Karya : Marah Rusli
"Arifin, aku belum
menceritakan penglihatanku tadi malam,
kepadamu bukan?" kata
Samsulbahri kepada sahabatnya, pada
keesokan harinya daripada malam
Nurbaya kena racun, kira-kira
pukul dua siang, tatkala mereka
itu pulang dari rumah tempatnya
membayar makan.
"Penglihatan apa, Sam?"
tanya Arifin.
"Ajaib benar! Sampai kepada
waktu ini belum habis kupikirkan,
karena belum juga kuketahui, apa
itu dan apa maksudnya?"
"Cobalah ceritakan; "
kata Arifin pula.
"Sebagai biasa," kata
Samsu, "pukul sepuluh malam, pergilah
aku tidur. Kira-kira pukul dua
belas dengan tiada kuketahui apa
sebabnya, tiba-tiba terbangunlah
aku dengan terperanjat, seperti
ada yang membangunkan. Tatkala
kubuka mataku, kelihatan
olehku dekat meja tulisku,
sesuatu bayang-bayang putih, berdiri
di belakang kursiku. Sangatlah
terperanjat aku, ketika melihat
bayang-bayang itu, sebab pada
sangkaku, ia pencuri atau penjahat,
yang telah masuk ke dalam
bilikku."
"Tetapi kalau pencuri atau
penjahat, mengapakah berpakaian
putih?" kata Arifin.
"Itulah sebabnya maka
terpikir pula olehku, barangkali aku
bermimpi; lalu kupijitlah pahaku,
beberapa kali. Akan tetapi,
tatkala telah nyata benar
kepadaku, bahwa aku tiada tidur lagi,
barang yang putih itu masih
kelihatan juga."
"Barangkali pemandangan
tiada benar," kata Arifin, yang
belum hendak percaya akan cerita
sahabatnya ini.
"Oleh sebab itu, kugosoklah
mataku beberapa lamanya; tetapi
yang putih itu tak hendak
hilang."
"Barangkali engkau takut.
atau tatkala hendak tidur, banyak
mengingat perkara setan dan
hantu; jadi segala yang kaulihat,
rupanya sebagai setan,"
sahut Arifin pula.
"Engkau tahu sendiri,
Arifin, aku tiada penakut kepada segala
yang demikian. Lagi pula, tatkala
baru saja kubuka mataku, telah
kelihatan bayang-bayang yang
putih itu olehku. Betapa orang
yang baru bangun tidur akan
takut, jika ia tiada bermimpi yang
dahsyat!"
"Bagaimana bentuknya?"
tanya Arifin, yang rupanya mulai
percaya akan cerita Samsu ini.
"Sebagai manusia, berkepala,
berbadan, bertangan, dan
berkaki," sahut Samsu,
"serta memakai pakaian sutera putih,
yang jarang."
"Sebagai manusia?"
tanya Arifin yang mulai berasa takut,
walaupun hari pada waktu itu
pukul dua siang dan orang penuh
di jalan besar. "Hih! Seram
buluku mendengar ceritamu:"
"Sesungguhnya," jawab
Samsu. "Melihat hal yang ajaib ini,
meskipun berapa beraniku,
berdebar juga hatiku dan sejurus
lamanya, tiadalah tahu aku, apa yang
hendak kuperbuat. Hendak
berteriak, malu rasanya. Lagi
pula suaraku tak hendak keluar,
sebagai dicekik orang. Hendak
berdiri, badan dan kaki berat
rasanya. Dibiarkan saja, takut
kalau-kalau dianiaya aku. Walaupun
kuberanikan hatiku, badanku
serasa kembang dan
punggungku sebagai terkena air
dingin."
"Sudah itu?" tanya
Arifin, yang makin bertambah-tambah
takut.
"Tatkala kuamat-amati benar
bayang-bayang yang putih itu,
kelihatanlah mukanya seperti muka
Nurbaya."
"Nurbaya?" tanya Arifin
dengan heran.
"Ya, tak ada ubahnya; hanya
wajah mukanya pucat sedikit.
Sebab itu meskipun hatiku masih
khawatir, dapatlah juga
kuberanikan diriku, akan
mengeluarkan perkataan, lalu bertanya,
"Siapa ini?
"Dan apa jawabnya?"
tanya Arifin dengan lekas.
"Tak ada apa-apa. la diam
saja dan tiada pula bergerak-gerak
dari tempatnya."
"Kemudian?" tanya
Arifin pula.
"Kemudian melumpatlah aku,
hendak mengambil pestolku
dari dalam lemari dan sudah itu,
hendak kudekati dia. Tetapi
tatkala itu juga hilanglah
bayang-bayang itu; entah ke mana
perginya tiada kuketahui."
"Betul berani benar
engkau," kata Arifin.
"Tatkala itu datanglah
takutku dan menolehlah aku ke
segenap tempat kalau-kalau
dicekiknya aku dari belakang. Tetapi
tak kelihatan suatu apa lagi.
Lalu kupasanglah lampu dan
kuambil pestolku dari dalam
lemari. Ketika itu barulah berani
aku memeriksa ke sana kemari, ke
bawah tempat tidur, ke bawah
meja dan ke belakang lemari,
tetapi suatu pun tiada kelihatan,
sedang jendela dan pintu pun
masih terkunci."
"Jika aku bertemu yang
sedemikian, tentulah aku menjerit
minta tolong, kalau masih dapat,
berteriak. Kalau tiada tentulah
aku akan kaku di sana juga,
karena ketakutan."
"Setelah kututup lampu itu
dengan kertas, supaya terangnya
jangan kelihatan dari luar dan
kutaruh pestolku di bawah
bantalku, berbaringlah pula aku.
