Karya : Marah Rusli
Setelah masuklah kapal yang
membawa Letnan Mas ke
pelabuhan Teluk Bayur, turunlah
sekalian bala tentara itu ke
daiat, lalu langsung berjalan ke
kota Padang, Di sana gemparlah
isi kota, melihat bala tentara
sekian banyaknya datang; cukup
dengan alat senjata dan
meriamnya.
Yang seorang bertanya kepada yang
lain:
"Mengapakah didatangkan
serdadu sekian banyaknya ini?"
"Tidakkah engkau tahu?"
jawab yang ditanyai. "Seluruh
tanah jajahan Belanda akan rusuh,
sebab anak negeri hendak
melawan; tak mau membayar
belasting."
Kabar kedatangan bala tentara,
ini, sekejap itu juga pecah ke
sana kemari, sampai ke luar-luar
kota, sehingga perempuan dan
anak-anak pun tahu hal ini. Maka
ramailah dibicarakan
peperangan yang akan terjadi.
Yang penakut, larilah
bersembunyi ke gunung-gunung
dengan anak bini dan harta
bendanya; yang berani tinggallah
di dalam kota, karena ingin
hendak melihat tamasya perang.
Yang kaya, berharta banyak,
khawatir kalau-kalau harta
bendanya dirampas orang. Yang
banyak beranak dan bersanak
saudara, ngeri, takut anak-istri dan
kaum keluarganya terbawa-bawa
mendapat kesusahan. Hanya
bangsa penjahatiah yang gembira
hatinya, karena ada harapan
akan dapat mencuri dan menyamun
dengan mudah dan sepuas,
puas hatinya. Saudagar-saudagar
pun tak kurang khawatirnya,
sebab pada sangkanya, tentulah
perniagaannya akan jatuh,
karena peperangan ini. Begitu
pula pegawai-pegawai
Pemerintah, berdebar-debar
hatinya, takut kalau-kalau serdadu
kalah. Jika demikian, tentulah
mereka tiada akan mendapat
ampunan dari perusuh, karena
sekalian yang tiada hendak ikut
melawan, dipandang mereka sebagai
musuhnya. Hanya
perusuhlah yang geram melihat,
bala tentara Pemerintah datang
sebanyak itu dan panas hatinya,
lalu berpikir mencari akal akan
memperdayakan serdadu ini.
Setelah sampailah bala tentara
itu ke tangsi Padang, pergilah
Letnan Mas kepada Kapitannya,
minta izin akan pergi sebentar
dengan berjanji, segera akan
kembali pula, karena adalah suatu
keperluan yang sangat penting
baginya.
Mula-mula rupanya kapitannya tiada
hendak memberi izin ini
tetapi tatkala dilihatnya Mas
meminta amat sangat, diperkenankanyalah
juga permintaan itu dengan pesan,
supaya jangan lewat
daripada pukul enam petang
kembali. Sebab pada waktu itu hari
baru pukul setengah lima,
berpikirlah Letnan Mas dalam hatinya,
"Tentu tidak terlambat aku
kembali."
Dengan segera dipanggilnya sebuah
bendi sewaan, lalu
berangkat menuju ke Muara.
Setelah sampailah ia ke sana,
diseberanginyalah sungai Arau
dengan perahu dan didakinya
Gunung Padang. Di tengah jalan
bertemulah ia dengan seorang
fakir, yang tinggal di atas
gunung itu, lalu ditanyakannya di
mana kubur Baginda Sulaiman,
saudagar yang berpulang kirakira
sepuluh tahun telah lalu.
Walaupun fakir itu sangat heran
mendengar perkataan ini dan
berpikir dalam hatinya, apakah
sebabnya seorang letnan
menanyakan kubur seorang Melayu,
tetapi ditunjukkannya juga kubur
itu.
Setelah sampai ke makam ini,
kelihatanlah oleh Letnan Mas
tiga buah kubur dalam suatu
tempat yang berpagar tembok. Dua
buah daripada kubur ini, letaknya
berdekat-dekatan; yang sebuah
lagi agak jauh sedikit. Tatkala
dibacanya huruf yang tertulis pada
batu nisan kubur yang
berdekat-dekatan itu nyatalah kepadanya,
bahwa kubur itulah yang
dicarinya. Karena tiada tertahan oleh
Letnan Mas hatinya, segeralah ia
masuk ke dalam makam ini,
lalu berlutut di antara kedua
kubur yang berjauh-jauhan itu,
sambil memeluk keduanya dengan
kedua belah tangannya. Di
situ menangislah ia tersedu-sedu,
seraya meratap demikian,
"Aduhai Nurbaya dan Ibu yang
sangat hamba cintai!
