Wednesday, January 28, 2015

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode : Sepuluh Tahun Kemudian (bag.1)



Karya : Marah Rusli
Walaupun waktu itu telah diberi berukuran, seperti detik, menit,
jam, hari, Jumat, bulan, tahun dan abad, tetapi tiadalah sama juga
ia pada yang setahun. Bagi kebanyakan orang, waktu itu
sesungguhnya setahun lamanya, yaitu 12 bulan atau 52 Jumat
atau 365 hari. Akan tetapi ada juga orang yang merasa waktu itu 365 X 24 jam atau 364 X 1440 menit lamanya dan akhirnya ada pula yang meyangka setahun itu lebih lama lagi sebagai sepuluh tahun atau seabad. Kebalikannya, ada pula yang berkata, waktu yang setahun itu tiada seberapa lama, hanya sebulan atau sejumat saja.
Orang-orang kaya, yang setiap hari beroleh kesenangan, kesukaan dan kemuliaan dan seumur hidupnya belum pernah merasai atau mengenal kesengsaraan, dan belum pula ditimpa marabahaya dan kecelakaan dunia, tentulah tiada akan merasai perjalanan waktu itu. Bagi mereka, waktu itu sebagai melompat, dari pagi ke petang, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun. Pada orang yang mencari penghidupannya dengan harus membanting tulang, atau orang yang asyik akan pekerjaannya, waktu itu tiadalah sampai-menyampai. Orang inilah yang tahu menimbang mahal harga waktu itu. Acap kali mereka mengeluh,
karena kekurangan waktu.
"Alangkah baiknya bila siang itu lebih daripada 12 jam lamanya," katanya.
Akan tetapi bagi insan yang mengandung kedukaan dan kesengsaraan atau dendam dan pengharapan, yang tak mudah diperolehnya, terkadang-kadang waktu itu suatu penggoda yang amat sangat tiada terhingga. Itulah sebabnya, maka sehari serasa setahun, yang setahun serasa seabad.
Sungguhpun waktu itu tiada sama, pada perasaan tiap-tiap manusia, tetapi janganlah alpa, bahwa waktu itu sangat mahal 'harganya, bila tahu menghargakannya dan sangatlah berpaedah, bila tahu mempergunakannya. Terlebih-lebih, karena tiap-tiap makhluk, telah ditetapkan waktu yang diperolehnya daripada Allah taala, guna hidup di atas dunia ini. Bila waktu yang telah diberikan itu telah dilalui, tak dapat tiada, haruslah makhluk itu meninggalkan dunia ini, berpulang ke negeri yang baka. Pada waktu itulah kebanyakan manusia baru insyaf akan dirinya dan menoleh ke belakang, melihat jalan yang jauh, yang telah ditempuhnya. Oleh mereka yang beruntung baik, tiadalah lain
yang dilihatnya sepanjang jalan itu, melainkan pohon rimbun daun, yang melindungi sekalian yang lalu-lintas di situ, dari panas matahari; serta pula beberapa tempat perhentian untuk berteduh, melepaskan lelah. Buah-buahan yang lezat citarasanya, yang menghilangkan lapar dan dahaga dan bunga-bungaan yang cantik molek warnanya, yang menyedapkan pemandangan mata dan yang harum baunya, menyegarkan perasaan badan, bergantungan dan berkembangan pada segala tempat. Telaga yang jernih dan sejuk airnya, terdapat sepanjang jalan.
Akan tetapi, mereka yang malang dan celaka, tiadalah lain yang diperolehnya di jalan itu, melainkan panas terik atau hujan lebat dan angin topan, yang disertai oleh kilat dan petir. Dan adalah jalan itu sangat berbelok-belok, sehingga tak mudah ditempuh serta turun-naik dengan susahnya. Oleh sebab itu sebelum sampai kita ke ujung jalan ini, baiklah diingat, bahwa jalan itu kelak akan ditempuh juga oleh anak cucu, kaum kerabat, handai tolan kita atau sesama manusia. Bukankah
kewajiban kita, yang dahulu menempuh jalan ini, untuk berbuat barang sesuatu, yang mendatangkan faedah kepada mereka kelak, lebih-lebih kepada yang bernasib malang?
