"Mati Bulando karano pangkaik, mati Cino karano harato, mati Kaliang karano salero...mati Melayu karano angan-angan"
Konon Asbabun Nuzul pepatah ini karena dizaman Penjajahan dulu sudah sangat kasat mata perbedaan antara orang Belanda, China, India dan Indonesia. Ini hanya sebagian, bukan keseluruhan tetapi perangai ini mampu membuat ciri khas yang membedakan. Orang-orang Belanda dalam mengejar Jabatan atau Pangkat rela melakukan apa saja. Menfitnah, menghasut dan mengadu domba. Orang China juga begitu, mereka melakukan hal-hal tidak jujur dalam mengumpulkan harta. Dalam berdagang mereka kerap berbohong dan menipu serta menjadi rentenir. Lain pula Keling atau India, mereka terkenal sangat doyan kuliner bahkan cenderung rakus. Tetapi kalau perut mereka sudah kenyang maka mereka pun akan tenang, tidak macam-macam atau berbuat ulah.
Dan yang miris itu Bangsa kita, Pribumi...orang kita sibuk berangan-angan. Memboroskan energi dan mental untuk memimpikan sesuatu tanpa disertai usaha untuk mendapatkan apa yang diangan-angankan itu. Mereka hanya mengandalkan "nasib baik" untuk memperoleh sesuatu.
Mereka tidak ikut berjuang melawan penjajah seperti kebanyakan orang. Bergerilya di hutan menyandang bambu runcing atau senjata sederhana.
Mereka sibuk berangan-angan; Kalo den punyo badia geren, den tembak Bulando kalera tu. Kalo den kayo, den pabini anak Cino nan putiah barasiah tu. Kalo den bapitih banyak, den bae makan lamak tiok hari!!.
Itu dulu, sebelum Soekarno dan Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia.
Sekarang, Negara kita telah merdeka, telah terlepas dari bangsa penjajah selama 72 tahun. Pertanyaannya, apakah kita telah benar-benar merdeka?
Kalau dilihat dari unsur Merdekanya suatu negara yaitu adanya Rakyat, Wilayah, Pemerintahan yang berdaulat dan Pengakuan secara de facto dan de jure dari negara lain maka secara formal kita bisa berkata; Iya, kita telah Merdeka!
Tetapi kalau mau berkata secara lugas, kita masih merasakan belum benar-benar Merdeka. Banyak hal yang sesungguhnya masih seperti di zaman penjajahan. Kelakuan para elit di eksekutif maupun di legislatif bagaikan tabiat para bangsa kolonial. Memaksakan kehendak dan menggunakan kekuasaan dengan mempertakut rakyat. Tiap sebentar mengkampanyekan bahwa mereka lah Pemegang Prerogatif dan kalian harus ikut aturan yang dia buat bahkan harus mengistimewakan mereka.
Sekali lagi, Ini hanya sebagian, bukan keseluruhan.
Mereka bertindak laksana penjajah sehingga banyak diantara kita merasakan hidup seakan masih dizaman belum merdeka. Di hantui kecemasan dan rasa takut terhadap para elit itu.
Tetapi sesungguhnya para elit itu juga berada dalam penjajahan. Mereka tidak mampu melepaskan diri dari ketakutan yang tumbuh dalam hati mereka. Takut kehilangan Pangkat dan Jababatan, takut kehilangan popularitas. Takut terhadap kritikan dan badnews.
Dan ketakutan itu mereka tutupi dengan berbuat seperti Bulando dan Cino dizaman penjajahan dulu. Menganggap rakyat pribumi sebagai ekstrimis, menganggap pengkritik sebagai perusak, menganggap badnews sebagi hoax. Mereka dengan gampang melakukan blaming, menyalahkan rakyat sebagai pemalas, menyalahkan pengkritik yang tidak konstruktif, menyalahkan medsos yang dipenuhi akun palsu.
