Wednesday, January 28, 2015

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode : Kenang-Kenangan Kepada Syamsul Bahri



Karya : Marah Rusli
Hari kira-kira pukul setengah tujuh, petang berebut dengan senja,
siang hampir akan hilang, malam hampir akan datang. Matahari
yang telah menjalankan kewajibannya, yakni memberi cahaya
dan panas kepada muka bumi yang sebelah timur, telah setengah
jam lamanya terbenam ke bawah ujung langit, yang sebelah
barat. Hanya bekas jejaknyalah yang masih kelihatan,
mengembang dari tempat silamnya, ke atas, sebagai kipas besar,
yang memancarkan bermacam-macam sinar yang permai warnanya.
Bintang kejora, mulai bercahaya, sebagai suatu mustika,
yang bersinar di tempat gelap. Bin-, tang yang lain pun, mulai
pula gemerlapan cahayanya, sebagai berlian pada peniti, yang
selalu digoyang oleh pegas. Burung-burung yang melayang di
udara, sekaliannya telah mencari sarangnya masing-masing, akan
melepaskan lelahnya, sebab bekerja berat sehari-hari itu mencari
rezeki, untuk kehidupannya, sehingga perlulah ia beristirahat,
akan mengumpulkan tenaganya untuk keesokan harinya. Hanya
burung murailah yang masih kedengaran kicau mengicau di
puncak kayu, sebagai hendak mengucapkan selamat tidur kepada
kawan-kawannya. Demikian pula ayam jantan, masih ada di luar
kandangnya, menoleh ke segenap tempat, seolah-olah hendak
mengetahui, sudahkah masuk sekalian anak dan bininya ke
dalam kandangnya. Tetapi induk ayam, telah lama ada di tempatnya,
mengeram akan memanaskan anak-anaknya yang masih
kecil. Kelelawar telah meninggalkan tempatnya pula, terbang
kian kemari dengan tiada kedengaran bunyi kelepaknya, memburu
kelekatu yang melayang di segala tempat. Di bawah pohon
kayu, kedengaran kumbang, terbang mencari mangsanya. Kupukupu
malam kelihatan mengembangkan sayapnya yang berukirukiran
itu, melayang ke atas dan ke bawah, terbang dipikat
bunga sedap malam. Cengkerik pun mulai pula mengerit,
seakan-akan orang yang sedang asyik mengaji dan berzikir di
surau.
Sekonyong-konyong timbullah di sebelah timur, dari puncak
gunung yang tinggi, perlahan-lahan dengan tiada berasa
jalannya, putri malam yang cantik molek itu, sebagai bidadari
baru turun dari kayangan. Datangnya itu adalah diiringkan oleh
dayang pengasuhnya, yakni bintang-bintang yang mengelilinginya
dan diwakili oleh beberapa pahlawan hulubalangnya, yaitu
awan dan mega yang memagarinya. Maksudnya menjelma itu,
ialah akan menunjukkan wajahnya yang gilang-gemilang,
kepada bumi, yang disinarinya dengan sinar yang lembut dan
segar.
Alangkah senang dan sentosanya hati dan perasaan sekalian
mahluk di muka bumi, menyambut kedatangan putri kamariah
ini, sehingga terlipur rasanya duka nestapa mereka, karena ditinggalkan
kekasihnya, raja siang itu. Amat indah paras mukanya
yang bundar jemih itu, sebagai emas bam disepuh, melimpahkan
cahayanya yang hening dan bening, sampai ke bawah-bawah
pohon kayu dan ke celah-celah batu. Sekalian hamba Allah, tua
muda, besar kecil, yang mula-mulanya hendak mencari tilam dan
kasurnya, akan melepaskan lelahnya, karena peperangan di
padang penghidupan yang baru dilakukannya, tertariklah
kembali ke luar, sebab hendak merasai kesenangan dan
kesedapan yang dikaruniakan oleh putri malam ini. Anak-anak
yang biasanya telah mendekur di tempat tidur, keluarlah bermain-
main, berkejar-kejaran dan bernyanyi di malam sunyi dan
piatu itu. Di muka rumah, banyak orang duduk bercakap-cakap
dengan anak dan istrinya atau sahabat kenalannya, membicarakan
hal-ihwal yang telah lalu atau sesuatu yang akan datang.
Di tepi laut kota Padang, terbayang-bayang di atas beberapa
bangku sebagai orang duduk berdekatan, bercakap perlahanlahan.
Siapakah mereka, yang telah sengaja mencari tempat yang
sunyi-senyap ini, sebagai takut akan diganggu orang? Itulah
asyik dan masyuknya, yang sedang melepaskan dahaga cinta
berahinya. Mereka tiada ingat lagi akan dirinya dan tiada mengindahkan
sekalian yang mengelilinginya; sebagai tak adalah
baginya makhluk di atas dunia ini, lain daripadanya berdua. Dan
sesungguhnya, mereka itulah orang sesenang-senang dan
semujur-mujur manusia waktu itu. Disuluhi oleh cahaya yang
permai, dinyanyikan oleh geloinbang yang menderu-deru
memecah di tepi pantai, tersembunyi di tempat yang lengang,
bebas daripada segala keramaian, penglihatan dan pendengaran,
memang dapatlah mereka merasai kenikmatan asmara sepenuhpenuhnya.
