Friday, May 31, 2013

Adilkah Pemberian Tunjangan Daerah?



Fenomena pemberian Tunjangan Daerah (Tunda) yang dimaksudkan untuk mensejahterahkan pegawai ternyata mulai menuai protes dan mencuat kepermukaan. Di Kabupaten Agam protes muncul dari para guru yang merasa diperlakukan secara tidak adil. Bupati Agam beberapa waktu lalu pada sebuah koran dalam menjawab SMS Warga mengatakan: “Tunjangan Daerah bisa diterima pada bulan Mei ini, dan hal itu sebagai bentuk perhatian dan kepedulian terhadap staf dan PNS”. Ternyata bentuk perhatian dari kepedulian pemerintah daerah tidak membuat para Pegawai (PNS/PTT) terutama guru puas.
Tunda Agam perlu Ditunda kata Kasra Scorpi dalam Refleksinya di Haluan Kamis 10 Mei 2007 dalam menyikapi aspirasi yang berkembang dikalangan pendidik Kabupaten Agam. Berdasarkan Keputusan Bupati  Agam Nomor 23/2006, kepala sekolah menerima 200.000/bulan, sementara KTU sekolah menerima Rp. 225.000/bulan, sedangkan guru PNS termasuk guru Bantu menerima Rp. 150.000/bulan, pejabat pemegang eselon ada yang menerima Rp. 2 jutaan/bulan dan potong pajak 15%.
Bukan hanya di Agam di daerah-daerah lain pun kejadiannya hampir serupa, memberikan Tunjangan Daerah dengan alasan meningkatkan kesejaterahan pegawai atau lebih halus sebagai tunjangan beban kerja.
Komposisi/Stuktur pemberian Tunjangan Daerah pun hampir sama yaitu seperti Piramida Terbalik, makin tinggi jabatan struktural atau golongan pangat makin besar tunjangan yang diterima, makin rendah pangkat/golongan ruang makin kecil tunjangan yang diterima. Hal inilah yang menjadi pangkal munculnya permasalahan bagi kalangan staf bawah terutama guru yang tiap bulannya hanya menerima gagi dan tunjangan fungsional, tanpa ada uang pernjalanan dinas atau tambahan lainnya.
Sepintas pemberian tunjangan daerah tersebut merupakan kebaikan/kepedulian Kepala Daerah terhadap seluruh staf/PNS yang berada didaerahnya, memperjuangkan sampai akhirnya bisa memberikan tambahan penghasilan. Wah, Walikotanya baik, Bupatinya hebat!. Itu baru Gubernur!
Tetapi bagi yang berpikir kritis pemberian tunjangan daerah merupakan akal-akalan kelompok tertentu agar dapat menangguk di air jernih, kesempatan emas menaikan pengahasilan secara syah, Ekstrim-nya, pemberian tunjangan daerah merupakan konspirasi antara DPRD dengan Bupati/Walikota/Gubernur bersama Pejabat Pemda (Sekda, Kepala Dinas atau pejabat bereselon). Anggota DPRD (legislatif) mendapat penghasilan melalui berbagai tunjangan seperti representasi, keluarga, beras. pph/khusus, paket, panitia musyawarah, komisi, panitia, anggaran, badan kehormatan, perumahan, dan tunjangan komunikasi, sebagian ada yang menganggarkan pembelian Laptop.
Untuk meloloskan anggaran tersebut maka pihak eksekutif menganggarkan tunjangan daerah, yang intinya adalah merupakan kepentingan kelompok (Kepala Daerah dan Pejabat bereselon di daerahnya) tertentu.
Sistim pemberian tunjangan daerah seperti ini memunculkan kecemburuan, dan pertentangan-pertentangan antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya dengan alasan tidak adil. Kelompok yang sangat diuntungkan akan berdalih bahwa keadilan tidak boleh dipandang sama artinya dengan pemerataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang menperoleh bagian yang sama. Wajar saja kami mendapat bagian bersar mengingat tanggungjawab kerja dan jabatan yang diraih susah payah dalam waktu lama.
Kelompok yang menerima lebih kecil mengatakan enak di bapak-bapak saja, urusan gaji, honor dan tunjangan besar ke bapak (atas). Nggak enak buat kami urusan pembagian kerja makin kebawah makin berat.
