Karya : Marah Rusli
Walaupun waktu itu telah diberi
berukuran, seperti detik, menit,
jam, hari, Jumat, bulan, tahun
dan abad, tetapi tiadalah sama juga
ia pada yang setahun. Bagi
kebanyakan orang, waktu itu
sesungguhnya setahun lamanya,
yaitu 12 bulan atau 52 Jumat
atau 365 hari. Akan tetapi ada
juga orang yang merasa waktu itu 365 X 24 jam atau 364 X 1440
menit lamanya dan akhirnya ada pula yang meyangka setahun itu
lebih lama lagi sebagai sepuluh tahun atau seabad. Kebalikannya,
ada pula yang berkata, waktu yang setahun itu tiada seberapa
lama, hanya sebulan atau sejumat saja.
Orang-orang kaya, yang setiap
hari beroleh kesenangan, kesukaan dan kemuliaan dan seumur
hidupnya belum pernah merasai atau mengenal
kesengsaraan, dan belum pula ditimpa marabahaya dan kecelakaan dunia,
tentulah tiada akan merasai perjalanan waktu itu. Bagi
mereka, waktu itu sebagai melompat, dari pagi ke petang, dari bulan
ke bulan dan dari tahun ke tahun. Pada orang yang mencari
penghidupannya dengan harus membanting tulang, atau orang
yang asyik akan pekerjaannya, waktu itu tiadalah
sampai-menyampai. Orang inilah yang tahu menimbang mahal harga waktu itu.
Acap kali mereka mengeluh,
karena kekurangan waktu.
"Alangkah baiknya bila siang
itu lebih daripada 12 jam lamanya," katanya.
Akan tetapi bagi insan yang
mengandung kedukaan dan kesengsaraan atau dendam dan
pengharapan, yang tak mudah diperolehnya, terkadang-kadang
waktu itu suatu penggoda yang amat sangat tiada terhingga.
Itulah sebabnya, maka sehari serasa setahun, yang setahun serasa
seabad.
Sungguhpun waktu itu tiada sama,
pada perasaan tiap-tiap manusia, tetapi janganlah alpa,
bahwa waktu itu sangat mahal 'harganya, bila tahu
menghargakannya dan sangatlah berpaedah, bila tahu mempergunakannya.
Terlebih-lebih, karena tiap-tiap makhluk, telah ditetapkan waktu
yang diperolehnya daripada Allah taala, guna hidup di atas
dunia ini. Bila waktu yang telah diberikan itu telah dilalui, tak
dapat tiada, haruslah makhluk itu meninggalkan dunia ini, berpulang
ke negeri yang baka. Pada waktu itulah kebanyakan manusia
baru insyaf akan dirinya dan menoleh ke belakang, melihat
jalan yang jauh, yang telah ditempuhnya. Oleh mereka yang
beruntung baik, tiadalah lain
yang dilihatnya sepanjang jalan
itu, melainkan pohon rimbun daun, yang melindungi sekalian
yang lalu-lintas di situ, dari panas matahari; serta pula
beberapa tempat perhentian untuk berteduh, melepaskan lelah.
Buah-buahan yang lezat citarasanya, yang menghilangkan lapar dan
dahaga dan bunga-bungaan yang cantik molek warnanya, yang
menyedapkan pemandangan mata dan yang harum baunya,
menyegarkan perasaan badan, bergantungan dan berkembangan pada segala
tempat. Telaga yang jernih dan sejuk airnya, terdapat
sepanjang jalan.
Akan tetapi, mereka yang malang
dan celaka, tiadalah lain yang diperolehnya di jalan itu,
melainkan panas terik atau hujan lebat dan angin topan, yang
disertai oleh kilat dan petir. Dan adalah jalan itu sangat
berbelok-belok, sehingga tak mudah ditempuh serta turun-naik dengan
susahnya. Oleh sebab itu sebelum sampai kita ke ujung
jalan ini, baiklah diingat, bahwa jalan itu kelak akan ditempuh
juga oleh anak cucu, kaum kerabat, handai tolan kita atau
sesama manusia. Bukankah
kewajiban kita, yang dahulu
menempuh jalan ini, untuk berbuat barang sesuatu, yang mendatangkan
faedah kepada mereka kelak, lebih-lebih kepada yang
bernasib malang?