Mengapakah sampai hati benar
meninggalkan hamba seorang
diri di atas dunia ini? Berjalan
tiada hendak berkata-kata, pergi
tiada hendak membawa-bawa.
Mengapakah tiada diajak hamba
pergi bersama-sama dan tiada
dinantikan hamba, supaya boleh
hamba temani, dalam perjalanan
yang jauh itu? Dan tatkala telah
ditinggalkan, mengapakah tidak
lekas dijemput, dibiarkan
sepuluh tahun lamanya hamba
mengembara ke sana kemari,
mencari jalan akan mengikut Bunda
dan Adinda, sehingga
sampai kepada waktu ini pekerjaan
itu sia-sia belaka.
Aduhai! Bilakah masanya kita akan
dapat berjumpa pula dan
bilakah waktunya kita akan dapat
berkumpul dan bercakapcakap,
sebagai dahulu? Bunda dan Nur,
pintakanlah kepada
Allah subhanahu wataala, supaya
jangan dipanjangkan-Nya lagi
umur hamba ini dan lekaslah
dipertemukan-Nya kita sekalian;
karena hidup bercinta seperti
ini, sesungguhnyalah tiada terderita
oleh hamba. Cukuplah sepuluh
tahun lamanya hamba
menanggung siksa dan azab yang
tiada tertanggung oleh manusia
dan patutlah sudah hamba dilepaskan
daripada penjara yang
sedemikian.
Aduh Nur, aduh Adikku! Tiada
kusangka sekali-kali akan
beginilah akhirnya kita ini.
Mengapakah segala pengharapan dan
cita-cita orang dikabulkan,
tetapi harapan dan cita-cita kita
dijadikan seperti ini? Apakah
salahmu, dan salahku dan salah
kita ini, maka beroleh nasib yang
sedemikian ini? Sudahlah di
dunia ini, segala pengharapan dan
permintaan kita, yang kita
pohonkan sebilang waktu, tiada
dikabulkan, di akhirat kelak ada
akan disampaikan Allah, segala
cita-cita itu? Ah, pada rasaku tak
adalah manusia yang malang
sebagai kita ini! Sepuluh tahun
lamanya aku menanggung sengsara
dan dukacita; sepuluh tahun
pula aku menanggung rindu dendam,
kepadamu, tetapi sampai
sekarang ini, belum disampaikan
Tuhan juga maksudku ini.
Berapakah lamanya lagi aku harus
menunggu?
Tetapi oya, Nur; aku telah
beroleh alamat, bahwa aku segera
akan dipertemukan dengan engkau,
karena inilah penghabisan
sisaku. Mudah-mudahan demikianlah
hendaknya; doakan
bersama-sama.
Suatu yang belum kuketahui, yaitu
dapatkah aku menuntutkan
belamu atau tiada? Tetapi biarpun
tak dapat, Allah Yang
Maha Kuasa takkan lupa, bahwa
tiap-tiap kesalahan itu tiada
akan luput daripada hukumannya.
Biarlah bersama-sama kita
kelak menyembahkan kesalahannya
ini."
Setelah itu diciumlah oleh Letnan
Mas kedua nisan kubur itu,
lalu berdiri perlahan-lahan dan
berkata kepada fakir yang masih
tercengang berdiri di sana,
melihat kelakuan letnan ini, karena
heran, mengapakah seorang
Belanda, menangis di kubur seorang
Islam!
"Fakir, mengajilah Tuan di
sana, bagi arwah segala yang
telah meninggal itu. Inilah hamba
beri sedekah!" lalu
dikeluarkannya uang kertas
sepuluh rupiah dari dalam tempat
uangnya, diberikannya kepada
fakir ini. Karena seumur
hidupnya, belum pernah fakir ini
menerima hadiah sekian
banyaknya, sangatlah sukacita
hatinya, lalu mengaji semalammalaman
di makam itu.
