Karya : Marah Rusli
Hari kira-kira pukul setengah
tujuh, petang berebut dengan senja,
siang hampir akan hilang, malam
hampir akan datang. Matahari
yang telah menjalankan
kewajibannya, yakni memberi cahaya
dan panas kepada muka bumi yang
sebelah timur, telah setengah
jam lamanya terbenam ke bawah
ujung langit, yang sebelah
barat. Hanya bekas jejaknyalah
yang masih kelihatan,
mengembang dari tempat silamnya,
ke atas, sebagai kipas besar,
yang memancarkan bermacam-macam
sinar yang permai warnanya.
Bintang kejora, mulai bercahaya,
sebagai suatu mustika,
yang bersinar di tempat gelap.
Bin-, tang yang lain pun, mulai
pula gemerlapan cahayanya,
sebagai berlian pada peniti, yang
selalu digoyang oleh pegas.
Burung-burung yang melayang di
udara, sekaliannya telah mencari
sarangnya masing-masing, akan
melepaskan lelahnya, sebab
bekerja berat sehari-hari itu mencari
rezeki, untuk kehidupannya,
sehingga perlulah ia beristirahat,
akan mengumpulkan tenaganya untuk
keesokan harinya. Hanya
burung murailah yang masih
kedengaran kicau mengicau di
puncak kayu, sebagai hendak
mengucapkan selamat tidur kepada
kawan-kawannya. Demikian pula
ayam jantan, masih ada di luar
kandangnya, menoleh ke segenap
tempat, seolah-olah hendak
mengetahui, sudahkah masuk
sekalian anak dan bininya ke
dalam kandangnya. Tetapi induk
ayam, telah lama ada di tempatnya,
mengeram akan memanaskan
anak-anaknya yang masih
kecil. Kelelawar telah
meninggalkan tempatnya pula, terbang
kian kemari dengan tiada
kedengaran bunyi kelepaknya, memburu
kelekatu yang melayang di segala
tempat. Di bawah pohon
kayu, kedengaran kumbang, terbang
mencari mangsanya. Kupukupu
malam kelihatan mengembangkan
sayapnya yang berukirukiran
itu, melayang ke atas dan ke
bawah, terbang dipikat
bunga sedap malam. Cengkerik pun
mulai pula mengerit,
seakan-akan orang yang sedang
asyik mengaji dan berzikir di
surau.
Sekonyong-konyong timbullah di sebelah
timur, dari puncak
gunung yang tinggi,
perlahan-lahan dengan tiada berasa
jalannya, putri malam yang cantik
molek itu, sebagai bidadari
baru turun dari kayangan.
Datangnya itu adalah diiringkan oleh
dayang pengasuhnya, yakni
bintang-bintang yang mengelilinginya
dan diwakili oleh beberapa
pahlawan hulubalangnya, yaitu
awan dan mega yang memagarinya.
Maksudnya menjelma itu,
ialah akan menunjukkan wajahnya
yang gilang-gemilang,
kepada bumi, yang disinarinya
dengan sinar yang lembut dan
segar.
Alangkah senang dan sentosanya
hati dan perasaan sekalian
mahluk di muka bumi, menyambut
kedatangan putri kamariah
ini, sehingga terlipur rasanya
duka nestapa mereka, karena ditinggalkan
kekasihnya, raja siang itu. Amat
indah paras mukanya
yang bundar jemih itu, sebagai
emas bam disepuh, melimpahkan
cahayanya yang hening dan bening,
sampai ke bawah-bawah
pohon kayu dan ke celah-celah
batu. Sekalian hamba Allah, tua
muda, besar kecil, yang
mula-mulanya hendak mencari tilam dan
kasurnya, akan melepaskan
lelahnya, karena peperangan di
padang penghidupan yang baru
dilakukannya, tertariklah
kembali ke luar, sebab hendak
merasai kesenangan dan
kesedapan yang dikaruniakan oleh
putri malam ini. Anak-anak
yang biasanya telah mendekur di
tempat tidur, keluarlah bermain-
main, berkejar-kejaran dan
bernyanyi di malam sunyi dan
piatu itu. Di muka rumah, banyak
orang duduk bercakap-cakap
dengan anak dan istrinya atau
sahabat kenalannya, membicarakan
hal-ihwal yang telah lalu atau
sesuatu yang akan datang.
Di tepi laut kota Padang, terbayang-bayang
di atas beberapa
bangku sebagai orang duduk
berdekatan, bercakap perlahanlahan.
Siapakah mereka, yang telah
sengaja mencari tempat yang
sunyi-senyap ini, sebagai takut
akan diganggu orang? Itulah
asyik dan masyuknya, yang sedang
melepaskan dahaga cinta
berahinya. Mereka tiada ingat
lagi akan dirinya dan tiada mengindahkan
sekalian yang mengelilinginya;
sebagai tak adalah
baginya makhluk di atas dunia
ini, lain daripadanya berdua. Dan
sesungguhnya, mereka itulah orang
sesenang-senang dan
semujur-mujur manusia waktu itu.
Disuluhi oleh cahaya yang
permai, dinyanyikan oleh
geloinbang yang menderu-deru
memecah di tepi pantai,
tersembunyi di tempat yang lengang,
bebas daripada segala keramaian,
penglihatan dan pendengaran,
memang dapatlah mereka merasai
kenikmatan asmara sepenuhpenuhnya.
