Wednesday, January 28, 2015

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode : Rusuh Belasting di Kota Padang (bag.1)



Karya : Marah Rusli
"Sudahkah Engku Datuk Malelo mendengar kabar yang kurang
baik itu?" tanya seorang tua, di pasar Bukit Tinggi, kepada
temannya.
"Kabar apakah itu, Engku Malim Batuah?" sahut sahabatnya.
"Kompeni akan meminta uang belasting kepada kita," jawab
Malim Batuah.
"Uang belasting? Uang apa pula itu?" tanya Datuk Malelo
dengan senyum merengut. "Ada-ada saja kompeni itu, untuk
mencari uang. Dan siapakah yang akan susah karena aturan itu?
Tentulah anak negeri juga. Belumkah cukup uang rodi, uang
jaga, uang ini dan uang itu? Sekarang ditambah pula dengan
uang belasting? Uang apakah artinya itu, Malim?"
"Uang belasting, yaitu uang pajak harta benda atau
pencaharian, dalam setahun-setahun," jawab Malim Batuah.
"Belanda kekurangan duit rupanya, jadi dicari-carinya akal
untuk memperoleh uang. Tetapi perbuatan yang sedemikian, tak
boleh dibiarkan. Kalau diturutkan saja, cobalah Engku Malim
lihat! Sudah ini ada pula lagi uang yang akan dibayar. Di mana
kita peroleh sekalian itu? Dan apakah sebabnya maka kita harus
membayar uang-uang itu? Karena kita budak, bukan tawanan,
bukan pula orang yang membayar upeti kepada kompeni. Dan
lagi apakah gunanya uang itu?"
"Hamba pun tak tahu, hanya sekedar mendengar cerita orang
pula. Kabarnya sekalian Tuanku Laras akan dipanggil ke kantor
Tuan Residen, untuk memupakatkan perkara ini. Tentulah kita
akan mendapat kabar yang nyata dari Datuk-Datuk dan Tuanku
kita betapa yang sebenarnya."
"Biar bagaimana sekalipun, hamba tak mupakat dengan
peraturan ini," jawab Datuk Malelo.
Demikianlah anak negeri menyambut kedatangan kabar
perkara belasting ini. Bukan di Padang Hilir dan Padang Hulu
saja, anak negeri berpikir sedemikian, tetapi pada seluruh negeri,
yang akan menerima aturan baru ini.
Kabar perkara belasting itu segeralah pecah dan kembang
pada seluruh negeri, kota dan lorong, sampai ke kampung dan
dusun yang kecil-kecil, sehingga tua muda, kecil besar, laki-laki
perempuan, tahulah kabar ini. Sekalian mereka mencomel,
karena berasa kurang adil diperintahi Belanda, yang pada pikiran
mereka berbuat sekehendak hatinya, memaksa mereka membayar
belasting, untuk menambah kekayaannya.
Oleh sebab Pemerintah merasa khawatir, anak negeri tiada
hendak menurut saja aturan baru ini, melainkan boleh jadi
membantah, bermupakatlah pegawai-pegawai Belanda dengan
pegawai anak negeri. Di Padang Hilir dengan Tuanku-Tuanku
Penghulu, di Padang Hulu dengan Tuanku-Tuanku Laras, untuk
mencari akal yang baik, supaya dapat juga menjalankan
belasting itu, dengan amannya.
Sekalian pegawai bumiputra, disuruhlah menyampaikan dan
memperbincangkan perkara ini dengan pegawai-pegawai
kampung dan anak negeri, serta disuruh terangkan pula sebabsebab
dan keperluan belasting itu, supaya mereka jangan salah
sangka. Oleh sebab itu ramailah orang berkumpul-kumpul di
sana-sini, membicarakan hal itu. Tuanku-Tuanku Laras atau
Tuanku-Tuanku Penghulu dengan Kepala-Kepala Negeri,
Kepala-Kepala Negeri dengan anak buahnya dan anak buah
dengan kaum keluarganya.
Supaya kita ketahui benar perkara ini, marilah kita turut tiaptiap
permupakatan itu!