Terdapat dua perbedaan penafsiran mengenai keadilan sebagaimana diajarkan Aristoteles yaitu Keadilan Distributif dan Keadilan Commutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasa nya.
Tidak setiap orang harus mendapat bagian sama banyak bukan persamaan melainkan ke sebandingan.
Setiap warga negara dapat diangkat dalam jabatan setiap pejabat pemerintah (ayat (3) Pasal 43 UU 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia), bukan berarti semua orang dapat diangkat menjadi pejabat eselon II tersebut melainkan berarti bahwa jabatan tersebut diberikan kepada mereka berdasarkan syarat-syarat tertentu dan patut mendapatkannya.
Keadilan commutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan  tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.
Memang sangat sukar mencari keadilan dimanapun berada diatas dunia ini apalagi jika dilakukan banyak orang, adil bagi si A belum tentu adil bagi si B. sesuatu yang diterima secara gratis pun sering digugat tidak adil, masa Cuma segini.
Bahkan hukum-pun tidak bisa memberikan keadilan itu pada setiap orang, vonis demi keadilan yang dijatuhkan hakim akan diterima berbeda oleh korban dan pelaku.
Melihat fenomena pemberian tunjangan daerah oleh masing-masing pemerintah daerah adalah yang jelas sangat besar perbedaan antara yang diterima pejabat tertinggi dengan staf terendah sehingga jurang pemisah penerimaan penghasilan antara orang yang sama-sama satu kantor itu makin dalam. Jika ditotal, penghasilan resmi dan legal (gaji + tunjangan jabatan ) eselon II sebelumnya berkisar Rp. 4 juta sebulan meningkat 50 persen menjadi 6 juta rupiah, sementara PTT yang sebelumnya Rp. 500 ribu naik 30 persen menjadi 650 ribu rupiah per bulan, tetapi jarak  gaji mereka yang sebelumnya hanya 3,5 juta kini menjadi lebih 5 juta atau lain kata sebulan penghasilan eselon II bisa buat setahun untuk PTT.
Dalam hal ini terlihat lemahnya sensibilitas para pejabat kita terhadap kondisi disekitarnya, terhadap bawahannya seperti itu apalagi terhadap orang yang berada jauh dari kantornya (masyarakat daerahnya). Apakah memang tidak ada lagi rasa kepedulian sesama, atau tidakkah disadari bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Daerah itu pada hakikatnya untuk mensejahterahkan semua masyarakat di daerah tersebut. Apakah memang tidak ada lagi rasa kepedulian sesama, atau tidakkah disadari bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Daerah itu pada hakikatnya untuk mensejahterahkan semua masyarakat di daerah tersebut.
Karena memang tidak mungkin memberikan rasa adil bagi semua masyarakat, paling tidak dengan itikad baik memberikan keseimbangan dan tidak membuat kesejangan sosial. Bukankah Indonesia yang berkeadilan menurut pembukaan UUD adalah Indonesia yang menjamin terselenggaranya hak-hak setiap warganya dan mampu mencegah terjadinya kesenjangan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan benegara.
Apakah pantas disaat daerah ini diguncang bencana dan memerlukan banyak bantuan, serta masih banyaknya masyarakat miskin yang belum tertanggulangi, kita ribu-ribut soal komposisi Tunjangan Daerah yang mungkin hanya bisa dinikmati sebagian rakyat daerah ini saja?
Sum mumius, summa iniura, keadilan tertinggi adalah ketidak-adilan yang tertinggi.
Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan
edisi Senin tanggal 21 Mei 2007, Hal 1

No comments:

Post a Comment