Tanamlah di pinggir jalan yang
belum sempurna itu, pohonpohonan yang rindang dan buah-buahan yang
dapat dimakan. Perbuatlah bangku-bangku tempat
berhenti, galilah telaga yang berair sejuk, adakanlah taman
bunga-bungaan yang menyedapkan pemandangan mata dan menyenangkan
pikiran, serta ubahlah jalan itu, supaya menjadi jalan
yang datar dan lurus lagi mudah ditempuh; jalan yang tiada
memberi bahaya dan keselamatan kepada barang siapa
yang melaluinya. Apabila telah sampai lagi, karena jalan itu
tiada akan ditempuh pula.
Sepuluh tahun sesudah Samsulbahri
menembak diri di Jakarta, kelihatanlah pada suatu
hari, kira-kira pukul lima petang, dua orang posir, berjalan
perlahan-lahan serta bercakapcakap, menuju setasiun kerera api di
Cimahi. Walaupun kedua mereka itu sama-sama petah
lidahnya berkata dalam bahasa Belanda dan pakaiannya serupa
pula, tetapi dari jauh, telah nyata sangat berlainan. Yang seorang
tubuhnya pendek dan gemuk, tanda kuat tenaganya. Rambutnya
perang, matanya biru, hidungnya mancung, tiada bermisai atau
berjanggut dan kulitnya pun putih, menyatakan ia bukan anak
negeri di sana, melainkan
bangsa di atas angin. Yang
seorang lagi, badannya tinggi semampai, tanda cepat dan lentuk;
rambut dan matanya hitam hidungnya sedang, bermisai dan
berjanggut yang runcing dan kulitnya kuning, menyatakan ia
bangsa anak Indonesia. Lain daripada itu adalah pula
perbedaannya yang nyata benar kelihatan, yaitu air muka kedua
mereka itu. Opsir barat itu, cahaya mukanya riang dan lucu;
kelakuannya pun bersetujuan
benar dengan air mukanya, karena
selalu bersukacita dan berolok-olok, seolah-olah tidak
dikenalnya kedukaan hati dan kesusahan dunia, melainkan
kesukaan dan keriangan itulah yang selalu diingat dan dipikirkannya.
Katanya, "Apa gunanya aku
berdukacita, bila dapat bersukacita? Apa gunanya aku
menangis bila dapat tertawa?
Bukankah menangis itu menyedihkan
hati dan sedih itu merusakkan badan? Tetapi tertawa
menambah kesehatan tubuh. Apalah gunanya sejengkal,
dipikirkan sampai sedepa? Bukankah lebih baik digulung, jadi pendek
dan disimpul sampai mati?
Apakah gunanya dipikirkan hal
yang akan terjadi pada esok lusa, sebulan atau setahun lagi?
Karena hal itu belum ada dan belum tentu. Jika terjadi juga,
bagaimana nanti saja. Ada umur, ada rezeki. Dan lagi, apa
faedahnya diingat juga sekalian yang telah lalu? Bukankah barang yang
telah terjadi, tiada dapat diubah lagi, walau dikejar sekarang
ini saja terjadi, tiada dapat diubah lagi, walau dikejar dengan
kuda sembrani sekalipun?
Tidakkah lebih baik hal yang
sekarang ini saja yang dipikirkan dan dibuat seboleh-boleh, supaya
menjadi hal yang dapat menyenangkan hati dan
menyentosakan pikiran?"
Demikianlah pikir opsir putih
itu. Segala kesusahan dan kemalangan tiada diindahkan dan
dipikirkannya benar-benar melainkan kesukaan dan kesenangan
itulah yang dicintainya.
Pikirannya ini benar juga, karena
dalam pekerjaannya waktu itu di mana sekalian keperluan hidup
telah ada, memang dapat ia berbuat sedemikian. Sesungguhnya. tabiat yang semacam
ini acap kali
menyenangkan hati, menggemukkan
badan dan memudakan rupa. Akan tetapi tiada sekalian
orang dapat berbuat begitu. Orang yang harus bekerja dahulu,
baru mendapat sesuap nasi, susah akan meniru kelakuan yang
sedemikian; kerena halnya, tiada seperti pada tentara;
makanan, pakaian dan rumah tangga telah tersedia. Sungguhpun
demikian, baik juga barang sesuatu itu dipikirkan dengan sempurna,
karena: pikir itu pelita hati; asal jangan dilebih-lebih. Sebab
pikiran yang banyak dan bercabangcabang, tiada dapat menyehatkan tubuh.
