Wednesday, January 28, 2015

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode : Sepuluh Tahun Kemudian (bag.2)


Lagi pula perkara berbujang, berjuru masak, berbabu itu, hanya dapat dilakukan oleh orang yang mampu saja, walau bangsa Eropah sekalipun. Jika tak dapat berbuat sedemikian, bagaimana? Ingatlah, manusia itu terlebih banyak yang miskin daripada yang kaya. Si laki-lakilah pula yang harus mengerjakan pekerjaan babu, juru masak, tukang kebun dan lain-lain itu, bila ia telah letih karena membanting tulang, pulang dari pekerjaannya?
Dan apakah pekerjaan si perempuan? Menjadi bunga dalam rumah sajakah? Tak adil benar pembagian kerja yang seperti itu. Herankah kita, bila laki-laki yang kurang maju, kelak akan takut beristri dan berpikir pula, "Apakah faedahnya aku beristri, jika akan menambah susah badanku sendiri dan tiada dapat menolongku dalam kehidupanku sehari-hari? Lebih baik aku membujang, karena jika perempuan itu saja, banyak di jalan."
Kalau demikian, bukankah jadi bertambah dalam, jurang yang menceraikan laki-laki dengan perempuan. Bila laki-laki itu kaya, seharusnyalah ia memenuhi segala keinginan istrinya dan haruslah ia menjadikan perempuan, putri dalam istana. Akan tetapi jika laki-laki itu sungguh tak cakap mengadakan sekalian permintaan istrinya, janganlah dipaksa. Keadaan suaminya harus ditimbang juga oleh perempuan.
Jangan membuta tuli, mengingat yang senang untuk diri sendiri saja!"
"Ya, tetapi perempuan bersuami, karena hendak mendapat penghidupan dan kesenangan pula. Jika akan susah juga, apa gunanya bersuami? Lebih baik bekerja, mencari penghidupan sendiri," jawab Van Sta.
'"Inilah yang hendak kukatakan. Pikiran semacam inilah yang
tak boleh ada, baik pada laki-laki ataupun pada perempuan;
sebab itulah tanda mereka hanya mengingat keperluan sendiri
saja, tiada mengindahkan keperluan bersama. Kalau diteruskan
peraturan yang begitu, tentulah akan bermusuh-musuhan suami
dengan istri dan akhirnya akan terjadilah peperangan antara
perempuan dengan laki-laki. Itulah sebabnya maka aku
sesungguhnya khawatir, kalau kepandaian segenapnya
diturunkan kepada perempuan dengan tiada mengindahkan
keadaan dan kewajiban perempuan. Sebab karena kepandian itu,
bukannya menjadi benar, melainkan menjadi salah pikiran;
misalnya tak dapat hidup cara biasa lagi, sebagai adatnya
sediakala melainkan hendak hidup besar. Bercampur, dengan
orang biasa saja tak dapat pula. Jika hendak bersuami, haruslah
yang kaya atau yang berpangkat tinggi Tetapi sebab laki-laki itu,
lebih-lebih pada bangsaku, belum banyak yang sedemikian,
tentulah perempuan yang telah pandai itu akan lari kepada
bangsa lain, umpamanya kepada bangsamu atau bangsa Cina,
sehingga akhirnya akan hilanglah bangsa sendiri. Dan jika
sekalian perempuan, yang telah terpelajar berbuat begitu apakah
yang tinggal pada bangsanya sendiri dan bagaimanakah akhirnya
bangsaku itu? Siapakah yang akan memajukannya lagi?
Sesungguhnya tak baik perempuan atau laki-laki menaruh
pikiran hendak hidup sendiri-sendiri, berebut-rebutan pekerjaan,
atas mengatasi kepandaian dan bermusuh-musuhan dalam
penghidupan, karena laki-laki dan perempuan itu satu, tak boleh
bercerai, harus tolong-menolong. Laki-laki perlu kepada
perempuan dan perempuan perlu pula kepada laki-laki. Bukankah
telah dikatakan dalam bahasa Belanda: seia sekata itu mendatangkan
kekuatan, akan tetapi perselisihan itu memecah belah
tenaga. Peperangan kehidupan di atas dunia ini memang tak
mudah. Apa gunanya diperbuat lagi dengan perselisihan antara
perempuan dan laki-laki?"
"Memang, memang," jawab Van Sta, sambil meminum wiski
sodanya.