Di jalan raya, kelihatan kereta;kereta ditarik oleh kuda yang
besar-besar, bersiar-siar perlahan-lahan kian kemari. Di pinggir
jalan yang dilindungi pohon yang rindang-rindang, kelihatan
beberapa orang bangsa Barat, berjalan berpegang-pegangan
tangan dengan istrinya, akan mengambil hawa yang sedap.
Akan tetapi, bila kedua asyik dan masyuk itu berjauh jauhan,
seorang dengan yang lain, hilanglah segala kesenangan dan
kesukaan tadi, berganti dengan duka dan sedih, yang menghancurkan
hati. Segala yang pada waktu itu menambahkan
kesukaan dan kesenangan, seperti tempat yang sunyi senyap,
cahaya bulan yang permai, gelombang yang memecah di pasir
pantai, angin yang bertiup sepoi-sepoi, sekalian itu akan terbalik
menambahkan rindu dendam, yang disertai oleh sedih dan pilu
yang amat sangat.
Demikian pula bagi dagang yang jauh di rantau orang,
sekalian itu acap kali mendatangkan kesedihan hati serta rindu
dendam yang tiada terkira-kira; karena teringat akan tanah air,
rumah tangga, kampung halaman, ibu-bapa, sanak saudara, kaum
keluarga, handai dan tolan, yang telah lama luput dari mata,
tetapi tiada kunjung hilang dari hati. Terlebih-lebih jika teringat
bahwa Allah sajalah yang mengetahui akan untung manusia itu,
entahkan terjejak kembali tanah tepi, entahkan tersangkut di
rantau orang, sebagai kata pantun:
Bergetah tangan kena cempedak,
digosok dengan bunga karang.
Entah berbalik entah tidak,
entah hilang di rantau orang.
Jarang berbunga tapak leman,
orang Padang mandi ke pulau.
Orang berkampung bersalaman,
dagang membilang teluk rantau.
Makin lama, makin malam, dan bulan pun mengambang kian
bertambah-tambah tinggi. Anak-anak yang bermain-main bersorak-
sorak tadi, tiadalah kedengaran lagi suaranya, karena telah
lama berselimut di tempat tidurnya. Orang yang duduk bercakapcakap
di muka rumahnya tiada pula kelihatan lagi; masingmasing
telah masuk ke dalam rumahnya. Di jalan besar, bendibendi
telah mulai kurang, dan orang pun hampir tak ada lagi.
Tiada lama kemudian daripada itu sunyi senyaplah jalan raya
yang ramai tadi. Hanya sekawan orang jaga, yang memakai
serba hitam, masih kelihatan berjalan perlahan-lahan dengan
tiada bercakap-cakap, supaya keadaan mereka jangan diketahui
penjahat.
Kota yang ramai tadi menjadi sunyi senyaplah, sebagai
negeri yang telah ditinggalkan orang. Sekaliannya tidur. Hanya
di puncak kayu yang tinggi, masih kedengaran sejurus-sejurus
bunyi burung pungguk, yang sedang merindukan bulan, mendayu-
dayu antara ada dengan tiada, seakan-akan ratap tangis
yang sedih, tersedu-sedu dengan putus-putus suaranya.
Hai Pungguk! Mengapakah engkau merindu sedemikian itu,
seraya memandang dengan tiada berkeputusan kepada bulan
yang tinggi itu? Apakah yang menjadikan sedih hatimu, dan
apakah maksud perbuatanmu itu?
"Aduh bulan, aduh jiwaku, jantung hatiku, cahaya mataku!
Bilakah engkau turun ke dunia ini, melihat aku, yang telah
sekian lama mengandung rindu dendam kepadamu? Bilakah
engkau jatuh ke bumi, ke atas pangkuanku untuk mengobati luka
hatiku, yang telah tembus kena panah berahi, yang telah kaulepaskan
daripada busurnya menuju dadaku? Tiadakah belas dan
kasihan hatimu, melihat aku selalu merayu di puncak kayu ini,
merindukan engkau dengan tiada mengindahkan jerih dan lelah,
hujan dan basah? Sampai hati gerangan engkau, melihat halku
sebagai orang mabuk cendawan.
Adapun maksudku hendak terbang mendapatkan engkau,
akan memperhambakan diriku yang hina ini kepadamu kalaukalau
beroleh kasihan daripadamu, tetapi apatah dayaku?
Sayapku yang lemah ini, tiada dapat membawa aku terbang lebih
tinggi, dari pohon ini:
Putih berkembang bunga kecubung,
mati tiram di tepi pantai.
Maksud hendak memeluk gunung,
apa daya tangan tak sampai.
Aduh, aduh! Bilakah dapat kusampaikan hasrat hatiku ini?
Karena apabila telah sianglah hari kelak, bila telah datanglah
suamimu raja Samsu, memancarkan sinarnya yang tajam ke
segenap penjuru alam ini, haruslah aku lari bersembunyi ke
tempat yang gelap, supaya jangan buta mataku ditembus panah
suamimu."
Sebagai burung Pungguk ini meratap, menangis, merayu di
puncak kayu, merindukan bulan yang tinggi di atas langit yang
biru, demikian pulalah duduk seorang perempuan muda, termenung
berawan hati, di jendela sebuah rumah di kampung
Belantung di kota Padang; adalah sebagai seorang yang sedang
merindukan kekasihnya, yang jauh dari matanya.