Di jalan raya, kelihatan
kereta;kereta ditarik oleh kuda yang
besar-besar, bersiar-siar
perlahan-lahan kian kemari. Di pinggir
jalan yang dilindungi pohon yang
rindang-rindang, kelihatan
beberapa orang bangsa Barat, berjalan
berpegang-pegangan
tangan dengan istrinya, akan
mengambil hawa yang sedap.
Akan tetapi, bila kedua asyik dan
masyuk itu berjauh jauhan,
seorang dengan yang lain,
hilanglah segala kesenangan dan
kesukaan tadi, berganti dengan
duka dan sedih, yang menghancurkan
hati. Segala yang pada waktu itu
menambahkan
kesukaan dan kesenangan, seperti
tempat yang sunyi senyap,
cahaya bulan yang permai,
gelombang yang memecah di pasir
pantai, angin yang bertiup
sepoi-sepoi, sekalian itu akan terbalik
menambahkan rindu dendam, yang
disertai oleh sedih dan pilu
yang amat sangat.
Demikian pula bagi dagang yang
jauh di rantau orang,
sekalian itu acap kali
mendatangkan kesedihan hati serta rindu
dendam yang tiada terkira-kira;
karena teringat akan tanah air,
rumah tangga, kampung halaman,
ibu-bapa, sanak saudara, kaum
keluarga, handai dan tolan, yang
telah lama luput dari mata,
tetapi tiada kunjung hilang dari
hati. Terlebih-lebih jika teringat
bahwa Allah sajalah yang
mengetahui akan untung manusia itu,
entahkan terjejak kembali tanah
tepi, entahkan tersangkut di
rantau orang, sebagai kata
pantun:
Bergetah tangan
kena cempedak,
digosok dengan
bunga karang.
Entah berbalik
entah tidak,
entah hilang di
rantau orang.
Jarang berbunga
tapak leman,
orang Padang
mandi ke pulau.
Orang berkampung
bersalaman,
dagang membilang
teluk rantau.
Makin lama, makin malam, dan
bulan pun mengambang kian
bertambah-tambah tinggi.
Anak-anak yang bermain-main bersorak-
sorak tadi, tiadalah kedengaran
lagi suaranya, karena telah
lama berselimut di tempat
tidurnya. Orang yang duduk bercakapcakap
di muka rumahnya tiada pula
kelihatan lagi; masingmasing
telah masuk ke dalam rumahnya. Di
jalan besar, bendibendi
telah mulai kurang, dan orang pun
hampir tak ada lagi.
Tiada lama kemudian daripada itu
sunyi senyaplah jalan raya
yang ramai tadi. Hanya sekawan
orang jaga, yang memakai
serba hitam, masih kelihatan
berjalan perlahan-lahan dengan
tiada bercakap-cakap, supaya
keadaan mereka jangan diketahui
penjahat.
Kota yang ramai tadi menjadi
sunyi senyaplah, sebagai
negeri yang telah ditinggalkan
orang. Sekaliannya tidur. Hanya
di puncak kayu yang tinggi, masih
kedengaran sejurus-sejurus
bunyi burung pungguk, yang sedang
merindukan bulan, mendayu-
dayu antara ada dengan tiada,
seakan-akan ratap tangis
yang sedih, tersedu-sedu dengan
putus-putus suaranya.
Hai Pungguk! Mengapakah engkau
merindu sedemikian itu,
seraya memandang dengan tiada
berkeputusan kepada bulan
yang tinggi itu? Apakah yang
menjadikan sedih hatimu, dan
apakah maksud perbuatanmu itu?
"Aduh bulan, aduh jiwaku,
jantung hatiku, cahaya mataku!
Bilakah engkau turun ke dunia
ini, melihat aku, yang telah
sekian lama mengandung rindu
dendam kepadamu? Bilakah
engkau jatuh ke bumi, ke atas
pangkuanku untuk mengobati luka
hatiku, yang telah tembus kena
panah berahi, yang telah kaulepaskan
daripada busurnya menuju dadaku?
Tiadakah belas dan
kasihan hatimu, melihat aku
selalu merayu di puncak kayu ini,
merindukan engkau dengan tiada
mengindahkan jerih dan lelah,
hujan dan basah? Sampai hati
gerangan engkau, melihat halku
sebagai orang mabuk cendawan.
Adapun maksudku hendak terbang
mendapatkan engkau,
akan memperhambakan diriku yang
hina ini kepadamu kalaukalau
beroleh kasihan daripadamu,
tetapi apatah dayaku?
Sayapku yang lemah ini, tiada
dapat membawa aku terbang lebih
tinggi, dari pohon ini:
Putih berkembang
bunga kecubung,
mati tiram di
tepi pantai.
Maksud hendak
memeluk gunung,
apa daya tangan
tak sampai.
Aduh, aduh! Bilakah dapat
kusampaikan hasrat hatiku ini?
Karena apabila telah sianglah
hari kelak, bila telah datanglah
suamimu raja Samsu, memancarkan
sinarnya yang tajam ke
segenap penjuru alam ini,
haruslah aku lari bersembunyi ke
tempat yang gelap, supaya jangan
buta mataku ditembus panah
suamimu."
Sebagai burung Pungguk ini
meratap, menangis, merayu di
puncak kayu, merindukan bulan
yang tinggi di atas langit yang
biru, demikian pulalah duduk
seorang perempuan muda, termenung
berawan hati, di jendela sebuah
rumah di kampung
Belantung di kota Padang; adalah
sebagai seorang yang sedang
merindukan kekasihnya, yang jauh
dari matanya.
