lebih besar dibandingkan dengan orang baru.
Akan tetapi,
mengalahkan incumbent juga bukan tidak mungkin. Pada
tahun 2005 dan 2010 dari masing-masing 200-an Pemilukada yang diikuti oleh
incumbent, hasilnya berimbang dimana persentase incumbent yang menang tidak
jauh berbeda dengan incumbent yang kalah. Hal ini seiring dengan sebuah adagium
terkenal yang menyebutkan: “Merebut kemenangan adalah hal yang sangat sulit,
tetapi mempertahankan kemenangan adalah sesuatu yang jauh lebih sulit.” Artinya
kesulitan terbesar berada pada incumbent
bukan
pada para penantang, dan Juara bertahan bukanlah sosok yang harus ditakuti.
Apalagi jika incumbent tidak mempunyai prestasi luar biasa selama masa kepemimpinannya. Para pemilih pasti
akan memberikan ‘hukuman’ dengan tidak lagi
memilih incumbent yang tidak berpretasi atau cuma berprestasi
biasa-biasa saja. Kalaupun
kinerja incumbent sering dilihat dan diksepose atas dasar penghargaan yang diterima dari
pemerintah pusat. Namun ketika masyarakat tak mampu
merasakan penghargaan itu secara nyata berdampak pada peningkatan
kesejahteraannya, maka “keberhasilan” itu
tidak akan mampu mengarahkan pilihan masyarakat terhadap incumbent.
Pencitraan yang dilakukan Humas
pemerintah jika tidak diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan
pelayanan prima, maka hanya menjadi bumerang bagi incumbent itu sendiri. Kini
Pemerintah bukan lagi raja yang harus dilayani rakyatnya, akan tetapi sebagai
pelayan dan pengayom rakyat.
Seringkali Humas kebablasan
melakukan marketing pencitraan sehingga yang terjadi malah aksi “bunuh diri”,
misalnya dengan baliho, spanduk, pamflet hanya dengan memasang photo Kepala
Daerah tanpa wakilnya. Kesan yang muncul adalah bahwa sang Kepala Daerah telah
“menyingkirkan” wakilnya, yang pada akhirnya memunculkan opini bahwa Kepala
Daerah telah menzalimi Wakilnya karena takut bersaing nantinya di Pemilukada.
Ketika ada kecenderungan salah satu
pihak “dilemahkan” atau “ditekan” oleh pihak lain atas dasar kekuasaan, maka
itu akan mendatangkan simpati terhadap yang dilemahkan atau ditekan itu. Metode
pelemahan karakter terhadap lawan tidak akan pernah berdampak positif,
alih-alih justru menguntungkan pihak lawan tersebut.
Apabila hal ini jika
dimanfaatkan oleh para penantang sebagai trending topic maka bisa dijadikan
sebagai senjata mematikan dalam melakukan serangan balik terhadap para
Incumbent yang tengah melakukan “operasi pasar” menjelang memasuki tahap
Pemilukada. Predikat
sebagai sosok yang dizalimi bisa menjadi senjata ampuh untuk mendorong citra
dirinya, kisah Taufik Kiemas yang “menzalimi” SBY tahun 2004 telah membuat Presiden
Megawati sebagai Incumbent tumbang oleh SBY.
Banyak sisi gelap incumbent
yang dapat dijadikan sasaran tembak untuk mengurangi kekuatan politiknya, karena dalam politik segalanya
bisa digunakan sebagai senjata untuk meraih kemenangan. Biasanya incumbent
sulit terbebas dari praktek-praktek curang dalam menjalankan roda pemerintahan,
seperti kolusi dalam menetapkan pemenang paket pekerjaan, kolusi atau nepotisme
dalam melakukan pengangkatan sutruktural setingkat Kepala Dinas, Camat dan
lain-lain, atau terlalu ikut campurnya isteri Kepala Daerah dalam urusan
pemerintahan.
Maka, tidak usah takut dengan incumbent, karena
incumbent bukanlah dewa yang tak bisa ditumbangkan. Kelebihan incumbent bisa
digunakan sebagai kelemahan oleh para penantangnya. Segala tindak tanduk,
sikap, kebijakan, tutur kata, pakaian, dari seorang incumbent adalah komunikasi
politik. Setiap bahasa tubuhnya menjadi perhatian dan membuat image politik
akan senantiasa terbangun.
Kita bisa lihat pada Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok, gaya
komunikasinya didepan publik terkesan arogan, keras dan cenderung
kasar. Suka marah-marah bahkan memaki orang atau bawahannya di muka umum. Meski apa yang disampaikannya
benar dan didukung masyarakat, tetapi disisi lain membuat orang “yang dikata-katain”
tidak nyaman dan akan membuat sebagian masyarakat jadi kurang simpati. Berani
dan Tegas tidak harus kasar, melainkan harus dengan mulut manis. Keberanian dan
ketegasan harus dikemas dengan komunikasi yang baik dan santun, enak didengar
dan sejuk dihati. Sebagai orang timur masyarakat kita cenderung lebih mengutamakan
sopan dan santun, tidak tempramental dan emosional.
Hal terberat sebenarnya ketika ia membuat kebijakan publik.
Apabila kebijakan tersebut tidak populer dan bertentangan dengan opini publik,
maka hal itu akan jadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Faktor rakyat sangat
menentukan, saat ini rakyat lebih suka pemimpin yang mempunyai
personal branding membumi dan terbukti bekerja, pemimpin yang dekat
dengan rakyat, tidak ragu turun ke jalan. Bersikap apa adanya, jika ada
kesalahan diakui dan akan memperbaikinya, bukan mengeluh dan menghindar.
Oleh karena itu,
supaya tidak “cakak habih silek takana”, mengingat masih banyak waktu menjelang Pemilukada
hendaknya dipertimbangkan bahwa kampanye dengan menebar pesona
melalui baliho, dan sejenisnya itu hanya menjadikan para kandidat bak bintang
iklan, yang justru menjauhkannya dari calon pemilihnya. Cara ampuh yang
ditempuh dengan masuk ke kampung-kampung, pelosok-pelosok desa untuk bertemu
langsung dengan masyarakat sebaiknya dilakukan oleh para kandidat yang akan
berkampanye. Dengan demikian, para kandidat dapat mendengar langsung aspirasi,
keluh-kesah, maupun apa yang dibutuhkan masyarakat sebagai calon konsituennya.
Dalam kampanyenya juga, sebaiknya tidak mengumpulkan dan berorasi dihadapan orang
banyak, tapi lebih mendatangi warga. Sehingga mampu memberi “kehangatan” dengan
jiwanya yang mengayomi.
Lagipula, apabila kita simak tulisan-tulisan
dalam baliho, spanduk, pamflet dan sejenisnya itu kebanyakan hanya
menampilkan slogan berupa janji-janji belaka. Kini zamannya para kandidat untuk
tampil smart dengan menggali aspirasi lalu menawarkan solusi.
Berlomba-lombalah membangun rasa percaya
diri masyarakat, kembangkan transparansi dan optimisme, tumbuhkan semangat
ekonomi kerakyatan, dan buka ruang-ruang demokrasi dari tingkat yang paling
bawah. Sehingga akhirnya masyarakat pun dengan jujur akan menilai siapa yang
layak dipilihnya sebagai Gubernur, Bupati atau Walikota.
Lubuk Basung, 26 Juni 2015