Dalam Sidang Korupsi e-KTP dengan Terdakwa Setya
Novanto, Senin 29/1/2018 kemarin Gamawan Fauzi terlihat sangat gamang, padahal
status beliau hanyalah saksi. Diantara keyakinan (sesuai perspektif beliau)
bahwa tidak melakukan korupsi, Gamawan membela diri dengan bersumpah Demi Allah
dan mengatakan dirinya adalah anak seorang Ulama.
Ketika Hakim bertanya apakah Gamawan pernah menerima aliran dana korupsi e-KTP?
Gamawan Fauzi membantah bahkan siap dihukum mati jika memang terbukti menerima
uang.
Kegamangan Gamawan Fauzi terlihat ketika beliau melakukan pembelaan diri dengan apa yang beliau ungkapkan tersebut bukanlah alasan atau alat bukti yang dapat melepaskan dari tuduhan perbuatan Korupsi. Dan bukan hanya kali ini Gamawan Fauzi melontarkan argumentasi diluar hukum. Ketika hadir sebagai saksi dalam sidang untuk terdakwa Andi Narogong tanggal 9 Oktober 2017, beliau mengatakan bersedia dikutuk dan siap dihukum dunia akhirat.
Kegamangan Gamawan Fauzi terlihat ketika beliau melakukan pembelaan diri dengan apa yang beliau ungkapkan tersebut bukanlah alasan atau alat bukti yang dapat melepaskan dari tuduhan perbuatan Korupsi. Dan bukan hanya kali ini Gamawan Fauzi melontarkan argumentasi diluar hukum. Ketika hadir sebagai saksi dalam sidang untuk terdakwa Andi Narogong tanggal 9 Oktober 2017, beliau mengatakan bersedia dikutuk dan siap dihukum dunia akhirat.
Terseret-seretnya
Gamawan Fauzi dalam kasus e-KTT tentu membuat kita sangat prihatin. Karir
panjang dan track record beliau sebagai Pemimpin yang Bersih diuji lagi di masa
tuanya.
Penerima
Bintang Mahaputra Utama, Penghargaan Sipil yang Tertinggi tahun 2009 ini
melalui perjalanan karir yang mulus dan terus menanjak. Setelah tamat kuliah
Hukum di Unibersitas Andalas, beliau menjadi volunteer di LBH Padang, kemudian
menjadi PNS di Pemprop Sumbar. Mulai dari Staf, Kepala Seksi hingga Kepala Biro
Humas.
Tidak berhenti disitu, Gamawan Fauzi mengikuti Pemilihan Bupati Solok periode 1995-2009. Gamawan yang waktu itu masih berusia 38 tahun berhasil meraih 28 suara dari 42 anggota DPRD Kab. Solok, mengalahkan dua kompetitornya.
Tidak berhenti disitu, Gamawan Fauzi mengikuti Pemilihan Bupati Solok periode 1995-2009. Gamawan yang waktu itu masih berusia 38 tahun berhasil meraih 28 suara dari 42 anggota DPRD Kab. Solok, mengalahkan dua kompetitornya.
Dengan
keberhasilannya menjadi Bupati, Gamawan juga dianggap berhasil menerobos pakem
di Orde Baru bahwa Bupati itu harus berlatar belakang militer. Setelah
dilantik, Gamawan melakukan apa yang disebut sebut saat ini yaitu Reformasi
Birokrasi dan revolusi mental di lingkungan pemerintahan Kabupaten Solok.
Gamawan
tampil sebagai pribadi yang merakyat dan anti-KKN. Menciptakan pelayanan yang
ramah terhadap masyarakat, meningkatkan penhasilan tambahan bagi Pegawai.
Membuat terobosan birokrasi dengan mendelegasian wewenang pemerintahan ke
nagari atau desa dalam urusan konservasi lingkungan hidup. Membuat sistem
perizinan menjadi satu pintu, transparansi dengan standar yang jelas. Tarif
perizinan diterbitkan secara terbuka termasuk penunjuk jangka waktunya. Atas
komitmentnya tersebut dia dianugerahi Bung Hatta Award.
Dua
periode menjadi Bupati Solok, karier Gamawan semakin meroket setelah ia
berhasil memenangi Pilgub Sumatera Barat tahun 2005. Padahal Gamawan yang
berpasangan dengan Marlis Rahman hampir saja tidak mendapat kendaraan untuk
maju sebagai kontestan Pilgub Sumbar. Untung "Masih ada Kapal ke
Padang", disaat terakhir Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang pada Pemilu 2004 tidak mendapat suara
signifikan di Sumatera Barat menjadi kendaraan bagi Gamawan Fauzi dan Marlis
Rahman.
Menjelang
Pilpres 2009, Gamawan Fauzi yang pada waktu itu menjabat Gubernur Sumatera
Barat periode 2005 – 2010 mengambil “Langkah Politik Praktis” dengan menjadi
Deklarator pasangan Capres SBY-Budiono. Beberapa pihak termasuk penulis
menyayangkan langkah Gamawan yang memasuki ranah politik praktis dan tidak
mengambil posisi netral karena figur beliau lebih dikenal sebagai Pamong
ketimbang Politikus apalagi beliau bukan kader atau pengurus Partai Politik.