Jika ditilik pada rupanya, adalah
perempuan ini seorang janda
yang masih remaja kira-kira
berumur tujuh atau delapan belas
tahun. Rupanya cantik, badannya
lemah semampai dan kulitnya
kuning langsat. Rambutnya yang
hitam lagi ikal itu, jatuh
berlingkar-lingkaran di
keningnya, sebagai rambut gadis bangun
tidur. Sanggulnya yang besar itu
tergantung bagaikan terurai
pada kuduknya. Matanya yang
lembut pemandangannya itu
merenung dengan tiada
berkeputusan, bulan, yang hampir
diselimuti mega, di atas langit.
Pada air mukanya nyata
kelihatan, ia sangat berdukacita,
karena dari matanya yang
merah, jatuhlah berderai ke
tanah, air matanya yang telah
berlinang-linang di pipinya,
sebagai mutiara putus pengarang.
Tangannya yang putih kuning, dihiasi
gelang emas ular-ularan,
yang nyata kelihatan, tatkala
lengan baju sutera jepunnya surut
ke bawah, tiadalah lelah menopang
dagunya, yang sebagai lebah
bergantung.
Siapakah perempuan muda itu?
Apakah sebabnya maka ia
berdukacita sedemikian itu dan
mengapakah pula maka selalu ia
memandang kepada bulan yang
tinggi di atas langit, sebagai di
sanalah tempat yang menjadikan
dukacita hatinya?
"Aduh kekasihku yang sangat
kucintai! Betapakah akhirnya
aku ini? Karena semenjak aku
kautinggalkan, adalah halku ini
sebagai orang yang tiada bemyawa
lagi dan adalah dunia ini
rasanya telah menjadi sangat
sempit, tiada lebih besar daripada
engkau berdiri seorang diri,
tempat aku bergantung:
Jika begini
condongnya padi,
tentu ke barat
jatuh buahnya.
Jika begini
bimbangnya hati,
tentu melarat
badan akhirnya.
Jika begini
naga-naganya,
kayu hidup
dimakan api.
Jika begini
rasa-rasanya,
badan hidup
rasakan mati.
Lurus jalan ke
Payakumbuh,
kayu jati
bertimbal jalan.
Hati siapa
tidakkan rusuh,
ayah mati
kekasih berjalan.
Anak Judah duduk
mengarang,
syair dikarang
petang pagi:
Alangkah susah
hidup seorang,
bagi menentang
langit tinggi.
Jika 'ndak tahu
di Tanjung Raja,
bermalam semalam
di kampung Pulai,
mudik berkayuh
ke Merangin,
Cerana Nanggung
di Supayang.
Jika 'ndak tahu
diuntung saya,
lihat kelopak
bunga bulai,
kalau pecah
ditimpa angin,
entah ke mana
terbang melayang.
Wahai jantung hatiku, cahaya
mataku! Betapakah sampai
hatimu meninggalkan aku ini
seorang diri dengan nasibku yang
malang ini? Jika siang tiadalah
lain yang kupikirkan, melainkan
engkau dan untungku yang celaka
ini. Bekerja yang lain tiada
dapat, karena pikiranku selalu
melayang. Walaupun badanku ada
di sini, tetapi nyawaku tiadalah
jauh daripadamu. Wajah mukamu
senantiasa terbayang-bayang di
mataku. Jangankan bekerja,
sedangkan makan dan minum tiada
ingin, karena nasi dimakan
rasa sekam, air diminum rasa
duri.
Tiadalah lain yang kukerjakan
sehari-hari, melainkan duduk
termenung bertopang dagu,
memandang dengan tiada berkeputusan
kepada benda yang tiada kulihat.
Ini, lihatlah! Telah
berapa lamanya aku duduk
sedemikian ini, tiadalah kuketahui.
Selalu kupandang bulan yang jauh
di atas langit, karena ialah
yang dapat memperhubungkan
pemandangan kita berdua. Jika
engkau pun melihat pula kepada
bulan itu, niscaya bertemulah
pemandangan kita di sana. Aduhai!
Betapakah baiknya, bila
bulan itu dapat pula menyambung
perkataan dan perasaan kita!
Apabila hari telah malam,
tiadalah dapat kupejamkan mataku
barang sekejap pun, karena
bayang-bayangmu berdiri di mukaku.
Suaramu terdengar di telingaku,
ciunvnu terasa di pipiku.
Walaupun aku telah tertidur,
sebab lelah pikiran dan badanku,
acap kali aku terbangun kembali,
karena bermimpikan engkau.
Wahai! Sebagai sungguhkah rasanya
engkau datang kepadaku,
akan menghibur hatiku yang kecewa
ini dengan perkataan yang
lemah-lembut, serta memeluk dan
menciumku, akan memperlihatkan
hatimu yang belas kasihan
kepadaku. Maka hilanglah
segala kesusahan dan duka nestapa
yang menggoda pikiranku.
Akan tetapi, ya Allah! Bila
tersadar pula aku dan teringat, bahwa
sekalian itu hanya permainan
kalbuku saja dan nyata pula
olehku, bahwa aku masih ada di
dalam tempat tidurku, terbaring
seorang diri, hanya ditemani oleh
guling dan bantalku,
bertarnbah-tarnbahlah sedih
hatiku dan hancur luluh rasa
jantungku. Air mataku bercucuran
membasahi bantal dan kasurku
dan mataku tiada dapat kututupkan
lagi.