Mereka juga tidak bisa bersikap adil bahkan fair karena banyak hutang yang belum dilunasi. Hutang janji kampanye yang belum ditepati, hutang budi yang belum dibalas, hutang materi yang belum lunas. Akibatnya perlakuan terhadap rakyat tidak sama karena hutang budi itu. Pada kelompok yang ini mereka sangat keras terhadap kelompok yang lain terlihat "sangat bersahabat".
Merdeka marilah kita merdeka, bebaskan diri kungkungan rasa takut karena akan kehilangan pangkat, jabatan, makanan enak. Merdeka dari rasa segan akan ditagih hutang budi, janji dan materi. Merdeka dari pengaruh dan tekanan.
Seperti kata Bung Karno; Merdeka itu Berdikari, berdiri di kaki sendiri!
Merdeka mengendalikan diri ! Dirgahayu bangsaku!
Lubuk Basung, 16 Agustus 2017.
Saturday, August 19, 2017
Friday, August 11, 2017
Puti Ransani Turun dari Khayangan
Ada rasa gelisah melihat kondisi Danau Maninjau yang semakin rusak walau keindahannya tetap mempesona.
Maninjau memang selalu indah ketika dilihat dari Bukik Sakura atau dari Embun Pagi. Tetapi ketika didekati rupa nan berseri indah itu hilang, Danau Maninjau laksana gadis yang murung dalam sepi dan terus terasa semakin sepi. Gemercik airnya seakan mendendangkan kesedihan. Sedih karena ditinggalkan pergi oleh yang selama ini menemani. Semua pergi satu persatu semenjak kedatangan puluhan ribu Keramba Apung.
Anak-anak Danau sudah enggan berenang dan mandi di danau. Turis pun tak lagi betah memghabiskan waktu di Pinggiran Danau. Hampir setiap tahun ribuan ikan mati, bangkainya mengapung di permukaan air danau. Udara yang tadinya segar berubah menjadi busuk menyengat hidung. Orang-orang menutup hidung ketika melintas dan bergegas ingin segera menjauhi danau. Kaca-kaca mobil tertutup rapat sambil berlari kencang.
Bukan hanya itu, Rinuak dan Pensi pun mulai meninggalkan Danau. Rinuak mulai pergi menghilang entah kemana. Pensi mulai mencari kehidupan baru di bandar di pinggiran danau bahkan ada yang sampai ke anak-anak sungai Batang Antokan.
Jangan-jangan karena bau busuk itu, si Bunian pun mungkin telah pergi meninggalkan Istana megahnya di barisan bukit keliling Danau Maninjau. Tidak pernah ada lagi cerita tentang terdengarnya bunyi "Aguang" dari hutan di bukit itu tandanya Bunian Baralek Gadang.
Dan, mungkin pula Bujang Sambilan juga telah pergi, tidak kuat lagi menghuni Danau karena airnya tidak lagi bersih.
Ah,... tetapi bukan itu yang utama membuat Puti Ransani ingin segera pulang. Dia ingin mencari cintanya yang dulu hilang, kasiah tak sampai. Mencari Si Giran tunangannya, anak tungga babeleang Mamak Kanduangnya Datuak Limbatang.
Cinta Puti Ransani yang yatim piatu kepada Si Giran tak sampai ke pelaminan karena terhalang restu kakak-kakak kandungnya, Bujang Sambilan. Puti Ransani dan Si Giran difitnah telah melanggar adat.
Keduanya bersumpah di tepi kawah Gunung Tinjau bahwa mereka tidak melakukan apa yang dituduhkan Bujang Sambilan. Setelah itu Puti Ransani dan Si Giran melompat kedalam kawah tetapi tubuh keduanya malah melayang, lalu dibalut awan dan membubung ke angkasa.
Meninggalkan Gunung Tinjau yang kemudian meletus dan akhirnya berubah menjadi kawah besar dan kelak menjadi Danau Maninjau yang dihuni sembilan ekor Ikan Rayo jelmaan Bujang Sambilan.