Pada suatu hari berkumpullah di kantor Residen Bukit
Tinggi, sekalian Tuanku Laras keresidenan Padang Hulu*).
Asisten-Asisten Residen dengan Kemendur-Kemendur dan
Aspiran-Aspirannya pun ada serta hadir. Setelah cukup
sekaliannya dalam majelis, berdirilah Tuan Residen, lalu berkata
dalam bahasa Melayu Minangkabau, "Tuan-Tuan dan Tuanku-
Tuanku sekalian yang hadir di sini! Sebelum kami nyatakan
*) Pada ketika itu keresidenan Sumatra Barat sekarang ini masih
terbatas atas dua keresidenan: pertama, keresiden Padang Hulu
(Bukit Tinggi) kedua, keresidenan Padang Hilir (Padang).
perintah yang kami teruna, terlebih dahulu kaini ucapkan selamat
datang kepada Tuan-tuan dan Tuanku-Tuanku yang telah
menurut permintaan kami, datang berkumpul kemari, karena
adalah suatu perintah, yang penting dari Pemerintah Agung,
yang hendak kami memupakatkan di sini dengan Tuan-tuan dan
Tuanku-Tuanku sekalian.
Sebagai Tuanku-Tuanku ketahui, tanah Hindia ini diperintahi
oleh Pemerintah Belanda. Tuan-tuan tahu pula, tanah Hindia ini
bukan kecil, melainkan sangatlah besar dan luasnya. Beberapa
pulau yang besar-besar, seperti pulau Sumatra, pulau Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, sampai ke pulau Papua, masuk
jajahannya. Lain daripada itu, banyak pula pulau yang kecilkecil,
yang masuk bagiannya, sebagai pulau Bali, Loinbok,
Sumbawa, Flores, Timor, Sumba, Sawu, Roti dan lain-lain
sebagainya. Sekaliannya itu harus dijaga dan diurus oleh
Pemerintah Belanda, sebaik-baiknya, supaya segala penduduknya
mendapat keselamatan dan kesejahteraan.
Akan menyampaikan maksud ini, diadakan oleh Pemerintah
pegawai-pegawai, cukup dengan alat perkakas, rumah dan
kantornya. Marilah kami sebutkan berapa macam pegawai, akan
jadi misal. Pertama pegawai yang memerintah dan mengemudikan
negeri, yaitu pegawai sebagai kita sekalian ini. Pegawai ini
bukan sedikit orangnya, perkakasnya, rumahnya dan kantornya.
Beribu orangnya, dari yang berpangkat Residen sampai ke juru
juru tulis dan Kepala Kampung, sedang Gubernur Jenderal pun,
boleh dimasukkan golongan ini.
Kedua, pegawai yang memajukan bumiputra tentang
pengetahuan dan kerajinannya, yaitu guru-guru. Beribu pula
banyaknya dengan rumah-rumah sekolahnya, kecil besar;
perkakasnya pun bermacam-macam pula.
Ketiga, pegawai yang memajukan perusahaan tanah dan
perniagaan, sedemikian pula banyak orang tempatnya dan
perkakasnya.
Keempat, pegawai yang membuat rumah-rumah, jalan jalan,
serokan-serokan, sungai-sungai dan lain-lain. Pegawai itu pun
tak kurang orang, kantor dan perkakasnya.
Kelima, pegawai yang menjaga keamanan negeri, yaitu bala
tentara. Pegawai inilah yang sangat banyak belanja, tetapi
keperluannya pun sangat besar pula. Bukannya di daratan saja,
tetapi di lautan pun diadakan pula bala tentara, untuk menjaga
keamanan laut, perniagaan dan musuh. Bala tentara ini
dilengkapi dengan kapal-kapal perang dan senjatanya.
Pegawai yang mengurus uang Pemerintah pun diadakan pula.