Tatkala berkokoklah ayam
bersahut-sahutan di segala tempat,
barulah terperanjat aku, karena
bunyi itu kudengar sebagai
suaramu, mernanggil aku dari
jauh. Bunyi ombak yang menderuderu
memecah di tepi pantai, sebagai
mengingatkan aku, bahwa
kekasihku jauh di seberang lautan
yang dalam, di balik gunung
yang tinggi. Dadaku rasakan
belah, tali jantungku rasakan putus.
Maka menelungkuplah aku,
menekankan dadaku ke bantal, akan
menahan sakit yang mengiris
hatiku, sehingga terkadang-kadang
pingsanlah aku, tiada khabarkan
diri. Waktu yang dua belas jam,
menjadi dua belas tahun lamanya,
karena lama menanti siang.
Bila menyingsinglah fajar di
sebelah timur dan bersuitlah
burung di dahan kayu, alamat hari
akan siang, bangunlah aku
seorang diri, keluar
perlahan-lahan, supaya jangan menyusahkan
orang. Walaupun had masih gelap
dan dingin, aku basuh
mukaku, karena malu, kalau
diketahui orang halku, melihat
mataku yang bengkak dan merah: Tetapi
hawa yang sejuk dan
embun yang mengabut itu pun tiada
juga dapat menyegarkan
badanku dan menenangkan
pikiranku, melainkan bertambahtambahlah
sedih hatiku, sebab di sana nyata
benar olehku buruk
untungku, sunyi daripada scgala
makhluk yang dapat mengobati
penyakitku.
Sungguhpun pada siang hari banyak
pekerjaan yang boleh
dikerjakan, tetapi luka hatiku
tak dapat ditawari dengan
pekerjaan. Dan bila malamlah pula
hari, penyakit yang hebat ini
datang kembali berlipat ganda
kerasnya, menggoda aku.
Wahai nasib yang malang, bilakah
engkau lepaskan aku dari
kungkunganmu?
Ketika itu berlinang-linanglah
pula air mata perempuan ini,
mengalir ke pipinya, yang dihiasi
oleh sebuah tahi lalat yang
hitam.
"Bagimu, kekasihku, karena
engkau ada di negeri besar,
tentulah kesusahanmu tiada
seberapa, sebab banyak yang dapat
mclipur hatimu. Tetapi aku yang
ada di negeri Padang ini,
terkurung dalam rumah yang kecil,
tempat aku menumpangkan
diriku yang malang ini, tiada
beribu-bapa, tiada bersanak
saudara, atau sahabat kenalan,
siapakah 'kan dapat melipur
hatiku ini? Seorang pun tiada.
Ya Allah, ya Tuhanku! Apakah
sebabnya hamba-Mu disiksa
sedemikian ini? Apakah
kesalahanku, maka tiada boleh mendapat
ampun dan maaf, supaya terlepas
dari azab dunia ini,
karena tiadalah sanggup rasanya
hamba-Mu menanggung
siksaan ini. Jika tiada lekas aku
terlepas dari sengsara ini,
niscaya luputlah badan dan
nyawaku dari negeri yang fana ini.
Akan tetapi, bila sesungguhnya
aku tiada akan mendapat ampun
lagi, sebaik-baiknyalah dengan
lekas diceraikan nyawaku dari
tubuhku, karena tiadalah
terderita lagi olehku azab yang
sedemikian ini:
Ya Allah, ya
Rabbana,
Tiadakah kasih
hamba yang hina?
Menanggung siksa
apalah guna,
Biarlah hanyut
ke mana-mana.
Tiada sanggup
menahan sengsara,
Sebilang waktu
mendapat cedera,
Dari bencana
tidak terpiara,
Seorang pun
tiada berhati mesra.
Mengapakah
untung jadi melarat?
Bagai dipukul
gelombang barat,
Suatu tak sampai
cinta dan hasrat,
Kekasih ke mana
hilang mengirat?
Apakah dosa
salahku ini?
Maka mendapat
siksa begini,
Badan yang hidup
berasa fani,
Seorang pun
tiada mengasihani.
Semenjak ayahku
telah berpulang,
Godaan datang
berulang-ulang,
Sebilang waktu
berhati walang,
Untung yang
mujur menjadi malang.
Ditinggal ibu
ditinggal bapa,
Kekasih berjalan
bagaikan lupa,
Sudahlah malang
menjadi papa,
Penuh segala
duka nestapa.
Mengapa nasib
hamba begini?
Azab siksaan
tidak tertahani,
Jika tak sampai
hayatku ini,
Biarlah badan
hancur dan fani.
Aduhai bunda,
aduh ayahda!
Mengapa pergi
tinggalkan ananda?
Tiada kasihan di
dalam dada,
Melihat yatim
berhati gunda.
Mengapa
ditinggalkan anak sendiri?
Biasa dijaga
sehari-hari,
Sakit sebagai
inengandung duri,
Ke mana obat
hendak dicari?"
Maka bercucuranlah pula air mata
perempuan ini, jatuh berderai
tiada berasa. Tatkala kedengaran
kokok ayam bersahutsahutan,
karena hari telah pukul dua
malam, bertambahlah pilu
dan sedih hatinya, lalu menangkup
ke jendela, menangis tersedusedu,
karena terkenang akan nasibnya
yang malang; sudah yatim
piatu, mendapat pula beberapa
kesengsaraan yang amat sangat.
Sedang ia menangis sedemikian
itu, tiba-tiba dirasainya
bahunya dipegang orang dari
belakang dan didengamya suara
yang lemah-lembut, demikian
bunyinya, "Nur, belum juga
kautidur? Hari telah jauh malam;
lonceng telah berbunyi dua
kali."
