Thursday, March 7, 2013

Raja Daerah Otonom


Ketika Reformasi bergulir dan era otonomi daerah mulai diberlakukan, jabatan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) menjadi sangat populer. Mengiurkan banyak orang karena bisa mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerahnya. Bisa menjadi Raja di Daerah Otonom karena berkuasa atas pengelolaan keuangan daerah ratusan milyar rupiah. Kesempatan tesebut disamdut dengan eforia para tokoh-tokoh sipil dan pensiunan militer dan Polri yang beramai-ramai terjun ke dunia politik untuk berlomba menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota.
Di Sumatera Barat, dari 20 Kepala Daerah (1 provinsi + 19 Kabupaten/Kota) kita boleh berbangga karena kita memiliki figur yang lengkap dari pensiunan tentara, pensiunan polisi, pamong senior, dokter, pengusaha, ulama maupun politikus sejati dan kita pun sejenak boleh kagum karena mereka berhasil membius kita dengan slogan-slogan yang bagus laksana iklan di TV. Beragam visi dan misi dibuat sebagai label daerah disertai julukan-julukan seperti Kota Beriman, Serambi Mekkah, Kabupaten Madani, Kota Tercinta dan itu juga diiringi dengan keberhasilan meraih penghargaan, award, piala diberbagai bidang.
Sebagian dari beliau (Kepala Daerah) ada yang bergelar Datuk atau ada yang dijuluki Buya, yang secara adat adalah orang yang dituakan, didahulukan salangkah dan tinggikan sarantiang. Cocok betul dengan daerah kita yang adat Basandi Syara, Syara’ Basandi Kitabullah dimana pemimpin yang cocok adalah selain ahli pemerintahan juga ahli agama dan paham adat istiadat. Manusia-manusia yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang religious, adil dan berakhlak mulia, sederhana di dalam kehidupan pribadi dan keluarganya.
Dengan semua itu kita pun mebayangkan bahwa beliau-beliau yang mempunyai posisi/peran yang sangat urgen dan strategis tersebut akan bisa memperbaiki dan membawa kita menuju cita-cita masyarakat madani/beradap (civil society). Mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan dalam masyarakat yang makin berakhlak dan cerdas. Kepala Daerah yang bisa memberikan pelayanan dan memenuhi kebutuhan rakyatnya, peduli, berpihak dan tidak membebani rakyat miskin dengan berbagai pemborosan APBD yang di halalkan dengan berbagai aturan.
Kepemimpinan tersebut pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad “ulil amri” ketika memimpin Madinah, tetapi jika merasa terlalu berat mencontoh Muhammad karena beliau seorang Rasulullah, tauladani lah Umar Bin Khatab; harta dan tahta dan mahkota tidak menjadi tujuan hidupnya, kepentingan rakyatlah yang beliau utamakan atau tirulah Bung Hatta yang hidup sederhana walau beliau seorang Proklamator Kemerdekaan RI dan Wakil Presiden.
Bukan beliau-beliau yang sok-sok an menjadi kaum ninik mama, alim ulama, cadiak pandai tetapi memaksa bawahan dan raknyatnya memenuhi kepentingan, serta membuat aturan-aturan yang menguntungkan dirinya sendiri. Yang di daerah pemerintahannya telah terjadi kerusakan etika, campur baur adat istiadat dengan kebiasaan urang barat serta maraknya prilaku amoral. Yang di wilayah kekuasannya praktek suap menyuap dan korupsi terus berkembang biak menjadi hal yang lumrah dan biasa. Dan orang yang kaya dengan uang dari hasil korupsi tetap dihormati karena perbuatan korupsi tersebut bukan lagi dianggap sebagai aib yang memalukan.
Mumpung kini Kepala Daerah masih bisa menjadi Raja di daerahnya, jadilah Raya yang alim, bukan lalim karena Raja Alim Raya disembah, Raja lalim Raja disangah.