Jika ditilik pada rupanya, adalah perempuan ini seorang janda
yang masih remaja kira-kira berumur tujuh atau delapan belas
tahun. Rupanya cantik, badannya lemah semampai dan kulitnya
kuning langsat. Rambutnya yang hitam lagi ikal itu, jatuh
berlingkar-lingkaran di keningnya, sebagai rambut gadis bangun
tidur. Sanggulnya yang besar itu tergantung bagaikan terurai
pada kuduknya. Matanya yang lembut pemandangannya itu
merenung dengan tiada berkeputusan, bulan, yang hampir
diselimuti mega, di atas langit. Pada air mukanya nyata
kelihatan, ia sangat berdukacita, karena dari matanya yang
merah, jatuhlah berderai ke tanah, air matanya yang telah
berlinang-linang di pipinya, sebagai mutiara putus pengarang.
Tangannya yang putih kuning, dihiasi gelang emas ular-ularan,
yang nyata kelihatan, tatkala lengan baju sutera jepunnya surut
ke bawah, tiadalah lelah menopang dagunya, yang sebagai lebah
bergantung.
Siapakah perempuan muda itu? Apakah sebabnya maka ia
berdukacita sedemikian itu dan mengapakah pula maka selalu ia
memandang kepada bulan yang tinggi di atas langit, sebagai di
sanalah tempat yang menjadikan dukacita hatinya?
"Aduh kekasihku yang sangat kucintai! Betapakah akhirnya
aku ini? Karena semenjak aku kautinggalkan, adalah halku ini
sebagai orang yang tiada bemyawa lagi dan adalah dunia ini
rasanya telah menjadi sangat sempit, tiada lebih besar daripada
engkau berdiri seorang diri, tempat aku bergantung:
Jika begini condongnya padi,
tentu ke barat jatuh buahnya.
Jika begini bimbangnya hati,
tentu melarat badan akhirnya.
Jika begini naga-naganya,
kayu hidup dimakan api.
Jika begini rasa-rasanya,
badan hidup rasakan mati.
Lurus jalan ke Payakumbuh,
kayu jati bertimbal jalan.
Hati siapa tidakkan rusuh,
ayah mati kekasih berjalan.
Anak Judah duduk mengarang,
syair dikarang petang pagi:
Alangkah susah hidup seorang,
bagi menentang langit tinggi.
Jika 'ndak tahu di Tanjung Raja,
bermalam semalam di kampung Pulai,
mudik berkayuh ke Merangin,
Cerana Nanggung di Supayang.
Jika 'ndak tahu diuntung saya,
lihat kelopak bunga bulai,
kalau pecah ditimpa angin,
entah ke mana terbang melayang.
Wahai jantung hatiku, cahaya mataku! Betapakah sampai
hatimu meninggalkan aku ini seorang diri dengan nasibku yang
malang ini? Jika siang tiadalah lain yang kupikirkan, melainkan
engkau dan untungku yang celaka ini. Bekerja yang lain tiada
dapat, karena pikiranku selalu melayang. Walaupun badanku ada
di sini, tetapi nyawaku tiadalah jauh daripadamu. Wajah mukamu
senantiasa terbayang-bayang di mataku. Jangankan bekerja,
sedangkan makan dan minum tiada ingin, karena nasi dimakan
rasa sekam, air diminum rasa duri.
Tiadalah lain yang kukerjakan sehari-hari, melainkan duduk
termenung bertopang dagu, memandang dengan tiada berkeputusan
kepada benda yang tiada kulihat. Ini, lihatlah! Telah
berapa lamanya aku duduk sedemikian ini, tiadalah kuketahui.
Selalu kupandang bulan yang jauh di atas langit, karena ialah
yang dapat memperhubungkan pemandangan kita berdua. Jika
engkau pun melihat pula kepada bulan itu, niscaya bertemulah
pemandangan kita di sana. Aduhai! Betapakah baiknya, bila
bulan itu dapat pula menyambung perkataan dan perasaan kita!
Apabila hari telah malam, tiadalah dapat kupejamkan mataku
barang sekejap pun, karena bayang-bayangmu berdiri di mukaku.
Suaramu terdengar di telingaku, ciunvnu terasa di pipiku.
Walaupun aku telah tertidur, sebab lelah pikiran dan badanku,
acap kali aku terbangun kembali, karena bermimpikan engkau.
Wahai! Sebagai sungguhkah rasanya engkau datang kepadaku,
akan menghibur hatiku yang kecewa ini dengan perkataan yang
lemah-lembut, serta memeluk dan menciumku, akan memperlihatkan
hatimu yang belas kasihan kepadaku. Maka hilanglah
segala kesusahan dan duka nestapa yang menggoda pikiranku.
Akan tetapi, ya Allah! Bila tersadar pula aku dan teringat, bahwa
sekalian itu hanya permainan kalbuku saja dan nyata pula
olehku, bahwa aku masih ada di dalam tempat tidurku, terbaring
seorang diri, hanya ditemani oleh guling dan bantalku,
bertarnbah-tarnbahlah sedih hatiku dan hancur luluh rasa
jantungku. Air mataku bercucuran membasahi bantal dan kasurku
dan mataku tiada dapat kututupkan lagi.