Tetapi sesudah itu tiadalah
dapat aku tidur lagi; pertama
karena takut akan didatanginya
kembali dalam tidurku, kedua
sebab memikirkan penglihatan
yang ajaib itu. Apakah itu dan
apakah takbir! Itulah setan atau
hantu!"
"Tetapi kalau hantu,
mengapakah rupanya seroman dengan
Nurbaya?
Yang menjadi hantu itu, bukankah
orang yang telah mati,
kata orang?" jawab Arifin.
"Sesungguhnya, seumur
hidupku, baru sekali itu aku melihat
bayang-bayang yang
sedemikian," jawab Samsu, yang sekali-kali
tiada mengira, bahwa Nurbaya
telah mati. "Bukan mimpi tetapi
sebenar-benarnya penglihatan
itu."
"Sungguh ajaib penglihatanmu
itu. Tetapi kuharap janganlah
aku sampai bertemu dengan
penglihatan yang serupa itu; takut
dapat celaka."
"Karena tak dapat tidur
lagi, terkenanglah aku akan Nurbaya
dan ibuku, negeri dan kampung
halaman kita, serta timbullah
hasrat yang amat sangat dalam
hatiku, hendak pulang menemui
mereka sekalian dan menyesallah
aku, tiada dapat pergi mengantarkan
Nurbaya pulang ke Padang, baru-baru
ini. Belum
pernah keinginan hatiku hendak
pulang sekeras tadi malam. Di
mukaku terbayang pula segala
kesukaan dan kesusahan, yang
telah kurasai, sejak kita
berjalan jalan ke gunung Padang. Makin
kuingat Nurbaya, makin khawatir
hatiku dan makin terasa pula
olehku alpa dan lengahku,
melepaskan dia seorang diri, kembali
ke dalam mulut harimau itu.
Terkadang-kadang khawatir hatiku
itu menimbulkan perasaan, sebagai
benar Nurbaya mendapat
celaka pula."
"Ah, masakan begitu! Tak
berapa lama lagi, tentulah ia pula
di sini. Jika tiada, baik
kaujemput saja; perkaranya tentulah telah
selesai," jawab Arifin.
"Maksudku pun demikian juga.
Kalau hari Sabtu yang akan
datang ini belum juga ia sampai
kemari, tentulah akan kujemput
sendiri ia ke Padang."
Dengan bercakap-cakap demikian,
tibalah kedua mereka di
rumah Sekolah Dokter Jawa, lalu
terus menuju bilik masingmasing.
Sejurus kemudian daripada itu,
datanglah seorang opas
pos membawa dua helai surat
kawat, untuk Samsulbahri.
Ditanyakannya kepada Arifin, di
mana Samsulbahri, lalu
ditunjukkanlah oleh Arifin bilik
sahabatnya ini.
Tatkala Arifin, setengah jam
sesudah itu, pergi ke bilik
Samsu, hendak menanyakan surat
kawat apakah yang
diterimanya tadi dua sekali,
kelihatan olehnya pintu dan jendela
bilik itu telah tertutup. Pada
sangkanya, Samsu tentulah telah
tidur, untuk melepaskan
kantuknya, karena kurang tidur malam.
Oleh sebab ia tiada hendak
mengganggu sahabatnya itu,
ditunggunyalah sampai Samsu
bangun kembali.
Maksud Samsu sebelum menerima
kedua surat kawat tadi,
sesungguhnya hendak pergi gidur;
jendelanya pun telah ditutupnya.
Setelah diterimanya surat itu,
ditutupnyalah pula pintunya,
karena hendak membaca kabar itu
seorang diri; lebih-lebih,
karena kedua surat kawat itu
sangat memberi khawatir hatinya.
"Dari siapakah kabar kawat
ini, dan bagaimanakah
bunyinya?" katanya dalam
hatinya. "O, barangkali dari Nurbaya,
memberi tahu ia akan datang
kemari.
"Tetapi yang sebuah lagi,
dari siapa pula?" Demikianlah
pertanyaan yang timbul dalam
hatinya.
Sambil berpikir-pikir demikian,
dibukanyalah kedua surat
kawat itu dengan tangan yang
gemetar. Setelah dibacanya kedua
surat itu, jatuhlah ia pingsan,
tiada khabarkan dirinya, sebab
kedua surat itulah yang membawa
kabar kematian Nurbaya dan
ibunya.
Berapa lamanya ia terbaring
pingsan itu, tiadalah
diketahuinya. Ketika ia sadarkan
dirinya pula, adalah halnya
seperti seorang yang gila, tak
dapat berpikir dan berkata-kata.
Menangis pun tiada kuasa, sebagai
tak berair lagi matanya.
Sesudah termenung sejurus
lamanya, diambilnya kertas, dan
kalam, lalu ditulisnya sepucuk
surat kepada ayahnya.
Begini bunyinya:
Jakarta, 13 Juli
1879.
Paduka Ayahanda!
Sebelum ananda
menuliskan maksud ananda dan
mencurahkan
segala yang terasa di hati ananda
kepada Ayahanda
dalam surat ini, terlebih dahulu
ananda
memohonkan ampun beribu-ribu ampun ke
bawah ribaan
Ayahanda, atas kesalahan ananda
yang telah
ananda perbuat dahulu dan kesalahan
ananda sekarang
ini, karena telah berani
memanggil Ayah
pula kepada Ayahanda, walaupun
Ayahanda tiada
sudi lagi mengaku anak kepada
ananda.
Ananda maklum,
tentulah sangat susah bagi
Ayahanda,
seorang yang berbangsa dan berpangkat
tinggi, akan
menarik surut perkataan yang telah
terlanjur.