Pada hari yang sangat cerah Puti Ransani turun dari khayangan. Tempat yang pertama dia tuju adalah rumah mamaknya Datuk Limbatang.
Kedatangannya disambut haru oleh Datuk Limbatang.
"Uda Giran dima kini Tek?"; tanya Puti Ransani kepada isteri mamaknya.
"Etek tidak tau Sani, sejak kejadian kalian dipuncak Gunuang dulu.... Si Giran tidak pernah lagi kembali pulang!". Jawab isteri mamaknya dengan suara bergetar.
"Di sebelah barat danau ini ada kampung bernama Sigiran, pergilah kesana, mungkin disana ada petunjuk keberadaan Si Giran!"; sambung Datuk Limbatang.
Puti Ransani lalu mohon pamit akan pergi ke Sigiran. Tetapi sebelum Puti Ransani melangkahkan kaki meningalkan rumah Datuk Limbatang terjadi kehebohan. Banyak orang berkumpul dan bertanya kepada Datuk Limbatang siapa perempuan yang baru saja datang itu.
"Puti Ransani kemenakan kandungku, tunangan anakku Sigiran!"; jawab Datuk Limbatang.
"Bukankah si Sani telah meninggal ketika melompat ke dalam kawah bersama Si Giran!"; ujar seorang dengan nada heran.
"Tidak, saya tidak meninggal... saya diterbangkan ke khayangan, sekarang saya turun mencari Uda Giran!"; Puti Ransani berkata sambil berdiri ditengah kerumunan orang.
***
Ketika kemarin heboh-heboh ada benda aneh jatuh dari langit dan mendarat di Sungai Batang - Maninjau, mungkin ada yang berimajinasi macam-macam.... Alien, serpihan pesawat atau apalah. Saya entah kenapa berimajnasi itu "kendaraan" Puti Ransani yang turun dari khayangan.... mencari Uda Giran nya. Mencari cintanya yang tak kesampaian. Hehehe
Maninjau memang selalu indah ketika dilihat dari Bukik Sakura atau dari Embun Pagi. Tetapi ketika didekati rupa nan berseri indah itu hilang, Danau Maninjau laksana gadis yang murung dalam sepi dan terus terasa semakin sepi. Gemercik airnya seakan mendendangkan kesedihan. Sedih karena ditinggalkan pergi oleh yang selama ini menemani. Semua pergi satu persatu semenjak kedatangan puluhan ribu Keramba Apung.
Anak-anak Danau sudah enggan berenang dan mandi di danau. Turis pun tak lagi betah memghabiskan waktu di Pinggiran Danau. Hampir setiap tahun ribuan ikan mati, bangkainya mengapung di permukaan air danau. Udara yang tadinya segar berubah menjadi busuk menyengat hidung. Orang-orang menutup hidung ketika melintas dan bergegas ingin segera menjauhi danau. Kaca-kaca mobil tertutup rapat sambil berlari kencang.
Bukan hanya itu, Rinuak dan Pensi pun mulai meninggalkan Danau. Rinuak mulai pergi menghilang entah kemana. Pensi mulai mencari kehidupan baru di bandar di pinggiran danau bahkan ada yang sampai ke anak-anak sungai Batang Antokan.
Jangan-jangan karena bau busuk itu, si Bunian pun mungkin telah pergi meninggalkan Istana megahnya di barisan bukit keliling Danau Maninjau. Tidak pernah ada lagi cerita tentang terdengarnya bunyi "Aguang" dari hutan di bukit itu tandanya Bunian Baralek Gadang.
Dan, mungkin pula Bujang Sambilan juga telah pergi, tidak kuat lagi menghuni Danau karena airnya tidak lagi bersih.
Ah,... tetapi bukan itu yang utama membuat Puti Ransani ingin segera pulang. Dia ingin mencari cintanya yang dulu hilang, kasiah tak sampai. Mencari Si Giran tunangannya, anak tungga babeleang Mamak Kanduangnya Datuak Limbatang.