Tatkala berkokoklah ayam bersahut-sahutan di segala tempat,
barulah terperanjat aku, karena bunyi itu kudengar sebagai
suaramu, mernanggil aku dari jauh. Bunyi ombak yang menderuderu
memecah di tepi pantai, sebagai mengingatkan aku, bahwa
kekasihku jauh di seberang lautan yang dalam, di balik gunung
yang tinggi. Dadaku rasakan belah, tali jantungku rasakan putus.
Maka menelungkuplah aku, menekankan dadaku ke bantal, akan
menahan sakit yang mengiris hatiku, sehingga terkadang-kadang
pingsanlah aku, tiada khabarkan diri. Waktu yang dua belas jam,
menjadi dua belas tahun lamanya, karena lama menanti siang.
Bila menyingsinglah fajar di sebelah timur dan bersuitlah
burung di dahan kayu, alamat hari akan siang, bangunlah aku
seorang diri, keluar perlahan-lahan, supaya jangan menyusahkan
orang. Walaupun had masih gelap dan dingin, aku basuh
mukaku, karena malu, kalau diketahui orang halku, melihat
mataku yang bengkak dan merah: Tetapi hawa yang sejuk dan
embun yang mengabut itu pun tiada juga dapat menyegarkan
badanku dan menenangkan pikiranku, melainkan bertambahtambahlah
sedih hatiku, sebab di sana nyata benar olehku buruk
untungku, sunyi daripada scgala makhluk yang dapat mengobati
penyakitku.
Sungguhpun pada siang hari banyak pekerjaan yang boleh
dikerjakan, tetapi luka hatiku tak dapat ditawari dengan
pekerjaan. Dan bila malamlah pula hari, penyakit yang hebat ini
datang kembali berlipat ganda kerasnya, menggoda aku.
Wahai nasib yang malang, bilakah engkau lepaskan aku dari
kungkunganmu?
Ketika itu berlinang-linanglah pula air mata perempuan ini,
mengalir ke pipinya, yang dihiasi oleh sebuah tahi lalat yang
hitam.
"Bagimu, kekasihku, karena engkau ada di negeri besar,
tentulah kesusahanmu tiada seberapa, sebab banyak yang dapat
mclipur hatimu. Tetapi aku yang ada di negeri Padang ini,
terkurung dalam rumah yang kecil, tempat aku menumpangkan
diriku yang malang ini, tiada beribu-bapa, tiada bersanak
saudara, atau sahabat kenalan, siapakah 'kan dapat melipur
hatiku ini? Seorang pun tiada.
Ya Allah, ya Tuhanku! Apakah sebabnya hamba-Mu disiksa
sedemikian ini? Apakah kesalahanku, maka tiada boleh mendapat
ampun dan maaf, supaya terlepas dari azab dunia ini,
karena tiadalah sanggup rasanya hamba-Mu menanggung
siksaan ini. Jika tiada lekas aku terlepas dari sengsara ini,
niscaya luputlah badan dan nyawaku dari negeri yang fana ini.
Akan tetapi, bila sesungguhnya aku tiada akan mendapat ampun
lagi, sebaik-baiknyalah dengan lekas diceraikan nyawaku dari
tubuhku, karena tiadalah terderita lagi olehku azab yang
sedemikian ini:
Ya Allah, ya Rabbana,
Tiadakah kasih hamba yang hina?
Menanggung siksa apalah guna,
Biarlah hanyut ke mana-mana.
Tiada sanggup menahan sengsara,
Sebilang waktu mendapat cedera,
Dari bencana tidak terpiara,
Seorang pun tiada berhati mesra.
Mengapakah untung jadi melarat?
Bagai dipukul gelombang barat,
Suatu tak sampai cinta dan hasrat,
Kekasih ke mana hilang mengirat?
Apakah dosa salahku ini?
Maka mendapat siksa begini,
Badan yang hidup berasa fani,
Seorang pun tiada mengasihani.
Semenjak ayahku telah berpulang,
Godaan datang berulang-ulang,
Sebilang waktu berhati walang,
Untung yang mujur menjadi malang.
Ditinggal ibu ditinggal bapa,
Kekasih berjalan bagaikan lupa,
Sudahlah malang menjadi papa,
Penuh segala duka nestapa.
Mengapa nasib hamba begini?
Azab siksaan tidak tertahani,
Jika tak sampai hayatku ini,
Biarlah badan hancur dan fani.
Aduhai bunda, aduh ayahda!
Mengapa pergi tinggalkan ananda?
Tiada kasihan di dalam dada,
Melihat yatim berhati gunda.
Mengapa ditinggalkan anak sendiri?
Biasa dijaga sehari-hari,
Sakit sebagai inengandung duri,
Ke mana obat hendak dicari?"
Maka bercucuranlah pula air mata perempuan ini, jatuh berderai
tiada berasa. Tatkala kedengaran kokok ayam bersahutsahutan,
karena hari telah pukul dua malam, bertambahlah pilu
dan sedih hatinya, lalu menangkup ke jendela, menangis tersedusedu,
karena terkenang akan nasibnya yang malang; sudah yatim
piatu, mendapat pula beberapa kesengsaraan yang amat sangat.
Sedang ia menangis sedemikian itu, tiba-tiba dirasainya
bahunya dipegang orang dari belakang dan didengamya suara
yang lemah-lembut, demikian bunyinya, "Nur, belum juga
kautidur? Hari telah jauh malam; lonceng telah berbunyi dua
kali."