Tanamlah di pinggir jalan yang belum sempurna itu, pohonpohonan yang rindang dan buah-buahan yang dapat dimakan. Perbuatlah bangku-bangku tempat berhenti, galilah telaga yang berair sejuk, adakanlah taman bunga-bungaan yang menyedapkan pemandangan mata dan menyenangkan pikiran, serta ubahlah jalan itu, supaya menjadi jalan yang datar dan lurus lagi mudah ditempuh; jalan yang tiada memberi bahaya dan keselamatan kepada barang siapa yang melaluinya. Apabila telah sampai lagi, karena jalan itu tiada akan ditempuh pula.
Sepuluh tahun sesudah Samsulbahri menembak diri di Jakarta, kelihatanlah pada suatu hari, kira-kira pukul lima petang, dua orang posir, berjalan perlahan-lahan serta bercakapcakap, menuju setasiun kerera api di Cimahi. Walaupun kedua mereka itu sama-sama petah lidahnya berkata dalam bahasa Belanda dan pakaiannya serupa pula, tetapi dari jauh, telah nyata sangat berlainan. Yang seorang tubuhnya pendek dan gemuk, tanda kuat tenaganya. Rambutnya perang, matanya biru, hidungnya mancung, tiada bermisai atau berjanggut dan kulitnya pun putih, menyatakan ia bukan anak negeri di sana, melainkan
bangsa di atas angin. Yang seorang lagi, badannya tinggi semampai, tanda cepat dan lentuk; rambut dan matanya hitam hidungnya sedang, bermisai dan berjanggut yang runcing dan kulitnya kuning, menyatakan ia bangsa anak Indonesia. Lain daripada itu adalah pula perbedaannya yang nyata benar kelihatan, yaitu air muka kedua mereka itu. Opsir barat itu, cahaya mukanya riang dan lucu; kelakuannya pun bersetujuan
benar dengan air mukanya, karena selalu bersukacita dan berolok-olok, seolah-olah tidak dikenalnya kedukaan hati dan kesusahan dunia, melainkan kesukaan dan keriangan itulah yang selalu diingat dan dipikirkannya.
Katanya, "Apa gunanya aku berdukacita, bila dapat bersukacita? Apa gunanya aku menangis bila dapat tertawa?
Bukankah menangis itu menyedihkan hati dan sedih itu merusakkan badan? Tetapi tertawa menambah kesehatan tubuh. Apalah gunanya sejengkal, dipikirkan sampai sedepa? Bukankah lebih baik digulung, jadi pendek dan disimpul sampai mati?
Apakah gunanya dipikirkan hal yang akan terjadi pada esok lusa, sebulan atau setahun lagi? Karena hal itu belum ada dan belum tentu. Jika terjadi juga, bagaimana nanti saja. Ada umur, ada rezeki. Dan lagi, apa faedahnya diingat juga sekalian yang telah lalu? Bukankah barang yang telah terjadi, tiada dapat diubah lagi, walau dikejar sekarang ini saja terjadi, tiada dapat diubah lagi, walau dikejar dengan kuda sembrani sekalipun?
Tidakkah lebih baik hal yang sekarang ini saja yang dipikirkan dan dibuat seboleh-boleh, supaya menjadi hal yang dapat menyenangkan hati dan menyentosakan pikiran?"
Demikianlah pikir opsir putih itu. Segala kesusahan dan kemalangan tiada diindahkan dan dipikirkannya benar-benar melainkan kesukaan dan kesenangan itulah yang dicintainya.
Pikirannya ini benar juga, karena dalam pekerjaannya waktu itu di mana sekalian keperluan hidup telah ada, memang dapat ia berbuat sedemikian. Sesungguhnya. tabiat yang semacam ini acap kali
menyenangkan hati, menggemukkan badan dan memudakan rupa. Akan tetapi tiada sekalian orang dapat berbuat begitu. Orang yang harus bekerja dahulu, baru mendapat sesuap nasi, susah akan meniru kelakuan yang sedemikian; kerena halnya, tiada seperti pada tentara; makanan, pakaian dan rumah tangga telah tersedia. Sungguhpun demikian, baik juga barang sesuatu itu dipikirkan dengan sempurna, karena: pikir itu pelita hati; asal jangan dilebih-lebih. Sebab pikiran yang banyak dan bercabangcabang, tiada dapat menyehatkan tubuh.
