Lagi pula perkara berbujang,
berjuru masak, berbabu itu, hanya dapat dilakukan oleh orang
yang mampu saja, walau bangsa Eropah sekalipun. Jika tak
dapat berbuat sedemikian, bagaimana? Ingatlah, manusia itu
terlebih banyak yang miskin daripada yang kaya. Si
laki-lakilah pula yang harus mengerjakan pekerjaan babu, juru masak,
tukang kebun dan lain-lain itu, bila ia telah letih karena membanting
tulang, pulang dari pekerjaannya?
Dan apakah pekerjaan si
perempuan? Menjadi bunga dalam rumah sajakah? Tak adil benar
pembagian kerja yang seperti itu. Herankah kita, bila laki-laki
yang kurang maju, kelak akan takut beristri dan berpikir pula,
"Apakah faedahnya aku beristri, jika akan menambah susah badanku
sendiri dan tiada dapat menolongku dalam kehidupanku
sehari-hari? Lebih baik aku membujang, karena jika perempuan
itu saja, banyak di jalan."
Kalau demikian, bukankah jadi
bertambah dalam, jurang yang menceraikan laki-laki dengan
perempuan. Bila laki-laki itu kaya,
seharusnyalah ia memenuhi segala keinginan istrinya dan haruslah
ia menjadikan perempuan, putri dalam istana. Akan tetapi jika
laki-laki itu sungguh tak cakap mengadakan sekalian permintaan
istrinya, janganlah dipaksa. Keadaan suaminya harus ditimbang
juga oleh perempuan.
Jangan membuta tuli, mengingat
yang senang untuk diri sendiri saja!"
"Ya, tetapi perempuan
bersuami, karena hendak mendapat penghidupan dan kesenangan pula.
Jika akan susah juga, apa gunanya bersuami? Lebih baik
bekerja, mencari penghidupan sendiri," jawab Van Sta.
'"Inilah yang hendak
kukatakan. Pikiran semacam inilah yang
tak boleh ada, baik pada
laki-laki ataupun pada perempuan;
sebab itulah tanda mereka hanya
mengingat keperluan sendiri
saja, tiada mengindahkan
keperluan bersama. Kalau diteruskan
peraturan yang begitu, tentulah
akan bermusuh-musuhan suami
dengan istri dan akhirnya akan
terjadilah peperangan antara
perempuan dengan laki-laki.
Itulah sebabnya maka aku
sesungguhnya khawatir, kalau
kepandaian segenapnya
diturunkan kepada perempuan
dengan tiada mengindahkan
keadaan dan kewajiban perempuan.
Sebab karena kepandian itu,
bukannya menjadi benar, melainkan
menjadi salah pikiran;
misalnya tak dapat hidup cara
biasa lagi, sebagai adatnya
sediakala melainkan hendak hidup besar.
Bercampur, dengan
orang biasa saja tak dapat pula.
Jika hendak bersuami, haruslah
yang kaya atau yang berpangkat
tinggi Tetapi sebab laki-laki itu,
lebih-lebih pada bangsaku, belum
banyak yang sedemikian,
tentulah perempuan yang telah
pandai itu akan lari kepada
bangsa lain, umpamanya kepada
bangsamu atau bangsa Cina,
sehingga akhirnya akan hilanglah
bangsa sendiri. Dan jika
sekalian perempuan, yang telah
terpelajar berbuat begitu apakah
yang tinggal pada bangsanya
sendiri dan bagaimanakah akhirnya
bangsaku itu? Siapakah yang akan
memajukannya lagi?
Sesungguhnya tak baik perempuan
atau laki-laki menaruh
pikiran hendak hidup
sendiri-sendiri, berebut-rebutan pekerjaan,
atas mengatasi kepandaian dan
bermusuh-musuhan dalam
penghidupan, karena laki-laki dan
perempuan itu satu, tak boleh
bercerai, harus tolong-menolong.
Laki-laki perlu kepada
perempuan dan perempuan perlu
pula kepada laki-laki. Bukankah
telah dikatakan dalam bahasa
Belanda: seia sekata itu mendatangkan
kekuatan, akan tetapi
perselisihan itu memecah belah
tenaga. Peperangan kehidupan di
atas dunia ini memang tak
mudah. Apa gunanya diperbuat lagi
dengan perselisihan antara
perempuan dan laki-laki?"
"Memang, memang," jawab
Van Sta, sambil meminum wiski
sodanya.
"Ada lagi yang masih terasa
di hatiku," kata Mas, setelah
meminum wiskinya pula.
