Merantau bagi Urang Awak seolah telah menjadi kewajiban adat
yang tak bisa lagi ditawar-tawar. Karantau
madang di hulu, babuah babungo balun…..dstnya.
Kalau boleh ditambah, marantau juga laksana proses benih
menjadi padi. Benih tidak akan menjadi padi kalau tidak dipindahkan dari
persemaian, artinya urang awak kalau mau jadi “orang besar” harus merantau!. Dan itu terbukti dengan banyaknya
urang awak yang jadi orang besar di negeri orang (perantauan), begitu juga
dengan orang besar orang besar yang ada di Sumatra Barat saat ini, rata-rata
mereka punya pengalaman merantau.
Bukan hanya rantau dakek antar daerah dalam Sumatra Barat
tetapi telah melampaui sikilang aia bangih, melintas durian ditakuak rajo dan
menyeberangi ombak nan badabua. Medan, Pekanbaru, Jambi dan Pulau Jawa,
setiap daerah dari Sabang sampai Merauke jadi tempat merantau, bahkan tidak
sedikit “si-Minang” yang merantau sampai ke Negeri Sembilan Malaysia dan Mancanegara.
Saking banyaknya sampai ada ungkapan yang, “Jika
telah ada kehidupan kehidupan di bulan atau planet lain maka di sana pun akan
ada rumah masakan Padang”, artinya dimana ada kehidupan di situ akan ada
orang Minang. Berdasarkan data yang dirilis sebuah situs internet (Wikipedia
Indonesia), saat ini jumlah populasi suku Minangkabau sekitar 12 juta orang dan
berdomisili di perantauan sebesar 8 jutaan.
Walau tidak semua perantau kita berhasil dan sukses menjadi
orang besar dan kaya, tetapi dari yang kita lihat ditiap Hari Raya sulit
mengatakan mereka sebagai orang susah. Rata-rata mereka pulang dengan mobil
atau motor sehingga jalanan yang biasanya lengang menjadi macet!. Jalur
Payakumbuh-Padang yang biasanya ditempuh 2,5 jam selama libur lebaran bisa memerlukan
waktu 10 jam!. Merka juga sangat “boros”, uang sangat gampang mereka berikan
atau sumbangkan. Bahkan yang lebih luar biasa, ada perantau yang berani menawar
lelang “singgang ayam” di atas 10 juta!. Indak
kayo jo namonyo tu?
Selain yang peduli dengan kampug, ada juga perantau yang
ketika pulang hanya sok pamer “manggaya
ka urang kampung” dengan mobil yang mengkilap, bicara dengan bahasa
Indonesia yang diselingi istilah asing walau patah-patah dan logat padangnya
masih kental. Sangat suka membanding-bandingkan negeri rantau dan kampuang,
mengkritik orang kampung atau menyalahkan pemerintahan daerah kita yang tidak
bisa berbuat begini-begitu. Persis seperti kritik Sutan Rajo Angek terhadap
perantau dalam sebuah cerita Balerong Group Jakarta pimpinan Yus Dt. Parpatiah
: Urang rantau tu pulang pai
“mamburangahi” urang kampuang, ko salah, ko buruak! Dan ketika ditanya apa
solusinya terhadap kritikan tersebut atau diminta bantuannya, e.e mereka
bergegas-gegas balik ke rantau sambil berucap nanti akan dikirim dari rantau.
Tetapi sampai Hari Lebaran berikutnya kiriman tersebut tidak pernah juga
sampai, ha.ha.
Dengan beragam gayanya bagaimanpun juga perantau merupakan
aset dan potensi yang luar biasa bagi daerah yang harus digarap secara
maksimal. Misalnya saja, dari 8 juta perantau jika tiap tahunnya ada 2 jutaan
yang pulang kampung dan masing-masing membawa dan membelanjakan uangnya sebesar
Rp 1 juta berarti uang masuk atau devisa bagi Ranah Minang mencapai Rp 2
triliun!
No comments:
Post a Comment