Jika dipandang muka opsir
Bumiputra tadi, nyata kelihatan, bahwa ia tiada seriang temannya,
bahkan pendiam, sebagai seorang yang telah tua fahamnya.
Acap kali juga ia tersenyum, bila sahabatnya tadi berolok-olok
tetapi pada air mukanya terang berbayang, bahwa ia seorang yang
telah banyak menanggung azab sengsara dan senantiasa
digoda oleh suatu kedudukan, yang tak dapat dilipur lagi.
Sungguhpun pada kedua mereka
banyak yang sangat berbeda, tetapi ada juga yang
bersamaan. Lain daripada pangkatnya, banyak tabiat dan
kelakuannya yang sepadan, misalnya: baik, lurus daq rendah
hati, lagi berani. Sifat-sifat yang sama inilah, yang mempertalikan
mereka, sehingga jadi bersahabat karib. Walaupun
percampuran keduanya baru enam bulan, tetapi tali silaturrahim
antara mereka, telah sangat teguh,
sebagai persahabatan yang sudah
bertahun-tahun lamanya.
"Alangkah baik hari ini!
Segar rasanya badanku berjalan jalan." kata opsir Barat.
"Sungguh katamu itu,
Yan," jawab opsir Bumiputra, "karena hari baru hujan, tiada terlalu
lebat, sehingga lumpur tak ada, tetapi debu hilang. Ke mana kita
berjalan-jalan?"
"Marilah kita ke setasiun
kereta api dahulu, kemudian berputar lalu ke ruinah
bola," jawab Letnan Yan Van Sta.
"Baiklah," jawab Letnan
Bumiputra.
"Tadi pagi ke mana engkau
pergi dengan serdadumu, Mas?" tanya Yan Van Sta.
"Menembak, ke padang
pembedekan," jawab Letnan Mas.
"Siapa yang beroleh
ros?" *) tanya Van Sta pula.
"Ada beberapa orang: Vander
Ha, de Kuip, Lewikawang,
Mahutu, Suwoto dan Prawira,"
jawab Mas.
"Memang kudengar, mereka
pandai benar menembak. Acap kali mendapat ros."
"Tangan dan hati mereka
rupanya tetap, tiada gemetar, dan pemandangannya pun tajam. Itulah
sifat-sifat yang terutama sekali bagi orang yang masuk
golongan bala tentara. Dengan serdadu sedemikian, mudali
merampas benteng yang kukuh dan mengalahkan musuh yang kuat.
Telah kurasai sendiri, tatkala aku di Aceh."
*) Pusat pembedekan (alamat).
"Nah, kejadian itu nanti
kuceritakan kepadaku, Mas! Banyak pendengaran, banyak pula
pengetahuan. Itulah sebabnya maka aku tak putus-putus bertutur dan
bercakap-cakap dengan engkau."
"Baiklah," jawab Mas
dengan tersenyum. "Nanti, bila kita telah duduk bersenang-senang di
rumah bola atau rumah sendiri!
Tetapi cerita ini, hanya cerita
peperangan yang biasa saja."
"Biar bagaimanapun biasanya,
acap kali banyak juga pelajaran yang dapat dipetik dari
dalamnya; terlebih-lebih bagiku yang baru datang ke Indonesia
ini. Aku belum tahu adat dan peraturan orang di sini,"
kata Van Sta.
"Hai,dengan tiada kita
ketahui, kita telah ada di setasiun. Marilah kita masuk sebentar,
sebab kebetulan ada kereta api yang hendak ke Bandung.
Barangkali ada kupu-kupu Bandung, yang hendak pulang ke
sarangnya," kata Van Sta pula, sambil tersenyum.
"Walaupun ada hendak
kauapakan? Sebab ia dalam perjalanan. Masakan dapat
dipegang, burung di udara'."jawab Mas.
"Dengan tangan tentu tidak,
sebab tentulah tanganku harus berpuluh meter, panjangnya.
Tetapi dengan pemegangnya, misalnya bedil atau jerat. Dan
biar tak dapat memegangnya, melihat pun cukuplah. Mata pun
hendak senang pula," jawab Van Sta.