"Apa itu?"
"Yaitu tentang pelajaran
anak perempuan bangsaku. Oleh
sebab kewajiban perempuan memang
tiada sama dengan
kewajiban laki-laki, pada
pikiranku tak perlu segala ilmu lakilaki
dipelajari oleh perempuan.
Laki-laki pun tak perlu pula
mempelajari kepandaian perempuan,
yang tak perlu baginya,
misalnya ilmu menjahit atau
memasak, kalau ia tiada harus
menjadi tukang jahit atau tukang
masak. Apa gunanya
kepandaian insinyur dan hakim
misalnya bagi perempuan?
Bukankah lebih baik dipelajarinya
kepandaian yang berguna
baginya?
Aku katakan sekalian itu
kepadamu, Yan, sebab sesungguhnya
hatiku khawatir perempuan
Indonesia ini dengan buta tuli
meniru segala aturan dan pikiran
perempuan Eropah, dengan
tiada menimbang baik-baik,
sebenarnyakah berguna sekalian
aturan dan pikiran itu bagi
perempuan di sini? Pada pikiranku,
tidak sekalian yang baik bagi
perempuan Eropah, baik pula bagi
perempuan Indonesia. Ada yang
baik di sana, tak baik di sini dan
kebalikannya ada yang berguna di
sini tak berguna di sana. Yang
sesungguhnya baik ambillah,
tirulah dan pakailah!"
"Baiklah Mas! Sekalian
pikiranmu telah kudengar, hanya ada
suatu yang belum kuketahui. Tadi
engkau suruh aku beristri dan
kaucacat niatku hendak membujang,
tapi mengapakah engkau
sendiri tiada hendak
beristri?"
Mendengar pertanyaan ini,
terkejutlah Letnan Mas Wiski
yang diangkatnya ke mulutnya,
tiada jadi diminumnya,
melainkan diletakkannya kembali,
lalu termenunglah ia sejurus
lamanya, tiada berkata-kata.
Kemudian menunduklah ia dan
tatkala itu jatuhlah setitik air
mata kepangkuannya.
Van Sta sangat heran melihat
kelakuan sahabatnya ini, karena
tiada diketahuinya, apakah
sebabnya ia tiba-tiba jadi demikian.
Oleh sahabat itu bertanyalah ia,
"Apakah sebabnya engkau
sekonyong-konyong berdiam diri.
Mas? Tak enakkah badanmu?"
"Bukan begitu," jawab
Mas, seraya mengangkat kepalanya
kembali. "Sudahlah, jangan
kautanyakan lagi hal itu! Tak apaapa."
Sebab nyata oleh Van Sta, muka
Mas sesungguhnya menjadi
muram, karena mendengar pertanyaan
tadi, tiadalah hendak
dipanjangkannya perkara itu, lalu
diputarnya haluan percakapannya.
"Telah sepuluh tahun lamanya
aku masuk bala tentara, mulai
di Aceh. Bagaimana
ceritanya?"
"O, ya" jawab Mas.
Sungguhpun dicobanya hendak
melenyapkan muram durja yang
terbayang di mukanya, tetapi
tiadalah dapat, karena pikiran,
yang menyebabkan ia bermuram
durja, tiada hendak hilang dari
kalbunya; adalah sebagai luka
lama yang hampir sembuh, terbuka
kembali. "Hampir lupa aku
akan janjiku itu. Dengarlah!
Tetapi baiklah kumulai menceritakan
halku dahulu supaya terang
ceritanya ini. Hanya kuminta
kepadamu, janganlah engkau gusar
mendengar cerita ini, karena
banyak mengandung
kesedihan."
Dalam berkata-kata itu, rupanya
muka Letnan Mas, makin
lama makin bertambah muram,
sehingga segala keriangan hatinya
tadi, tiadalah kelihatan sedikit
juga lagi.
"Pada mukaku tentu telah
nyata kepadamu, aku ini bukan
bangsa Eropah, melainkan anak
Indonesia," demikian permulaan
cerita Letnan Mas.
"Tadi engkau berjanji akan
menceritakan peperanganmu dari
serdadu sampai kepada pangkatku
sekarang ini. Aku masuk jadi
bala tentara ini bukan karena
apa, hanya karena hendak ..." di
situ terhenti Letnan Mas
bercakap, sebagai tak dapat ia
mengeluarkan perkataannya
..." mencari kematian."
"Apa katamu?" tanya Van
Sta dengan takjub.
