Karya : Marah Rusli
"Sudahkah Engku Datuk Malelo
mendengar kabar yang kurang
baik itu?" tanya seorang
tua, di pasar Bukit Tinggi, kepada
temannya.
"Kabar apakah itu, Engku
Malim Batuah?" sahut sahabatnya.
"Kompeni akan meminta uang
belasting kepada kita," jawab
Malim Batuah.
"Uang belasting? Uang apa
pula itu?" tanya Datuk Malelo
dengan senyum merengut.
"Ada-ada saja kompeni itu, untuk
mencari uang. Dan siapakah yang
akan susah karena aturan itu?
Tentulah anak negeri juga.
Belumkah cukup uang rodi, uang
jaga, uang ini dan uang itu?
Sekarang ditambah pula dengan
uang belasting? Uang apakah
artinya itu, Malim?"
"Uang belasting, yaitu uang
pajak harta benda atau
pencaharian, dalam
setahun-setahun," jawab Malim Batuah.
"Belanda kekurangan duit
rupanya, jadi dicari-carinya akal
untuk memperoleh uang. Tetapi
perbuatan yang sedemikian, tak
boleh dibiarkan. Kalau diturutkan
saja, cobalah Engku Malim
lihat! Sudah ini ada pula lagi
uang yang akan dibayar. Di mana
kita peroleh sekalian itu? Dan
apakah sebabnya maka kita harus
membayar uang-uang itu? Karena
kita budak, bukan tawanan,
bukan pula orang yang membayar
upeti kepada kompeni. Dan
lagi apakah gunanya uang
itu?"
"Hamba pun tak tahu, hanya
sekedar mendengar cerita orang
pula. Kabarnya sekalian Tuanku
Laras akan dipanggil ke kantor
Tuan Residen, untuk memupakatkan
perkara ini. Tentulah kita
akan mendapat kabar yang nyata
dari Datuk-Datuk dan Tuanku
kita betapa yang
sebenarnya."
"Biar bagaimana sekalipun,
hamba tak mupakat dengan
peraturan ini," jawab Datuk
Malelo.
Demikianlah anak negeri menyambut
kedatangan kabar
perkara belasting ini. Bukan di
Padang Hilir dan Padang Hulu
saja, anak negeri berpikir
sedemikian, tetapi pada seluruh negeri,
yang akan menerima aturan baru
ini.
Kabar perkara belasting itu
segeralah pecah dan kembang
pada seluruh negeri, kota dan
lorong, sampai ke kampung dan
dusun yang kecil-kecil, sehingga
tua muda, kecil besar, laki-laki
perempuan, tahulah kabar ini.
Sekalian mereka mencomel,
karena berasa kurang adil
diperintahi Belanda, yang pada pikiran
mereka berbuat sekehendak
hatinya, memaksa mereka membayar
belasting, untuk menambah
kekayaannya.
Oleh sebab Pemerintah merasa
khawatir, anak negeri tiada
hendak menurut saja aturan baru
ini, melainkan boleh jadi
membantah, bermupakatlah
pegawai-pegawai Belanda dengan
pegawai anak negeri. Di Padang
Hilir dengan Tuanku-Tuanku
Penghulu, di Padang Hulu dengan
Tuanku-Tuanku Laras, untuk
mencari akal yang baik, supaya
dapat juga menjalankan
belasting itu, dengan amannya.
Sekalian pegawai bumiputra,
disuruhlah menyampaikan dan
memperbincangkan perkara ini
dengan pegawai-pegawai
kampung dan anak negeri, serta
disuruh terangkan pula sebabsebab
dan keperluan belasting itu,
supaya mereka jangan salah
sangka. Oleh sebab itu ramailah
orang berkumpul-kumpul di
sana-sini, membicarakan hal itu.
Tuanku-Tuanku Laras atau
Tuanku-Tuanku Penghulu dengan
Kepala-Kepala Negeri,
Kepala-Kepala Negeri dengan anak
buahnya dan anak buah
dengan kaum keluarganya.
Supaya kita ketahui benar perkara
ini, marilah kita turut tiaptiap
permupakatan itu!
Pada suatu hari berkumpullah di
kantor Residen Bukit
Tinggi, sekalian Tuanku Laras
keresidenan Padang Hulu*).