"Ada lagi yang masih terasa di hatiku," kata Mas, setelah
meminum wiskinya pula.
"Apa itu?"
"Yaitu tentang pelajaran anak perempuan bangsaku. Oleh
sebab kewajiban perempuan memang tiada sama dengan
kewajiban laki-laki, pada pikiranku tak perlu segala ilmu lakilaki
dipelajari oleh perempuan. Laki-laki pun tak perlu pula
mempelajari kepandaian perempuan, yang tak perlu baginya,
misalnya ilmu menjahit atau memasak, kalau ia tiada harus
menjadi tukang jahit atau tukang masak. Apa gunanya
kepandaian insinyur dan hakim misalnya bagi perempuan?
Bukankah lebih baik dipelajarinya kepandaian yang berguna
baginya?
Aku katakan sekalian itu kepadamu, Yan, sebab sesungguhnya
hatiku khawatir perempuan Indonesia ini dengan buta tuli
meniru segala aturan dan pikiran perempuan Eropah, dengan
tiada menimbang baik-baik, sebenarnyakah berguna sekalian
aturan dan pikiran itu bagi perempuan di sini? Pada pikiranku,
tidak sekalian yang baik bagi perempuan Eropah, baik pula bagi
perempuan Indonesia. Ada yang baik di sana, tak baik di sini dan
kebalikannya ada yang berguna di sini tak berguna di sana. Yang
sesungguhnya baik ambillah, tirulah dan pakailah!"
"Baiklah Mas! Sekalian pikiranmu telah kudengar, hanya ada
suatu yang belum kuketahui. Tadi engkau suruh aku beristri dan
kaucacat niatku hendak membujang, tapi mengapakah engkau
sendiri tiada hendak beristri?"
Mendengar pertanyaan ini, terkejutlah Letnan Mas Wiski
yang diangkatnya ke mulutnya, tiada jadi diminumnya,
melainkan diletakkannya kembali, lalu termenunglah ia sejurus
lamanya, tiada berkata-kata. Kemudian menunduklah ia dan
tatkala itu jatuhlah setitik air mata kepangkuannya.
Van Sta sangat heran melihat kelakuan sahabatnya ini, karena
tiada diketahuinya, apakah sebabnya ia tiba-tiba jadi demikian.
Oleh sahabat itu bertanyalah ia, "Apakah sebabnya engkau
sekonyong-konyong berdiam diri. Mas? Tak enakkah badanmu?"
"Bukan begitu," jawab Mas, seraya mengangkat kepalanya
kembali. "Sudahlah, jangan kautanyakan lagi hal itu! Tak apaapa."
Sebab nyata oleh Van Sta, muka Mas sesungguhnya menjadi
muram, karena mendengar pertanyaan tadi, tiadalah hendak
dipanjangkannya perkara itu, lalu diputarnya haluan percakapannya.
"Telah sepuluh tahun lamanya aku masuk bala tentara, mulai
di Aceh. Bagaimana ceritanya?"
"O, ya" jawab Mas. Sungguhpun dicobanya hendak
melenyapkan muram durja yang terbayang di mukanya, tetapi
tiadalah dapat, karena pikiran, yang menyebabkan ia bermuram
durja, tiada hendak hilang dari kalbunya; adalah sebagai luka
lama yang hampir sembuh, terbuka kembali. "Hampir lupa aku
akan janjiku itu. Dengarlah! Tetapi baiklah kumulai menceritakan
halku dahulu supaya terang ceritanya ini. Hanya kuminta
kepadamu, janganlah engkau gusar mendengar cerita ini, karena
banyak mengandung kesedihan."
Dalam berkata-kata itu, rupanya muka Letnan Mas, makin
lama makin bertambah muram, sehingga segala keriangan hatinya
tadi, tiadalah kelihatan sedikit juga lagi.
"Pada mukaku tentu telah nyata kepadamu, aku ini bukan
bangsa Eropah, melainkan anak Indonesia," demikian permulaan
cerita Letnan Mas.
"Tadi engkau berjanji akan menceritakan peperanganmu dari
serdadu sampai kepada pangkatku sekarang ini. Aku masuk jadi
bala tentara ini bukan karena apa, hanya karena hendak ..." di
situ terhenti Letnan Mas bercakap, sebagai tak dapat ia
mengeluarkan perkataannya ..." mencari kematian."
