Wednesday, January 28, 2015

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode : Peperangan Samsul Bahri dengan Datuk Maringgih (bag.1)



Karya : Marah Rusli
Setelah masuklah kapal yang membawa Letnan Mas ke
pelabuhan Teluk Bayur, turunlah sekalian bala tentara itu ke
daiat, lalu langsung berjalan ke kota Padang, Di sana gemparlah
isi kota, melihat bala tentara sekian banyaknya datang; cukup
dengan alat senjata dan meriamnya.
Yang seorang bertanya kepada yang lain:
"Mengapakah didatangkan serdadu sekian banyaknya ini?"
"Tidakkah engkau tahu?" jawab yang ditanyai. "Seluruh
tanah jajahan Belanda akan rusuh, sebab anak negeri hendak
melawan; tak mau membayar belasting."
Kabar kedatangan bala tentara, ini, sekejap itu juga pecah ke
sana kemari, sampai ke luar-luar kota, sehingga perempuan dan
anak-anak pun tahu hal ini. Maka ramailah dibicarakan
peperangan yang akan terjadi. Yang penakut, larilah
bersembunyi ke gunung-gunung dengan anak bini dan harta
bendanya; yang berani tinggallah di dalam kota, karena ingin
hendak melihat tamasya perang. Yang kaya, berharta banyak,
khawatir kalau-kalau harta bendanya dirampas orang. Yang
banyak beranak dan bersanak saudara, ngeri, takut anak-istri dan
kaum keluarganya terbawa-bawa mendapat kesusahan. Hanya
bangsa penjahatiah yang gembira hatinya, karena ada harapan
akan dapat mencuri dan menyamun dengan mudah dan sepuas,
puas hatinya. Saudagar-saudagar pun tak kurang khawatirnya,
sebab pada sangkanya, tentulah perniagaannya akan jatuh,
karena peperangan ini. Begitu pula pegawai-pegawai
Pemerintah, berdebar-debar hatinya, takut kalau-kalau serdadu
kalah. Jika demikian, tentulah mereka tiada akan mendapat
ampunan dari perusuh, karena sekalian yang tiada hendak ikut
melawan, dipandang mereka sebagai musuhnya. Hanya
perusuhlah yang geram melihat, bala tentara Pemerintah datang
sebanyak itu dan panas hatinya, lalu berpikir mencari akal akan
memperdayakan serdadu ini.
Setelah sampailah bala tentara itu ke tangsi Padang, pergilah
Letnan Mas kepada Kapitannya, minta izin akan pergi sebentar
dengan berjanji, segera akan kembali pula, karena adalah suatu
keperluan yang sangat penting baginya.
Mula-mula rupanya kapitannya tiada hendak memberi izin ini
tetapi tatkala dilihatnya Mas meminta amat sangat, diperkenankanyalah
juga permintaan itu dengan pesan, supaya jangan lewat
daripada pukul enam petang kembali. Sebab pada waktu itu hari
baru pukul setengah lima, berpikirlah Letnan Mas dalam hatinya,
"Tentu tidak terlambat aku kembali."
Dengan segera dipanggilnya sebuah bendi sewaan, lalu
berangkat menuju ke Muara. Setelah sampailah ia ke sana,
diseberanginyalah sungai Arau dengan perahu dan didakinya
Gunung Padang. Di tengah jalan bertemulah ia dengan seorang
fakir, yang tinggal di atas gunung itu, lalu ditanyakannya di
mana kubur Baginda Sulaiman, saudagar yang berpulang kirakira
sepuluh tahun telah lalu. Walaupun fakir itu sangat heran
mendengar perkataan ini dan berpikir dalam hatinya, apakah
sebabnya seorang letnan menanyakan kubur seorang Melayu,
tetapi ditunjukkannya juga kubur itu.