Tetapi pertanyaan ini tiada dapat disahuti oleh Sitti Nurbaya,
yang sedang menangis, menyadari untungnya, di runiah saudara
sepupunya Sitti Alimah, di kampung Belantung.
"Pada sangkaku engkau telah tidur, karena engkau lekas
masuk ke bilikmu tadi. Kalau aku tahu engkau masih bangun,
tetulah aku datang menemani engkau di sini."
Perkataan ini pun belum dapat disahuti oleh Nurbaya karena
belum dapat ia mengeluarkan suaranya, sebab hatinya terlarnpau
arrlat sedih.
"Tutuplah jendela ini, Nur, supaya engkau kelak jangan
mendapat penyakit! Rasailah angin yang masuk ini!" Lalu
Alimah memegang tangan Nurbaya perlahan-lahan, seraya
mengangkatnya dan memimpinnya ke tempat tidurnya.
Setelah didudukkannya Nurbaya, yang sebagai tiada sadar
akan dirinya, di tempat tidurnya, pergilah ia menutup jendela
tempat Nurbaya duduk menangis tadi. Tatkala itu terperanjatlah
ia amat sangat, karena tampak olehnya di bawah jendela itu,
seakan-akan ada orang yang memakai serba hitam, bersembunyi.
Hendak ia menjerit, takut kalau-kalau orang itu memaksa dia
membukakan jendela itu kembali. Jika demikian, apalah
dayanya, karena waktu itu laki-laki tak ada dalam rumah. Oleh
sebab itu dengan gopoh-gopoh dikuncinya jendela uni, lalu
pergilah ia mendapatkan Nurbaya,.yang sedang duduk termenung,
melihat gambar Samsulbahri, yang ada dalam
medaliunnya. Kemudian duduklah ia di sisi Nurbaya, memegang
tangan kirinya, sedang tangannya yang lain mengusap-usap
rambut adiknya ini, sambil berkata perlahan-lahan, "Nur,
janganlah engkau turutkan benar hatimu yang sedih itu!
Sabarkanlah sedikit! Tiadakah engkau kasihan akan dirimu?
Lihatlah, badanmu telah kurus, mukamu telah pucat dan matamu
telah bengkak, karena menangis bersedih hati sehari-hari.
Apakah jadinya engkau kelak, jika selalu berawan hati, sebagai
ini?"
Sungguhpun Alimah berkata-kata itu, tetapi pikirannya masih
juga kepada orang yang telah dilihatnya di bawah jendela tadi.
Siapakah orang ini dan apakah maksudnya di sana, tiada dapat
dipikirkannya. Maka diberanikannya hatinya, supaya jangan
nyata takutnya oleh Nurbaya.
"Lim, perkataanmu itu benar sekali," sahut Nurbaya yang
baru dapat berkata-kata, dengan sedih dan putus-putus suaranya.
"Aku banyak meminta terima kasih kepadamu, atas kesudian
hatimu, menolong aku yang tengah berdukacita ini. Di dalam
halku ini, hanya engkau seoranglah yang masih setia kepadaku;
suka bersusah payah memimpin aku, supaya aku jangan sesat
kepada jalan yang salah. Engkaulah yang selaiu masih menghiburkan
hatiku dan engkaulah yang masih sudi memberi nasihat
yang baik kepadaku. Oleh sebab itu, bagiku pada waktu ini,
engkaulah jua yang menjadi ganti Ibu bapaku."
Tatkala menyebut kedua perkataan yang akhir ini, berlinanglinanglah
pula air matanya lalu meratap, "Aduhai Ibu-bapaku
yang kucintai! Sampai hati Ayah-bunda meninggalkan ananda
seorang diri, dengan nasib yang malang ini'. Apakah sebabnya
tiada dibawa bersama-sama supaya terlepas ananda daripada
azab yang tiada terderita ini."
"Nur, adikku yang manis!" kata Sitti Alimah, yang sangat
cinta dan sayang kepada Nurbaya. "Itu bukan tanda engkau
sayang kepada orang tuamu. Engkau tahu, mereka sedang
berjalan, menempuh jalan yang sulit, akan mendapatkan
Tuhannya. Bila engkau panggil dan engkau tangisi juga, tentulah
akan tertahan-tahan mereka di dalam perjalanannya.
Sudahlah, jangan dipanggil-panggil jupyang telah berpulang
itu! Senangkanlah hatimu dan doakanlah kepada Tuhan, mudahmudahaq
selamat mereka di dalam kubur!"
Setelah sejurus, berkata pula Nurbaya, "Lim, kebaikanmu ini
tiada dapat kubalas, melainkan kupohonkanlah siang dan malam
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, moga-moga dilimpahkannya
rahmat dan rahim, berlipat ganda kepadamu, supaya bolehlah
engkau mendapat selamat dan kesenangan dunia akhirat."