"Mencari kematian,
kataku," jawab Mas dengan sedih.
"Tetapi sekarang, belumlah
kuperoleh maksudku ini. Rupanya
benar kata pepatah Melayu:
sebelum ajal, berpantang mati.
Telah beberapa kali kucoba hendak
mendapat maut, tetapi
ada-ada saja alangannya, sehingga
tak sampailah maksudku.
Barangkali belum boleh aku
meninggalkan dunia ini, sebelum
aku menyampaikan janjiku. Oleh
sebab itu tawakal aku, sambil
menunggu waktu itu. Ketika itulah
kuketahui benar, bahwa
manusia tak dapat berbuat
sekehendak hatinya, jika tiada dengan
gerak Tuhan. Berapa orang yang
tiada hendak mati, karena takut
atau karena masih perlu hidup,
tetapi dicabut nyawanya. Tetapi
aku ini yang beringin benar akan
maut itu dan di atas dunia ini
tiada berguna lagi, masih
dipeliharakan.
Barangkali engkau tiada percaya
ceritaku ini, dan bersangka,
bahwa aku sangat percaya kepada
segala takhyul. Atau engkau
berpikir, bila kutembak kepalaku,
tentulah aku mati; tiada siapa
dapat melarang. Itu pun telah
kucoba, tetapi ada saja yang
melepaskan aku dari bahaya.
Lihatlah, ini tandanya di kepalaku,
bahwa aku telah menembak
kepalaku."
Lalu Letnan Mas memperlihatkan
suatu tanda luka, pada
kepalanya sebelah kanan.
"Pada suatu hari hendak
kugantung diriku. Terlebih dahulu
kuperiksa tali dan tiang tempat
aku akan menggantung diriku itu,
karena aku takut kalau-kalau
tiada berhasil pula pekerjaanku.
Rupanya tali dan tiang itu kuat;
tetapi apakah sebabnya, tatkala
aku tergantung di sana, tiang itu
patah, roboh bersama-sama aku
ke tanah, sehingga maksudku itu
tiada sampai pula. Ketiga
kalinya hendak kumakan racun.
Akan tetapi ketika gelas itu
sampai ke mulutku, berbunyilah
bedil musuh yang ditembakkannya
kepadaku. Pelurunya melalui
jendela kacaku dan menghancurkan
gelas yang ada dalam tanganku.
Keempat kalinya aku
terjun ke dalam air, pada tempat
yang kusangka sunyi. Tetapi
mengapakah tiada kelihatan
olehku, di sana ada orang mengail
tersembunyi di tempat gelap! Si
pengail itulah yang menolongku,
tatkala aku akan tenggelam. Lain
daripada itu membabi buta
dalam peperangan. Itu pun tak
juga menyampaikan hajatku,
karena aku sampai sekarang belum
mati, melainkan bintanglah
yang diberikan kepadaku, sebab
sangka orang, aku gagah berani
dan dinaikkanlah pula pangkatku
sampai menjadi letnan."
"Memang keberanaianmu dan
hadiah yang kauperoleh dari
Pemerintah, acap kali
dipercakapkan orang."
"Bukan sebab keberanian dan
kegagahanku, maka aku
beroleh hadiah dan pangkat itu;
hanya semata-mata karena
untung. Kepadaku yang tiada
beringin apa-apa lagi, diberikan
pangkat dan hadiah ini.
Kepada orang lain yang bercinta
akan anugerah itu, tiada
diberikan bukan...? Sekarang
tentulah maklum engkau, apa
sebabnya aku tiada beristri.
Orang yang putus asa, sebagai aku
tak boleh beristri. Apakah
jadinya kelak dengan anak dan
istriku, bila kuperoleh keinginan
hatiku tadi?"
"Tetapi siapa tahu,
barangkali, dapat dilipur oleh anak dan
istrimu."
"Tak boleh, tak boleh aku
berbuat demikian! Karena aku
telah bersumpah, selekas-lekasnya
akan meninggalkan dunia
ini."
Maka termenunglah pula Letnan
Mas, sedang air matanya
pun berlinang-linang kembali.
"Sangat ajaib ceritamu
ini!" kata Van Sta dengan sangat
sedih melihat hal temannya.
Sebenarnya ingin hatinya hendak
mengetahui, apa sebab sahabatnya
ini, jadi putus asa sedemikian
itu. Tetapi tiadalah berani ia
bertanya, karena terasa olehnya,
tentulah sebabnya itu sangat
penting; barangkali melukakan
hatinya pula, apabila disuruh
menceritakan. Karena itu
diputarnyalah haluan percakapan
itu.