Asisten-Asisten Residen dengan
Kemendur-Kemendur dan
Aspiran-Aspirannya pun ada serta
hadir. Setelah cukup
sekaliannya dalam majelis,
berdirilah Tuan Residen, lalu berkata
dalam bahasa Melayu Minangkabau,
"Tuan-Tuan dan Tuanku-
Tuanku sekalian yang hadir di
sini! Sebelum kami nyatakan
*) Pada ketika itu keresidenan
Sumatra Barat sekarang ini masih
terbatas atas dua keresidenan:
pertama, keresiden Padang Hulu
(Bukit Tinggi) kedua, keresidenan
Padang Hilir (Padang).
perintah yang kami teruna,
terlebih dahulu kaini ucapkan selamat
datang kepada Tuan-tuan dan
Tuanku-Tuanku yang telah
menurut permintaan kami, datang
berkumpul kemari, karena
adalah suatu perintah, yang
penting dari Pemerintah Agung,
yang hendak kami memupakatkan di
sini dengan Tuan-tuan dan
Tuanku-Tuanku sekalian.
Sebagai Tuanku-Tuanku ketahui,
tanah Hindia ini diperintahi
oleh Pemerintah Belanda.
Tuan-tuan tahu pula, tanah Hindia ini
bukan kecil, melainkan sangatlah
besar dan luasnya. Beberapa
pulau yang besar-besar, seperti
pulau Sumatra, pulau Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, sampai ke
pulau Papua, masuk
jajahannya. Lain daripada itu,
banyak pula pulau yang kecilkecil,
yang masuk bagiannya, sebagai
pulau Bali, Loinbok,
Sumbawa, Flores, Timor, Sumba,
Sawu, Roti dan lain-lain
sebagainya. Sekaliannya itu harus
dijaga dan diurus oleh
Pemerintah Belanda,
sebaik-baiknya, supaya segala penduduknya
mendapat keselamatan dan
kesejahteraan.
Akan menyampaikan maksud ini,
diadakan oleh Pemerintah
pegawai-pegawai, cukup dengan
alat perkakas, rumah dan
kantornya. Marilah kami sebutkan
berapa macam pegawai, akan
jadi misal. Pertama pegawai yang
memerintah dan mengemudikan
negeri, yaitu pegawai sebagai
kita sekalian ini. Pegawai ini
bukan sedikit orangnya,
perkakasnya, rumahnya dan kantornya.
Beribu orangnya, dari yang
berpangkat Residen sampai ke juru
juru tulis dan Kepala Kampung,
sedang Gubernur Jenderal pun,
boleh dimasukkan golongan ini.
Kedua, pegawai yang memajukan
bumiputra tentang
pengetahuan dan kerajinannya,
yaitu guru-guru. Beribu pula
banyaknya dengan rumah-rumah
sekolahnya, kecil besar;
perkakasnya pun bermacam-macam
pula.
Ketiga, pegawai yang memajukan
perusahaan tanah dan
perniagaan, sedemikian pula
banyak orang tempatnya dan
perkakasnya.
Keempat, pegawai yang membuat
rumah-rumah, jalan jalan,
serokan-serokan, sungai-sungai
dan lain-lain. Pegawai itu pun
tak kurang orang, kantor dan
perkakasnya.
Kelima, pegawai yang menjaga
keamanan negeri, yaitu bala
tentara. Pegawai inilah yang
sangat banyak belanja, tetapi
keperluannya pun sangat besar
pula. Bukannya di daratan saja,
tetapi di lautan pun diadakan
pula bala tentara, untuk menjaga
keamanan laut, perniagaan dan
musuh. Bala tentara ini
dilengkapi dengan kapal-kapal
perang dan senjatanya.
Pegawai yang mengurus uang
Pemerintah pun diadakan pula.