Jika dipandang muka opsir Bumiputra tadi, nyata kelihatan, bahwa ia tiada seriang temannya, bahkan pendiam, sebagai seorang yang telah tua fahamnya. Acap kali juga ia tersenyum, bila sahabatnya tadi berolok-olok tetapi pada air mukanya terang berbayang, bahwa ia seorang yang telah banyak menanggung azab sengsara dan senantiasa digoda oleh suatu kedudukan, yang tak dapat dilipur lagi.
Sungguhpun pada kedua mereka banyak yang sangat berbeda, tetapi ada juga yang bersamaan. Lain daripada pangkatnya, banyak tabiat dan kelakuannya yang sepadan, misalnya: baik, lurus daq rendah hati, lagi berani. Sifat-sifat yang sama inilah, yang mempertalikan mereka, sehingga jadi bersahabat karib. Walaupun percampuran keduanya baru enam bulan, tetapi tali silaturrahim antara mereka, telah sangat teguh,
sebagai persahabatan yang sudah bertahun-tahun lamanya.
"Alangkah baik hari ini! Segar rasanya badanku berjalan jalan." kata opsir Barat.
"Sungguh katamu itu, Yan," jawab opsir Bumiputra, "karena hari baru hujan, tiada terlalu lebat, sehingga lumpur tak ada, tetapi debu hilang. Ke mana kita berjalan-jalan?"
"Marilah kita ke setasiun kereta api dahulu, kemudian berputar lalu ke ruinah bola," jawab Letnan Yan Van Sta.
"Baiklah," jawab Letnan Bumiputra.
"Tadi pagi ke mana engkau pergi dengan serdadumu, Mas?" tanya Yan Van Sta.
"Menembak, ke padang pembedekan," jawab Letnan Mas.
"Siapa yang beroleh ros?" *) tanya Van Sta pula.
"Ada beberapa orang: Vander Ha, de Kuip, Lewikawang,
Mahutu, Suwoto dan Prawira," jawab Mas.
"Memang kudengar, mereka pandai benar menembak. Acap kali mendapat ros."
"Tangan dan hati mereka rupanya tetap, tiada gemetar, dan pemandangannya pun tajam. Itulah sifat-sifat yang terutama sekali bagi orang yang masuk golongan bala tentara. Dengan serdadu sedemikian, mudali merampas benteng yang kukuh dan mengalahkan musuh yang kuat. Telah kurasai sendiri, tatkala aku di Aceh."
*) Pusat pembedekan (alamat).
"Nah, kejadian itu nanti kuceritakan kepadaku, Mas! Banyak pendengaran, banyak pula pengetahuan. Itulah sebabnya maka aku tak putus-putus bertutur dan bercakap-cakap dengan engkau."
"Baiklah," jawab Mas dengan tersenyum. "Nanti, bila kita telah duduk bersenang-senang di rumah bola atau rumah sendiri!
Tetapi cerita ini, hanya cerita peperangan yang biasa saja."
"Biar bagaimanapun biasanya, acap kali banyak juga pelajaran yang dapat dipetik dari dalamnya; terlebih-lebih bagiku yang baru datang ke Indonesia ini. Aku belum tahu adat dan peraturan orang di sini," kata Van Sta.
"Hai,dengan tiada kita ketahui, kita telah ada di setasiun. Marilah kita masuk sebentar, sebab kebetulan ada kereta api yang hendak ke Bandung. Barangkali ada kupu-kupu Bandung, yang hendak pulang ke sarangnya," kata Van Sta pula, sambil tersenyum.
"Walaupun ada hendak kauapakan? Sebab ia dalam perjalanan. Masakan dapat dipegang, burung di udara'."jawab Mas.
"Dengan tangan tentu tidak, sebab tentulah tanganku harus berpuluh meter, panjangnya. Tetapi dengan pemegangnya, misalnya bedil atau jerat. Dan biar tak dapat memegangnya, melihat pun cukuplah. Mata pun hendak senang pula," jawab Van Sta.
