Fenomena dalam ajang pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
secara langsung semenjak era reformasi adalah ditandai oleh persaingan
incumbent antara Kepala Daerah dengan Wakil kepala Daerah. Pada tingkat lebih
tinggi aroma persaingan sejenis pun bisa kita saksikan pada hubungan Presiden
SBY dengan Wakil Presiden JK menjelang Pemilu 2009 yang lalu.
Posisi sebagai Gubernur, Bupati/Walikota di era otonomi
daerah yang mempunyai kekuasaan yang kuat, banyak uang dan fasilitas lebih
lainnya serta bisa dikatakan sebagai raja di daerah tersebut telah menyebabkan
hati nurani dan mata hati tertutup. Tanpa segan dan sungkan banyak bawahan
melawan atasan, yang kemarin berposisi sebagai Wakil Kepala Daerah bertarung
melawan Kepala Daerah memperebutkan kursi sebagai penguasa daerah otonomi.
Bahkan ada pejabat eselon/struktural (Sekda atau Kepala Dinas) yang kemarin
selalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata ya pak!, siap pak!, sekarang
bertarung dengan mantan bossnya. Banyak contoh nyata bisa kita lihat
berpisahnya Kepala Daerah dengan Wakilnya, serta ikut sertanya Sekda atau
Kepala Dinas dalam pencalonan kepala daerah. Menurut hukum atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara kita kenyataan tersebut sah-sah saja,
bahkan merupakan hak seseorang untuk dipilih dan memilih.
Idealnya, karena pada Pilkada yang lalu mereka berpasangan
dan terpilih sebagai paket yang tidak terpisahkan serta setelah lima tahun
mereka bersama-sama sehilir-semudik
memerintah, harusnya bersama-sama pula pada Pilkada berikutnya. Berhasil
atau tidak selama memerintah kemarin adalah tanggung jawab berdua, jika
keduanya masih kepingin ya harus tetap berpasangan, paling tidak satu sama lain
tidak bersaing.
Karena persaingan seperti itu akan membuat kekacauan politik,
masyarakat yang kemarin memilih mereka kali ini akan ikut terpecah, bahkan para
Aparatur Pemda (PNS) akan terseret arus untuk ikut politik dukung-mendukung
walau regulasi melarangnya. Bahkan setelah usai Pilkada pun akan juga terjadi
kekacauan, misalnya dalam melaksanakan aturan kepegawaian karena biasanya akan
ada mutasi yang bernuansa politis, ada yang mendadak kariernya melejit atau
yang mendadak di-nonjob-kan. Atau pembangunan daerah yang timpang antara daerah
penyumbang suara terbanyak dengan daerah lainnya.
Tetapi, karena ini adalah urusan politik yang tidak mengenal
etika, sopan santun apalagi segan dan sungkan, maka kita pun hanya bisa
berharap siapa pun yang akan keluar sebagai pemenang persaingan ini tidak
meninggalkan “luka yang dalam” pada yang kalah. Karena luka politik itu sulit
disembuhkan dan bisa berubah jadi dendam, yang akan dibalaskan dengan berbagai
cara. Kita semua tentunya ingin persaingan tersebut berlangsung dengan sehat
(jujur dan adil) agar tidak berimbas ke konflik horizontal pada masyarakat.
No comments:
Post a Comment