Tetapi sebab permintaan ini, ialah
permintaan yang
penghabisan bagi ananda,
permintaan seorang
yang tiada lama lagi akan
hidup di dunia
ini, seorang yang akan segera
meninggalkan
negeri yang fana ini dan pada
penghabisan
umurnya, tiada lain pengharapannya,
hanya akan
beroleh ampun dan maaf dari ayahbunda,
sanak saudara
dan kaum kerabatnya, maka
besar gunung
kata orang, tetapi lebih besarlah lagi
pengharapan
ananda, supaya permintaan ananda
ini, Ayahanda
kabulkan juga.
Bukankah orang
yang akan dihukum mati itu,
diturut
kehendaknya dan diberi permintaannya yang
akhir? Sekali
inilah lagi ananda akan meminta
kepada Ayahanda
dan sekali inilah pula lagi,
Ayahanda akan
meluluskan permintaan ananda;
karena bilamana
Ayahanda membaca surat ini,
lamalah sudah
ananda tiada dalam dunia ini,
melainkan telah
sujud ke hadirat Tuhan
rabbulalamin,
akan memohonkan ampun ata!O
sekalian dosa
ananda yang amat besar itu; karena
rupanya dalam
dunia yang fana ini, tiadalah boleh
ananda mendapat
ampun itu, meskipun ananda telah
mengaku
kesalahan ananda dan telah pula
mendapat hukuman
yang berat.
Ayahanda,
mengapakah begitu hal dunia ini?
Mengapakah
ananda tiada boleh mendapat
keadilan?
Bukankah ananda ini manusia juga,
sebagai orang
lain'? Bukankah manusia itu bersifat
lupa, berhati
lemah dan berfikir yang tiada tetap?
Hanya Allah yang
bersifat kadim? Bukankah
manusia itu suatu
maliluk yang tiada boleh berbuat
sekehendak
hatinya, bila tiada dengan izin Tuhan
Yang Maha Kuasa?
Bukankah nasib manusia itu tak
dapat
dibuat-buat, karena sekalian itu telah
terdaftar di
lauhmahfut dan sudah dijanjikan,
sebelum
dilahirkan ke dunia? Dan bukankah tiaptiap
kesalahan itu,
walau bagaimanapun besarnya,
ada juga
ampunannya? Akan tetapi mengapakah
dunia ini tiada
menimbang dengan adil, melainkan
melemparkan
segala kesalahan kepada ananda?
Meskipun ananda
insyaf dan mengaku sekalian
kesalahan itu,
tetapi bukan ampunan atau hukuman
yang enteng yang
ananda peroleh, melainkan
sebagai ditambah
siksaan yang diberikan kepada
ananda.
Sesungguhnya
kesalahan ananda itu, bukanlah
suatu kesalahan
yang ringan, melainkan kesalahan
yang memberi aib
nama ayah-bunda, kaum keluarga
dan kampung
halaman serta mendatangkan duka
nestapa kepada
beberapa manusia, memutusasakan
beberapa orang,
tetapi seharusnyalah hakim yang
adil,
mendengarkan kedua belah pihak dan tidak
menuduh sebelah
pihak saja.
Jangankan hati
manusia yang memang lemah dan
lembut,
sedangkan batu yang keras, dapat juga
ditembus air
yang lunak, apabila selalu ia jatuh
bertitik-titik
ke atasnya. Bukankah besi keras, tetapi
mengapakah dapat
juga ia ditajamkan dengan batu
yang rapuh? Dan
apakah yang lebih keras daripada
intan? Tetapi
dapat juga ia diasah. Apalagi ananda,
seorang
laki-laki muda, yang memang bersifat
mudah jatuh ke
dalam jaring yang sedemikian;
bagaimana dapat
menahan hati? Tambahan pula
memanglah hati
ananda yang lemah itu, tak dapat
melihat
kesusahan dan kesengsaraan atau kelaliman
orang;
terlebih-lebih bila yang teraniaya itu teman
ananda sendiri,
kawan bermain dari kecil, sahabat
yang lebih
daripada saudara kandung. Bagaimana
dapat ananda
membiarkan teraniaya?
Bukannya pula
ananda akan menjatuhkan segala
kesalahan ke
atas Nurbaya, sekali-kali tidak.
Memang ananda
merasa, bahwa hati Nurbaya telah
lama tersangkut
pada ananda, dan pada sangka
ananda pun
takkan tiada, tentu ialah kelak yang
akan menjadi
istri ananda. Pada pikiran ananda,
persangkaan ini
bukanlah pada ananda saja
adanya, tetapi
pada Ayahanda dan sekalian mereka
yang kenal akan
kami pun, tentulah ada pula.
Sekarang
bolehkah kita berkecil hati atau marah,
apabila seekor
burung yang telah dipelihara itu,
meskipun dengan
pemeliharaan yang sempurna
sekalipun,
diberi sangkar yang bagus, makanan dan
minuman yang
cukup, pada suata hari, tatkala ia
dilepaskan,
terus terbang kembali ke tempatnya asli,
ke dalam hutan?
Bukankah, kesenangan dan
kesentosa• an
itu tiada selamanya disebabkan oleh
uang atau harta?
Bukankah terkadang-kadang
seorang kuli,
boleh merasa lebih senang dan sentosa
daripada seorang
raja;
Bagaimanakah
boleh disalahkan perbuatan
seorang yang
telah putus asa, sebagai Nurbaya
waktu itu,
karena melihat maksud dait keinginannya,
yang sejak dari
kecil telah diidamkannya, tiba-tiba
dengan paksa
dihilangkan orang, sehingga tak
dapat berharap
lagi?