Cinta Puti Ransani yang yatim piatu kepada Si Giran tak sampai ke pelaminan karena terhalang restu kakak-kakak kandungnya, Bujang Sambilan. Puti Ransani dan Si Giran difitnah telah melanggar adat.
Keduanya bersumpah di tepi kawah Gunung Tinjau bahwa mereka tidak melakukan apa yang dituduhkan Bujang Sambilan. Setelah itu Puti Ransani dan Si Giran melompat kedalam kawah tetapi tubuh keduanya malah melayang, lalu dibalut awan dan membubung ke angkasa.
Meninggalkan Gunung Tinjau yang kemudian meletus dan akhirnya berubah menjadi kawah besar dan kelak menjadi Danau Maninjau yang dihuni sembilan ekor Ikan Rayo jelmaan Bujang Sambilan.
Pada hari yang sangat cerah Puti Ransani turun dari khayangan. Tempat yang pertama dia tuju adalah rumah mamaknya Datuk Limbatang.
Kedatangannya disambut haru oleh Datuk Limbatang.
"Uda Giran dima kini Tek?"; tanya Puti Ransani kepada isteri mamaknya.
"Etek tidak tau Sani, sejak kejadian kalian dipuncak Gunuang dulu.... Si Giran tidak pernah lagi kembali pulang!". Jawab isteri mamaknya dengan suara bergetar.
"Di sebelah barat danau ini ada kampung bernama Sigiran, pergilah kesana, mungkin disana ada petunjuk keberadaan Si Giran!"; sambung Datuk Limbatang.
Puti Ransani lalu mohon pamit akan pergi ke Sigiran. Tetapi sebelum Puti Ransani melangkahkan kaki meningalkan rumah Datuk Limbatang terjadi kehebohan. Banyak orang berkumpul dan bertanya kepada Datuk Limbatang siapa perempuan yang baru saja datang itu.
"Puti Ransani kemenakan kandungku, tunangan anakku Sigiran!"; jawab Datuk Limbatang.
"Bukankah si Sani telah meninggal ketika melompat ke dalam kawah bersama Si Giran!"; ujar seorang dengan nada heran.
"Tidak, saya tidak meninggal... saya diterbangkan ke khayangan, sekarang saya turun mencari Uda Giran!"; Puti Ransani berkata sambil berdiri ditengah kerumunan orang.
***
Ketika kemarin heboh-heboh ada benda aneh jatuh dari langit dan mendarat di Sungai Batang - Maninjau, mungkin ada yang berimajinasi macam-macam.... Alien, serpihan pesawat atau apalah. Saya entah kenapa berimajnasi itu "kendaraan" Puti Ransani yang turun dari khayangan.... mencari Uda Giran nya. Mencari cintanya yang tak kesampaian. Hehehe
Lubuk Basung, 19 Juli 2017
Status Facebook
Cerita Reuni : Pulang
Ketika sedang berkumpul (reuni) dengan kawan semasa sekolah, saya menanyakan motivasinya yang setiap tahun pulang kampung. Bahkan bukan sekali setahun, bukan setiap hari raya tetapi kadang sampai 2 - 3 kali setahun. Padahal jarak tempuhnya lebih dari 30 jam !
Ketika sedang berkumpul (reuni) dengan kawan semasa sekolah, saya menanyakan motivasinya yang setiap tahun pulang kampung. Bahkan bukan sekali setahun, bukan setiap hari raya tetapi kadang sampai 2 - 3 kali setahun. Padahal jarak tempuhnya lebih dari 30 jam !
"Mancaliak rang gaek", jawabnya. Dan selanjutnya dia bercerita;
"Ibuku sudah semakin tua, 79 tahun umur beliau. Tiga tahun belakangan kondisi beliau "makin coyoh" semakin renta. Setiap melihat beliau ada rasa khawatir apakah tahun depan, hari raya tahun depan masih bisa bertemu beliau.