"Apa katamu?" tanya Van Sta dengan takjub.
"Mencari kematian, kataku," jawab Mas dengan sedih.
"Tetapi sekarang, belumlah kuperoleh maksudku ini. Rupanya
benar kata pepatah Melayu: sebelum ajal, berpantang mati.
Telah beberapa kali kucoba hendak mendapat maut, tetapi
ada-ada saja alangannya, sehingga tak sampailah maksudku.
Barangkali belum boleh aku meninggalkan dunia ini, sebelum
aku menyampaikan janjiku. Oleh sebab itu tawakal aku, sambil
menunggu waktu itu. Ketika itulah kuketahui benar, bahwa
manusia tak dapat berbuat sekehendak hatinya, jika tiada dengan
gerak Tuhan. Berapa orang yang tiada hendak mati, karena takut
atau karena masih perlu hidup, tetapi dicabut nyawanya. Tetapi
aku ini yang beringin benar akan maut itu dan di atas dunia ini
tiada berguna lagi, masih dipeliharakan.
Barangkali engkau tiada percaya ceritaku ini, dan bersangka,
bahwa aku sangat percaya kepada segala takhyul. Atau engkau
berpikir, bila kutembak kepalaku, tentulah aku mati; tiada siapa
dapat melarang. Itu pun telah kucoba, tetapi ada saja yang
melepaskan aku dari bahaya. Lihatlah, ini tandanya di kepalaku,
bahwa aku telah menembak kepalaku."
Lalu Letnan Mas memperlihatkan suatu tanda luka, pada
kepalanya sebelah kanan.
"Pada suatu hari hendak kugantung diriku. Terlebih dahulu
kuperiksa tali dan tiang tempat aku akan menggantung diriku itu,
karena aku takut kalau-kalau tiada berhasil pula pekerjaanku.
Rupanya tali dan tiang itu kuat; tetapi apakah sebabnya, tatkala
aku tergantung di sana, tiang itu patah, roboh bersama-sama aku
ke tanah, sehingga maksudku itu tiada sampai pula. Ketiga
kalinya hendak kumakan racun. Akan tetapi ketika gelas itu
sampai ke mulutku, berbunyilah bedil musuh yang ditembakkannya
kepadaku. Pelurunya melalui jendela kacaku dan menghancurkan
gelas yang ada dalam tanganku. Keempat kalinya aku
terjun ke dalam air, pada tempat yang kusangka sunyi. Tetapi
mengapakah tiada kelihatan olehku, di sana ada orang mengail
tersembunyi di tempat gelap! Si pengail itulah yang menolongku,
tatkala aku akan tenggelam. Lain daripada itu membabi buta
dalam peperangan. Itu pun tak juga menyampaikan hajatku,
karena aku sampai sekarang belum mati, melainkan bintanglah
yang diberikan kepadaku, sebab sangka orang, aku gagah berani
dan dinaikkanlah pula pangkatku sampai menjadi letnan."
"Memang keberanaianmu dan hadiah yang kauperoleh dari
Pemerintah, acap kali dipercakapkan orang."
"Bukan sebab keberanian dan kegagahanku, maka aku
beroleh hadiah dan pangkat itu; hanya semata-mata karena
untung. Kepadaku yang tiada beringin apa-apa lagi, diberikan
pangkat dan hadiah ini.
Kepada orang lain yang bercinta akan anugerah itu, tiada
diberikan bukan...? Sekarang tentulah maklum engkau, apa
sebabnya aku tiada beristri.
Orang yang putus asa, sebagai aku tak boleh beristri. Apakah
jadinya kelak dengan anak dan istriku, bila kuperoleh keinginan
hatiku tadi?"
"Tetapi siapa tahu, barangkali, dapat dilipur oleh anak dan
istrimu."
"Tak boleh, tak boleh aku berbuat demikian! Karena aku
telah bersumpah, selekas-lekasnya akan meninggalkan dunia
ini."
Maka termenunglah pula Letnan Mas, sedang air matanya
pun berlinang-linang kembali.
"Sangat ajaib ceritamu ini!" kata Van Sta dengan sangat
sedih melihat hal temannya. Sebenarnya ingin hatinya hendak
mengetahui, apa sebab sahabatnya ini, jadi putus asa sedemikian
itu. Tetapi tiadalah berani ia bertanya, karena terasa olehnya,
tentulah sebabnya itu sangat penting; barangkali melukakan
hatinya pula, apabila disuruh menceritakan. Karena itu
diputarnyalah haluan percakapan itu.