"Tetapi perkara peperangan
itu, bagaimana pulakah?" tanya
Van Sta akan membawa Mas dari
kenang-kenangan yang menghancurkan
hatinya.
"Ah, ya; kejadian itu belum
juga lagi kuceritakan. Demikian
riwayatnya. Akan tetapi ada suatu
yang hendak kupinta kepadamu
sebelum kita meninggalkan perkara
yang sedih ini, yakni
janganlah kaubukakan rahasiaku
ini kepada orang lain. Engkaulah
baru sahabatku yang mengetahui
halku ini."
"Masakan gila aku akan
menceritakannya, bila tak boleh,"
jawab Van Sta.
"Dengarlah," kata
Letnan Mas. "Pada suatu hari, tatkala aku
di Aceh, dapatlah aku perintah
pergi memeriksa beberapa
kampung dekat Sigli, dengan tiga
puluh orang serdadu marsose,
karena kabarnya di sana banyak
musuh membuat ribut, dikepalai
oleh Teuku Putih. Penunjuk jalan
kami, rupanya belum tahu
benar jalan-jalan di sana; jadi
sesatlah kami. Ketika hampir
malam, belum juga dapat jalan
pulang.
Kira-kira pukul tujuh malam
bertemulah kami dengan bala
tentara Teuku Putih, lebih kurang
150 orang banyaknya. Mulamula
sangkaku musuh tiada sebanyak
itu, karena hari gelap, tak
dapat ditaksir. Oleh sebab itu
kukerahkanlah serdaduku ke muka,
mengadang musuh, lalu
berperanglah kami dengan bedil, amat
ramainya. Belum berapa lamanya
berperang, nyatalah kepadaku,
bahwa kami telah tertutup dart
muka, kiri dan kanan. Sejurus
kemudian, terdengar bunyi bedil
dari belakang.
Tatkala diketahui oleh serdaduku,
bahwa kami telah tertutup
gemparlah mereka, karena tak
tahu, apa hendak diperbuatnya.
Ada yang hendak lari, ada yang
tak mau mendengar perintah
lagi. Hanya adalah kira-kira
sepuluh orang yang masih setia
kepadaku. Kataku kepada serdaduku
yang sepuluh itu, "Jangan
alang kepalang! Jika akan mati
pun, biarlah karena berkelahi,
jangan karena diazab musuh dalam
tawanan. Sandang bedilmu
dan cabutlah kelewangmu, maju ke
muka, sambil tertempik.
Hanya satu jalan yang dapat
menolong kita, yaitu keluar dari
lingkungan musuh ini."
"Baiklah," jawab
sekalian serdadu yang setia itu, lalu bertempiklah
kami, menyerukan diri dengan
kelewang, kepada
musuh yang di muka. Mujur!
Sekalian serdadu yang telah
kehilangan akal tadi menurut
pula, sehingga pecahlah perang
musuh di muka, undur ke kiri ke
kanan.
Tatkala kami akan lari, kudengar
musuh berteriak, "Kafir
hitam, Mas! Kafir hitam,
Mas!"
Rupanya telah dikenalnya namaku.
Lagi pula dalam
peperangan itu Teuku Putih kena
kelewang serdaduku. Oleh
sebab itu undurlah musuh
selangkah-selangkah, sehingga akhirnya
tiada kedengaran lagi suara
bedilnya. Sesudah berperang,
kuhitunglah serdaduku; tinggal 16
orang yang masih dapat
berkelahi. Dan yang 14 orang lagi
10 orang mati dan 4 orang
luka parah. Aku dengan beberapa
serdadu yang setia tadi luka
juga, tetapi tiada berbahaya.
Karena aku khawatir akan diserang
musuh pula, berikhtiarlah aku
hendak pulang, tetapi tak tahu
jalan. Kebetulan di antara orang
Aceh yang tinggal di sana, ada
seorang yang luka kakinya, tak
dapat lari. Aku tanyakanlah
kepadanya ke mana jalan pulang
serta berjanji akan memberi
hadiah kepadanya, bila ia berkata
benar, dan akan menderanya,
bila ia berbuat bohong. Orang itu
mau mengabulkan permintaanku
itu, asal aku menetapi janjiku.
Setelah kuperiksa benar-benar
sekalian serdadu yang telah
rubuh itu dan nyata sesungguhnya
mereka telah mati, barulah
aku pulang. Keempat serdadu yang
luka tadi, kami usunglah berganti-
ganti.