Sementara Letnan Mas pergi ke
Gunung Padang, datanglah
kabar dari Gubernur Padang,
mengatakan malam itu perusuh
akan masuk ke dalam kota, membuat
huru-hara. Oleh sebab itu
dimintalah sebagian daripada
serdadu yang ada itu, pergi ke luar
kota, mengadang musuh ini, supaya
jangan sampai berperang di
dalam kota.
Kira-kira pukul tujuh malam,
berangkatlah sepasukan
serdadu yang dipimpin oleh Letnan
Mas dan Van Sta, ke luar
kota Padang menuju Kota Tengah.
Pukul sembilan, sampailah
mereka ke Tabing dan tiada berapa
lama kemudian, hampirlah
mereka ke Kota Tengah. Dari jauh
telah kelihatan berpuluhpuluh
orang; sekaliannya memakai serba
putih, berkumpulkumpul
di pinggir jalan, di muka sebuah
kedai; rupanya mereka
sedang bermusyawarat, bagaimana
hendak menyerang.
Sekaliannya bersenjata sebuah
golok.
Tatkala kelihatan oleh perusuh
serdadu datang, gemparlah
sekaliannya; ada yang mengambil
senjatanya, ada yang
menghunus kerisnya, ada yang
memencak, ada yang berteriak
memanggil kawan, ada yang
memaki-maki dan ada pula yang
mengacu-acukan senjatanya;
berbagai-bagai kelakuan mereka.
Setelah hampir kepada mereka ini,
Letnan Mas menyuruh
berhenti serdadunya dan
membariskan mereka. Seorang
kemendur yang mengikut
bersama-sama maju ke muka,
menyuruh perusuh menyerahkan
dirinya. Tetapi jangankan diindahkan
mereka, kemendur itulah yang
dimaki-makinya, seraya
memencak mengajak berkelahi.
Setelah tiga kali kemendur
membujuk dengan lemah-lembut,
menyuruh mereka menyerahkan
diri, tiada juga didengar oleh
orang-orang itu, diserahkannyalah
kekuasaan ke tangan Letnan Mas.
Letnan Mas menyusun
serdadunya, lalu menyuruh
menembak ke udara. Seketika itu
juga berbunyilah kira-kira tiga
puluh bedil, sekaligus. Tatkala
didengar perusuh bunyi bedil ini
dan dilihatnya, tiada seorang
pun yang kena,
bertambah-tambahlah berani mereka, karena
pada sangkanya sesungguhnyalah
mereka tiada dimakan anak
bedil lagi, berkah ajimat yang
diperolehnya dari gurunya. Maka
bertempiklah mereka bersorak dan
ratib mengucap "La illaha
illallah" lalu maju ke muka.
Setelah hampirlah mereka, barulah
Letnan Mas memerintahkan
membedilnya.
Tatkala berbunyilah bedil kedua
kalinya, rebahlah sebaris
orang yang di muka, jatuh ke
tanah. Ada yang menjerit, ada yang
memekik, ada yang meminta tolong
dan ada pula yang terus
ratib, tetapi banyak yang tiada
bersuara lagi karena terus mati.
Perusuh yang berdiri di belakang,
bingunglah sejurus, tiada tahu
apa yang dibuatnya. Ketika
berbunyi pula bedil ketiga kalinya,
pecahlah perang perusuh itu,
karena banyak yang mati. Mana
yang tinggal larilah cerai-berai
kian kemari, membawa dirinya
masing-masing.
Akan tetapi seketika itu juga,
keluarlah beberapa orang tuatua
dan haji-haji dari dalam sebuah
rumah, lalu berteriak
memanggil sekalian orang yang
lari itu, serta mencabut kerisnya
dan maju ke muka. Karena melihat
keberanian ini, berbaliklah
sekalian yang lari, lalu mengikut
guru-gurunya dengan
bertempik sorak pula, menyerang
serdadu-serdadu dari dua
pihak. Oleh sebab cepat datang
mereka menyerbukan dirinya,
serdadu-serdadu Letnan Mas,
tiadalah sempat menembak lagi,
lalu mempergunakan bayonetnya.