"Tetapi perkara peperangan itu, bagaimana pulakah?" tanya
Van Sta akan membawa Mas dari kenang-kenangan yang menghancurkan
hatinya.
"Ah, ya; kejadian itu belum juga lagi kuceritakan. Demikian
riwayatnya. Akan tetapi ada suatu yang hendak kupinta kepadamu
sebelum kita meninggalkan perkara yang sedih ini, yakni
janganlah kaubukakan rahasiaku ini kepada orang lain. Engkaulah
baru sahabatku yang mengetahui halku ini."
"Masakan gila aku akan menceritakannya, bila tak boleh,"
jawab Van Sta.
"Dengarlah," kata Letnan Mas. "Pada suatu hari, tatkala aku
di Aceh, dapatlah aku perintah pergi memeriksa beberapa
kampung dekat Sigli, dengan tiga puluh orang serdadu marsose,
karena kabarnya di sana banyak musuh membuat ribut, dikepalai
oleh Teuku Putih. Penunjuk jalan kami, rupanya belum tahu
benar jalan-jalan di sana; jadi sesatlah kami. Ketika hampir
malam, belum juga dapat jalan pulang.
Kira-kira pukul tujuh malam bertemulah kami dengan bala
tentara Teuku Putih, lebih kurang 150 orang banyaknya. Mulamula
sangkaku musuh tiada sebanyak itu, karena hari gelap, tak
dapat ditaksir. Oleh sebab itu kukerahkanlah serdaduku ke muka,
mengadang musuh, lalu berperanglah kami dengan bedil, amat
ramainya. Belum berapa lamanya berperang, nyatalah kepadaku,
bahwa kami telah tertutup dart muka, kiri dan kanan. Sejurus
kemudian, terdengar bunyi bedil dari belakang.
Tatkala diketahui oleh serdaduku, bahwa kami telah tertutup
gemparlah mereka, karena tak tahu, apa hendak diperbuatnya.
Ada yang hendak lari, ada yang tak mau mendengar perintah
lagi. Hanya adalah kira-kira sepuluh orang yang masih setia
kepadaku. Kataku kepada serdaduku yang sepuluh itu, "Jangan
alang kepalang! Jika akan mati pun, biarlah karena berkelahi,
jangan karena diazab musuh dalam tawanan. Sandang bedilmu
dan cabutlah kelewangmu, maju ke muka, sambil tertempik.
Hanya satu jalan yang dapat menolong kita, yaitu keluar dari
lingkungan musuh ini."
"Baiklah," jawab sekalian serdadu yang setia itu, lalu bertempiklah
kami, menyerukan diri dengan kelewang, kepada
musuh yang di muka. Mujur! Sekalian serdadu yang telah
kehilangan akal tadi menurut pula, sehingga pecahlah perang
musuh di muka, undur ke kiri ke kanan.
Tatkala kami akan lari, kudengar musuh berteriak, "Kafir
hitam, Mas! Kafir hitam, Mas!"
Rupanya telah dikenalnya namaku. Lagi pula dalam
peperangan itu Teuku Putih kena kelewang serdaduku. Oleh
sebab itu undurlah musuh selangkah-selangkah, sehingga akhirnya
tiada kedengaran lagi suara bedilnya. Sesudah berperang,
kuhitunglah serdaduku; tinggal 16 orang yang masih dapat
berkelahi. Dan yang 14 orang lagi 10 orang mati dan 4 orang
luka parah. Aku dengan beberapa serdadu yang setia tadi luka
juga, tetapi tiada berbahaya. Karena aku khawatir akan diserang
musuh pula, berikhtiarlah aku hendak pulang, tetapi tak tahu
jalan. Kebetulan di antara orang Aceh yang tinggal di sana, ada
seorang yang luka kakinya, tak dapat lari. Aku tanyakanlah
kepadanya ke mana jalan pulang serta berjanji akan memberi
hadiah kepadanya, bila ia berkata benar, dan akan menderanya,
bila ia berbuat bohong. Orang itu mau mengabulkan permintaanku
itu, asal aku menetapi janjiku.
Setelah kuperiksa benar-benar sekalian serdadu yang telah
rubuh itu dan nyata sesungguhnya mereka telah mati, barulah
aku pulang. Keempat serdadu yang luka tadi, kami usunglah berganti-
ganti.