Tiada lama berjalan itu,
sampailah kami ke jalan yang kami
kenal dan tiada berapa lamanya
kemudian daripada itu, sampailah
kami ke kota.
Orang Aceh yang luka tadi kuberi
hadiah duit dan kulepaskan
di jalan, atas permintaannya. Ada
juga kutanyakan kepadanya di
mana tempat Teuku Putih, tetapi katanya
ia tiada tahu, sebab
pada sangkanya Teuku itu tak
bertempat diam yang tetap,
melainkan mengembara
selama-lamanya.
Tatkala hampir sampai ke kota
berhentilah kami sejurus, dan
kukatakanlah kepada serdadu yang
hendak lari tadi, sekali itu
kuberi maaf kelakuan mereka,
tetapi bila kemudian hari diperbuatnya
pula sedemikian, takkan tiada
kubedil atau kutuntut
mereka. Sekali itu dengan sengaja
hendak kuperlihatkan kepada
mereka, bahwa dalam hal terdesak
dan terkepung, hanya hati
yang tetap dan pikiran yang
terang itulah, yang acap kali dapat
menolong. Sekalian mereka minta
ampun dan bersumpah, tiada
lagi akan berbuat demikian.
Di Sigli itulah gelasku dibedil
musuh, sebagai kuceritakan
tadi."
"Sesungguhnya hulubalang itu
harus tetap hatinya; tak boleh
lekas hilang akal," kata Van
Sta.
"Memang! Sekarang hendak
minum apa lagi engkau? Karena
aku ingin segelas bir?"
"Aku pun bir pula."
Setelah datang bir ini, minumlah
pula kedua mereka.
"Rupanya orang Aceh kenal
kepadamu," kata Van Sta.
"Barangkali. Sebab aku acap
kali beruntung dalam
peperangan, disangkanya aku
berilmu, tak dapat dikalahkan."
"Memang, mereka itu sangat
percaya kepada takhyul.".
"Yang kedua di
Lhokseumawe," kata Letnan Mas
menyambung ceritanya. Akan tetapi
waktu itu kelihatan seorang
serdadu datang tergopoh-gopoh
kepada mereka. Sesudah
memberi hormat, lalu
diunjukkannya sepucuk surat kepada
kedua letnan itu. Setelah dibaca
Letnan Mas surat ini, diunjukkannyalah
kepada sahabatnya sambil berkata,
"Mengapa-kah
Tuan Kapitan menyuruh datang kita
dengan segera? Ayuh,
marilah kita berangkat
bangat-bangat!"
Sesudah dibayarnya harga minuman
tadi, berjalanlah mereka
ke rumah Kapitan yang
memanggilnya. Baru sampai mereka ke
sana, Kapitan itu berkata,
"Mas dan Van Sta, aku dapat perintah
menyuruh kamu kedua bersama-sama
serdadurnu, segera
berangkat ke Padang. Esok hari
juga kamu harus berangkat dari
sini ke Jakarta dan dari sana
bersama-sama bala tentara dari
tempat lain-lain, dengan kapal,
ke Padang; karena di sana telah
timbul perusuhan, perkara
belasting. Beritahulah sekalian
serdadumu, supaya mereka bersiap
malam ini juga. Aku harap
engkau di sana akan beruntung
pula, sebagai sedia kala," kata
Kapitan itu kepada Letnan Mas,
sambil menjabat tangannya.
"Dan engkau, Van Sta, supaya
pulang dengan kemenangan."
katanya kepada Van Sta, seraya
bersalam pula. "Selamat jalan!"
"Terima kasih Kapitan,"
jawab kedua letnan ini, lalu keluar
dan berjalan menuju tangsinya,
akan mengabarkan perintah itu
kepada sekalian serdadunya.
Serdadu-serdadu ini gempar
semalam-malaman, karena
bersiap tergesa-gesa.
"Sekarang aku dapat
berperang bersama-sama dengan engkau
dan dapat belajar padamu,"
kata Van Sta kepada Letnan Mas.
Akan tetapi perkataan ini tiada
didengar oleh Letnan Mas,
sebagai ia sedang memikirkan
sesuatu hal yang penting.
Semalam-malaman itu Letnan Mas
tiada dapat tidur. Apakah
sebabnya? Takutlah ia pergi
berperang ke Padang? Mustahil!
Letnan Mas yang telah termasyhur
gagah beraninya dan telah
berpuluh kali berperang,
selamanya mendapat kemenangan.