Setelah sampai ke makam ini, kelihatanlah oleh Letnan Mas
tiga buah kubur dalam suatu tempat yang berpagar tembok. Dua
buah daripada kubur ini, letaknya berdekat-dekatan; yang sebuah
lagi agak jauh sedikit. Tatkala dibacanya huruf yang tertulis pada
batu nisan kubur yang berdekat-dekatan itu nyatalah kepadanya,
bahwa kubur itulah yang dicarinya. Karena tiada tertahan oleh
Letnan Mas hatinya, segeralah ia masuk ke dalam makam ini,
lalu berlutut di antara kedua kubur yang berjauh-jauhan itu,
sambil memeluk keduanya dengan kedua belah tangannya. Di
situ menangislah ia tersedu-sedu, seraya meratap demikian,
"Aduhai Nurbaya dan Ibu yang sangat hamba cintai!
Mengapakah sampai hati benar meninggalkan hamba seorang
diri di atas dunia ini? Berjalan tiada hendak berkata-kata, pergi
tiada hendak membawa-bawa. Mengapakah tiada diajak hamba
pergi bersama-sama dan tiada dinantikan hamba, supaya boleh
hamba temani, dalam perjalanan yang jauh itu? Dan tatkala telah
ditinggalkan, mengapakah tidak lekas dijemput, dibiarkan
sepuluh tahun lamanya hamba mengembara ke sana kemari,
mencari jalan akan mengikut Bunda dan Adinda, sehingga
sampai kepada waktu ini pekerjaan itu sia-sia belaka.
Aduhai! Bilakah masanya kita akan dapat berjumpa pula dan
bilakah waktunya kita akan dapat berkumpul dan bercakapcakap,
sebagai dahulu? Bunda dan Nur, pintakanlah kepada
Allah subhanahu wataala, supaya jangan dipanjangkan-Nya lagi
umur hamba ini dan lekaslah dipertemukan-Nya kita sekalian;
karena hidup bercinta seperti ini, sesungguhnyalah tiada terderita
oleh hamba. Cukuplah sepuluh tahun lamanya hamba
menanggung siksa dan azab yang tiada tertanggung oleh manusia
dan patutlah sudah hamba dilepaskan daripada penjara yang
sedemikian.
Aduh Nur, aduh Adikku! Tiada kusangka sekali-kali akan
beginilah akhirnya kita ini. Mengapakah segala pengharapan dan
cita-cita orang dikabulkan, tetapi harapan dan cita-cita kita
dijadikan seperti ini? Apakah salahmu, dan salahku dan salah
kita ini, maka beroleh nasib yang sedemikian ini? Sudahlah di
dunia ini, segala pengharapan dan permintaan kita, yang kita
pohonkan sebilang waktu, tiada dikabulkan, di akhirat kelak ada
akan disampaikan Allah, segala cita-cita itu? Ah, pada rasaku tak
adalah manusia yang malang sebagai kita ini! Sepuluh tahun
lamanya aku menanggung sengsara dan dukacita; sepuluh tahun
pula aku menanggung rindu dendam, kepadamu, tetapi sampai
sekarang ini, belum disampaikan Tuhan juga maksudku ini.
Berapakah lamanya lagi aku harus menunggu?
Tetapi oya, Nur; aku telah beroleh alamat, bahwa aku segera
akan dipertemukan dengan engkau, karena inilah penghabisan
sisaku. Mudah-mudahan demikianlah hendaknya; doakan
bersama-sama.
Suatu yang belum kuketahui, yaitu dapatkah aku menuntutkan
belamu atau tiada? Tetapi biarpun tak dapat, Allah Yang
Maha Kuasa takkan lupa, bahwa tiap-tiap kesalahan itu tiada
akan luput daripada hukumannya. Biarlah bersama-sama kita
kelak menyembahkan kesalahannya ini."
Setelah itu diciumlah oleh Letnan Mas kedua nisan kubur itu,
lalu berdiri perlahan-lahan dan berkata kepada fakir yang masih
tercengang berdiri di sana, melihat kelakuan letnan ini, karena
heran, mengapakah seorang Belanda, menangis di kubur seorang
Islam!