Tiada lama berjalan itu, sampailah kami ke jalan yang kami
kenal dan tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, sampailah
kami ke kota.
Orang Aceh yang luka tadi kuberi hadiah duit dan kulepaskan
di jalan, atas permintaannya. Ada juga kutanyakan kepadanya di
mana tempat Teuku Putih, tetapi katanya ia tiada tahu, sebab
pada sangkanya Teuku itu tak bertempat diam yang tetap,
melainkan mengembara selama-lamanya.
Tatkala hampir sampai ke kota berhentilah kami sejurus, dan
kukatakanlah kepada serdadu yang hendak lari tadi, sekali itu
kuberi maaf kelakuan mereka, tetapi bila kemudian hari diperbuatnya
pula sedemikian, takkan tiada kubedil atau kutuntut
mereka. Sekali itu dengan sengaja hendak kuperlihatkan kepada
mereka, bahwa dalam hal terdesak dan terkepung, hanya hati
yang tetap dan pikiran yang terang itulah, yang acap kali dapat
menolong. Sekalian mereka minta ampun dan bersumpah, tiada
lagi akan berbuat demikian.
Di Sigli itulah gelasku dibedil musuh, sebagai kuceritakan
tadi."
"Sesungguhnya hulubalang itu harus tetap hatinya; tak boleh
lekas hilang akal," kata Van Sta.
"Memang! Sekarang hendak minum apa lagi engkau? Karena
aku ingin segelas bir?"
"Aku pun bir pula."
Setelah datang bir ini, minumlah pula kedua mereka.
"Rupanya orang Aceh kenal kepadamu," kata Van Sta.
"Barangkali. Sebab aku acap kali beruntung dalam
peperangan, disangkanya aku berilmu, tak dapat dikalahkan."
"Memang, mereka itu sangat percaya kepada takhyul.".
"Yang kedua di Lhokseumawe," kata Letnan Mas
menyambung ceritanya. Akan tetapi waktu itu kelihatan seorang
serdadu datang tergopoh-gopoh kepada mereka. Sesudah
memberi hormat, lalu diunjukkannya sepucuk surat kepada
kedua letnan itu. Setelah dibaca Letnan Mas surat ini, diunjukkannyalah
kepada sahabatnya sambil berkata, "Mengapa-kah
Tuan Kapitan menyuruh datang kita dengan segera? Ayuh,
marilah kita berangkat bangat-bangat!"
Sesudah dibayarnya harga minuman tadi, berjalanlah mereka
ke rumah Kapitan yang memanggilnya. Baru sampai mereka ke
sana, Kapitan itu berkata, "Mas dan Van Sta, aku dapat perintah
menyuruh kamu kedua bersama-sama serdadurnu, segera
berangkat ke Padang. Esok hari juga kamu harus berangkat dari
sini ke Jakarta dan dari sana bersama-sama bala tentara dari
tempat lain-lain, dengan kapal, ke Padang; karena di sana telah
timbul perusuhan, perkara belasting. Beritahulah sekalian
serdadumu, supaya mereka bersiap malam ini juga. Aku harap
engkau di sana akan beruntung pula, sebagai sedia kala," kata
Kapitan itu kepada Letnan Mas, sambil menjabat tangannya.
"Dan engkau, Van Sta, supaya pulang dengan kemenangan."
katanya kepada Van Sta, seraya bersalam pula. "Selamat jalan!"
"Terima kasih Kapitan," jawab kedua letnan ini, lalu keluar
dan berjalan menuju tangsinya, akan mengabarkan perintah itu
kepada sekalian serdadunya.
Serdadu-serdadu ini gempar semalam-malaman, karena
bersiap tergesa-gesa.
"Sekarang aku dapat berperang bersama-sama dengan engkau
dan dapat belajar padamu," kata Van Sta kepada Letnan Mas.
Akan tetapi perkataan ini tiada didengar oleh Letnan Mas,
sebagai ia sedang memikirkan sesuatu hal yang penting.
Semalam-malaman itu Letnan Mas tiada dapat tidur. Apakah
sebabnya? Takutlah ia pergi berperang ke Padang? Mustahil!
Letnan Mas yang telah termasyhur gagah beraninya dan telah
berpuluh kali berperang, selamanya mendapat kemenangan.