Lain daripada itu banyak lagi tiada kami sebutkan di sini, sebab
tentulah akan menjadi lanjut percakapan ini. Tuanku-Tuanku
lihat, semuanya diurus dengan sebaik-baiknya; segala yang
berguna, diadakan dan yang tak perlu, dibuang. Jangankari hal
manusia, perkara hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah¬tanah,
air-air dan yang lain-lain pun tidak dilupakan. '
Tuanku-Tuanku tentulah maklum, sekalian itu bukan- sedikit
belanjanya, mana penggaji pegawai, niana pembuat tempat atau
rumahnya, mana pembeli perkakasnya, dan mana pula biaya
perjalanannya. Cobalah pikirkan dan hitung belanja sebuah
rumah atau kantor Gubernemen saja, dalam sebulan dengan gajigaji
orang, biaya perkakas dan lain-lain sebagainya. Di situ
barulah nyata, bahwa belanja ini bukan sedikit. Berpuluh juta
rupiah Pemerintah harus mengeluarkan uang tiap-tiap tahun,
untuk biaya sekaliannya itu.
Di manakah diperoleh uang yang sekian banyaknya? Benar
ada hasil dari tanah, dari kopi, dari perniagaan, dari ini dan dari
itu, tetapi hasil ini sekarang nyata tiada memadai. Bagaimana
akal kini akan mencari uang penambah yang kurang ini? Bila
Tuanku-Tuanku di rumah hendak memakai tikar, lainpu, kursi
dan meja, siapakah yang harus membelinya? Tentu Tuanku
sendiri, bukan? Masakan dapat diminta kepada orang lain?
Demikianlah juga perkara negeri kita ini, tak boleh kita meminta
bantuan kepada kerajaan lain, melainkan kita sendirilah, yang
harus memikulnya. Bukankah aturan itu sejak dahulu kala, telah
ada juga di sini? Segala sesuatu yarig perlu bagi negeri, negeri
itu sendirilah yang mengadakan, dipungut dari anak negeri.
Dahulu penghasilan yang kami sebut tadi, memang cukup,
untuk membiayai sekalian keperluan tadi, tetapi sebab keperluan
itu makin lama makin bertambah, sebab orang pun kian lama
kian banyak pula, sekarang hasil-hasil itu tak mencukupi lagi.
Barangkali tambahan keperluan itu, di sini belum nyata benar,
tetapi di negeri-negeri asing, terang kelilhatan. Sungguhpun
demikian, harus juga kita bersama-sama menolong. Janganlah
kita berpikir, apa perlunya ditolong negeri asing itu? Sebab
sebagai telah kami katakan tadi, sekalian pulau yang masuk
tanah Hindia, menjadi satu. Biar bangsa Melayu atau Jawa.
Dayak atau Papua. Belanda ataupun Cina, sekalian penduduk
Hindia ini, harus menjadi satu dan harus bersama-sama
memajukan tanah kita.
Janganlah tiada percaya, bahwa segala yang diperbuat di
negeri lain, membawa hasil juga ke mana-mana. Lihatlah
Sekolah Dokter Jawa, diadakan hanya di tanah Jawa; tetapi
bukan urang Jawa saja yang beroleh hasil dari sekolah itu; orang
Minangkabau, orang Batak, Menado. Ambun dan lain-lain pun
dapat pula belajar di sana, untuk menjadi dokter. Dalam sekolah
Raja*), di sini, bukannya bangsa Minangkabau saja yang dapat
menuntut ilmu guru, tetapi orang Tapanuli, Aceh, Palembang-
Lampung, Bengkulu sampai ke Pontianak dan Sambas pun,
*) Kweekshool
boleh juga. Demikian pulalah perbaikan-perbaikan yang diadakan
di negeri lain-lain itu, tak dapat tiada mendatangkan kebaikan
juga kepada kita di sini.
Oleh sebab itu, diputuskanlah oleh Pemerintah Agung,
sekalian penduduk tanah Hindia ini, haruslah bersama-sama,
membantu kekurangan ini. Yang miskin tentulah sedikit, yang
kaya banyak. Uang bantuan itu dinamakan "Uang belasting",
dibayar tiap-tiap tahun. Jadi tak ada ubahnya dengan uang jakat
dan fitrah. Hanya uang belasting, dipakai untuk keperluan kita
bersama dan bukan dihadiahkan kepada orang miskin, untuk
keperluan mereka itu sendiri.