Maka masuklah kedua mereka ke
dalarn setasiun. Di sana seNungguuhnya kelihatan oleh
mereka, seorang nona yang cantik parasnya, duduk seorang
diri di kelas satu.
"Nah, apa kataku!"
bisik Van Sta kepada Mas. "Memang tak salah sangkaku. Lihatlah olehmu
bidadari yang duduk di kelas satu itu. Alangkah manis
pemandangan matanya. Lihat! Ditentangnya aku. Matilah
gua*)."
Ketika itu, berbunyilah lonceng
tiga, dan tiada berapa saat kemudian, keluarlah kereta api
dengan mengembus ke kiri ke kanan, dari setasiun Cimahi,
menuju Bandung, diikuti dengan mata oleh Letnan Van Sta.
"Hai, Mas, bila kita pergi
ke Bandung? Aku telah beberapa lamanya tiada tamasya ke
sana," kata Van Sta dengan tiba-tiba, tatkala permainan matanya telah
lenyap dari pemandangannya, seraya mengajak sahabatnya ke
luar setasiun.
"Bila saja engkau suka, aku
menurut" jawab Mas.
"Malam Ahad ini,' kata Van
Sta pula.
"Baik," jawab Mas.
"Tetapi Yan, mengapakah engkau tiada
hendak beristri. Bukankah lebih
baik beristri, daripada
membujang sedemikian ini?"
"Aku beristri?" tanya
Van Sta dengan tersenyum, sambil
menunjuk dadanya. "Ha ha,
ha! Yang akan menjadi istriku itu,
* Saya
belum ddahirkan lagi."
"Mengapakah begitu'? Masakan
tak ada perempuan yang
baik bagimu?" kata Mas.
"Jika aku mencari istri,
bukan kecantikannya saja yang
kupandang, tetapi yang terutama
bagiku, ialah kelakuan dan
kesayangannya kepadaku karena aku
kawin, bukan sebab hendak
berperempuan, tetapi sebab hendak
beristri. Perempuan mudah
diperoleh, tetapi sukar didapat.
Yang cantik banyak di jalan,
yang baik susah dicari. Bagiku
biar buruk, asal baik, biar bodoh
asal pandai."
"Hai, hai! Apa pula artinya
itu?" jawab Mas. "Masakan yang
buruk itu boleh baik dan yang
bodoh itu pandai pula. Ada-ada
saja peribahasamu."
"Boleh, mengapa tidak? Sebab
buruk dan baik itu hanya
perkataan orang. Jika buruk
dikatakan, menjadi buruklah ia, dan
jika baik dikatakan, menjadi
baiklah pula ia. Misalnya nona tadi,
jika dibandingkan dengan orang
yang cantik-cantik di Eropa,
buruk kata kita; tetapi jika
dibandingkan dengan orang Papua,
amat cantik ia, kurang baik
rupanya asal kelakuannya dan
hatinya baik kepadaku; biar
kurang pandai dalatu ilmu yang lainlain,
asal cakap mengurus aku dan
anakku serta rumah
tanggaku."
"Benar katamu itu, Yan.
Pikiranku pun demikian pula,"
jawab Mas.
"Akan tetapi meskipun ada
yang seperti itu waktu ini
belumlah juga aku hendak kawin."
"Mengapa tidak?" tanya
Mas.
"Kawin itu adalah suatu
perkara yang penting, terlebih-lebih
bangsa Eropa; sebab kami terikat
oleli beberapa perjanjian,
sehingga tak mudah bercerai. Bila
dapat yang sesungguhnya
baik, sudahlah. Tetapi jika
tidak, bagaimana?"
"Itulah gunanya bertunangan
dahulu, supaya yang seorang
kenal benar yang lain,
bukan?"
"Benar, walaupun tiada
selamanya memadai; karena terkadang-
kadang dalam bertunangan itu,
bukan kelakuan dan hati
sejati, yang diperlihatkan,
melainkan kedua-duanya bermain
komidi, sehingga sesudah kawin,
baharulah diketahui, bahwa
mereka sama-sama tertipu. Akan
tetapi yang menjadi alangan
besar bagiku, ialah karena badan
terikat, apalagi telah kawin;
bukan untuk sementara, melainkan
untuk hidup.