Tetapi pertanyaan ini tiada dapat
disahuti oleh Sitti Nurbaya,
yang sedang menangis, menyadari
untungnya, di runiah saudara
sepupunya Sitti Alimah, di
kampung Belantung.
"Pada sangkaku engkau telah
tidur, karena engkau lekas
masuk ke bilikmu tadi. Kalau aku
tahu engkau masih bangun,
tetulah aku datang menemani
engkau di sini."
Perkataan ini pun belum dapat
disahuti oleh Nurbaya karena
belum dapat ia mengeluarkan
suaranya, sebab hatinya terlarnpau
arrlat sedih.
"Tutuplah jendela ini, Nur,
supaya engkau kelak jangan
mendapat penyakit! Rasailah angin
yang masuk ini!" Lalu
Alimah memegang tangan Nurbaya
perlahan-lahan, seraya
mengangkatnya dan memimpinnya ke
tempat tidurnya.
Setelah didudukkannya Nurbaya,
yang sebagai tiada sadar
akan dirinya, di tempat tidurnya,
pergilah ia menutup jendela
tempat Nurbaya duduk menangis
tadi. Tatkala itu terperanjatlah
ia amat sangat, karena tampak
olehnya di bawah jendela itu,
seakan-akan ada orang yang
memakai serba hitam, bersembunyi.
Hendak ia menjerit, takut
kalau-kalau orang itu memaksa dia
membukakan jendela itu kembali.
Jika demikian, apalah
dayanya, karena waktu itu
laki-laki tak ada dalam rumah. Oleh
sebab itu dengan gopoh-gopoh
dikuncinya jendela uni, lalu
pergilah ia mendapatkan
Nurbaya,.yang sedang duduk termenung,
melihat gambar Samsulbahri, yang
ada dalam
medaliunnya. Kemudian duduklah ia
di sisi Nurbaya, memegang
tangan kirinya, sedang tangannya
yang lain mengusap-usap
rambut adiknya ini, sambil
berkata perlahan-lahan, "Nur,
janganlah engkau turutkan benar
hatimu yang sedih itu!
Sabarkanlah sedikit! Tiadakah
engkau kasihan akan dirimu?
Lihatlah, badanmu telah kurus,
mukamu telah pucat dan matamu
telah bengkak, karena menangis
bersedih hati sehari-hari.
Apakah jadinya engkau kelak, jika
selalu berawan hati, sebagai
ini?"
Sungguhpun Alimah berkata-kata
itu, tetapi pikirannya masih
juga kepada orang yang telah
dilihatnya di bawah jendela tadi.
Siapakah orang ini dan apakah
maksudnya di sana, tiada dapat
dipikirkannya. Maka
diberanikannya hatinya, supaya jangan
nyata takutnya oleh Nurbaya.
"Lim, perkataanmu itu benar
sekali," sahut Nurbaya yang
baru dapat berkata-kata, dengan
sedih dan putus-putus suaranya.
"Aku banyak meminta terima
kasih kepadamu, atas kesudian
hatimu, menolong aku yang tengah
berdukacita ini. Di dalam
halku ini, hanya engkau
seoranglah yang masih setia kepadaku;
suka bersusah payah memimpin aku,
supaya aku jangan sesat
kepada jalan yang salah.
Engkaulah yang selaiu masih menghiburkan
hatiku dan engkaulah yang masih
sudi memberi nasihat
yang baik kepadaku. Oleh sebab itu,
bagiku pada waktu ini,
engkaulah jua yang menjadi ganti
Ibu bapaku."
Tatkala menyebut kedua perkataan
yang akhir ini, berlinanglinanglah
pula air matanya lalu meratap,
"Aduhai Ibu-bapaku
yang kucintai! Sampai hati
Ayah-bunda meninggalkan ananda
seorang diri, dengan nasib yang
malang ini'. Apakah sebabnya
tiada dibawa bersama-sama supaya
terlepas ananda daripada
azab yang tiada terderita
ini."
"Nur, adikku yang
manis!" kata Sitti Alimah, yang sangat
cinta dan sayang kepada Nurbaya.
"Itu bukan tanda engkau
sayang kepada orang tuamu. Engkau
tahu, mereka sedang
berjalan, menempuh jalan yang
sulit, akan mendapatkan
Tuhannya. Bila engkau panggil dan
engkau tangisi juga, tentulah
akan tertahan-tahan mereka di
dalam perjalanannya.
Sudahlah, jangan dipanggil-panggil
jupyang telah berpulang
itu! Senangkanlah hatimu dan
doakanlah kepada Tuhan, mudahmudahaq
selamat mereka di dalam
kubur!"
Setelah sejurus, berkata pula
Nurbaya, "Lim, kebaikanmu ini
tiada dapat kubalas, melainkan
kupohonkanlah siang dan malam
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
moga-moga dilimpahkannya
rahmat dan rahim, berlipat ganda
kepadamu, supaya bolehlah
engkau mendapat selamat dan
kesenangan dunia akhirat."
