“Wow! very
lovely lake!!, luar biasa indahnya...” guman Irwan ketika memandang
keindahan Danau Maninjau dari Kelok 44 di Ambun Pagi. Dikelilingi gugusan bukit
hijau yang menyegarkan mata. Air danau nampak tenang, berwarna biru terkena
pantulan langit, seolah menyimpan misteri yang dalam. Keindahannya jauh lebih
memukau dibandingkan Danau Toba yang kemarin dia lewati. Bahkan sangat jauh
lebih indah dari Danau Limboto nun di “kampungnya” di Gorontalo.
Pantas saja Presiden Bung Karno sampai mengambarkan
keindahan danau Maninjau dengan sebuah pantun, “Jika
makan arai Pinang, makanlah dengan sirih yang hijau, jangan datang ke Ranah
Minang, kalau tak mampir ke Maninjau."
Bagi Irwan ini adalah perjalanan “pulang
kampung”
setelah hampir dua puluh tahun tidak pernah datang lagi ke kampungnya, kampung
kelahiran mendiang Ibunya. Ya, terakhir dia pulang ke Maninjau saat masih
berusia 4 tahun. Tidak lama setelah Ibundanya meninggal karena kecelakaan di
Medan. Dia kemudian dibawa oleh Ayahnya pulang ke Maninjau. Setelah itu ayahnya
pamit kepada keluarga ibunya untuk membawa anak
tunggalnya Irwan
ke Gorontalo, kampung ayahnya. Disana dia dibesarkan sampai dewasa oleh
Ayahnya.
Ketika sedang asyiik menikmati keindahan itu, dia
teringat seorang gadis. Aida ! dimana kah gadis itu
berada,
dimanakah kampungnya di Sumatera Barat ini?. Gadis yang baru dia
kenal 2 hari yang lalu ketika naik pesawat dari
Surabaya menuju Jakarta. Dalam perkenalan singkat itu Irwan
terpesona dengan kecantikan dan keanggunan gadis itu. Berkali-kali Irwan
mencoba menghubungi tetapi tidak pernah menyambung, tidak aktif atau diluar
jangkauan.
Aida,
ah tatapannya ketika akan berpisah di Terminal 3 Ultimate Soekarno Hatta
membuat tubuh Irwan bagai terpaku kelantai. Langkahnya terasa berat beranjak.
Berkali-kali Irwan menoleh ke arah Aida, seakan ingin mengatakan sesuatu,
tetapi terasa tidak mungkin. Diwajah
Aida juga terpancar hal yang sama dengan Irwan, ada rasa berat melangkahkan
kaki meunju pesawat yang akan membawanya ke Padang. Sementara Irwan harus
melanjutkan perjalanannya ke Kualanamu Medan. Ah, kenapa pesawat ini tidak
delay saja. 1 jam.. 2 jam, mungkin itu cukup untuk kembali bercerita. Bukan
bercerita, tetapi mengungkapkan apa yang dirasakan saat ini.
Perlahan
Aida menjauh, hilang dibalik sekat-sekat gedung bandara itu. Tinggal Irwan
sendiri masih berdiri kaku. Pikirannya berkecamuk. Tidak tahu harus bagaimana.
Dengan
gontai Irwan menuju bangku-bangku tempat menunggu keberangkatan. Didekat “gate”
keberangkatan pesawat menuju Medan. Pesawat Irwan masih 1,5 jam lagi. Irwan
mencoba menelpon nomor yang diberikan Aida tadi. Tetapi sudah tidak aktif.
Irwan gelisah, berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. Di salah satu sudut
Irwan kembali duduk, kemudian membuka tas dan mengambil koran. Membacanya. Tapi
hatinya tetap tidak tenang, pikirannya terus membayangkan gadis itu.
“Di
Maninjau nyo dima Uda ?’, Irwan dikagetkan pertanyaan sopir minibus itu.
“Kampuang
Dadok Sungai Batang”, jawab Irwan. Lamunannya buyar, ternyata dia sudah hampir
sampai di tujuan. Dari rambu jalan di tiap tikungan tertulis Kelok 2. Tidak
berapa lama sampai pada Kelok 1. Akhirnya mobil itu berbelok menuju arah Sungai
Batang.
Sampai
di Kampuang Dadok, Irwan tidak kesulitan mencari alamat yang dituju karena
kampung itu tidak begitu ramai. Dengan sekali bertanya, ia mendapatkan petunjuk
yang jelas.
*000*
Assalamu’alaikum
!
“Waalaikum
salam, sia tu ?”, tanya suara di atas rumah. Tidak lama mucul wajah perempuan dari
balik pimtu.
“Saya
tek, Irwan !” sambil bergegas membuka sepatunya.
“Ondeeh
Irwan, naiak lah...ado Mak Datuak disiko kini,...”
“capek
kironyo ang tibo, etek sangko minggu bisuak”, sambung eteknya yang bernama
Nursidah itu sambil membimbing tangan Irwan.