Saya sudah kehilangan Ayah, rasanya sangat menyedihkan. Sampai saat ini ketika berada di pusara Ayah, selalu ada rasa sedih karena tidak sempat menyenangkan hati beliau.
Saya tidak ingin itu terjadi lagi terhadap Ibu. Perjalanan pulang 30 jam itu terasa sangat jauh, sangat jauh dan lama. Saya ingin segera bertemu Ibu. Momen ketika beliau tersenyum menunggu didepan pintu itu yang membuat rindu. Terlihat beliau sangat senang melihat saya pulang"
"Ya, pulanglah selagi bisa pulang dan temui ibu, peluk dan senangkan hati beliau, ciumi kaki beliau sembari memohon maaf!" Kata kawan yang lain menanggapi.
"Saya merindukan kesempatan itu tapi sudah tidak bisa karena ibu saya telah tiada!!. Kesempatan itu tidak bisa diukur dengan uang, tidak bisa !
Mungkin biaya untuk pulang bertemu ibu itu bisa lebih dari 5 atau 10 juta dan kita berpikir lebih baik uang itu dikirim saja untuk beliau. Jika itu yang kita lakukan maka bukan hanya sedih kehilangan tetapi juga sesal yang kita rasakan dipusara beliau nantinya"
***
Lubuk Basung, 1 Juli 2017
"Ibuku sudah semakin tua, 79 tahun umur beliau. Tiga tahun belakangan kondisi beliau "makin coyoh" semakin renta. Setiap melihat beliau ada rasa khawatir apakah tahun depan, hari raya tahun depan masih bisa bertemu beliau.
Saya sudah kehilangan Ayah, rasanya sangat menyedihkan. Sampai saat ini ketika berada di pusara Ayah, selalu ada rasa sedih karena tidak sempat menyenangkan hati beliau.
Saya tidak ingin itu terjadi lagi terhadap Ibu. Perjalanan pulang 30 jam itu terasa sangat jauh, sangat jauh dan lama. Saya ingin segera bertemu Ibu. Momen ketika beliau tersenyum menunggu didepan pintu itu yang membuat rindu. Terlihat beliau sangat senang melihat saya pulang"
"Ya, pulanglah selagi bisa pulang dan temui ibu, peluk dan senangkan hati beliau, ciumi kaki beliau sembari memohon maaf!" Kata kawan yang lain menanggapi.
"Saya merindukan kesempatan itu tapi sudah tidak bisa karena ibu saya telah tiada!!. Kesempatan itu tidak bisa diukur dengan uang, tidak bisa !
Mungkin biaya untuk pulang bertemu ibu itu bisa lebih dari 5 atau 10 juta dan kita berpikir lebih baik uang itu dikirim saja untuk beliau. Jika itu yang kita lakukan maka bukan hanya sedih kehilangan tetapi juga sesal yang kita rasakan dipusara beliau nantinya"
***
Lubuk Basung, 1 Juli 2017
Konon Ceritanya Kita Bersaudara
Menyikapi kondisi kekinian, tergerak juga hati untuk
berciloteh.
Sepertinya kita terjebak pada kondisi yang Ndak Berkelincitan, Bertea-tea, Ndak Sandereh!! Saling benci tak berkesudahan. Padahal kita sering menonton bahwa Muhammad Ali, Mike Tyson dan para Petinju lainnya ketika saling memukul untuk mengalahkan atau menjatuhkan lawannya setelah pertandingan usai dan lawannya sudah kalah bahkan K.O sekalipun mereka selalu merangkul dan memeluk lawannya.
Tetapi kita sepertinya tidak, yang disudut sana membenci yang di sebelah sini. Kelompok itu membenci kelompok lainnya. Saling membenci dan saling menghujat.