Maka masuklah kedua mereka ke dalarn setasiun. Di sana seNungguuhnya kelihatan oleh mereka, seorang nona yang cantik parasnya, duduk seorang diri di kelas satu.
"Nah, apa kataku!" bisik Van Sta kepada Mas. "Memang tak salah sangkaku. Lihatlah olehmu bidadari yang duduk di kelas satu itu. Alangkah manis pemandangan matanya. Lihat! Ditentangnya aku. Matilah gua*)."
Ketika itu, berbunyilah lonceng tiga, dan tiada berapa saat kemudian, keluarlah kereta api dengan mengembus ke kiri ke kanan, dari setasiun Cimahi, menuju Bandung, diikuti dengan mata oleh Letnan Van Sta.
"Hai, Mas, bila kita pergi ke Bandung? Aku telah beberapa lamanya tiada tamasya ke sana," kata Van Sta dengan tiba-tiba, tatkala permainan matanya telah lenyap dari pemandangannya, seraya mengajak sahabatnya ke luar setasiun.
"Bila saja engkau suka, aku menurut" jawab Mas.
"Malam Ahad ini,' kata Van Sta pula.
"Baik," jawab Mas. "Tetapi Yan, mengapakah engkau tiada
hendak beristri. Bukankah lebih baik beristri, daripada
membujang sedemikian ini?"
"Aku beristri?" tanya Van Sta dengan tersenyum, sambil
menunjuk dadanya. "Ha ha, ha! Yang akan menjadi istriku itu,
* Saya
belum ddahirkan lagi."
"Mengapakah begitu'? Masakan tak ada perempuan yang
baik bagimu?" kata Mas.
"Jika aku mencari istri, bukan kecantikannya saja yang
kupandang, tetapi yang terutama bagiku, ialah kelakuan dan
kesayangannya kepadaku karena aku kawin, bukan sebab hendak
berperempuan, tetapi sebab hendak beristri. Perempuan mudah
diperoleh, tetapi sukar didapat. Yang cantik banyak di jalan,
yang baik susah dicari. Bagiku biar buruk, asal baik, biar bodoh
asal pandai."
"Hai, hai! Apa pula artinya itu?" jawab Mas. "Masakan yang
buruk itu boleh baik dan yang bodoh itu pandai pula. Ada-ada
saja peribahasamu."
"Boleh, mengapa tidak? Sebab buruk dan baik itu hanya
perkataan orang. Jika buruk dikatakan, menjadi buruklah ia, dan
jika baik dikatakan, menjadi baiklah pula ia. Misalnya nona tadi,
jika dibandingkan dengan orang yang cantik-cantik di Eropa,
buruk kata kita; tetapi jika dibandingkan dengan orang Papua,
amat cantik ia, kurang baik rupanya asal kelakuannya dan
hatinya baik kepadaku; biar kurang pandai dalatu ilmu yang lainlain,
asal cakap mengurus aku dan anakku serta rumah
tanggaku."
"Benar katamu itu, Yan. Pikiranku pun demikian pula,"
jawab Mas.
"Akan tetapi meskipun ada yang seperti itu waktu ini
belumlah juga aku hendak kawin."
"Mengapa tidak?" tanya Mas.
"Kawin itu adalah suatu perkara yang penting, terlebih-lebih
bangsa Eropa; sebab kami terikat oleli beberapa perjanjian,
sehingga tak mudah bercerai. Bila dapat yang sesungguhnya
baik, sudahlah. Tetapi jika tidak, bagaimana?"
"Itulah gunanya bertunangan dahulu, supaya yang seorang
kenal benar yang lain, bukan?"
"Benar, walaupun tiada selamanya memadai; karena terkadang-
kadang dalam bertunangan itu, bukan kelakuan dan hati
sejati, yang diperlihatkan, melainkan kedua-duanya bermain
komidi, sehingga sesudah kawin, baharulah diketahui, bahwa
mereka sama-sama tertipu. Akan tetapi yang menjadi alangan
besar bagiku, ialah karena badan terikat, apalagi telah kawin;
bukan untuk sementara, melainkan untuk hidup.