Langkah
Politik Gamawan tersebut kemudian memang berbuah kursi Menteri Dalam Negeri
pada Kabinet Indonesia Bersatu. Tetapi itu tetap disesalkan karena tanpa
menjadi deklarator pasangan Capres SBY-Budiono, kursi Menteri memang layak
untuk Gamawan yang sudah sangat banyak berprestasi. Artinya siapapun yang pemenang
Pilpres 2009 mau tidak mau akan melirik Gamawan untuk dijadikan menteri.
Apalagi sudah menjadi "kebiasaan" Gubernur Sumbar diakhir jabatannya
akan naik kelas jadi Menteri. Hal yang telah terjadi sebelumnya pada Harun
Zain, Azwar Anas dan Hasan Basri Durin.
Pekerjaan
berat sebagai Menteri sepertinya akan bisa diselesaikan dengan baik oleh
Gamawan. Menyusun grand design otonomi daerah, mewujudkan aparatur pemerintahan
yang bersih korupsi, pembenahan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) yang sarat
permasalahan dan pungutan liar.
Pada
akhir tahun 2011, SBY menyampaikan Pidato bahwa mulai tahun 2011 Kartu Tanda
Penduduk akan dibuat secara Elektronik (e-KTP). Sebagai Mendagri, Gamawan
adalah pelaksana utama program e-KTP di Indonesia. Dan pada awalnya
"proyek" e-KTP senilai Rp.5,9 triliyun itu sepertinya aman-aman saja.
Tetapi seiring berakhirnya rezim SBY dan nyanyian mantan Bendahara Partai
Demokrat Nazaruddin membuat proyek e-KTP mulai memasuki ranah hukum.
Pada
tahun 2016, Nazaruddin menyebut nama Gamawan Fauzi sebagai salah satu penerima
gratifikasi proyek e-KTP usai dirinya diperiksa KPK sebagai saksi pada 27
September 2016. Sebulan kemudian Gamawan diperiksa KPK sebagai saksi dalam
kasus dugaan korupsi e-KTP.
Saat
itu Gamawan membantah segala tudingan Nazaruddin. Ia menyebut bahwa proyek
e-KTP di bawah kepemimpinannya selama 2009-2014 lalu dilakukan secara
transparan. Bahkan, dalam menjalankan proyek itu, ia menyebut telah melibatkan
KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan.
Dalam
BAP, Nazaruddin menyebut bahwa Gamawan dua kali menerima uang e-KTP. Total yang
diterima Gamawan, menurut Nazar, 4,5 juta dollar AS. Nazaruddin tetap
berkeyakinan bahwa Gamawan ikut menerima uang walau Gamawan telah membantah
bahkan bersedia dikutuk jika menerima uang itu. Menurut Nazaruddin, saat itu
adik kandung Gamawan Fauzi, Azmin Aulia, ingin membeli ruko miliknya. Namun,
yang membayar ruko ternyata salah satu pengusaha dalam proyek e-KTP, yakni
Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tanos. Pun dalam dakwaan dan
tuntutan terhadap dua mantan Pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan
Sugiharto, Gamawan disebut menerima aliran dana USD 4,5 juta dan Rp 50 juta
terkait proyek tersebut.
Gamawan
mengaku tidak mengetahui adanya dugaan mark up dalam proyek e-KTP karena atas
permintaannya Auditor BPKP dua kali mengaudit proyek tersebut. Selain itu BPK
juga telah memeriksa sebanyak tiga kali dan tidak ada yang menyatakan ada KKN.
Sekarang
kasus korupsi e-KTP semakin terbuka dan diduga melibatkan banyak pihak. Belasan
orang yang disebut-sebut menerima uang proyek e-KTP telah mengembalikannya. Dan
yang paling menghebohkan adalah dugaan keterlibatan Ketua DPR Setya Novanto
yang telah jadi terdakwa.
Apakah
Gamawan juga terlibat dan akan tersangka korupsi e-KTP?
Sepertinya
kita masih menunggu kelanjutan drama kolosal ini. Diantara kenyakinan banyak orang bahwa memang
telah terjadi korupsi pada proyek e-KTP, banyak juga yang berpendapat ini
adalah politisasi menjelang Pemilu dan Pilpres 2019. Ada pula yang sentimentil
berpendapat bahwa tokoh-tokoh sumbar sengaja dihabisi pasca Pilpres yang lalu.
Setelah Irman Gusman dan Patrialis Akbar maka target selanjutnya adalah Gamawan
Fauzi.
Mudah-mudahan
ini hanya ujian semata yang mengharuskan Gamawan Fauzi bolak-balik ke KPK dan
menghadiri sidang sebagai saksi kasus korupsi e-KTP. Ujian sebagaimana dulu ketika
masih menjadi Bupati Solok tersesat di hutan selama 5 hari ketika sedang
melakukan survey alternatif Solok - Padang, yang konon kabarnya karena
tataruang (tertarung, tersandung) si Bunian (makhluk ghaib) penghuni Hutan Raya
Bukik Sambuang.
Kini
Gamawan Fauzi diuji karena tersandung di proyek e-KTP, membuatnya harus
bolak-balik menghadiri Sidang. Membuat beliau kembali seperti Tataruang si
Bunian di Proyek e-KTP, makhluk yang tidak terlihat tetapi diyakini ada.
Sebagaimana
lagu ciptaan Agus Taher yang pernah beliau nyanyikan;
"Gontai
langkah tangah rimbo pasawangan
Makin
jauah makin dalam maramang badan
Raso
bakubua banisan tido di jurang dalam
Si bunian bukik sambuang nan tataruang
Mangko
kalam makin hilang jalan pulang
Oi
urang den sayang
Saru
juo tiok sumbayang"