Lain daripada itu banyak lagi
tiada kami sebutkan di sini, sebab
tentulah akan menjadi lanjut
percakapan ini. Tuanku-Tuanku
lihat, semuanya diurus dengan
sebaik-baiknya; segala yang
berguna, diadakan dan yang tak
perlu, dibuang. Jangankari hal
manusia, perkara hewan-hewan,
tumbuh-tumbuhan, tanah¬tanah,
air-air dan yang lain-lain pun
tidak dilupakan. '
Tuanku-Tuanku tentulah maklum,
sekalian itu bukan- sedikit
belanjanya, mana penggaji
pegawai, niana pembuat tempat atau
rumahnya, mana pembeli
perkakasnya, dan mana pula biaya
perjalanannya. Cobalah pikirkan
dan hitung belanja sebuah
rumah atau kantor Gubernemen saja,
dalam sebulan dengan gajigaji
orang, biaya perkakas dan
lain-lain sebagainya. Di situ
barulah nyata, bahwa belanja ini
bukan sedikit. Berpuluh juta
rupiah Pemerintah harus
mengeluarkan uang tiap-tiap tahun,
untuk biaya sekaliannya itu.
Di manakah diperoleh uang yang
sekian banyaknya? Benar
ada hasil dari tanah, dari kopi,
dari perniagaan, dari ini dan dari
itu, tetapi hasil ini sekarang
nyata tiada memadai. Bagaimana
akal kini akan mencari uang
penambah yang kurang ini? Bila
Tuanku-Tuanku di rumah hendak
memakai tikar, lainpu, kursi
dan meja, siapakah yang harus
membelinya? Tentu Tuanku
sendiri, bukan? Masakan dapat
diminta kepada orang lain?
Demikianlah juga perkara negeri
kita ini, tak boleh kita meminta
bantuan kepada kerajaan lain,
melainkan kita sendirilah, yang
harus memikulnya. Bukankah aturan
itu sejak dahulu kala, telah
ada juga di sini? Segala sesuatu
yarig perlu bagi negeri, negeri
itu sendirilah yang mengadakan,
dipungut dari anak negeri.
Dahulu penghasilan yang kami
sebut tadi, memang cukup,
untuk membiayai sekalian
keperluan tadi, tetapi sebab keperluan
itu makin lama makin bertambah,
sebab orang pun kian lama
kian banyak pula, sekarang
hasil-hasil itu tak mencukupi lagi.
Barangkali tambahan keperluan
itu, di sini belum nyata benar,
tetapi di negeri-negeri asing,
terang kelilhatan. Sungguhpun
demikian, harus juga kita
bersama-sama menolong. Janganlah
kita berpikir, apa perlunya
ditolong negeri asing itu? Sebab
sebagai telah kami katakan tadi,
sekalian pulau yang masuk
tanah Hindia, menjadi satu. Biar
bangsa Melayu atau Jawa.
Dayak atau Papua. Belanda ataupun
Cina, sekalian penduduk
Hindia ini, harus menjadi satu
dan harus bersama-sama
memajukan tanah kita.
Janganlah tiada percaya, bahwa
segala yang diperbuat di
negeri lain, membawa hasil juga
ke mana-mana. Lihatlah
Sekolah Dokter Jawa, diadakan
hanya di tanah Jawa; tetapi
bukan urang Jawa saja yang
beroleh hasil dari sekolah itu; orang
Minangkabau, orang Batak, Menado.
Ambun dan lain-lain pun
dapat pula belajar di sana, untuk
menjadi dokter. Dalam sekolah
Raja*), di sini, bukannya bangsa
Minangkabau saja yang dapat
menuntut ilmu guru, tetapi orang
Tapanuli, Aceh, Palembang-
Lampung, Bengkulu sampai ke
Pontianak dan Sambas pun,
*) Kweekshool
boleh juga. Demikian pulalah
perbaikan-perbaikan yang diadakan
di negeri lain-lain itu, tak
dapat tiada mendatangkan kebaikan
juga kepada kita di sini.
Oleh sebab itu, diputuskanlah
oleh Pemerintah Agung,
sekalian penduduk tanah Hindia
ini, haruslah bersama-sama,
membantu kekurangan ini. Yang
miskin tentulah sedikit, yang
kaya banyak. Uang bantuan itu
dinamakan "Uang belasting",
dibayar tiap-tiap tahun. Jadi tak
ada ubahnya dengan uang jakat
dan fitrah. Hanya uang belasting,
dipakai untuk keperluan kita
bersama dan bukan dihadiahkan
kepada orang miskin, untuk
keperluan mereka itu sendiri.
Belasting ini telah dijalankan di
mana-mana, baik di negeri di
atas angin atau negeri di bawah
angin; sedang di tanah Hindia ini
pun hampir pada segenap tempat
dan sekalian penduduknya
menerima aturan ini dengan rela.
