Monday, July 1, 2013

Urang Rantau


Merantau bagi Urang Awak seolah telah menjadi kewajiban adat yang tak bisa lagi ditawar-tawar. Karantau madang di hulu, babuah babungo balun…..dstnya.
Kalau boleh ditambah, marantau juga laksana proses benih menjadi padi. Benih tidak akan menjadi padi kalau tidak dipindahkan dari persemaian, artinya urang awak kalau mau jadi “orang besar” harus merantau!. Dan itu terbukti dengan banyaknya urang awak yang jadi orang besar di negeri orang (perantauan), begitu juga dengan orang besar orang besar yang ada di Sumatra Barat saat ini, rata-rata mereka punya pengalaman merantau.
Bukan hanya rantau dakek antar daerah dalam Sumatra Barat tetapi telah melampaui sikilang  aia bangih, melintas durian ditakuak rajo dan menyeberangi ombak nan badabua. Medan, Pekanbaru, Jambi dan Pulau Jawa, setiap daerah dari Sabang sampai Merauke jadi tempat merantau, bahkan tidak sedikit “si-Minang” yang merantau sampai ke Negeri Sembilan Malaysia dan Mancanegara. Saking banyaknya sampai ada ungkapan yang, “Jika telah ada kehidupan kehidupan di bulan atau planet lain maka di sana pun akan ada rumah masakan Padang”, artinya dimana ada kehidupan di situ akan ada orang Minang. Berdasarkan data yang dirilis sebuah situs internet (Wikipedia Indonesia), saat ini jumlah populasi suku Minangkabau sekitar 12 juta orang dan berdomisili di perantauan sebesar 8 jutaan.
Walau tidak semua perantau kita berhasil dan sukses menjadi orang besar dan kaya, tetapi dari yang kita lihat ditiap Hari Raya sulit mengatakan mereka sebagai orang susah. Rata-rata mereka pulang dengan mobil atau motor sehingga jalanan yang biasanya lengang menjadi macet!. Jalur Payakumbuh-Padang yang biasanya ditempuh 2,5 jam selama libur lebaran bisa memerlukan waktu 10 jam!. Merka juga sangat “boros”, uang sangat gampang mereka berikan atau sumbangkan. Bahkan yang lebih luar biasa, ada perantau yang berani menawar lelang “singgang ayam” di atas 10 juta!. Indak kayo jo namonyo tu?
Selain yang peduli dengan kampug, ada juga perantau yang ketika pulang hanya sok pamer “manggaya ka urang kampung” dengan mobil yang mengkilap, bicara dengan bahasa Indonesia yang diselingi istilah asing walau patah-patah dan logat padangnya masih kental. Sangat suka membanding-bandingkan negeri rantau dan kampuang, mengkritik orang kampung atau menyalahkan pemerintahan daerah kita yang tidak bisa berbuat begini-begitu. Persis seperti kritik Sutan Rajo Angek terhadap perantau dalam sebuah cerita Balerong Group Jakarta pimpinan Yus Dt. Parpatiah : Urang rantau tu pulang pai “mamburangahi” urang kampuang, ko salah, ko buruak! Dan ketika ditanya apa solusinya terhadap kritikan tersebut atau diminta bantuannya, e.e mereka bergegas-gegas balik ke rantau sambil berucap nanti akan dikirim dari rantau. Tetapi sampai Hari Lebaran berikutnya kiriman tersebut tidak pernah juga sampai, ha.ha.
Dengan beragam gayanya bagaimanpun juga perantau merupakan aset dan potensi yang luar biasa bagi daerah yang harus digarap secara maksimal. Misalnya saja, dari 8 juta perantau jika tiap tahunnya ada 2 jutaan yang pulang kampung dan masing-masing membawa dan membelanjakan uangnya sebesar Rp 1 juta berarti uang masuk atau devisa bagi Ranah Minang mencapai Rp 2 triliun!

No comments:

Post a Comment