Dengan segera menjadi
ramailah peperangan itu,
masing-masing mencari lawannya. Ada
yang bertikam-tikaman, ada yang
bertetak-tetakan pedang, ada
yang tangkis-menangkis,
berpukul-pukulan, tangkap-menangkap
dan banting-membantingkan. Yang
mati, jatuh, yang luka,
berdarah, yang takut, lari, yang
berani mengejar. Ada yang maju,
ada yang mundur, ada yang
melompat, berbagai-bagai kelakuan
mereka. Suara pun bermacam-macam
kedengaran, gegap
gempita, tiada disangka bunyi
lagi, dicampuri pula oleh bedil,
pistol, pedang dan parang.
Walaupun bulan terang cahayanya,
tetapi di tempat itu gelap,
karena asap bedil. Dan jika pakaian
mereka tiada sangat berlainan,
yakni hitarn dan putih, niscaya
tiadalah tentu lawan kawan.
Letnan Mas dengan kepala perusuh,
kelihatan sama-sama mengerahkan
bala tenteranya, menyuruh
maju sambil membedil dan menetak.
Tiada berapa lamanya berperang
itu, banyaklah yang mati
dan yang luka pada kedua belah
pihak. Darah mengalir di jalan
raya dan mayat tersiar-siar di
sana-sini. Oleh sebab dari
kampung tiada putus-putusnya
datang bantuan perusuh, tiadalah
tertahan oleh Letnan Mas serangan
musuhnya, sehingga
disuruhnya serdadunya undur
perlahan-lahan. Bila tiada datang
bantuan dari Letnan Van Sta,
pastilah pecah perang Letnan Mas.
Untunglah pada waktu itu juga
kedengaran tempik sorak serdadu
Letnan Van Sta, yang menyerbukan
diri ke medan peperangan.
Tiada berapa lamanya kemudian
daripada itu, undurlah perusuh
perlahan-lahan dan akhirnya,
tatkala bantuan mereka tak datang
lagi, pecahlah perang mereka,
lalu lari kian kemari,
bertemperasan, diburu oleh
serdadu-serdadu kedua letnan itu.
Tatkala mengejar perusuh,
kelihatan oleh Letnan Mas,
seorang daripada kepala mereka,
bangun badan, perjalanan dan
suaranya serupa benar dengan
bangun badan, perjalanan dan
suara Datuk Maringgih, musuhnya
yang sekian lama dicaricarinya.
Maka berdebar-debarlah hati
Letnan Mas dan gemetar
tangannya serta berubah mukanya,
sebagai suka bercampur
duka. Suka karena ada pengharapan
akan dapat membalaskan
sakit hatinya, dan duka karena
ingat akan segala kejahatan yang
telah diperbuat jahanam itu.
Ketika kepala perusuh ini hendak
melarikan dirinya, diburunyalah
orang itu dengan tiada berpikir
panjang lagi. Setelah
berhadap-hadapan mereka, nyatalah pada
Letnan Mas, bahwa persangkaannya
tadi benar, karena
sesungguhnya Datuk Meringgih,
algojo Nurbaya, yang berdiri di
mukanya, lalu berkatalah ia,
"Datuk Meringgih! Benarkah
engkau ini?"
"Ya, akulah Datuk Meringgih,
saudagar yang kaya di Padang
ini," jawab kepala perusuh
itu. "Engkau ini siapa, maka kenal
kepadaku?
Setelah diamat-amatinya Letnan
Mas ini, terperanjatlah ia
lalu surut beberapa langkah ke
belakang, seraya berteriak,
"Samsulbahri! Engkau tiada
mati? Atau setannyakah ini?"
"Seketika itu juga
melompatlah ia kembali ke muka, hendak
menetak Letnan Mas. Letnan Mas
melompat ke kanan, lalu
berkata, "Tunggu dahulu,
Datuk Meringgih! Karena banyak yang
terasa dalam hatiku, yang hendak
kukatakan kepadamu, sebelum
aku terpaksa mencabut
nyawamu."
Mendengar perkataan ini
berdirilah Datuk Meringgih, karena
hendak mengetahui, apakah yang
akan dikatakan musuhnya itu.
"Datuk Meringgih!