Sesungguhnya beristri itu ada kebaikannya, tetapi kejahatannya
ada pula. Kebaikannya yaitu: kehidupan tetap, uang jika
habis pun ada bekasnya, rumah tangga terpelihara, yang suka
beranak, dapat beroleh anak akan penghiburkan hatinya. Istri
yang baik, memang terlebih menyenangkan daripada menyusahkan
suaminya. Tetapi kejahatannya yang amat sangat bagiku,
yaitu kita tidak bebas lagi; segala kehendak hati tak dapat
diturutkan. Terkadang-kadang harus minta izin pula kepada si
nyonya, kalau hendak berbuat apa-apa. Dan jika dapat istri yang
cemburu, sudah, rusuhlah negeri! Dan terikatlah kaki tangan."
"Tetapi, Yan, cemburu itu bukankah tanda cinta? Bila engkau
tiada cinta kepada istrimu, masakan engkau cemburu? Tentu
katamu: Biar diambil orang, aku tak perduli; kucari yang lain,"
kata Mas.
"Benar, tak salah katamu itu! Tetapi kalau terlalu cemburu,
menjadi tak baik juga. Enakkah itu, apabila tak boleh berkatakata
dengan atau melihat perempuan lain? Tak boleh berjalan ke
rumah bola atau ke mana-mana?"
'"Ah, kalau terlalu, tentulah menjadi buruk. Segala yang
terlalu memang tak baik. Terlalu penuh melimpah, terlalu baik
dipermainkan orang, kata pepatah Belanda."
"Benar, benar, benar! Itulah sebabnya, maka aku tak hendak
beristri sekarang ini. Jika dapat istri yang sedemikian, celakalah
aku. Bila aku telah tua kelak, hendak dikurung pun boleh, tetapi
tatkala masih muda ini, masih cinta aku kepada kemerdekaan:
tak hendak aku diikat-ikat perempuan. Bila telah puas membujang,
biarlah terikat."
"Bila engkau telah tua, perempuan mana pula yang Ian suka
mengikut engkau? Yang suka kepadamu pun barangkali tak ada
lagi," kata Mas, sambil tertawa. "Tambahan pula, apabila engkau
telah tua, tentu tak diikat lagi, sebab biasanya yang tua itu tak
suka lari, karena kakinya telah lemah dan ia tak kuat berjalan
lagi. Yang diikat itu, ialah yang muda, yang kakinya masih kuat
akan melarikan dirinya..."
"Aha, itulah yang kusukai, Mas!" jawab Van Sta. "Makin
lama, engkau makin riang. Barangkali tadi malam engkau dapat
mimpi yang baik. Itulah yang sebaik-baiknya. Nyahkan segala
waswas dan pikiran yang kusut, ganti dengan kesukaan! Turutlah
fahamku, riang selama-lamanya. Hidup keriangan!"
"Sungguhpun dernikian, hidup sendiri-sendiri, bukanlah
hidup sejati,"
kata Mas pula, sebagai tak mengindahkan kesukaan hati
sahabatnya. "Sebab perempuan harus bersuami dan laki-laki
harus beristri. Bukankah kewajiban sekalian makhluk yang
hidup, mengembangkan bangsanya? Bagaimanakah akhirnya
dunia ini, bila sekalian orang hendak hidup bebas, sebagai
engkau?"
"Di tanah Eropah telah mulai banyak yang berbuat begitu,"
jawab Van Sta.
"Ya, tapi pikiran yang sebagai itu, tak hendak kawin seumur
hidup, tak dapat kubenarkan. Bila ada sesuatu cacat di badan,
misalnya penyakit atau celaan yang lain, sudahlah; tak mengapa.
Tetapi jika membujang itu, karena hendak menurutkan kesukaan
hati saja, kurang baik. Bagaimanakah jadinya manusia itu
kelak?"
"Jadinya, ialah laki-laki dan perempuan terlebih merdeka
daripada sekarang ini dalam perkara perkawinan. Jika hendak
berhubung atau bercerai dengan siapa pun, dapat pada sebilang
waktu, dengan tiada ada alangan apa-apa, asal suka sama suka."
"Ya, itulah yang hendak kukatakan! Bukankah itu yang
dinamakan percintaan rahasia atau percintaan b9bas, bukan?