"Nur, jangan berkata begitu!" jawab Alimah, "atas pekerjaanku
ini, tak perlu kau ininta terima kasih, sebab aku berbuat
demikian, bukan karena berharap barang sesuatu daripadamu
sebagai pembalasan, tetapi semata-mata sebab aku sangat kasih
dan sayang kepadamu. Maklumlah, aku ini sebagai engkau pula,
tiada bersaudara, melainkan hidup menunggal diri. Oleh sebab
itu pada perasaanku, engkaulah adikku dunia akhirat, tempat aku
bergantung, tempat aku melindungkan diri dan menyerahkan
nasibku, yang jauh daripada baik ini. Tambahan pula, seharusnyalah
aku membantu engkau dalam segala halmu. Jika tiada
aku, siapa lagi?" kata Sitti Alimah pula, sambil mengurut-urut
rambut dan tangan Nurbaya.
"Itulah sebabnya maka segala nasihatmu hendak kuturut,
kutaruhkan dalam hati, dan itulah pula sebabnya maka aku selalu
mencari daya upaya, supaya jangan sampai mengecilkan hatimu.
Akan tetapi, apa dayaku, Lim?
Walaupun kulipur hatiku, walaupun kucoba menghilangkan
kenang-kenangan yang menggoda pikiranku tiadalah dapat juga:
makin dilupakan makin teringat, makin dijauhkan makin dekat,
makin dienyahkan makin datang. Putus pengharapanku, akan
dapat menyenangkan hatiku," sahut Nurbaya dengan berlinanglinang
air matanya, sambil memeluk Alimah.
Oleh Alimah dipeluknya pula adiknya ini dan diciumnya
pipinya, seraya berkata dengan manis suaranya, "Walaupun
demikian, janganlah putus asa, melainkan perbanyaklah juga
sabar dan tawakkal kepada Seru Sekalian Alam, karena Tuhan
itu pengasih penyayang. Bukankah segala sesu,atu terjadi atas
kehendaknya? Masakan tiada dipertemukannya engkau dengan
kekasihmu dan tiada disampaikannya hasrat yang kaucita-citakan
slang dan malam itu? Masakan selalu hujan dengan tiada
berganti-ganti panas'? Barangkali pada waktu ini, belurn
masanya engkau beroleh keinginan hatimu itu; oleh sebab itu
sabarlah dahulu!"
"Memang, Lim; pada mulanya demikianlah pikiranku.
Dengan pengharapan itulah kulipurkan hatiku yang rawan ini.
Tetapi entah apa sebabnya, tiada kuketahui; pengharapan itu
makin lama makin kurang, sehingga akhirnya putuslah ia. Tiaptiap
aku berpikir, seperti kaukatakan tadi, sebagai ada pula suatu
suara yang timbul dalam hatiku, mengatakan, pengharapanku itu
akan sia-sia belaka, karena dalam dunia ini tiadalah akan
disampaikan Tuhan cita-citaku itu dan tiadalah pula akan
dikabulkan-Nya permintaanku itu, meskipun hasrat berurat
berakar dalun hatiku.
Aduh, Lim! Jika kauketahui, betapa beratnya bagiku akan
meninggalkan dunia ini dengan penghaharapan yang sedemikian,
tentulah tiada heran engkau, melihat haiku sebagai ini. Bukannya
aku takut mati, bukannya aku sayang akan nyawaku, istimewa
pula sebab di sana ada ibu-bapaku menanti aku. Tetapi...
bagaimanakah halnya kekasiliku itu, sepeninggal aku kelak?"
"Nur, pikiranmu itu salah. Mustahil...! Ah, tak dapat
kubenarkan! Masakan engkau..." perkataan ini tak dapat diteruskan
oleh Alimah, karena khawatir, kalau-kalau benar persangkaan
Nurbaya ini. Teristimewa karena nyata kelihatan olehnya
putus asa yang terbayang di muka adiknya ini. Oleh sebab itu
dicobanyalah mengenyahkan was-was hatinya ini dengan
membujuk Nurbaya pula, "Jika engkau bersangka demikian,
tentulah karena engkau sakit, sehingga pikiranmu tiada tetap.
Sebaik-baiknyalah kau usahakan dirimu dengan sebesar-besar
usaha, supaya pikiranmu itu menjadi baik kembali. Jika tiada,
tentulah penyakitmu akan bertambah-tambah keras. Dan
ingatlah, bahwa badan dan nyawamu pada waktu ini bukan
milikmu sendiri saja lagi. karena dua orang yang lain, yaitu
Samsu dan aku, telah menjatuhkan cinta kasih sayangnya
kepadamu. Bila terjadi apa-apa atas dirimu, niscaya kami berdua
pun akan berdukacita dan bersedih hati pula. Oleh sebab itu, jika
benar engkau cinta kepada Samsu dan suyang kepadaku, jagalah
dirimu baik-baik, supaya jangan sampai mendapat sesuatu hal.
Bila kausia-siakan dirimu, tandanya eqgkau tiada cinta kepada
Samsu dan tiada sayang kepadaku."
"Aku tiada sayang kepadamu dan tiada cinta kepada Samsu?"
tanya Nurbaya, sambil mengangkat kepalanya. "Hanya Allah
yang mengetahui hatiku kepadamu berdua. Tetapi sesungguhnya,
Lim, tiada dapat kuketahui, apakah sebabnya perasaan yang
memutuskan pengharapan ini, kian lama kian bersarang dalam
hatiku, mengalahkan harapan yang kauberikan.
Pada pikiranku, sebaik-baiknya kautunjukkanlah suatu jalan
kepadaku, supaya aku dapat bertemu kembali dengan dia.