Sesungguhnya akulah Samsulbahri, yang
sepuluh tahun telah lalu, sudah
mati, tetapi yang dikeluarkan
kemtali dari dalam kubur, untuk
menghukum engkau atas segala
kejahatanmu yang keji itu.
Tatkala aku membedil diriku di
Jakarta, karena terlebih suka
mati daripada hidup menanggung
sengsara yang asalnya daripada
perbuatanmu, tiadalah disampaikan
Tuhan maksudku itu. Rupanya aku
terlebih dahulu harus
menuntut bela atas segala
kesalahanmu. Itulah sebabnya maka
peluru yang kutujukan ke
kepalaku, tiada menembus otakku.
Karena aku terperanjat, mendengar
suara sahabatku, Arifin, yang
tatkala itu berteriak, dan
tanganku bergoyang, sehingga anak
bedil, sekadar merusakkan tulang
kepalaku saja. Ketika aku
sadar akan diriku, kupintalah
kepada dokter dan sekalian orang
yang tahu akan halku, supaya
kabar aku hidup kembali, tiada
disiarkan ke mana-mana, karena
pada pikiranku, lebih baik aku
disangka orang telah mati
daripada hidup sedemikian. Beberapa
kali aku mencari kematian, tetapi
tiada juga dapat, karena Tuhan
masih memanjangkan umurku, supaya
dapat menghukum
engkau atas segala dosamu.
Sepuluh tahun lamanya aku
menanggung sengsara dan
dukacita yang tiada terderita,
sepuluh tahun pula aku menaruh
dendam dalam hatiku kepadamu.
Sekarang barulah disampaikan
Tuhan maksudku itu; sekarang
barulah dapat aku menuntutkan
bela sekalian orang yang telah
engkau aniaya, hai penjahat yang
sebesar-besarnya! Karena
kekayaanmu, menjadilan engkau
sombong dan angkuh serta tekebur
kepada Tuhan, yang telah
memberunu kekayaan itu. Pada
sangkamu dengan kekayaan itu
tentulah 'kan dapat engkau
berbuat sekehendak hatimu. Yang
tinggi kaujatuhkan, yang mulia
kauhinakan, yang kaya kau
miskinkan dengan tiada
pandang-memandang, tiada tilik-menilik
dan tiada menaruh belas kasihan,
asal nafsumu yang jahat dan
hina itu dapat kaupenuhi.
Hai Datuk durhaka! Kekayaanmu itu
tiada memberi paedah
kepada teman sejawatmu, sahabat
kenalanmu, sesamamu
manusia dan kepada dirimu sendiri
sekalipun, melainkan mendatangkan
segala bahaya, sengsara, duka
nestapa kepada isi
negeri. Tiada layak engkau
dikurniai Tuhan senjata yang sekuat
itu.
Dengan kekayaanmu itu kauceraikan
anak daripada bapanya,
adik daripada kakaknya, asyik
daripada masyuknya, sahabat
daripada karibnya. Dengan
kekayaanmu itu kaujatuhkan Baginda
Sulaiman, sampal berpulang ke
rahmatullah, karena dukacita;
dengan kekayaanmu itu kaupaksa
anaknya menurut kesukaanmu
yang keji, kekasih dan saudaranya
kauaniaya ini sampai hampir
mati di dalam laut. Kemudian
kaudakwa ia mencuri barangbarangmu
yang kauperoleh dengan tipu daya,
darah keringat
orang lain. Tatkala engkau tiada
berdaya lagi akan memaksa
Nurbaya, yang tiada bersalah itu,
kaubunuhlah ia dengan racun.
Dengan kekayaanmu itu kauceraikan
aku daripada ibu-bapa
dan kaum keluargaku dan
kauputuskan, pengharapanku akan
menjadi orang baik-baik, sehingga
ibuku meninggal dunia
karena kesedihan hati. Sungguhpun
demikian, sekalian itu belum
lagi seperseratus dari segala
dosamu yang harus kautanggunl.
Hai Datuk Meringgih! Tiadakah
terasa olehmu kesalahnmu
itu? Tiadakah takut engkau kepada
Tuhan, yang memberikan
segala kekuasaan itu kepadamu?
Tiadakah malu engkau kepada
sesamamu manusia, yang engkau
perdayakan? Dan tiadalah
belas kasihan engkau kepada
sekalian mereka, yang telah
menjadi kurbanmu?"