Letnan yang tiada takut, melainkan
beringin mati itu, tak boleh
jadi 'kan menaruh gentar.
Sungguhpun demikian, pucat mukanya
dan gemetar tangannya, sampai
jauh malam, belum hendak
hilang.
Karena tak dapat tidur,
berjalan-jalanlah ia bolak-balik dalam
rumahnya; kemudian duduk di atas
kursi, sudah itu berdiri pula
seraya berpikir, sebagai
sebenarnya ia takut berperang, sekali itu.
Dengarlah apa katanya!
"Belum cukup jugakah azabku,
setelah disiksa sedemikian
ini? Sudahlah kesengsaraanku
sendiri tak dapat kutanggung
rasanya, sekarang disuruh pula
aku membunuh bangsaku. Berapa
yang telah jatuh karena
senjataku, berapa yang binasa karena
tanganku, berapa ibu yang
kehilangan anaknya, berapa
perempuan yang kematian suaminya
dan kanak-kanak yang
ditinggalkan bapanya. Berapa kaum
yang bercerai, terbuang dan
terhukum dan lumbung yang roboh
dan terbakar, kampung dan
desa yang binasa, karena tugasku.
Bilakah aku dapat berhenti dari
pekerjaan jahanam ini dan
menjadi algojo bangsaku sendiri?
Sesungguhnya untung yang
sebagai untungku ini, agaknya tak
adalah bandingannya dalam
dunia ini. Dan apa sebabnya? Apa
dosaku maka diazab
sedemikian ini? Mereka yang tiada
tahu akan nasibku,
barangkali menyangka, bahwa aku
gemar akan pekerjaanku
sekarang ini. Tetapi hanya
Tuhanlah yang tahu, betapa hancur
hatiku, melihat berpuluh-puluh
perempuan menjadi janda, berpuluh
kanak-kanak menjadi yatim,
beratus nyawa yang
melayang, beratus laki-laki
remaja menjadi daif, karena
kehilangan kaki atau tangan atau
bagian badannya yang lain;
beratus rumah yang roboh dan
terbakar, berpuluh kampung dan
desa yang rusak binasa dan
beberapa pula harta yang dirampas.
Akan tetapi apa hendak kukatakan?
Sebab aku terpaksa berbuat
sedemikian, untuk mendapat
kematianku. Mengapakah sampai
sekarang belum juga kuperoleh
keinginan hatiku ini? Mengapakah
nyawaku ini belum juga dicabut?
Masih saja aku dipelihara!
Belumkah juga habis hukumanku?
Kini aku bukan disuruh
membunuh bangsaku saja lagi,
tetapi disuruh pula membunuh
kaum keluarga, sahabat kenalanku
sendiri.
Ya Allah, ya Rabbi! Belumkah juga
sampai waktunya
hamba-Mu ini akan dilepaskan dari
kesengsaraan ini? Berapa
lamakah lagi hamba-Mu harus
bernanti?"
Setelah ia berkata demikian itu,
sebagai terdengarlah olehnya
suara berkata dalam hatinya,
"Sekarang inilah, akan dapat
disampaikan keinginan hatimu itu.
Sekarang inilah, akan terlepas
engkau dari azabmu dan sekarang
inilah akan dapat engkau
bercampur kembali dengan sekalian
mereka yang kaucintai!"
berdebar-debar hatinya, karena
pikirannya, "Benarkah suara
yang kudengar itu atau pikiranku
pulakah yang tiada sempurna?"
Kemudian duduklah ia di atas
sebuah kursi, lalu termenung
memikirkan perkataan yang timbul
dalam hatinya tadi. Sekalian
kesengsaraannya, sejak dari
mulanya sampai kepada waktu itu,
terbayanglah pula di mukanya.
Dalam pada itu terlalailah ia
dengan tiada diketahuinya, lalu
tertidur di atas kursi ini. Akan
tetapi tiada berapa iamanya
kemudian, terperanjatlah ia bangun
mendengar bunyi selompret, karena
hari telah pukul setengah
enam pagi. Dengan segera
berdirilah ia, lalu menyuruh bawa
sekalian perkakasnya ke setasiun,
dan setelah ia membasuh
mukanya dan minum kopi secangkir,
berjalanlah ia ke tangsi.
Tiada beberapa lamanya kemudian,
berangkatlah kereta api
yang membawa mereka, nienuju kota
Jakarta.
Bersambung ke... Episode : Rusuh Perkara Belasting di Padang
No comments:
Post a Comment