Letnan yang tiada takut, melainkan beringin mati itu, tak boleh
jadi 'kan menaruh gentar. Sungguhpun demikian, pucat mukanya
dan gemetar tangannya, sampai jauh malam, belum hendak
hilang.
Karena tak dapat tidur, berjalan-jalanlah ia bolak-balik dalam
rumahnya; kemudian duduk di atas kursi, sudah itu berdiri pula
seraya berpikir, sebagai sebenarnya ia takut berperang, sekali itu.
Dengarlah apa katanya!
"Belum cukup jugakah azabku, setelah disiksa sedemikian
ini? Sudahlah kesengsaraanku sendiri tak dapat kutanggung
rasanya, sekarang disuruh pula aku membunuh bangsaku. Berapa
yang telah jatuh karena senjataku, berapa yang binasa karena
tanganku, berapa ibu yang kehilangan anaknya, berapa
perempuan yang kematian suaminya dan kanak-kanak yang
ditinggalkan bapanya. Berapa kaum yang bercerai, terbuang dan
terhukum dan lumbung yang roboh dan terbakar, kampung dan
desa yang binasa, karena tugasku.
Bilakah aku dapat berhenti dari pekerjaan jahanam ini dan
menjadi algojo bangsaku sendiri? Sesungguhnya untung yang
sebagai untungku ini, agaknya tak adalah bandingannya dalam
dunia ini. Dan apa sebabnya? Apa dosaku maka diazab
sedemikian ini? Mereka yang tiada tahu akan nasibku,
barangkali menyangka, bahwa aku gemar akan pekerjaanku
sekarang ini. Tetapi hanya Tuhanlah yang tahu, betapa hancur
hatiku, melihat berpuluh-puluh perempuan menjadi janda, berpuluh
kanak-kanak menjadi yatim, beratus nyawa yang
melayang, beratus laki-laki remaja menjadi daif, karena
kehilangan kaki atau tangan atau bagian badannya yang lain;
beratus rumah yang roboh dan terbakar, berpuluh kampung dan
desa yang rusak binasa dan beberapa pula harta yang dirampas.
Akan tetapi apa hendak kukatakan? Sebab aku terpaksa berbuat
sedemikian, untuk mendapat kematianku. Mengapakah sampai
sekarang belum juga kuperoleh keinginan hatiku ini? Mengapakah
nyawaku ini belum juga dicabut? Masih saja aku dipelihara!
Belumkah juga habis hukumanku? Kini aku bukan disuruh
membunuh bangsaku saja lagi, tetapi disuruh pula membunuh
kaum keluarga, sahabat kenalanku sendiri.
Ya Allah, ya Rabbi! Belumkah juga sampai waktunya
hamba-Mu ini akan dilepaskan dari kesengsaraan ini? Berapa
lamakah lagi hamba-Mu harus bernanti?"
Setelah ia berkata demikian itu, sebagai terdengarlah olehnya
suara berkata dalam hatinya, "Sekarang inilah, akan dapat
disampaikan keinginan hatimu itu. Sekarang inilah, akan terlepas
engkau dari azabmu dan sekarang inilah akan dapat engkau
bercampur kembali dengan sekalian mereka yang kaucintai!"
Maka terperanjatlah Letnan Mas mendengar jawaban ini, dan
berdebar-debar hatinya, karena pikirannya, "Benarkah suara
yang kudengar itu atau pikiranku pulakah yang tiada sempurna?"
Kemudian duduklah ia di atas sebuah kursi, lalu termenung
memikirkan perkataan yang timbul dalam hatinya tadi. Sekalian
kesengsaraannya, sejak dari mulanya sampai kepada waktu itu,
terbayanglah pula di mukanya. Dalam pada itu terlalailah ia
dengan tiada diketahuinya, lalu tertidur di atas kursi ini. Akan
tetapi tiada berapa iamanya kemudian, terperanjatlah ia bangun
mendengar bunyi selompret, karena hari telah pukul setengah
enam pagi. Dengan segera berdirilah ia, lalu menyuruh bawa
sekalian perkakasnya ke setasiun, dan setelah ia membasuh
mukanya dan minum kopi secangkir, berjalanlah ia ke tangsi.
Tiada beberapa lamanya kemudian, berangkatlah kereta api
yang membawa mereka, nienuju kota Jakarta.
Bersambung ke... Episode : Rusuh Perkara Belasting di Padang

No comments:

Post a Comment