Orang yang
mendapat kecelakaan amat sangat,
sehingga
terpaksa menjalankan pekerjaan yang
terlebih
ditakutinya daripada mati, pikirannya
tiadalah benar
lagi dan segala perbuatannya tak
dapat
disalahkan. Herankah kita, bila seorang yang
teramat dahaga,
tak berpikir panjang lagi dan tak
mengindahkan
segala kesengsaraan yang akan
diperolehnya
kelak, karena perbuatannya, tetapi
dengan segera
meminum air telaga, yang baru
dijumpainya?
Jadi siapakah
yang salah dalam hal ini?
Nurbaya? Tidak!
Ananda? Tidak! Tiada seorang
pun jua; sebab
masing-masing sekadar menurut
jalan yang telah
tentu, yang akan ditempuhnya juga.
Datuk Meringgih
sekalipun tak boleh disesali pula,
sebab ia sekadar
mengerjakan yang lazim dijalankan
di tanah air
kita. Walaupun ia telah memaksa
Nurbaya, dengan
jalan yang keji dan mempergunakan
berbagai tipu
muslihat untuk menyampaikan
sekalian
maksudnya yang keji, tak juga boleh
disalahkan;
karena ia tak tahu kepada yang baik.
Pada sangkanya
tiada jahat perbuatannya itu.
Apakah gunanya
uangnya yang sebanyak itu,
kalau harta itu
tiada akan dapat menyampaikan
segala
maksudnya, walau yang hina sebagaimana
jua pun? Apakah
pedulinya kesusahan orang lain,
putusnya
pengharapan orang, karena kelakuannya,
kesengsaraan
orang, karena perbuatannya, asal ia
dapat beroleh
kesenangan dan dapat melepaskan
hawa nafsunya?
Bukankah sekalian orang berbuat
demikian?
Jangankan manusia, sedangkan hewan
yang hina, lagi
berbuat begitu. Bukankah sekalian
maliluk di atas
dunia ini kerjanya selalu bunuhmembunuh,
celaka-mencelakakan,
untuk membela
dirinya sendiri?
Mengapakah Datuk Meringgih tak
boleh berbuat
sedemikian? Terlebih-lebih pula
kepada
perempuan, yang memang di mata bangsa
kita, bukan
manusia, melainkan boneka bernyawa,
yang harus
menurut segala kemauan suaminya
dengan tiada
boleh berpikir., berkata, melihat,
mendengar,
mencium dan merasai. Disuruh bekerja,
haruslah
bekerja, jika disuruh sakit, haruslah sakit
dan jika disutuh
mati sekalipun haruslah mati.
Tentu, sebab
budak namanya, boleh diperbuat
sesuka hati.
Jadi apakah
salahnya, jika laki-laki yang telah
putih rambutnya,
telah habis giginya, telah bungkuk
punggungnya,
karena tuanya, dikawinkan dengan
seorang perawan
yang sebaya dengan cucunya'?
Dan apakah
alangannya, jika laki-laki itu beristri
lebih daripada
seorang? Lihatlah ayam jantan!
Betinanya pun
lebih pada seekor. Kalau seekor
binatang boleh
berbuat sedemikian, mengapakah
manusia yang
terlebih mulia, terlebih berkuasa,
terlebih cerdik
dan pandai, tak boleh berbuat
sebagai binatang
itu? Tentu saja boleh, seharusnya
lebih dari itu.
Jika diberikan kepada seekor bapa
kuda, sepuluh
atau dua puluh kuda betina, menurut
perbandingan,
masih kurang, jika diizinkan kepada
manusia beristri
sampai seratus dua ratus
sekalipun."
Samsu berhenti sejurus menyurat,
untuk menahan hatinya
yang geram. Tak puas ia, sebab
segala yang terasa dalam hatinya
waktu itu hanya dapat
dituliskannya dalam surat itu saja: itu pun
tiada pula sempurna. Kemudian
diteruskanyalah menulis surat
itu:
Supaya surat ini
jangan terlalu panjang, baiklah
ananda ceritakan
penanggungan ananda, sejak
ananda tiada
berbapa lagi. Hukuman dan deraan,
azab dan
sengsara yang telah ananda rasai, tak
dapat ananda
uraikan dengan secukupnya dalam
surat ini. Sejak
ananda menjadi yatim, tiada
berayah berkaum
keluarga, tiada berkampung
berhalaman dan
tiada berumah bertanah air,
sampai kepada
waktu ini, belumlah ananda merasai
kesenangan.
Setiap waktu pikiran digoda sesal yang
tak putus dan
kenang-kenangan yang dahsyat. Pada
siang hari
terbayang-bayanglah di mata ananda
segala kelakuan
ananda yang keji itu; adalah
sebagai hal itu
baru terjadi. Muka Ayahanda yang
murka, nyata
kelihatan; suara Ayahanda yang
garang, nyata
terdengar oleh ananda sehingga
kecutlah hati
dan seramlah bulu ananda, seperti
seorang yang
akan dihukum gantung.
Apabila telah
hilanglah penglihatan dan
pendengaran ini,
terbayanglah pula muka Bunda
ananda yang
sangat berdukacita, karena putus asa:
bagai sampan
hilang pengayuh, bagai ayam hilang
induknya. Pada
mukanya itu nyata tergambar,
betapa sedih dan
sesal hatinya, melihat anak
kandungnya, yang
sebiji mata, buah hatinya, tempat
pengharapannya
berkumpul, mendapat mara
bahaya yang amat
besar, sehingga luput dari
matanya. Hancur
luluh hati ananda melihat
kesedihannya,
yang tak dapat ananda lipur. .