Samsulbahri berhenti sejurus
berkata-kata itu, karena penuh
rasa dadanya dan sesak rasa
napasnya, menahan hatinya yang tak
dapat direncanakan di sini.
Datuk Meringgih tiada menjawab
sepatah kata pun, sebab
baru dirasanya waktu itu,
kebenaran perkataan Samsulbahri ini.
Di situlah baru nyata padanya,
bahwa sebenarnya sampai kepada
waktu itu, belumlah lagi ia
berbuat kebaikan dengan hartanya
yang sekian banyaknya itu. Bila
ia mati dalam peperangan ini,
tentulah segala hartanya itu akan
terbagi-bagi kepada yang
tinggal dan apakah akan dibawanya
ke dalam kubur? Tak lain
nama yang jahat, sumpah, umpat
dan maki segala mereka yang
telah dianiaya. Dan tentulah
sekalian itu akan memberatinya
dalam kuburnya. Bila ada ia
berbuat kebaikan, barangkali adalah
juga yang akan mendoakan
arwahnya.
Di sana, tatkala ia telah hempir
ke pintu kubur, baru
diinsyafinya, bahwa harta dunia
itu sangat sedikit harganya,
untuk kehidupannya di negeri yang
baka. Maka timbullah sesal
dalarn hatinya atas perbuatannya
yang telah lalu. Akan tetapi apa
hendak dikata, karena tatkala itu
dirasainya, ia tak dapat lagi
memperbaiki kesalahannya itu.
Setelah sejurus berdiam diri,
berkatalah pula Samsulbahri
dengan menyapu air matanya, yang
tak dapat ditahannya, "Hai
Datuk Meringgih! Sekaranglah akan
kuperlihatkan kepadamu,
bahwa ada lagi yang terlebih
berkuasa daripada hartamu itu.
Walaupun seratus kali lebih
banyak hartamu dari yang ada
sekarang ini, tiadalah akan dapat
ia mengubah pikiranku, hendak
membalas kejahatanmu itu dan
tiadalah dapat ia menolong
melepaskan engkau dari dalam
tanganku. Terimalah olehmu
hukumanmu!" lalu Samsu
mengangkat pestolnya, menembak
Datuk Meringgih. Tetapi tatkala
itu juga Datuk Meringgih
melompat ke muka, menetak
Samsulbahri dengan parangnya,
sambil berteriak, "Rasailah
pula olehmu bekas tanganku, hai
anjing Belanda!"
Setelah itu juga rebahlah
keduanya ke tanah; Datuk
Meringgih karena kena peluru
Samsulbahri, yang menembus
dada dan jantungnya dan
Samsulbahri, karena kena parang
Datuk Meringgih kepalanya.
Tatkala diangkat Letnan Mas oleh
serdadwrya, kelihatan di
antara mayat-mayat perusuh itu,
dua mayat yang memakai serba
hitam yang seorang lehernya
hampir putus, rupanya kena
kelewang, yang seorang lagi
dadanya tembus kena bayonet.
Itulah mayat Pendekar Lima dan
Pendekar Empat, yang beroleh
hukuman daripada Yang Maha Kuasa,
atas segala kejahatannya.
Dua hari kemudian daripada
peperangan yang tersebut di atas
ini, kelihatanlah dalam rumah
sakit di Padang, seorang opsir,
sedang tidur di atas sebuah
ranjang, berselimutkan kain selimut
putih. Rupanya ia sakit keras,
karena hampir seluruh kepalanya
terbungkus perban putih, sehingga
hanya mukanya saja yang
tampak, yang pucat warnanya.
Dekat tempat tidur ini, berdirilah
seorang penjaga, yang sedang
mengatur gelas-gelas obat,
perlahan-lahan; rupanya ia takut,
kalau-kalau si sakit ini terkejut
bangun. Ketika itu masuklah
seorang dokter Belanda, hendak
memeriksa keadaan si sakit ini.
Bersambung ke..... Episode : Peperangan Samsul Bahri dengan Datuk Maringgih (bag.2)
Bersambung ke..... Episode : Peperangan Samsul Bahri dengan Datuk Maringgih (bag.2)
No comments:
Post a Comment