Tuesday, December 4, 2018

Sampai Kapan, Kita Hidup Dengan HIV/Aids?


Sudah dua tahun lamanya Rafael Pequeno rutin menyambangi Jobure de Guayo, kampung kecil jauh di pedalaman - di tepi Sungai Orinoco, Venezuela. Setiap kali datang, Rafael yang bekerja sebagai perawat, rutin mengabsen satu demi satu daftar pasiennya.

Armando Beria?Rafael bertanya.
Masih ada,Ramon Quintin, Kepala Kampung Jobure, menyahut.
Ebelo Quinino?
Masih ada.
Mario Navarro?
Meninggal.
Wilmer Medina?
Juga meninggal.

Kondisi seperti itu sudah jadi hal rutin bagi Rafael. Setiap kali dia datang, selalu ada di antara pasien-pasiennya yang meninggal. Mereka adalah orang-orang yang kalah melawan virus HIV (Human Immunodeficiency Virus ) dan penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada sekitar 40 warga Kampung Jobure, dari sekitar 200 penghuni kampung itu, yang meninggal karena penyakit AIDS.

Cerita diatas adalah penggalan laporan khusus yang dibuat sebuah Media Online (terverifikasi Dewan Pers) tentang parahnya penyebaran HIV/Aids di Venezuela. Hal yang sama mungkin juga akan kita alami apabila kita tidak berani berterus terang tentang kondisi penyebaran HIV/Aids di sekitar kita.

Empat tahun lalu kita sudah dikejutkan dengan berita bahwa Sumatera Barat berada diposisi kesepuluh terbesar di Indonesia dalam kasus HIV/Aids, 128 orang meninggal dalam tahun 2014 itu. Tetapi setelah itu senyap seperti tidak terjadi apa-apa. Barulah belakangan hal itu kembali jadi bahan perbincangan, itu pun bukan murni substansinya tentang penyebaran penyakit HIV/Aids. Melainkan heboh dengan maraknya kasus LGBT.

Selain dari Media, saya hanya sedikit mendapat cerita tentang penyebaran HIV Aids itu. Tetapi itu sangat menggelisahkan saya, apalagi ketika ada tokoh masyarkat yang berkata, "baa wak lai ko?". Ada nada keputus-asaan menyikapi kondisi yang kita hadapi.

Walau secuil, cerita itu mampu membuat kita seperti terjebak dalam film horror, sangat menakutkan. Cerita tentang 3 orang yang tertular Aids dengan cara berbeda.

Pertama, seorang anak muda pulang kampung dari rantau karena sakit yang tak sembuh-sembuh. Setelah berobat ke di kampung baru diketahui bahwa ia adalah penderita Aids. Dan setelah ditanyai, dia mengakui bahwa penyakit itu dia dapat di rantau karena perilaku hubungan seksual sembarangan. Tidak sampai 2 tahun di kampung Anak Muda itu meninggal.

Kedua, seorang tokoh masyarakat yang sangat dihormati didiagnosa meninggal karena menderita HIV. Hal ini tentu saja sangat mengagetkan keluarga, karena beliau sangat jauh dari perilaku yang membuat seseorang tertular virus HIV Aids. Pada akhirnya, diketahui bahwa tertular pada saat memandikan jenazah penderita Aids.

Ketiga, juga seorang anak muda, saat ini menderita Aids dan menjalani kehidupan seks menyimpang - LGBT. Dari pengakuannya  terungkap bahwa pada awalnya dia ketika masih kecil adalah korban pelecehan seksual. Kemudian menjadi biasa bahkan sumber nafkah baginya. Dia tertular HIV Aids dari pelanggannya yang terlebih dahulu menderita Aids. Dan bisa jadi anak itu juga telah "menularkan" pula pada orang lain. 

Berdasarkan data Kementrian Kesehatan periode Januari hingga Maret 2018, di Sumatera Barat sedikitnya sudah tercatat 10.376 kasus HIV yang mana 28 persen diantaranya dari lelaki suka lelaki. Diyakini karena faktor stigma negatif terhadap penderita HIV Aids, jumlah kasus HIV jauh diatas angka tersebut.
  
Pada tahun 2017, Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit pernah mengatakan bahwa berdasarkan survey yang digelar oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,  Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) menjadi daerah terbanyak di Indonesia yang dihuni oleh kelompok Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender.

Bagi kebanyakan kita penyakit HIV sangat memalukan, sehingga menjadi tabu untuk diekspose, seperti membuka aib - mencoreng arang dikening sendiri. Penderita dan keluarga sangat sukar untuk diajak berkomunikasi. Bahkan instansi pemerintah pun cenderung menutup rapat-rapat informasi maupun data tentang itu.

Baru-baru ini, seorang pemuda bernama Acep asal Cikalongkulon, Cianjur Jawa Barat  membuat status singkat di Facebooknya, "From today, I am living with HIV". Dia berani berterus-terang, mengaku ke publik bahwa dia telah terinfeksi HIV. Dia baru berani memastikan bahwa dirinya telah positif HIV, walau berbulan-bulan sesungguhnya dia telah tahu terinfeksi dari berbagai informasi yang dia cari lewat internet. Hasil pemeriksaan di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat, Acep dinyatakan positif HIV, virus yang menghancurkan sistem kekebalan tubuh.

Selain di facebook Acep juga membuat video di Youtube dengan nama Acep Gates. Video yang berisi pengalamannya sebagai penderita HIV ditonton jutaan orang. Acep menjadi tempat berbagi banyak ODHA (Orang Dengan HIV/Aids). "Saya tak bisa seumur hidup merahasiakan penyakit ini. Kalau pintu berkarir sudah tertutup karena penyakit ini, saya yakin ada ratusan pintu lain yang terbuka", ujar Acep yang merupakan mahasiswa semester akhir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Acep saat ini juga tercata sebagai pendiri For Children Foundation, yayasan untuk mencegah bully di sekolah.

Beberapa hari yang lalu, 1 Desember yang merupakan Hari Aids Sedunia berlalu seperti hari-hari biasa. Hari yang diciptakan untuk meningkatkan pemahaman tentang HIV dan epidemi Aids, tetapi tidak ada peringatan, tidak ada himbauan ataupun sosialisasi. Hari Aids Sedunia kalah oleh Hari Reuni 212 yang berlangsung esoknya, bahkan juga mungkin kalah oleh deman yang disebabkan nyamuk malaria.

Padahal berdasarkan data WHO, sejak awal epideminya, telah 70 juta orang terinfeksi Aids, 35 juta orang meninggal dan hari ini ada 37 orang penderita HIV di dunia. Pada tahun 2017 ada 1,8 juta orang terinfeksi HIV sebagai kasus baru, dan mungkin itu ada disekitar kita. Penderita baru HIV itu 75 % terjadi pada homoseksual, pengguna narkoba suntuk, narapidana, pekerja seks komersial, orang transgender atau pasangannya.

Apakah kita masih akan tetap diam? kenapa kita tidak seberani Acep atau kenapa kita tidak mau membuka diri, memeriksa diri kita, keluarga kita, lingkungan kita dan mengambil langkah memutus mata rantai epidemi ini. Sampai kapan, kita terus hidup dengan HIV/Aids?, dan menunggu kepunahan seperti halnya kampung Jobure de Guayo, di tepi Sungai Orinoco, Venezuela.

No comments:

Post a Comment