Setelah itu
berdirilah pula di muka ananda
sekalian kaum
keluarga, yang memandang ananda
dengan benci dan
merengut, sebagai melihat seekor
anjing yang mencuri
tulang. Penglihatan yang
sedemikian,
sangatlah memberi malu ananda,
sehingga
hampirlah tak berani ananda memperlihatkan
diri.
Pada malam hari,
bertukarlah kenang-kenangan
dan ingatan tadi
dengan mimpi yang dalisyat.
Sekalian hal
yang telah terjadi, melintas kembali,
sebagai
sebenarnya terjadi pula sekali lagi. Rasanya
Datuk Meringgih
datang membawa sebilah pedang
yang terhunus,
hendak memancung leher ananda.
Oleh sebab itu,
berteriaklah ananda di dalam tidur
dan terbangunlah
teman-teman yang dekat dengan
ananda. Apabila
ananda bermimpikan Nurbaya,
menangislah
ananda di waktu tidur, karena tak
tahan melihat
sedih hatinya, yang disebabkan oleh
nasibnya
yangmalang.
Demikianlah hal
ananda siang malam digoda
pikiran dan
mimpi yang jahat. Jangankan belajar,
makan dan minum
pun hampir tak dapat, karena
nasi dimakan
serasa sekam, air diminum rasakan
duri. Apabila
Ayahanda melihat ananda pada waktu
menulis surat
ini, barangkali tiadalah kenal lagi
Ayahanda kepada
ananda, karena badan ananda
sangat berubah.
Terkadang-kadang
timbul niat di dalam hati
hendak membunuh
diri; tetapi ingatan kepada
Bunda dan
Nurbayalah yang mengalangi 'maksud
itu, sebab
takut, kalau-kalau bertambah pula
dukacita mereka,
oleh perbuatan ananda ini. Akan
tetapi walaupun
ananda belum melekatkan senjata
ke badan
sendiri, jika demikian saja godaan-godaan
yang datang,
tentulah akhirnya akan ke sana juga
perginya. Inilah
pula yang menambahkan susah
hati, sebab
waktu itu ananda belum boleh
meninggalkan
dunia ini; bukan untuk ananda
sendiri, melainkan
untuk Bunda dan Nurbaya, yang
telah ananda
celakakan itu.
Seharusnyalah
bagi ananda, mengangkat mereka
kembali dari
lumpur, tempat mereka ananda
jatuhkan. Itulah
sebabnya maka ananda kembali ke
Jakarta, dengan
maksud akan mencoba meneruskan
pelajaran ananda.
Tetapi apa
hendak dikata, Ayahanda? Rupanya
hukuman dan
penderitaan yang telah ananda
tanggung,
belumlah cukup untuk pembayar utang
kesalahan
ananda. Karena tatkala ananda baru
berasa bebas
sedikit dari godaan ini dan mulai
biasa menanggung
kesakitan, dan ketika ananda
mulai beroleh
pengharapan, akan dapat melawan,
segala siksaan
dan percobaan ini, sehingga dapat
juga
menyampaikan maksud ananda, yakni akan
menyenangkan
Bunda dan Nurbaya lebih dahulu,
sebelum
berpindah ke alam lain, ketika itulah pula
datang hukuman
ananda yang sebenar-benarnya.
Ketika itulah
jatuh pedang yang menceraikan badan
dari kepala
ananda, menembus dada dan jantung
ananda,
menghancurkan hati dan tulang ananda
seluruh tubuh;
karena waktu itulah datang surat
kawat, yang
membawa kabar Ibu ananda dan
Nurbaya, dua
orang perempuan yang masih sayang
kepada ananda,
tatkala ananda telah jatuh ke dalam
lumpur, telah
meninggal dunia ini ...
Aduhai! Di
situlah putus pengharapan, habis
sabar dan hilang
akal ananda. Sekaranglah ananda
menjadi yatim
piatu, tiada beribu, tiada berbapa,
tiada bersanak
atau saudara, tiada berkaum
kerabat, kampung
halaman dan tanah air lagi. Oleh
sebab itu,
apal4h gunanya ananda hidup juga?
Daripada hidup
bercermin bangkai, baiklah mati
berkalang
tanah."
Tatkala sampai ke sana Samsu
menulis, jatuhlah kalam dari
tangannya, sebagai ia tiada
berdaya lagi, memegang kayu yang
sekerat kecil itu, dan penuhlah
surat itu berlumur dawat. Air
matanya pun jatuh pula
bercucuran, membasahi kertas yang
disuratnya. Karena terlalu amat
sedih hatinya, menangkuplah ia
ke meja tulisnya dan menangis
tersedu-sedu beberapa lamanya.
"Ya, nasib! Tiadakah engkau
menaruh iba kasihan kepada
bani Adam yang muda remaja itu?
Bukankah ia baru akan
mengenal kesenangan, kemuliaan
dan kekayaan dunia ini,
sebagai sekuntum bunga yang baru
hendak mengembangkan
kelopaknya akan menghamburkan
baunya yang semerbak, dan
mempertunjukkan warnanya yang
cantik, kepada segala kupukupu
yang melintas dekatnya. Dengan
kekerasan dan
kekejaman, telah kaubantun ia
dari tangkainya, sehingga putus
lalu gugur ke tanah, menjadi
hancur."
Setelah bersedih hati sedemikian
itu diangkatlah oleh Samsu
kepalanya, lalu disapunya air
matanya, diambilnya pula
kalamnya dan diteruskannya
menulis suratnya tadi:
Ya, Ayahanda!