Sesungguhnya beristri itu ada
kebaikannya, tetapi kejahatannya
ada pula. Kebaikannya yaitu:
kehidupan tetap, uang jika
habis pun ada bekasnya, rumah
tangga terpelihara, yang suka
beranak, dapat beroleh anak akan
penghiburkan hatinya. Istri
yang baik, memang terlebih
menyenangkan daripada menyusahkan
suaminya. Tetapi kejahatannya
yang amat sangat bagiku,
yaitu kita tidak bebas lagi;
segala kehendak hati tak dapat
diturutkan. Terkadang-kadang
harus minta izin pula kepada si
nyonya, kalau hendak berbuat
apa-apa. Dan jika dapat istri yang
cemburu, sudah, rusuhlah negeri!
Dan terikatlah kaki tangan."
"Tetapi, Yan, cemburu itu
bukankah tanda cinta? Bila engkau
tiada cinta kepada istrimu,
masakan engkau cemburu? Tentu
katamu: Biar diambil orang, aku
tak perduli; kucari yang lain,"
kata Mas.
"Benar, tak salah katamu
itu! Tetapi kalau terlalu cemburu,
menjadi tak baik juga. Enakkah
itu, apabila tak boleh berkatakata
dengan atau melihat perempuan
lain? Tak boleh berjalan ke
rumah bola atau ke
mana-mana?"
'"Ah, kalau terlalu,
tentulah menjadi buruk. Segala yang
terlalu memang tak baik. Terlalu
penuh melimpah, terlalu baik
dipermainkan orang, kata pepatah
Belanda."
"Benar, benar, benar! Itulah
sebabnya, maka aku tak hendak
beristri sekarang ini. Jika dapat
istri yang sedemikian, celakalah
aku. Bila aku telah tua kelak,
hendak dikurung pun boleh, tetapi
tatkala masih muda ini, masih
cinta aku kepada kemerdekaan:
tak hendak aku diikat-ikat
perempuan. Bila telah puas membujang,
biarlah terikat."
"Bila engkau telah tua,
perempuan mana pula yang Ian suka
mengikut engkau? Yang suka
kepadamu pun barangkali tak ada
lagi," kata Mas, sambil
tertawa. "Tambahan pula, apabila engkau
telah tua, tentu tak diikat lagi,
sebab biasanya yang tua itu tak
suka lari, karena kakinya telah
lemah dan ia tak kuat berjalan
lagi. Yang diikat itu, ialah yang
muda, yang kakinya masih kuat
akan melarikan dirinya..."
"Aha, itulah yang kusukai,
Mas!" jawab Van Sta. "Makin
lama, engkau makin riang.
Barangkali tadi malam engkau dapat
mimpi yang baik. Itulah yang
sebaik-baiknya. Nyahkan segala
waswas dan pikiran yang kusut,
ganti dengan kesukaan! Turutlah
fahamku, riang selama-lamanya.
Hidup keriangan!"
"Sungguhpun dernikian, hidup
sendiri-sendiri, bukanlah
hidup sejati,"
kata Mas pula, sebagai tak
mengindahkan kesukaan hati
sahabatnya. "Sebab perempuan
harus bersuami dan laki-laki
harus beristri. Bukankah
kewajiban sekalian makhluk yang
hidup, mengembangkan bangsanya?
Bagaimanakah akhirnya
dunia ini, bila sekalian orang
hendak hidup bebas, sebagai
engkau?"
"Di tanah Eropah telah mulai
banyak yang berbuat begitu,"
jawab Van Sta.
"Ya, tapi pikiran yang
sebagai itu, tak hendak kawin seumur
hidup, tak dapat kubenarkan. Bila
ada sesuatu cacat di badan,
misalnya penyakit atau celaan
yang lain, sudahlah; tak mengapa.
Tetapi jika membujang itu, karena
hendak menurutkan kesukaan
hati saja, kurang baik.
Bagaimanakah jadinya manusia itu
kelak?"
"Jadinya, ialah laki-laki
dan perempuan terlebih merdeka
daripada sekarang ini dalam
perkara perkawinan. Jika hendak
berhubung atau bercerai dengan
siapa pun, dapat pada sebilang
waktu, dengan tiada ada alangan
apa-apa, asal suka sama suka."
"Ya, itulah yang hendak
kukatakan! Bukankah itu yang
dinamakan percintaan rahasia atau
percintaan b9bas, bukan?
Yaitu perhubungan antara
laki-laki dan perempuan, yang tiada
dipertalikan oleh perkawinan?