"Nur, jangan berkata
begitu!" jawab Alimah, "atas pekerjaanku
ini, tak perlu kau ininta terima
kasih, sebab aku berbuat
demikian, bukan karena berharap
barang sesuatu daripadamu
sebagai pembalasan, tetapi
semata-mata sebab aku sangat kasih
dan sayang kepadamu. Maklumlah,
aku ini sebagai engkau pula,
tiada bersaudara, melainkan hidup
menunggal diri. Oleh sebab
itu pada perasaanku, engkaulah
adikku dunia akhirat, tempat aku
bergantung, tempat aku
melindungkan diri dan menyerahkan
nasibku, yang jauh daripada baik
ini. Tambahan pula, seharusnyalah
aku membantu engkau dalam segala
halmu. Jika tiada
aku, siapa lagi?" kata Sitti
Alimah pula, sambil mengurut-urut
rambut dan tangan Nurbaya.
"Itulah sebabnya maka segala
nasihatmu hendak kuturut,
kutaruhkan dalam hati, dan itulah
pula sebabnya maka aku selalu
mencari daya upaya, supaya jangan
sampai mengecilkan hatimu.
Akan tetapi, apa dayaku, Lim?
Walaupun kulipur hatiku, walaupun
kucoba menghilangkan
kenang-kenangan yang menggoda
pikiranku tiadalah dapat juga:
makin dilupakan makin teringat,
makin dijauhkan makin dekat,
makin dienyahkan makin datang.
Putus pengharapanku, akan
dapat menyenangkan hatiku,"
sahut Nurbaya dengan berlinanglinang
air matanya, sambil memeluk
Alimah.
Oleh Alimah dipeluknya pula
adiknya ini dan diciumnya
pipinya, seraya berkata dengan
manis suaranya, "Walaupun
demikian, janganlah putus asa,
melainkan perbanyaklah juga
sabar dan tawakkal kepada Seru
Sekalian Alam, karena Tuhan
itu pengasih penyayang. Bukankah
segala sesu,atu terjadi atas
kehendaknya? Masakan tiada
dipertemukannya engkau dengan
kekasihmu dan tiada
disampaikannya hasrat yang kaucita-citakan
slang dan malam itu? Masakan
selalu hujan dengan tiada
berganti-ganti panas'? Barangkali
pada waktu ini, belurn
masanya engkau beroleh keinginan
hatimu itu; oleh sebab itu
sabarlah dahulu!"
"Memang, Lim; pada mulanya
demikianlah pikiranku.
Dengan pengharapan itulah
kulipurkan hatiku yang rawan ini.
Tetapi entah apa sebabnya, tiada
kuketahui; pengharapan itu
makin lama makin kurang, sehingga
akhirnya putuslah ia. Tiaptiap
aku berpikir, seperti kaukatakan
tadi, sebagai ada pula suatu
suara yang timbul dalam hatiku,
mengatakan, pengharapanku itu
akan sia-sia belaka, karena dalam
dunia ini tiadalah akan
disampaikan Tuhan cita-citaku itu
dan tiadalah pula akan
dikabulkan-Nya permintaanku itu,
meskipun hasrat berurat
berakar dalun hatiku.
Aduh, Lim! Jika kauketahui,
betapa beratnya bagiku akan
meninggalkan dunia ini dengan
penghaharapan yang sedemikian,
tentulah tiada heran engkau,
melihat haiku sebagai ini. Bukannya
aku takut mati, bukannya aku
sayang akan nyawaku, istimewa
pula sebab di sana ada ibu-bapaku
menanti aku. Tetapi...
bagaimanakah halnya kekasiliku
itu, sepeninggal aku kelak?"
"Nur, pikiranmu itu salah.
Mustahil...! Ah, tak dapat
kubenarkan! Masakan
engkau..." perkataan ini tak dapat diteruskan
oleh Alimah, karena khawatir,
kalau-kalau benar persangkaan
Nurbaya ini. Teristimewa karena
nyata kelihatan olehnya
putus asa yang terbayang di muka
adiknya ini. Oleh sebab itu
dicobanyalah mengenyahkan was-was
hatinya ini dengan
membujuk Nurbaya pula, "Jika
engkau bersangka demikian,
tentulah karena engkau sakit,
sehingga pikiranmu tiada tetap.
Sebaik-baiknyalah kau usahakan
dirimu dengan sebesar-besar
usaha, supaya pikiranmu itu
menjadi baik kembali. Jika tiada,
tentulah penyakitmu akan
bertambah-tambah keras. Dan
ingatlah, bahwa badan dan nyawamu
pada waktu ini bukan
milikmu sendiri saja lagi. karena
dua orang yang lain, yaitu
Samsu dan aku, telah menjatuhkan
cinta kasih sayangnya
kepadamu. Bila terjadi apa-apa
atas dirimu, niscaya kami berdua
pun akan berdukacita dan bersedih
hati pula. Oleh sebab itu, jika
benar engkau cinta kepada Samsu
dan suyang kepadaku, jagalah
dirimu baik-baik, supaya jangan
sampai mendapat sesuatu hal.
Bila kausia-siakan dirimu,
tandanya eqgkau tiada cinta kepada
Samsu dan tiada sayang
kepadaku."
"Aku tiada sayang kepadamu dan
tiada cinta kepada Samsu?"
tanya Nurbaya, sambil mengangkat
kepalanya. "Hanya Allah
yang mengetahui hatiku kepadamu
berdua. Tetapi sesungguhnya,
Lim, tiada dapat kuketahui,
apakah sebabnya perasaan yang
memutuskan pengharapan ini, kian
lama kian bersarang dalam
hatiku, mengalahkan harapan yang
kauberikan.
Pada pikiranku, sebaik-baiknya
kautunjukkanlah suatu jalan
kepadaku, supaya aku dapat
bertemu kembali dengan dia.