Rupanya pengharapan yang
ananda peroleh
sedikit itu, ialah suatu tanda yang
menyatakan,
bahwa kesudahan nasib ananda akan
datang. Sejak
Ayahanda membuang ananda, kutuk
telah jatuh
bertubi-tubi ke atas kepala ananda dan
sejak waktu itu,
tiadalah ditinggalkannya lagi
ananda barang
sekejap pun, melainkan selalu
diturutnya jejak
ananda, sebagai bayang-bayang di
waktu malam,
menanti saat yang baik dan ketika
yang sempurna,
untuk menerkam ananda.
Sejak waktu
itulah ananda dipermain-mainkannya,
seperti kucing
mempermainkan tikus; ditangkap
dan
dilepaskannya pula. Gelak senyum ia agaknya
melihat ananda,
tatkala beroleh pengharapan yang
sedikit tadi.
Direnggangkannya sedikit cakarnya
yang panjang dan
tajam itu dari badan ananda,
karena pada
pikirannya, "Kelak akan masuklah
cakarku ini ke
dalam dagingmu yang lembut itu,
untuk meleburkan
tubuhmu, bila engkau coba
hendak
melepaskan dirimu."
Sesungguhnya,
Ayahanda, maksudnya itu telah
dapat
dilangsungkannya. Ananda telah diremasnya
dalam cakarnya
yang runcing dan panjang itu.
Tinggal menunggu
hancur luluh saja lagi ...
Tentang
perbuatan ananda yang akhir ini pun,
ananda
pohonkanlah ampun dan maaf, dunia
akhirat kepada
Ayahanda jangan jadi keberatan
atas perjalanan
ananda dalam menuruti Bunda dan
Nurbaya, yang
telah berangkat lebih dahulu. Mogamoga
dapatlah kami
bersama-sama menghadap ke
hadirat Tuhan
yang amat add.
Akhirnya ananda
mintalah pula terima kasih
banyak-banyak
kepada Ayahanda serta kaum
kerabat kita,
atas susah payah, karena telah sudi
memelihara
ananda dari kecil sampai besar. Akan
kebaikan itu,
tiada lain, melainkan Allahlah yang
akan
membalasnya, karena balasan yang telah
ananda berikan,
adalah jahat semata-mata, sebagai
air susu dengan
air tuba. Tetapi apa hendak dikata?
Karena sekalian
itu pun takdir daripada Tuhan
juga.
Terimalah sembah
sujud yang penghabisan dari
ananda.
Selamat tinggal!
SAMSULBAHRI
Tatkala Samsu hendak menyuratkan
perkataan "selamat
tinggal" itu gemetarlah
tangannya, sehingga hampir-hampir tak
dapat ditulisnya tanda tangannya.
Napasnya sesak dan mukanya
pucat karena nemahan sedih yang
memenuhi dadanya. Kepala
pening dan penglihatannya
berputar, terlebih-lebih sebab
matanya penuh dengan air mata
yang tak dapat ditahannya.
Maka menangislah pula Samsu
dengan amat rawannya, sambil
menutup mukanya dengan kedua
belah tangannya dan
menangkup ke atas meja.
Beberapa lamanya ia bersedih hati
itu, tiadalah diketahuinya,
hanya tatkala ia sadarkan dirinya
pula, didengarnyalah lonceng
setengah enam telah berbunyi.
Maka berdirilah ia melihat surat
itu dan memasukkameya ke dalam
sebuah pembungkus surat.
Surat itu dialamatkannya kepada
ayahnya. Kemudian
dicucinyalah mukanya, supaya
hilang merah matanya, bekas
menangis, lalu dipakainya
pakaiannya.
Setelah itu ditulisnya pula
sepucuk surat, untuk guru dan
teman sejawatnya yang demikian
bunyinya:
Sekalian guru
dan teman sekolah hamba!
Janganlah
Tuan-tuan heran bila mendengar kabar,
hamba dengan
paksa telah membawa diri ke pintu
kubur. Tuan-tuan
sekalian tentu maklum, bahwa
kehidupan
tiap-tiap manusia di atas dunia ini tiada
sama. Ada yang
beruntung, ada yang malang, ada
pula yang
berganti-ganti beroleh kesenangan dan
kesusahan.
Walaupun nasib mereka berlain-lainan,
tetapi ada juga
yang bersamaan pada mereka, yaitu
maksud dan
harapan yang ada pada tiap-tiap
manusia yang
hidup. Bukankah tiap-tiap pekerjaan
itu ada sebab
dan tujuannya? Akan tetapi, apabila
maksud itu telah
hilang dan pengharapan telah
putus, apakah
gunanya hidup lagi? Daripada
memenuh-menuhkan
kampung, menghabis-habiskan
makanan dan
menyusahkan orang, dengan tiada
berguna, baiklah
mati.
Hal yang
sedemikian, telah jatuh ke atas diri
hamba. Oleh
sebab itu, pada sangka hamba, tak ada
gunanya hamba
hidup lama lagi di atas dunia ini.
Hamba harap
cukuplah ini bagi Tuan-tuan untuk
mengetahui sebab
perbuatan hamba ini. Sungguhpun
hamba berbuat
begitu, hamba pohonkan siang dan
malam, janganlah
ada di antara teman-teman
hamba, yang
berniat hendak meniru perbuatan
hamba ini dan
terjauh jugalah hendaknya mereka
daripada segala
kecelakaan yang telah menimpa diri
hamba.
Kemudian hamba
pohonkan banyak terima kasih
kepada sekalian
guru dan teman sejawat, atas
sekalian
pelajararn dan kasih sayang, yang telah
dilimpahkan
kepada hamba.
Sambutlah sembah
sujud dan salam maaf dari
murid dan teman
Tuan yang malang ini.