"Fakir, mengajilah Tuan di sana, bagi arwah segala yang
telah meninggal itu. Inilah hamba beri sedekah!" lalu
dikeluarkannya uang kertas sepuluh rupiah dari dalam tempat
uangnya, diberikannya kepada fakir ini. Karena seumur
hidupnya, belum pernah fakir ini menerima hadiah sekian
banyaknya, sangatlah sukacita hatinya, lalu mengaji semalammalaman
di makam itu.
Sementara Letnan Mas pergi ke Gunung Padang, datanglah
kabar dari Gubernur Padang, mengatakan malam itu perusuh
akan masuk ke dalam kota, membuat huru-hara. Oleh sebab itu
dimintalah sebagian daripada serdadu yang ada itu, pergi ke luar
kota, mengadang musuh ini, supaya jangan sampai berperang di
dalam kota.
Kira-kira pukul tujuh malam, berangkatlah sepasukan
serdadu yang dipimpin oleh Letnan Mas dan Van Sta, ke luar
kota Padang menuju Kota Tengah. Pukul sembilan, sampailah
mereka ke Tabing dan tiada berapa lama kemudian, hampirlah
mereka ke Kota Tengah. Dari jauh telah kelihatan berpuluhpuluh
orang; sekaliannya memakai serba putih, berkumpulkumpul
di pinggir jalan, di muka sebuah kedai; rupanya mereka
sedang bermusyawarat, bagaimana hendak menyerang.
Sekaliannya bersenjata sebuah golok.
Tatkala kelihatan oleh perusuh serdadu datang, gemparlah
sekaliannya; ada yang mengambil senjatanya, ada yang
menghunus kerisnya, ada yang memencak, ada yang berteriak
memanggil kawan, ada yang memaki-maki dan ada pula yang
mengacu-acukan senjatanya; berbagai-bagai kelakuan mereka.
Setelah hampir kepada mereka ini, Letnan Mas menyuruh
berhenti serdadunya dan membariskan mereka. Seorang
kemendur yang mengikut bersama-sama maju ke muka,
menyuruh perusuh menyerahkan dirinya. Tetapi jangankan diindahkan
mereka, kemendur itulah yang dimaki-makinya, seraya
memencak mengajak berkelahi. Setelah tiga kali kemendur
membujuk dengan lemah-lembut, menyuruh mereka menyerahkan
diri, tiada juga didengar oleh orang-orang itu, diserahkannyalah
kekuasaan ke tangan Letnan Mas. Letnan Mas menyusun
serdadunya, lalu menyuruh menembak ke udara. Seketika itu
juga berbunyilah kira-kira tiga puluh bedil, sekaligus. Tatkala
didengar perusuh bunyi bedil ini dan dilihatnya, tiada seorang
pun yang kena, bertambah-tambahlah berani mereka, karena
pada sangkanya sesungguhnyalah mereka tiada dimakan anak
bedil lagi, berkah ajimat yang diperolehnya dari gurunya. Maka
bertempiklah mereka bersorak dan ratib mengucap "La illaha
illallah" lalu maju ke muka. Setelah hampirlah mereka, barulah
Letnan Mas memerintahkan membedilnya.
Tatkala berbunyilah bedil kedua kalinya, rebahlah sebaris
orang yang di muka, jatuh ke tanah. Ada yang menjerit, ada yang
memekik, ada yang meminta tolong dan ada pula yang terus
ratib, tetapi banyak yang tiada bersuara lagi karena terus mati.
Perusuh yang berdiri di belakang, bingunglah sejurus, tiada tahu
apa yang dibuatnya. Ketika berbunyi pula bedil ketiga kalinya,
pecahlah perang perusuh itu, karena banyak yang mati. Mana
yang tinggal larilah cerai-berai kian kemari, membawa dirinya
masing-masing.