Apabila aku telah bertemu dengan
dia, biarlah terjadi atas diriku,
apa maunya. Aku hendak melihat
mukanya sekali lagi, hendak
mendengar suaranya sekali lagi.
Aku hendak melihat sendiri
pada air mukanya, bagaimana
hatinya kepadaku sekarang ini.
Aku hendak mendengar sendiri dan
mulutnya, betapa perasaannya
kepadaku, sejak ia diusir
ayahnya. Barangkali juga ia tiada
cinta lagi kepadaku atau ia marah
kepadaku dan menyesal akan
perbuatannya." kata Nurbaya
pula. sambil menutup mukanya,
hendak menahan air matanya yang
keluar, lalu menangkup
kepada Alimah.
Alimah dengan segera mengangkat
kepala Nurbaya perlahanlahan,
lalu menyapu air matanya dengan
sehelai setangan sutera,
sambil berkata, "Bagaimana
perkataanmu, Nur? Dahulu engkau
sendiri mengatakan, ia sangat
cinta kepadamu dan engkau
hampir setiap Jumat mendapat
surat dari padanya, yang
menyatakan cinta hatinya dan
kasih sayangnya kepadamu.
Betapa pula engkau boleh berpikir
seperti ini?"
"Ah Lim, surat itu dapat
dikarang-karang. Yang tak bernar
pun, dapat dituliskan. Bunyi
surat tiada selamanya bunyi
perkataan, yang timbul dari hati.
Kalau benar ia masih cinta
kepadaku, masakan ditinggalkannya
aku, dibiarkannya aku
dengan nasibku sedemikian ini? Ia
berjalan tiada memberi tahu
kepadaku. Memang laki-laki
mulutnya manis, tetapi hatinya
jarang yang lurus," jawab
Nurbaya.
"Nur, ingat akan dirimu!
Jangan diturutkan godaan setan!
Engkau sakit, sakit keras. Itulah
sebabnya pikiranmu tiada tetap.
Akan Samsu, walaupun engkau lebih
tahu hatinya daripada aku
tetapi aku bukan percaya saja,
bahkan berani menanggung,
bahwa ia bukanlah seorang
laki-laki yang mengubah janji atau
berhati lancung, melainkan
seorang yang lurus hati, setia, boleh
dipercayai, pengasih, penyayang
dan sabar. Cintanya kepadamu
bukan bohong, karena sejak kecil
ia kasih dan sayang kepadamu.
Mengapakah sampai berubah hatimu
kepadanya?
Bukannya aku hendak memenangkan
dia, sebab ia bukan
kaum keluargaku, sedang engkau
saudaraku yang sangat kucintai.
Sungguhpun demikian,
persangkaanmu itu tak dapat
kubenarkan. Apakah salahnya, maka
sampai bertukar pikiranmu
kepadanya, Nur? Alangkah sedih
hatinya, bila diketahuinya
pikiranmu itu!"
"Ya, Lim," sahut
Nurbaya, sambil memegang dan mencium
tangan saudaranya, sedang air
matanya mengalir kembali.
"Benar pikiranmu itu; memang
aku ini sakit dan pikiranku tiada
keruan. Memang tiada patut aku
berpikir sedemikian, karena
belum ada kesalahan Samsu, yang
nyata kepadaku. Ya, memang
pikiraiiku tiada betul. Maui dan
ampun, Lim, akan kesalahan
adikmu yang celaka ini!
Kepadamu pun aku banyak minta
maaf dan ampun, Sam, atas
perkataan dan syak wasangkaku
tadi," kata Nurbaya pula, sambil
memandang potret Samsulbahri,
yang ada dalam medaliunnya
itu. Kemudian dicium dan
ditaruhnya gambar itu ke atas
dadanya. "Aku dakwa engkau,
atas perbuatan, yang tentu tiada
kaulakukan; aku hukum engkau,
dengan tiada berdosa. Tetapi
janganlah engkau berkecil hati,
karena sesungguhnya aku sakit;
tak tahu, apa yang kuperbuat.
Bila penyakitku ini tiada diobat
dengan penawarnya, tentulah tiada
akan sembuh. Oleh sebab itu
lekaslah beri obat yang mustajab,
supaya aku dapat baik
kembali. Jika tiada lekas
kautawari, tentulah aku tiada dapat
hidup lama lagi di atas dunia ini
dan sia-sialah maksudmu,
hendak membela aku.
Dan engkau, Lim, ibu-bapaku yang
kedua. Tunjukkanlah
olehmu suatu jalan, supaya bangat
aku terlepas dari neraka dunia
ini!"
"Nur," jawab Alimah,
"jalan akan mengobati luka hatimu itu,
mudah benar. Bukankah masih
banyak kapal di laut yang dapat
mempertemukan engkau dengan
dia?"
Setelah berpikir sejurus, berkata
Nurbaya, "Sungguh benar
katamu itu; sebab ia tentu tiada
akan datang lagi ke Padang ini
karena negeri ini mungkin telah
dihitamkannya."
"Jika demikian, tentulah
engkau yang harus pergi kepadanya,"
jawab Alimah. "Takutkah
engkau berlayar sendiri ke
Jakarta? Orang yang akan
mengantarkan engkau ke sana, dapat
dicari. Pak Ali yang sangat cinta
kepada Samsu, kabarnya telah
berhenti menjadi kusir bapanya,
sebab ia bersedih hati, Engku
mudanya itu diusir oleh bapanya.
Tentulah ia mau membawa
engkau ke Jakarta."