SAMSULBAHRI
Tambahan: Sekalian barang-barang
dan perkakas
hamba, haraplah dibagi-bagikan
kepada segala teman
sekolah hamba, untuk
menjadi-tanda mata dari
hamba.
Setelah dilipatnya surat ini,
diletakkannya di atas meja
tulisnya, lalu pergilah ia
membuka lemarinya, mengambil suatu
benda yang kecil. Setelah
diperiksanya benda itu baik-baik,
dimasukkannyalah ke dalam kocek
celananya. Kemudian
dibukanya pintu biliknya, lalu ke
luar. Di luar dilihatnya Arifin
hendak mengetuk pintu biliknya.
Air matanya hendak keluar
pula, karena teringat, tiada
berapa saat lagi, akan bercerailah ia
dengan sahabat karibnya ini.
Lama ia termenung memikirkan hal
itu, sampai didengarnya
suara Arifin yang berkata sambil
menghampirinya, "Alangkah
lamanya engkau tidur hari ini,
Sam. Lihatlah matamu masih
merah! Kabar apa yang kau terima
dari Padang tadi? Aku harap,
kabar baik."
"Ya," jawab Samsu
dengan susah payah mengeluarkan
perkataan ..., Ibuku telah sembuh
kembali."
"Syukur! Alangkah senangnya
hatiku, mendengar kabar yang
baik ini! Tetapi surat kawat yang
sebuah lagi dan siapa?" tanya
Arifin pula.
"Dari Mamanda, mengabarkan
hal itu juga," jawab Samsu
seraya membuang mukanya ke pintu
biliknya dengan segera,
supaya jangan kelihatan oleh
Arifin dukacitanya.
Tatkala pintu bilik ini akan
ditutupnya, diperhatikannyalah
biliknya ini dengan sekalian
perkakas yang ada di dalamnya,
yakni segala benda, yang telah
dipergunakannya sekian lama.
Setelah itu ditariknyalah pintu
ini dengan keras, sebagai takut ia
lama-lama memandang sekalian
perkakas yang akan ditinggalkannya
itu.
"Engkau hendak ke mana
sekarang, Sam? Rupanya hendak
berjalan?" tanya Arifin.
"Ke kantor pos, akan
memasukkan sepucuk surat untuk
ayahku," jawab Samsu.
"Tentulah akan membalas
kawat tadi, bukan?"
"Ya," jawab Samsu
dengan pendek.
"Jika demikian, marilah aku
temani engkau ke sana, sebab
maksudku pun hendak
berjalan-jalan juga," kata Arifin.
Samsu tiada dapat menjawab
permintaan sahabatnya ini
dengan segera, sebab tak tahu,
apa yang akan diperbuatnya.
Kalau dibawanya Arifin, tentulah
tak dapat dilangsungkannya
maksudnya dan jika tak
dikabulkannya permintaan ini, takut ia,
sahabatnya ini akan menduga
niatnya; karena belum pernah ia ke
luar rumah, tidak bersama-sama
dengan Arifn. Tampak seorang,
tampak keduanya.
Setelah berpikir sejurus,
berkatalah ia, "Baik benar; tetapi di
kantor pos kita kelak harus
bercerai, sebab ada maksudku yang
lain."
Walaupun Arifin heran mendengar
jawab Samsu ini, karena
belum pernah ia berbuat sesuatu
yang tiada boleh diketahuinya,
tetapi dengan tersenyum
dijawabnya perkataan Samsu itu.
"Tentu aku tiada akan
mengalangi engkau, bila engkau ada
keperluan yang lain."
. Meskipun ia tersenyum, tetapi
hatinya tiada senang. Bukan
saja karena melihat perubahan
kelakuan Samsu, tetapi karena
nyata kepadanya, tatkala
menghampiri sahabatnya ini. Samsu
baru saja menangis. Tambahan
pula, bila benar kabar yang baru
diterimanya, menyatakan ibunya
telah sembuh dari penyakitnya,
mengapakah dikawatkan dan dengan
dua surat kawat sekali
sebagai suatu kabar yang amat
penting dan segera. Mengapakah
tidak dengan surat biasa saja?
Oleh sebab itu ditetapkannyalah
hatinya, hendak mengetahui
rahasia ini. Takut ia,
kalau-kalau karena mendapat sesuatu
kesusahanlah, maka sahabatnya
sampai menangis. Dalam hal itu,
tentulah akan dicobanya melipur
duka nestapa Samsu.
Di tengah jalan khawatir Arifin
ini makin bertambah-tambah,
sebab dilihatnya Samsu sebagai
seorang yang sedang memikirkan
sesuatu hal yang sangat penting;
karena acap kali tiada
didengarnya perkataan Arifin dan
jawabannya pun banyak yang
salah, bila ia bertanyakan barang
sesuatu kepadanya. Dan lagi
apakah sebabnya lama benar
dipandang Samsu mukanya tadi?
Dan pintu biliknya ditutupnya
dengan keras, sebagai orang
takut? Mengapa pula lama ia
berhenti di muka sekolah, memperhatikan
sekolah itu, sebagai orang yang
baru melihatnya?
Tiada berapa lamanya berjalan
itu, sampailah kedua mereka
ke kantor pos. Segera Samsu
menghampiri tempat memasukkan
surat, lalu mengeluarkan surat
yang hendak dikirimkannya
kepada ayahnya itu dari dalam
koceknya. Lama dipandangnya
surat itu, sebagai ia
memperhatikan alamatnya, barulah
dimasukkannya perlahan-lahan ke
dalam lubang surat, seolaholah
sayang ia rupanya hendak
mengirimkannya.