Belasting ini telah dijalankan di mana-mana, baik di negeri di
atas angin atau negeri di bawah angin; sedang di tanah Hindia ini
pun hampir pada segenap tempat dan sekalian penduduknya
menerima aturan ini dengan rela. Hanya di Minangkabau inilah
yang belum lagi. Tuanku-Tuanku tentu maklum, bila orang di
sini dibebaskan dari belasting itu, perbuatan Pemerintah ini
niscaya tidak adil. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Tambahan pula, bila orang di sini suka menuntut aturan ini
dengan senang hati. Pemerintah suka membebaskan orang
Minangkabau daripada kontrak menjual kopi kepada
Gubernemen, sehingga kopi boleh dijual kepada orang lain,
dengan harga lima atau enam kali lipat ganda. Apalagi kalau
dipikir benar-benar, nyatalah kontrak menjual kopi itu pada masa
ini tiada adil lagi; tak sesuai dengan zamannya, karena
timbanglah: Siapakah yang bertanam kopi din menjualnya ke
gedung Gubernemen? Bukankah orang-orang peladang, artinya
orang-orang miskin? Orang kaya-kaya, saudagar-saudagar,
adakah berbuat sedemikian? Tidak. Jadi siapakah yang membayar
belasting pada hakikinya? Bukankah si miskin? Si kaya
bersenang-senang saja.
Inilah maksud kami meminta datang Tuanku sekalian kemari
supaya disampaikan pemerintah ini kepada anak negeri, dengan
diterangkan apa sebabnya dan apa gunanya uang belasting itu.
Mengerti benarlah hendaknya mereka tentang perkara ini, supaya
jangan sampai mereka berpikir, uang itu diminta, sekedar hendak
memenuhi kantung orang Belanda. Sekali-kali negeri tiada
beroleh hasil dari belasting ini, melainkan kita yang di sini
jugalah.
Lagi pula janganlah salah sangka. Sekalian kami bangsa
Belanda yang ada di sini, ialah pegawai Gubernemen, sebagai
Tuanku-Tuanku juga, dan yang Gubernemen itu bukanlah
bangsa Belanda atau kerajaan Belanda, sekali-kali tidak lain
melainkan penduduk tanah Hindia inilah. Bangsa Belanda di sini
sekadar memerintah, menolong mengatur.
Pada rasa hati kami cukuplah itu, untuk menerangkan
maksud kami. Bila ada di antara Tuan-tuan dan Tuanku-Tuanku
yang merasa apa-apa tentang perkara ini, keluarkanlah! Supaya
dapat diperbincangkan bersama-sama."
Lalu Residen duduk di atas kursi, bernanti, adakah orang
yang hendak berkata atau tidak. Tetapi seorang pun tiada yang
hendak mengeluarkan pikirannya, tentang hal ini.
Setelah berdiam-diam sejurus, bertanya pula Residen, "Tak
adakah orang yang hendak berkata apa-apa, tentang hal ini?"
Tatkala itu berdirilah seorang Tuanku Laras, yang tertua
daripada sekalian laras yang hadir, lalu memberi hormat kepada
Residen dan segala yang hadir dalam majelis itu; kernudian
berkatalah ia, "Sepanjang pikiran hamba yang tua ini, tak adalah
yang akan dijawab lagi dalam perkara ini, karena sekaliannya
telah diputuskan oleh Pemerintah Agung. Walaupun ada yang
terasa dalam hati kami, terkalang di mata kami, tetapi pada
sangka hamba, tak ada paedahnya diperkatakan lagi, sebab tak
dapat mengubah aturan yang telah ditetapkan itu. Tak ada yang
lain yang dapat kami perbuat dalam hal ini, melainkan kami
sampaikan perintah ini kepada anak negeri serta kami terangkan
kepada mereka, guna dan sebabnya diadakan belasting itu.
Seboleh-bolehnya kami akan berdaya upaya, supaya anak negeri
menurut peraturan ini. Meskipun demikian, tentulah tak dapat
kami pastikan, anak negeri akan menerima aturan ini dengan
senang hati; sebab tiap-tiap yang baru, tiada lekas diterima,
lebih-lebih jika tak nyata kebaikannya. Tambahan pula, aturan
ini, ialah aturan yang mengenai pura*) anak negeri. Oleh sebab
itu marilah kita bersama-sama berikhtiar dan memohon kepada
Tuhan, supaya perintah ini dapat dilangsungkan dengan
selamat."