Apabila aku telah bertemu dengan dia, biarlah terjadi atas diriku,
apa maunya. Aku hendak melihat mukanya sekali lagi, hendak
mendengar suaranya sekali lagi. Aku hendak melihat sendiri
pada air mukanya, bagaimana hatinya kepadaku sekarang ini.
Aku hendak mendengar sendiri dan mulutnya, betapa perasaannya
kepadaku, sejak ia diusir ayahnya. Barangkali juga ia tiada
cinta lagi kepadaku atau ia marah kepadaku dan menyesal akan
perbuatannya." kata Nurbaya pula. sambil menutup mukanya,
hendak menahan air matanya yang keluar, lalu menangkup
kepada Alimah.
Alimah dengan segera mengangkat kepala Nurbaya perlahanlahan,
lalu menyapu air matanya dengan sehelai setangan sutera,
sambil berkata, "Bagaimana perkataanmu, Nur? Dahulu engkau
sendiri mengatakan, ia sangat cinta kepadamu dan engkau
hampir setiap Jumat mendapat surat dari padanya, yang
menyatakan cinta hatinya dan kasih sayangnya kepadamu.
Betapa pula engkau boleh berpikir seperti ini?"
"Ah Lim, surat itu dapat dikarang-karang. Yang tak bernar
pun, dapat dituliskan. Bunyi surat tiada selamanya bunyi
perkataan, yang timbul dari hati. Kalau benar ia masih cinta
kepadaku, masakan ditinggalkannya aku, dibiarkannya aku
dengan nasibku sedemikian ini? Ia berjalan tiada memberi tahu
kepadaku. Memang laki-laki mulutnya manis, tetapi hatinya
jarang yang lurus," jawab Nurbaya.
"Nur, ingat akan dirimu! Jangan diturutkan godaan setan!
Engkau sakit, sakit keras. Itulah sebabnya pikiranmu tiada tetap.
Akan Samsu, walaupun engkau lebih tahu hatinya daripada aku
tetapi aku bukan percaya saja, bahkan berani menanggung,
bahwa ia bukanlah seorang laki-laki yang mengubah janji atau
berhati lancung, melainkan seorang yang lurus hati, setia, boleh
dipercayai, pengasih, penyayang dan sabar. Cintanya kepadamu
bukan bohong, karena sejak kecil ia kasih dan sayang kepadamu.
Mengapakah sampai berubah hatimu kepadanya?
Bukannya aku hendak memenangkan dia, sebab ia bukan
kaum keluargaku, sedang engkau saudaraku yang sangat kucintai.
Sungguhpun demikian, persangkaanmu itu tak dapat
kubenarkan. Apakah salahnya, maka sampai bertukar pikiranmu
kepadanya, Nur? Alangkah sedih hatinya, bila diketahuinya
pikiranmu itu!"
"Ya, Lim," sahut Nurbaya, sambil memegang dan mencium
tangan saudaranya, sedang air matanya mengalir kembali.
"Benar pikiranmu itu; memang aku ini sakit dan pikiranku tiada
keruan. Memang tiada patut aku berpikir sedemikian, karena
belum ada kesalahan Samsu, yang nyata kepadaku. Ya, memang
pikiraiiku tiada betul. Maui dan ampun, Lim, akan kesalahan
adikmu yang celaka ini!
Kepadamu pun aku banyak minta maaf dan ampun, Sam, atas
perkataan dan syak wasangkaku tadi," kata Nurbaya pula, sambil
memandang potret Samsulbahri, yang ada dalam medaliunnya
itu. Kemudian dicium dan ditaruhnya gambar itu ke atas
dadanya. "Aku dakwa engkau, atas perbuatan, yang tentu tiada
kaulakukan; aku hukum engkau, dengan tiada berdosa. Tetapi
janganlah engkau berkecil hati, karena sesungguhnya aku sakit;
tak tahu, apa yang kuperbuat. Bila penyakitku ini tiada diobat
dengan penawarnya, tentulah tiada akan sembuh. Oleh sebab itu
lekaslah beri obat yang mustajab, supaya aku dapat baik
kembali. Jika tiada lekas kautawari, tentulah aku tiada dapat
hidup lama lagi di atas dunia ini dan sia-sialah maksudmu,
hendak membela aku.
Dan engkau, Lim, ibu-bapaku yang kedua. Tunjukkanlah
olehmu suatu jalan, supaya bangat aku terlepas dari neraka dunia
ini!"
"Nur," jawab Alimah, "jalan akan mengobati luka hatimu itu,
mudah benar. Bukankah masih banyak kapal di laut yang dapat
mempertemukan engkau dengan dia?"
Setelah berpikir sejurus, berkata Nurbaya, "Sungguh benar
katamu itu; sebab ia tentu tiada akan datang lagi ke Padang ini
karena negeri ini mungkin telah dihitamkannya."
"Jika demikian, tentulah engkau yang harus pergi kepadanya,"
jawab Alimah. "Takutkah engkau berlayar sendiri ke
Jakarta? Orang yang akan mengantarkan engkau ke sana, dapat
dicari. Pak Ali yang sangat cinta kepada Samsu, kabarnya telah
berhenti menjadi kusir bapanya, sebab ia bersedih hati, Engku
mudanya itu diusir oleh bapanya. Tentulah ia mau membawa
engkau ke Jakarta."