Hanya di Minangkabau inilah
yang belum lagi. Tuanku-Tuanku
tentu maklum, bila orang di
sini dibebaskan dari belasting
itu, perbuatan Pemerintah ini
niscaya tidak adil. Berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing.
Tambahan pula, bila orang di sini
suka menuntut aturan ini
dengan senang hati. Pemerintah
suka membebaskan orang
Minangkabau daripada kontrak
menjual kopi kepada
Gubernemen, sehingga kopi boleh
dijual kepada orang lain,
dengan harga lima atau enam kali
lipat ganda. Apalagi kalau
dipikir benar-benar, nyatalah kontrak
menjual kopi itu pada masa
ini tiada adil lagi; tak sesuai
dengan zamannya, karena
timbanglah: Siapakah yang
bertanam kopi din menjualnya ke
gedung Gubernemen? Bukankah
orang-orang peladang, artinya
orang-orang miskin? Orang
kaya-kaya, saudagar-saudagar,
adakah berbuat sedemikian? Tidak.
Jadi siapakah yang membayar
belasting pada hakikinya?
Bukankah si miskin? Si kaya
bersenang-senang saja.
Inilah maksud kami meminta datang
Tuanku sekalian kemari
supaya disampaikan pemerintah ini
kepada anak negeri, dengan
diterangkan apa sebabnya dan apa
gunanya uang belasting itu.
Mengerti benarlah hendaknya
mereka tentang perkara ini, supaya
jangan sampai mereka berpikir,
uang itu diminta, sekedar hendak
memenuhi kantung orang Belanda.
Sekali-kali negeri tiada
beroleh hasil dari belasting ini,
melainkan kita yang di sini
jugalah.
Lagi pula janganlah salah sangka.
Sekalian kami bangsa
Belanda yang ada di sini, ialah
pegawai Gubernemen, sebagai
Tuanku-Tuanku juga, dan yang
Gubernemen itu bukanlah
bangsa Belanda atau kerajaan
Belanda, sekali-kali tidak lain
melainkan penduduk tanah Hindia
inilah. Bangsa Belanda di sini
sekadar memerintah, menolong
mengatur.
Pada rasa hati kami cukuplah itu,
untuk menerangkan
maksud kami. Bila ada di antara
Tuan-tuan dan Tuanku-Tuanku
yang merasa apa-apa tentang
perkara ini, keluarkanlah! Supaya
dapat diperbincangkan
bersama-sama."
Lalu Residen duduk di atas kursi,
bernanti, adakah orang
yang hendak berkata atau tidak.
Tetapi seorang pun tiada yang
hendak mengeluarkan pikirannya,
tentang hal ini.
Setelah berdiam-diam sejurus,
bertanya pula Residen, "Tak
adakah orang yang hendak berkata
apa-apa, tentang hal ini?"
Tatkala itu berdirilah seorang
Tuanku Laras, yang tertua
daripada sekalian laras yang
hadir, lalu memberi hormat kepada
Residen dan segala yang hadir
dalam majelis itu; kernudian
berkatalah ia, "Sepanjang
pikiran hamba yang tua ini, tak adalah
yang akan dijawab lagi dalam
perkara ini, karena sekaliannya
telah diputuskan oleh Pemerintah
Agung. Walaupun ada yang
terasa dalam hati kami, terkalang
di mata kami, tetapi pada
sangka hamba, tak ada paedahnya
diperkatakan lagi, sebab tak
dapat mengubah aturan yang telah
ditetapkan itu. Tak ada yang
lain yang dapat kami perbuat
dalam hal ini, melainkan kami
sampaikan perintah ini kepada
anak negeri serta kami terangkan
kepada mereka, guna dan sebabnya
diadakan belasting itu.
Seboleh-bolehnya kami akan
berdaya upaya, supaya anak negeri
menurut peraturan ini. Meskipun
demikian, tentulah tak dapat
kami pastikan, anak negeri akan
menerima aturan ini dengan
senang hati; sebab tiap-tiap yang
baru, tiada lekas diterima,
lebih-lebih jika tak nyata
kebaikannya. Tambahan pula, aturan
ini, ialah aturan yang mengenai
pura*) anak negeri. Oleh sebab
itu marilah kita bersama-sama
berikhtiar dan memohon kepada
Tuhan, supaya perintah ini dapat
dilangsungkan dengan
selamat."