"Bukan aku takut," kata
Nurbaya, "walau ke laut api sekalipun
aku berani, asal dapat bertemu
dengan dia. Memang hal ini
sudah juga kupikirkan, karena
hanya dengan jalan inilah aku
dapat memperoleh maksudku. Tetapi
kupikir pula, bila aku telah
sampai ke sana, apa yang hendak
kuperbuat? Karena engkau
maklum, ia masih murid, belum
bergaji. Walaupun ia suka
menerima aku, dengan apakah kami
akan hidup, sebab kami
baik, di negeri besar!"
"Tetapi pada pikiranku,
kalau benar ia cinta kepadamu,
tentulah ada juga suatu akal
padanya, untuk dapat hidup berdua
dengan engkau. Masakan seorang
laki-laki, yang cukup kepandaiannya
sebagai Samsu, tiada dapat
mencari muslihat yang
baik, di negeri besar!"
"Memang ia dahulu sudah
berkirim surat kepadaku,
menyuruh aku pergi ke Jakarta,
sebab ia kasihan akan daku dan
khawatir, aku membunuh diri.
Maksudnya hendak meninggalkan
sekolahnya dan akan
mencari pekerjaan, supaya kami
dapat hidup berdua. Tetapi
adakah baik, bila kuturutkan
pikirannya ini? Kuasakah aku
menarik ia dari pelajaran yang
boleh mendatangkan pangkat dan
gaji yang besar kepadanya kelak?
Ah, jika aku kaya, tiadalah
kupikirkan lagi; tentu segera
kubenarkan pikirannya ini dan
tiadalah kuberi ia bekerja, supaya
mendapat kesenangan, terlebih
daripada raja. Tetapi apa hendak
dikata...?" lalu Nurbaya
menghapuskan air matanya yang berlinang-
linang.
"Biarpun engkau tiada kaya,
asal aku mampu, tentulah segala
maksudmu kusampaikan. Akan
tetapi, sebab kita bukannya
hartawan yang mempunyai gedung di
darat, kapal di laut, pada
pikiranku tiada ada jalan lain,
daripada membenarkan pikiran itu.
Jika untungmu berdua kelak baik,
tentulah akan kauperoleh juga
kesenangan dan kekayaan
itu."
Setelah berpikir sejurus,
berkatalah Nurbaya, sambil
mengeluh, "Ya, memang, tak
ada jalan lain. Baiklah kuturut
pikiranmu dan pikirannya itu.
Tetapi dari mana dicari belanja?"
"Kaugadaikan barang-barangmu
yang tiada perlu kaupakai
dan kaujual barang-barangku
setengahnya," sahut Alimah.
"Memang engkau lebih
daripada saudara kandungku," kata
Nurbaya pula, sambil mencium
Alimah pada pipinya.
"Jadi, benar telah tetap
maksudmu hendak berangkat?" tanya
Alimah. "Dan bila engkau
hendak berangkat?"
"Hari Saptu yang akan
datang. Tetapi rahasia ini janganlah
kaubuka dahulu, Lim, sebelum aku
selamat sampai ke tanah
Jawa, supaya jangan mendapat
alangan apa-apa. Bila orang
tuamu tahu maksudku itu, niscaya
tiadalah akan diizinkannya
aku pergi sendiri."
"Teritu tidak, kecuali kalau
Pak Ali, yang membawamu,"
jawab Alimah. "Sekarang
sudah senangkah pikiranmu?"
"Sudah." jawab Nurbaya.
"Maukah engkau berjanji,
tidak akan termenung-menung,
berawan hati lagi atau menangis
tersedu-sedu?" tanya Alullah
pula.
Pertanyaan itu tiada dijawab oleh
Nurbaya melainkan dipeluk
dan diciumnya pula Alimah, sambil
berkata, "Memang engkau
seorang bidadari, yang selalu
menolong aku dalam segala
kesusahanku."
"Nah, sekarang tidurlah dengan
senang, sebab hari telah
pukul setengah empat pagi!
Biarlah aku tidur di sini menemani
engkau. Jika tidak, kelak engkau
menangis pula, sebab waktu
yang beberapa hari itu, terlalu
lama bagimu," kata Alimah
dengan bergurau kepada adiknya
ini, lalu merebahkan dirinya ke
kasur, serta membawa Nurbaya
tidur. "Sekarang peluklah aku
dan misalkan aku Samsu serta
mimpikanlah ia!"
Nurbaya tiada menyahut cumbuan
saudaranya ini melainkan
dengan tersenyum dan mata yang
masih basah, diciumnya pula
Alimah, lalu berbaring.
Tiada berapa lama sesudah itu,
tertidurlah Nurbaya dalam
pelukan Alimah. Maka dipandanglah
muka Nurbaya oleh
Alimah beberapa saat lamanya dan
nyata kepadanya, bahwa di
muka adiknya itu, masih terbayang
kedukaan, tetapi yang
disertai pengharapan.
Tatkala ia hendak menutupkan
matanya, terdengarlah
olehnya bunyi langkah orang,
keluar dari bawah rumahnya.
Maka berdebarlah hatinya, karena
teringat pula akan bayangbayang
yang dilihatnya, ketika akan
menutup jendela bilik itu
tadi. Tetapi seketika lagi sunyi
senyaplah di sana. Sungguhpun
demikian, diniharilah baru Alimah
tertidur, karena takut dan
heran memikirkan orang yang
dilihatnya tadi.
...Bersambung ke...Nurbaya Lari ke Jakarta
...Bersambung ke...Nurbaya Lari ke Jakarta
No comments:
Post a Comment