Sekarang marilah kita dengar pula jawab pegawai kampung,
tentang perkara ini, dalam perkumpulan yang diadakan di rumah
atau balairung.
Rapat itu dikepalai oleh Tuanku Laras.
Setelah berkumpullah sekalian Datuk, Penghulu, Hulubalang,
orang kaya, besar bertuah, Kepala Negeri, Cerdik pandai dan
lain-lainnya, berkatalah Tuanku Laras, menyampaikan perintah
yang diterimanya dari Residen, serta menerangkan guna dan
sebabnya belasting itu dijalankan. Setelah selesai ia berkata-kata,
menjawablah beberapa orang daripada yang hadir.
"Tentang peraturan Gubernemen ini, belum kami ketahui
buruk baiknya. Tetapi yang mula-mula terasa dalam hati kami
dalarn perkara belasting ini, ialah orang Belanda rupanya telah
lupa akan janjinya, kepada orang Minangkabau. Bukankah sudah
ditetapkan dalam "Pelekat Panjang", bahwa kami anak
Minangkabau tak perlu membayar bia, yang sebagai belasting
ini? Apakah sebabnya maka kami disuruh juga membayar,
*) pundi-pundi uang
sekarang? Mungkirkah orang Belanda akan janjinya?
Kedua, orang Belanda sudah lupa pula, bahwa kami bukan
orang takluk, yang harus membayar upeti kepada bangsa
Belanda. Negeri kami tiada diambil dengan asap bedil, oleh
orang Belanda, melainkan dengan perjanjian, antara sahabat
dengan sahabat.
Ketiga Tuan Residen berkata, orang Belanda di sini
menolong memerintahkan. Tetapi siapakah yang meminta
pertolongan itu? Kami tidak minta tolong diperintah, melainkan
minta tolong mengalahkan paderi di zaman paderi, lain tidak.
Pada pikiran kami, tiada perlu kami diperintahi bangsa asing,
sebab dari nenek moyang kami dahulu kala, kami biasa
diperintah Raja bangsa kami sendiri dan dalam pemerintahan itu
kami pun merasa senang, tiada berasa kurang adil. Oleh sebab
itu, tak perlu kami meminta pertolongan kepada bangsa asing,
untuk memerintahi kami.
Keempat, kata Tuan Residen uang belasting itu untuk
menambah kekurangan belanja Pemerintah, sebab banyak
perubahan yang akan diadakan. Perubahan apakah itu, tiada kami
ketahui; sebab tiada dimupakatkan dahulu dengan kami,
sehingga kami tak tahu pula sungguhkah perubahan itu berguna
bagi kami. Pada pikiran kami, segala yang ada sekarang ini pun
cukuplah; tak perlu diadakan perubahan lagi. Adapun perubahan,
bukannya untuk kami saja, hanya terutama untuk mereka yang
berpangkat tinggi, yang kaya dan orang kota.
Kelima, Tuan Residen berkata sendiri, keperluan kita tak
boleh diminta kepada orang lain, mengapakah tidak tiap-tiap
kampung atau negeri mengadakan keperluannya sendiri-sendiri?
Mengapakah kami harus menolong orang Selebes, Timor dan
Papua? Melihat rupanya pun kami belum! Dan siapakah yang
akan menanggung, mereka itu kelak akan rnenolong kami pula,
bila kami dapat kesusahan atau ada keperluan apa-apa?
Keenam, Tuan Residen berkata, kita sekalian ini yang
Gubernemen, bukan bangsa Belanda. Mengapakah segala
sesuatu diputuskan dan diperbuat oleh orang Belanda saja; suara
anak negeri sekali-kali tiada didengar? Perkara belasting ini pun
tiada dimupakatkan dahulu dengan kami. Setelah terjadi, disuruh
kami menurut, dengan tiada boleh mengatakan tidak. Bagaimanakah
kami namanya itu, orang yang diperintahkan atau
orang yang memerintah?
Bersambung ke....Rusuh Belasting di Kota Padang (bag.2)

No comments:

Post a Comment