Dirumah
itu Irwan disambut hangat keluarganya itu, Eteknya, Suami Etek, dan Mak Menan
yang telah diangkat menjadi Datuk Kepala Suku. Itu memang bukan rumah Ibu
kandungnya. Rumah ibunya telah lama roboh karena tidak pernah lagi ditinggali
sejak neneknya meninggal dan ibunya ikut ayahnya ke Medan 25 tahun lalu. Ibunya
merupakan anak satu-satunya alias tungga babeleng dari neneknya.
Berdasarkan
cerita Ayah Irwan, Etek Nursidah itu merupakan anak dari adik neneknya, mereka
ada bertiga bersaudara, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Eteknya itu mempunyai anak
4 orang, 2 pasang.
Setelah
dihidangkan air teh hangat, Irwan shalat asyar di ruangan tamu rumah itu.
Ketika selesai Shalat, Irwan berdoa. Berdoa untuk arwah ibunya yang terkubur di
Medan. Dari kampung kelahiran ibunya itu dia panjatkan doa.
“Assalamu’alaikum
!”, terdengar suara mengucapkan salam dari pintu.
Serentak
yang ada dalam rumah itu menjawab salam. Irwan pun menoleh ke arah pintu masuk.
2 orang perempuan nampak memasuki rumah sambil membawa kantong berisi
belanjaan. Yang satu berusia sekitar 20 tahun dan satu lagi sekitar 10 tahun.
Alangkah
kagetnya Irwan!. Dia seperti bermimpi, tubuhnya kembali menjadi
kaku seperti di bandara itu, wajahnya tiba-tiba jadi pucat. Seakan tak percaya
pada penglihatannya. Perempuan yang baru masuk rumah itu.
Dan perempuan itu Aida ! Aida
pun terpana, kantong ditangannya hampir terlepas ketika melihat Irwan. Terasa darahnya
seperti terhenti
mengalir.
“Aida,..Rani !! itu Irwan
anak mendiang Mak Tuo Ema, baru tibo dari Sulawesi. Salami lah !” Ucap Ayahnya
ketika melihat Aida seperti orang kebingungan. Rani duluan mendekati Irwan,
menyalami sambil mencium tangan Irwan.
Aida dan
Irwan sama-sama melangkah saling mendekati. Sama-sama mengulurkan tangan, tapi
jantung mereka seperti berhenti berdetak.
“Udaa,
Selamat datang dikampung!” ucap Aida ketika tangan mereka bersentuhan.
“Iyaa
Aida” jawab Irwan tersenyum, seakan masih tidak percaya dengan penglihatannya.
“Aidaa,
bawalah belanjaan tu kemari, mamasak lah capek, Uda Irwan kau lah lapar tu!,”
suara dari dapur itu memecahkan kekakuan yang terjadi antara Aida dan Irwan.
Aida
telah pergi ke dapur, Irwan kembali duduk bersama Ayah Aida dan Mak Datuk
Menan. Bercerita tentang keadaan Ayahnya di Gorontalo sana. Bercerita tentang pekerjaannya,
sampai cerita tentang rencana kapan menikah.
Amboi...menikah?
Pikirannya belum pernah sampai kesana, pikirannya hanya kapan dapat bertemu
lagi dengan gadis yang mempesona itu, Aida. Dia memang telah berniat untuk
mencari Gadis itu setelah urusan pulang kampungnya selesai, tetapi HP Aida
tidak pernah lagi bisa dihubungi. Oo..rupanya disini memamg belum ada signal.
Kalo mau menelpon harus pergi ke pasar Sungai Batang.
Dan
tanpa diduga, pucuk dicinta ulam tiba, gadis itu bersua dengannya. Namun Irwan
masih tidak tenang, diantara rasa senangnya bertemu dengan gadis yang
diangan-angankannya. Dia sadar, bukan pertemuan seperti ini yang dia angankan.
Gadis itu adalah saudara sesuku, adiknya, masih satu keturunan yang sangat
dekat. Oh mengapa situasinya begini sulit.
Didapur. Aida juga resah. Berkali-kali kentang
yang sedang dia pegang terlepas, namun dia terus mengupasnya, terlepas lagi.
“Hati-hati Aida, beko luko tangan tu!, apo nan sadang bapikiakan?” peringatan
dan pertanyaan ibunya itu kontan membuat dia terkejut. Mukanya memerah.
“Ndak ada mak!”, Dia kembali berusaha konsentrasi. Tidak
ada, bohong!. Hatinya bimbang, memikirkan kejadian 2 hari yang lalu di mulai
dari peasawat dari Surabaya, di Bandara Soekarno Hatta. Seorang Pria yang
memikat hatinya walau pertemuan itu baru pertama kali. Lelaki yang berwajah
tampan, berbudi, mempunyai tutur kata dan pembawaan yang sopan. Ah, lelaki yang
pantas diidamkan menjadi junjungan sampai hari tua.
Dan kini dia bertemu lagi dengan laki-laki itu. Ternyata
laki-laki itu adalah saudaranya, sasuku, satu keturunan. Oh, hidup ini luar
biasa dan tidak bisa diduga.
Bersambung...