Yaitu perhubungan antara laki-laki dan perempuan, yang tiada
dipertalikan oleh perkawinan? Perempuan tak tentu suaminya,
laki-laki pun tak tentu istrinya; masing-masing hidup dengan
kekasihnya. Bila telah jemu dengan yang seorang, dibuang,
dicari pula yang lain. Dan anak yang dilahirkan, tak tentu
bapanya. Wahai! Kalau begitu, akhirnya berbaliklah kita kepada
zaman purbakala, tatkala manusia belum berpakaian, hidup
biadab sebagai binatang."
Tatkala itu sampailah kedua letnan ini ke rumah bola, lalu
duduk di luar, di tempat yang sunyi.
"Perhatikanlah dahulu. perbantahan kita ini," kata Van
Sta,."dan katakan¬lah apa yang hendak kauminum?"
"Wiski soda," jawab Mas.
Van Sta lalu meminta dua gelas wiski soda kepada bujang
iumah bola.
Sementara itu Letnan Mas mengeluarkan serutunya; sebatang
diberikannya kepada sahabatnya dan sebatang diisapnya sendiri.
Setelah datang minuman yang diminta mereka, rriin`umlah
keduanya.
"Sebuah lagi yang tak dapat kubenarkan pikiran perempuan
dewasa ini, yaitu hendak menjabat pekerjaan laki-laki dan
bekerja sebagai laki-laki. Kalau sekalian perempuan berbuat
demikian, apakah kelak akan pekerjaan laki-laki? Harus ke
dapurkah mereka, mengurus rumah tangga dan menjaga anak?
Berbalik hujan ke langit.
Bertambah besar bahayanya, karena kebanyakan orang yang
memberi pekerjaan, suka memakai perempuan; sebab perempuan
mau menerima gaji sedikit. Itulah suatu hal yang menambahkan
perempuan tak suka bersuami. Pikirannya, apakah gunanya
bersuami lagi, karena pendapatan telah cukup untuk kehidupan?
Akan tetapi adakah benar pikiran ini? Kita hidup di atas dunia
ini, tak boleh dengan mengingat keperluan diri sendiri saja,
melainkan harus juga mengingat keperluan umum. Sebagai
seorang laki-laki, harus mempunyai kewajiban atas anak dan
istrinya, sehingga tak boleh membela dirinya sendiri saja,
demikian pula tiap-tiap manusia, harus berkewajiban atas
sesamanya manusia.
Pada sangkaku pikiran perempuan tadi salah. Apa gunanya
perempuan menuntut kepandaian laki-laki dan memegang
pekerjaan laki-laki? Bukankah sesuatu pekerjaan itu ada
maksudnya? Dalam hal itu yang diutamakari ialah kehidupan
dan kesenangan. Apabila maksud ini dapat diperoleh dari suami,
apakah perlunya perempuan hendak mencari sendiri? Bukan aku
cemburu dan dengki, perempuan akan sepandai laki-laki; tidak
sekali-kali! Lebih dalam, lebih tinggi dan lebih banyak ilmu
perempuan, lebih baik, asal jangan lupa ia akan kewajibannya
yang asli."
"Apakah kewajibannya yang asli itu?" tanya Van Sta.
"Perkara anak, perkara rumah tangga dan perkara makanan."
"Benar, tetapi perempuan, lain pula katanya. Untuk menjaga
rumah tangga ada bujang, untuk memasak ada juru masak, untuk
menjahit ada tukang jahit, untuk menjaga anak ada babu, untuk
mencuci ada tukang cuci dan untuk menjaga kebun ada tukang
kebun. Masakah sekalian itu ia sendiri yang harus mengerjakannya?"
"Tentu tidak. Akan tetapi meskipun ada bujang, juru masak
babu dan lain-lain, perempuan, harus juga faham dalam segala
hal itu, karena sekalian orang-orangnya tadi sekadar pekerja,
yang harus bekerja, yang akan mengatur dan memerintah,
tentulah ia sendiri. Dapatkah didikan anaknya, diserahkannya
kepada babunya yang bodoh itu?
Bersambung ke... Episode : Sepuluh Tahun Kemudian (bag.2)

No comments:

Post a Comment