"Bukan aku takut," kata Nurbaya, "walau ke laut api sekalipun
aku berani, asal dapat bertemu dengan dia. Memang hal ini
sudah juga kupikirkan, karena hanya dengan jalan inilah aku
dapat memperoleh maksudku. Tetapi kupikir pula, bila aku telah
sampai ke sana, apa yang hendak kuperbuat? Karena engkau
maklum, ia masih murid, belum bergaji. Walaupun ia suka
menerima aku, dengan apakah kami akan hidup, sebab kami
baik, di negeri besar!"
"Tetapi pada pikiranku, kalau benar ia cinta kepadamu,
tentulah ada juga suatu akal padanya, untuk dapat hidup berdua
dengan engkau. Masakan seorang laki-laki, yang cukup kepandaiannya
sebagai Samsu, tiada dapat mencari muslihat yang
baik, di negeri besar!"
"Memang ia dahulu sudah berkirim surat kepadaku,
menyuruh aku pergi ke Jakarta, sebab ia kasihan akan daku dan
khawatir, aku membunuh diri.
Maksudnya hendak meninggalkan sekolahnya dan akan
mencari pekerjaan, supaya kami dapat hidup berdua. Tetapi
adakah baik, bila kuturutkan pikirannya ini? Kuasakah aku
menarik ia dari pelajaran yang boleh mendatangkan pangkat dan
gaji yang besar kepadanya kelak?
Ah, jika aku kaya, tiadalah kupikirkan lagi; tentu segera
kubenarkan pikirannya ini dan tiadalah kuberi ia bekerja, supaya
mendapat kesenangan, terlebih daripada raja. Tetapi apa hendak
dikata...?" lalu Nurbaya menghapuskan air matanya yang berlinang-
linang.
"Biarpun engkau tiada kaya, asal aku mampu, tentulah segala
maksudmu kusampaikan. Akan tetapi, sebab kita bukannya
hartawan yang mempunyai gedung di darat, kapal di laut, pada
pikiranku tiada ada jalan lain, daripada membenarkan pikiran itu.
Jika untungmu berdua kelak baik, tentulah akan kauperoleh juga
kesenangan dan kekayaan itu."
Setelah berpikir sejurus, berkatalah Nurbaya, sambil
mengeluh, "Ya, memang, tak ada jalan lain. Baiklah kuturut
pikiranmu dan pikirannya itu. Tetapi dari mana dicari belanja?"
"Kaugadaikan barang-barangmu yang tiada perlu kaupakai
dan kaujual barang-barangku setengahnya," sahut Alimah.
"Memang engkau lebih daripada saudara kandungku," kata
Nurbaya pula, sambil mencium Alimah pada pipinya.
"Jadi, benar telah tetap maksudmu hendak berangkat?" tanya
Alimah. "Dan bila engkau hendak berangkat?"
"Hari Saptu yang akan datang. Tetapi rahasia ini janganlah
kaubuka dahulu, Lim, sebelum aku selamat sampai ke tanah
Jawa, supaya jangan mendapat alangan apa-apa. Bila orang
tuamu tahu maksudku itu, niscaya tiadalah akan diizinkannya
aku pergi sendiri."
"Teritu tidak, kecuali kalau Pak Ali, yang membawamu,"
jawab Alimah. "Sekarang sudah senangkah pikiranmu?"
"Sudah." jawab Nurbaya.
"Maukah engkau berjanji, tidak akan termenung-menung,
berawan hati lagi atau menangis tersedu-sedu?" tanya Alullah
pula.
Pertanyaan itu tiada dijawab oleh Nurbaya melainkan dipeluk
dan diciumnya pula Alimah, sambil berkata, "Memang engkau
seorang bidadari, yang selalu menolong aku dalam segala
kesusahanku."
"Nah, sekarang tidurlah dengan senang, sebab hari telah
pukul setengah empat pagi! Biarlah aku tidur di sini menemani
engkau. Jika tidak, kelak engkau menangis pula, sebab waktu
yang beberapa hari itu, terlalu lama bagimu," kata Alimah
dengan bergurau kepada adiknya ini, lalu merebahkan dirinya ke
kasur, serta membawa Nurbaya tidur. "Sekarang peluklah aku
dan misalkan aku Samsu serta mimpikanlah ia!"
Nurbaya tiada menyahut cumbuan saudaranya ini melainkan
dengan tersenyum dan mata yang masih basah, diciumnya pula
Alimah, lalu berbaring.
Tiada berapa lama sesudah itu, tertidurlah Nurbaya dalam
pelukan Alimah. Maka dipandanglah muka Nurbaya oleh
Alimah beberapa saat lamanya dan nyata kepadanya, bahwa di
muka adiknya itu, masih terbayang kedukaan, tetapi yang
disertai pengharapan.
Tatkala ia hendak menutupkan matanya, terdengarlah
olehnya bunyi langkah orang, keluar dari bawah rumahnya.
Maka berdebarlah hatinya, karena teringat pula akan bayangbayang
yang dilihatnya, ketika akan menutup jendela bilik itu
tadi. Tetapi seketika lagi sunyi senyaplah di sana. Sungguhpun
demikian, diniharilah baru Alimah tertidur, karena takut dan
heran memikirkan orang yang dilihatnya tadi.
...Bersambung ke...Nurbaya Lari ke Jakarta

No comments:

Post a Comment