Sekarang marilah kita dengar pula
jawab pegawai kampung,
tentang perkara ini, dalam
perkumpulan yang diadakan di rumah
atau balairung.
Rapat itu dikepalai oleh Tuanku
Laras.
Setelah berkumpullah sekalian
Datuk, Penghulu, Hulubalang,
orang kaya, besar bertuah, Kepala
Negeri, Cerdik pandai dan
lain-lainnya, berkatalah Tuanku
Laras, menyampaikan perintah
yang diterimanya dari Residen,
serta menerangkan guna dan
sebabnya belasting itu
dijalankan. Setelah selesai ia berkata-kata,
menjawablah beberapa orang
daripada yang hadir.
"Tentang peraturan
Gubernemen ini, belum kami ketahui
buruk baiknya. Tetapi yang
mula-mula terasa dalam hati kami
dalarn perkara belasting ini,
ialah orang Belanda rupanya telah
lupa akan janjinya, kepada orang
Minangkabau. Bukankah sudah
ditetapkan dalam "Pelekat
Panjang", bahwa kami anak
Minangkabau tak perlu membayar
bia, yang sebagai belasting
ini? Apakah sebabnya maka kami
disuruh juga membayar,
*) pundi-pundi uang
sekarang? Mungkirkah orang
Belanda akan janjinya?
Kedua, orang Belanda sudah lupa
pula, bahwa kami bukan
orang takluk, yang harus membayar
upeti kepada bangsa
Belanda. Negeri kami tiada
diambil dengan asap bedil, oleh
orang Belanda, melainkan dengan
perjanjian, antara sahabat
dengan sahabat.
Ketiga Tuan Residen berkata,
orang Belanda di sini
menolong memerintahkan. Tetapi
siapakah yang meminta
pertolongan itu? Kami tidak minta
tolong diperintah, melainkan
minta tolong mengalahkan paderi
di zaman paderi, lain tidak.
Pada pikiran kami, tiada perlu
kami diperintahi bangsa asing,
sebab dari nenek moyang kami
dahulu kala, kami biasa
diperintah Raja bangsa kami
sendiri dan dalam pemerintahan itu
kami pun merasa senang, tiada
berasa kurang adil. Oleh sebab
itu, tak perlu kami meminta
pertolongan kepada bangsa asing,
untuk memerintahi kami.
Keempat, kata Tuan Residen uang
belasting itu untuk
menambah kekurangan belanja
Pemerintah, sebab banyak
perubahan yang akan diadakan.
Perubahan apakah itu, tiada kami
ketahui; sebab tiada dimupakatkan
dahulu dengan kami,
sehingga kami tak tahu pula
sungguhkah perubahan itu berguna
bagi kami. Pada pikiran kami,
segala yang ada sekarang ini pun
cukuplah; tak perlu diadakan
perubahan lagi. Adapun perubahan,
bukannya untuk kami saja, hanya
terutama untuk mereka yang
berpangkat tinggi, yang kaya dan
orang kota.
Kelima, Tuan Residen berkata
sendiri, keperluan kita tak
boleh diminta kepada orang lain,
mengapakah tidak tiap-tiap
kampung atau negeri mengadakan
keperluannya sendiri-sendiri?
Mengapakah kami harus menolong
orang Selebes, Timor dan
Papua? Melihat rupanya pun kami
belum! Dan siapakah yang
akan menanggung, mereka itu kelak
akan rnenolong kami pula,
bila kami dapat kesusahan atau
ada keperluan apa-apa?
Keenam, Tuan Residen berkata,
kita sekalian ini yang
Gubernemen, bukan bangsa Belanda.
Mengapakah segala
sesuatu diputuskan dan diperbuat
oleh orang Belanda saja; suara
anak negeri sekali-kali tiada
didengar? Perkara belasting ini pun
tiada dimupakatkan dahulu dengan
kami. Setelah terjadi, disuruh
kami menurut, dengan tiada boleh
mengatakan tidak. Bagaimanakah
kami namanya itu, orang yang
diperintahkan atau
orang yang memerintah?
Bersambung ke....Rusuh Belasting di Kota Padang (bag.2)
No comments:
Post a Comment