Padahal, konon ceritanya, kita semua sesama manusia yang ada di Planet Bumi ini Badunsanak. Berdunsanak dengan Raja Salman yang kaya raya dari Arab, berdunsanak dengan Bangsa Jerman yang Juara Dunia Sepakbola. Juga berdunsanak dengan Ahok yang China. Apalagi dengan Rizieq Shihab atau Syafii Maarif, kita berdunsanak. Berdunsanak karena di Arab, di China ataupun di Pariaman air laut itu konon sama rasanya, asin !
Konon ceritanya, kita badunsanak karena Inyiak Moyang kita adalah sama yaitu Iskandar Zulkarnain. Satu garis keturunan !
Beliau mempunyai tiga orang anak yaitu; yang Gadang bernama Mararajo Alif moyangnya Raja Arab, yang tengah adalah Inyiak-nya si Ahok yang bernama Pangeran Zi Pang. Dan yang si Bungsu bernama Maharajo Dirajo yang merupakan Inyiak Urang Awak, inyiak dari Buya Syafii Maarif, inyiak Denai juga dan inyiak awak sadonyo.
Oleh karenanya, yang membedakan itu hanya Suku, Agama, warna kulit. Sementara Otak, Lagak, Selera dan Perangai kita "salin-basalin" Ada Habibie, yang ber-Otak Jerman, ada urang awak yang berlagak orang Arab, ada urang awak yang berperangai seperti orang China. Bahkan ada yang melebihi perangai buruk bangsa lain, seperti ungkapan; "ateh lo dari Bulando mintak tanah". Begitu sebaliknya.
Sudahlah, jangan diperturutkan juga sakit hati itu, nanti benar-benar sakit. Hahaha !
Sepertinya kita terjebak pada kondisi yang Ndak Berkelincitan, Bertea-tea, Ndak Sandereh!! Saling benci tak berkesudahan. Padahal kita sering menonton bahwa Muhammad Ali, Mike Tyson dan para Petinju lainnya ketika saling memukul untuk mengalahkan atau menjatuhkan lawannya setelah pertandingan usai dan lawannya sudah kalah bahkan K.O sekalipun mereka selalu merangkul dan memeluk lawannya.
Tetapi kita sepertinya tidak, yang disudut sana membenci yang di sebelah sini. Kelompok itu membenci kelompok lainnya. Saling membenci dan saling menghujat.
Padahal, konon ceritanya, kita semua sesama manusia yang ada di Planet Bumi ini Badunsanak. Berdunsanak dengan Raja Salman yang kaya raya dari Arab, berdunsanak dengan Bangsa Jerman yang Juara Dunia Sepakbola. Juga berdunsanak dengan Ahok yang China. Apalagi dengan Rizieq Shihab atau Syafii Maarif, kita berdunsanak. Berdunsanak karena di Arab, di China ataupun di Pariaman air laut itu konon sama rasanya, asin !
Konon ceritanya, kita badunsanak karena Inyiak Moyang kita adalah sama yaitu Iskandar Zulkarnain. Satu garis keturunan !
Beliau mempunyai tiga orang anak yaitu; yang Gadang bernama Mararajo Alif moyangnya Raja Arab, yang tengah adalah Inyiak-nya si Ahok yang bernama Pangeran Zi Pang. Dan yang si Bungsu bernama Maharajo Dirajo yang merupakan Inyiak Urang Awak, inyiak dari Buya Syafii Maarif, inyiak Denai juga dan inyiak awak sadonyo.
Oleh karenanya, yang membedakan itu hanya Suku, Agama, warna kulit. Sementara Otak, Lagak, Selera dan Perangai kita "salin-basalin" Ada Habibie, yang ber-Otak Jerman, ada urang awak yang berlagak orang Arab, ada urang awak yang berperangai seperti orang China. Bahkan ada yang melebihi perangai buruk bangsa lain, seperti ungkapan; "ateh lo dari Bulando mintak tanah". Begitu sebaliknya.
Sudahlah, jangan diperturutkan juga sakit hati itu, nanti benar-benar sakit. Hahaha !
Lubuk Basung, 10 Mei 2017
Subscribe to:
Posts (Atom)