Sekalian kelakuan Samsu ini
diintip oleh Arifin dari sisinya,
sambil pura-pura membaca suatu
surat yang tergantung di
dinding kantor pos itu. Tiba¬tiba
menolehlah ia kepada
sahabatnya ini, sebab didengarnya
Samsu berkata, "Sekarang
engkau jangan marah, Rif, sebab
aku akan meninggalkan
engkau. Bukan karena tak suka
berjalan bersama-sama dengan
engkau, hanya sebab aku telah
berjanji, akan pergi ke rumah
seorang tuan, seorang diri saja;
jadi kurang baik, bila aku bawa
engkau, dengan tiada memberi tahu
lebih dahulu kepada yang
punya rumah. Kelak, bila aku
pergi pula ke sana, tentulah akan
kuminta kepadanya, supaya kita
boleh pergi bersama-sama ke
situ."
"Ah, tak jadi apa itu. Aku
pun tentu tak berani ke sana, kalau
tiada dipanggil. Hanya kuharap,
janganlah engkau lupa pulang
kelak, karena asyik
bercakap-cakap," kata Arifin dengan purapura
tersenyum, supaya jangan syak
hati Samsu kepadanya.
"Nah, Sam, aku harap engkau
akan banyak beroleh kesukaan
dan kesenangan di sana!"
kata Arifin pula, sambil keluar dari
kantor pos. Setelah sampai ke
jalan besar, di muka kantor pos
itu, menolehlah ia kebelakang.
Dengan terperanjat dilihatnya
Samsu masih berdiri di kantor pos
itu sambil memandang ia
berjalan dan nyata tampak
olehnya, air mata sahabatnya ini
berlinang-linang di pipinya,
dengan tiada dirasainya rupanya.
Ketika itu barulah Samsu ingat
akan dirinya, lalu
memalingkan mukanya dan berjalan
cepat-cepat menuju arah ke
barat.
Melihat hal yang sedemikian,
bertambah-tambahlah keras
sangka Arifin, Samsu berniat akan
berbuat pekerjaan yang
penting, yang tiada boleh
diketahui orang; siapa tahu barangkali
perbuatan yang boleh mencelakakan
dirinya. Sekarang yakinlah
nyata kepadanya, bahwa segala
perkataan Samsu tadi tiada
benar. Oleh sebab itu semangkin
keraslah keinginannya hendak
mengetahui maksud sahabatnya ini
dan kalau benar ia berniat
jahat, seboleh-bolehnya hendak
dicegahnya.
Akan menyembunyikan dirinya,
segeralah ia masuk ke dalam
suatu kedai, pura-pura hendak
membeli apa-apa, tetapi sebenarnya
akan mengintai ke mana tujuan
perjalanan sahabatnya itu.
Setelah nyata olehnya Samsu
berjalan menuju ke barat dengan
tiada menoleh-noleh ke belakang,
keluarlah Arifin dari kedai itu,
lalu mengikut Samsu dari jauh.
Sebentar-bentar ia bersembunyi
di balik pohon kayu atau kereta,
takut terlihat oleh Samsu, kalau
ia menoleh ke belakang.
Setelah beberapa lamanya berjalan
itu, kelihatanlah olehnya
Samsu masuk ke dalam suatu kebun
bunga dan di sana luputlah
ia dari pemandangan Arifin. Oleh
sebab itu Arifin mempercepat
langkahnya, mengejar temannya.
Akan tetapi tatkala ia sampai
ke kebun itu, tiadalah kelihatan
olehnya Samsulbahri, karena hari
telah mulai gelap.
Hati Arifin berdebar dan
khawatirnya bertambah-tambah,
sebagai ada sesuatu bahaya, yang
mengancam sahabatnya.
Karena tak tahu ke mana akan
dicarinya Samsu, berdirilah ia
sejurus akan mendengarkan, adakah
bunyi orang berjalan atau
tidak. Tetapi lain daripada ribut
di jalan besar, tiadalah
kedengaran apa-apa olehnya. Sebab
itu berjalanlah ia cepat-cepat
ke sana kemari, sambil memandang
ke kiri dan ke kanan.
Setelah sejurus ia mencari,
kelihatanlah olehnya dari jauh
sebagai orang duduk di atas
sebuah bangku, membelakang
kepadanya. Tangannya yang kanan
diangkatnya ke kepalanya,
seperti hendak memberi tabik.
Tatkala diperhatikan Arifin benarbenar
orang ini, nyatalah yang duduk
itu Samsu, yang sedang
mengacungkan sebuah pestol ke
kepalanya. Dengan tiada
berpikir lagi menjeritlah ia,
"Samsu, ingat akan dirimu!" sambil
melompat memburu sahabatnya itu.
Akan tetapi terlambat, karena
tatkala itu juga didengarnya
bunyi pestol dan dilihatnya Samsu
rebah ke bangku. Segera
Arifin lari ke bangku itu dan di
sana dilihatnya sahabatnya ini
tiada ingatkan diri lagi dan
kepalanya berlumuran darah. Arifin
tiadalah terkata-kata dan tak
tahu apa yang akan diperbuatnya,
lalu berteriak minta tolong.
Tiada berapa lama kemudian,
penuhlah orang di tempat itu
dan kabar orang menembak diri,
pecahlah ke sana kemari. Polisi
datang akan memeriksa. Setelah
diceritakan Arifin kejadian itu
dibawalah mayat Samsu ke rumah
sakit.
Keesokan harinya tersiarlah di
surat kabar, seorang muda
anak Padang, murid Sekolah Dokter
Jawa telah menembak diri
di kebun kembang Jakarta. Entah
apa sebabnya belum diketahui.
....Bersambung ke....Episode : Sepuluh Tahun Kemudian
No comments:
Post a Comment