Perempuan tak tentu suaminya,
laki-laki pun tak tentu istrinya;
masing-masing hidup dengan
kekasihnya. Bila telah jemu
dengan yang seorang, dibuang,
dicari pula yang lain. Dan anak
yang dilahirkan, tak tentu
bapanya. Wahai! Kalau begitu,
akhirnya berbaliklah kita kepada
zaman purbakala, tatkala manusia
belum berpakaian, hidup
biadab sebagai binatang."
Tatkala itu sampailah kedua
letnan ini ke rumah bola, lalu
duduk di luar, di tempat yang
sunyi.
"Perhatikanlah dahulu.
perbantahan kita ini," kata Van
Sta,."dan katakan¬lah apa
yang hendak kauminum?"
"Wiski soda," jawab
Mas.
Van Sta lalu meminta dua gelas
wiski soda kepada bujang
iumah bola.
Sementara itu Letnan Mas
mengeluarkan serutunya; sebatang
diberikannya kepada sahabatnya
dan sebatang diisapnya sendiri.
Setelah datang minuman yang
diminta mereka, rriin`umlah
keduanya.
"Sebuah lagi yang tak dapat
kubenarkan pikiran perempuan
dewasa ini, yaitu hendak menjabat
pekerjaan laki-laki dan
bekerja sebagai laki-laki. Kalau
sekalian perempuan berbuat
demikian, apakah kelak akan
pekerjaan laki-laki? Harus ke
dapurkah mereka, mengurus rumah
tangga dan menjaga anak?
Berbalik hujan ke langit.
Bertambah besar bahayanya, karena
kebanyakan orang yang
memberi pekerjaan, suka memakai
perempuan; sebab perempuan
mau menerima gaji sedikit. Itulah
suatu hal yang menambahkan
perempuan tak suka bersuami.
Pikirannya, apakah gunanya
bersuami lagi, karena pendapatan
telah cukup untuk kehidupan?
Akan tetapi adakah benar pikiran
ini? Kita hidup di atas dunia
ini, tak boleh dengan mengingat
keperluan diri sendiri saja,
melainkan harus juga mengingat
keperluan umum. Sebagai
seorang laki-laki, harus
mempunyai kewajiban atas anak dan
istrinya, sehingga tak boleh
membela dirinya sendiri saja,
demikian pula tiap-tiap manusia,
harus berkewajiban atas
sesamanya manusia.
Pada sangkaku pikiran perempuan
tadi salah. Apa gunanya
perempuan menuntut kepandaian
laki-laki dan memegang
pekerjaan laki-laki? Bukankah
sesuatu pekerjaan itu ada
maksudnya? Dalam hal itu yang diutamakari
ialah kehidupan
dan kesenangan. Apabila maksud
ini dapat diperoleh dari suami,
apakah perlunya perempuan hendak
mencari sendiri? Bukan aku
cemburu dan dengki, perempuan
akan sepandai laki-laki; tidak
sekali-kali! Lebih dalam, lebih
tinggi dan lebih banyak ilmu
perempuan, lebih baik, asal
jangan lupa ia akan kewajibannya
yang asli."
"Apakah kewajibannya yang
asli itu?" tanya Van Sta.
"Perkara anak, perkara rumah
tangga dan perkara makanan."
"Benar, tetapi perempuan,
lain pula katanya. Untuk menjaga
rumah tangga ada bujang, untuk
memasak ada juru masak, untuk
menjahit ada tukang jahit, untuk
menjaga anak ada babu, untuk
mencuci ada tukang cuci dan untuk
menjaga kebun ada tukang
kebun. Masakah sekalian itu ia
sendiri yang harus mengerjakannya?"
"Tentu tidak. Akan tetapi
meskipun ada bujang, juru masak
babu dan lain-lain, perempuan,
harus juga faham dalam segala
hal itu, karena sekalian
orang-orangnya tadi sekadar pekerja,
yang harus bekerja, yang akan
mengatur dan memerintah,
tentulah ia sendiri. Dapatkah
didikan anaknya, diserahkannya
kepada babunya yang bodoh itu?
Bersambung ke... Episode : Sepuluh Tahun Kemudian (bag.2)
Bersambung ke... Episode : Sepuluh Tahun Kemudian (bag.2)
No comments:
Post a Comment