Akan tetapi seketika itu juga, keluarlah beberapa orang tuatua
dan haji-haji dari dalam sebuah rumah, lalu berteriak
memanggil sekalian orang yang lari itu, serta mencabut kerisnya
dan maju ke muka. Karena melihat keberanian ini, berbaliklah
sekalian yang lari, lalu mengikut guru-gurunya dengan
bertempik sorak pula, menyerang serdadu-serdadu dari dua
pihak. Oleh sebab cepat datang mereka menyerbukan dirinya,
serdadu-serdadu Letnan Mas, tiadalah sempat menembak lagi,
lalu mempergunakan bayonetnya. Dengan segera menjadi
ramailah peperangan itu, masing-masing mencari lawannya. Ada
yang bertikam-tikaman, ada yang bertetak-tetakan pedang, ada
yang tangkis-menangkis, berpukul-pukulan, tangkap-menangkap
dan banting-membantingkan. Yang mati, jatuh, yang luka,
berdarah, yang takut, lari, yang berani mengejar. Ada yang maju,
ada yang mundur, ada yang melompat, berbagai-bagai kelakuan
mereka. Suara pun bermacam-macam kedengaran, gegap
gempita, tiada disangka bunyi lagi, dicampuri pula oleh bedil,
pistol, pedang dan parang. Walaupun bulan terang cahayanya,
tetapi di tempat itu gelap, karena asap bedil. Dan jika pakaian
mereka tiada sangat berlainan, yakni hitarn dan putih, niscaya
tiadalah tentu lawan kawan. Letnan Mas dengan kepala perusuh,
kelihatan sama-sama mengerahkan bala tenteranya, menyuruh
maju sambil membedil dan menetak.
Tiada berapa lamanya berperang itu, banyaklah yang mati
dan yang luka pada kedua belah pihak. Darah mengalir di jalan
raya dan mayat tersiar-siar di sana-sini. Oleh sebab dari
kampung tiada putus-putusnya datang bantuan perusuh, tiadalah
tertahan oleh Letnan Mas serangan musuhnya, sehingga
disuruhnya serdadunya undur perlahan-lahan. Bila tiada datang
bantuan dari Letnan Van Sta, pastilah pecah perang Letnan Mas.
Untunglah pada waktu itu juga kedengaran tempik sorak serdadu
Letnan Van Sta, yang menyerbukan diri ke medan peperangan.
Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, undurlah perusuh
perlahan-lahan dan akhirnya, tatkala bantuan mereka tak datang
lagi, pecahlah perang mereka, lalu lari kian kemari,
bertemperasan, diburu oleh serdadu-serdadu kedua letnan itu.
Tatkala mengejar perusuh, kelihatan oleh Letnan Mas,
seorang daripada kepala mereka, bangun badan, perjalanan dan
suaranya serupa benar dengan bangun badan, perjalanan dan
suara Datuk Maringgih, musuhnya yang sekian lama dicaricarinya.
Maka berdebar-debarlah hati Letnan Mas dan gemetar
tangannya serta berubah mukanya, sebagai suka bercampur
duka. Suka karena ada pengharapan akan dapat membalaskan
sakit hatinya, dan duka karena ingat akan segala kejahatan yang
telah diperbuat jahanam itu. Ketika kepala perusuh ini hendak
melarikan dirinya, diburunyalah orang itu dengan tiada berpikir
panjang lagi. Setelah berhadap-hadapan mereka, nyatalah pada
Letnan Mas, bahwa persangkaannya tadi benar, karena
sesungguhnya Datuk Meringgih, algojo Nurbaya, yang berdiri di
mukanya, lalu berkatalah ia, "Datuk Meringgih! Benarkah
engkau ini?"
"Ya, akulah Datuk Meringgih, saudagar yang kaya di Padang
ini," jawab kepala perusuh itu. "Engkau ini siapa, maka kenal
kepadaku?
Setelah diamat-amatinya Letnan Mas ini, terperanjatlah ia
lalu surut beberapa langkah ke belakang, seraya berteriak,
"Samsulbahri! Engkau tiada mati? Atau setannyakah ini?"
"Seketika itu juga melompatlah ia kembali ke muka, hendak
menetak Letnan Mas. Letnan Mas melompat ke kanan, lalu
berkata, "Tunggu dahulu, Datuk Meringgih! Karena banyak yang
terasa dalam hatiku, yang hendak kukatakan kepadamu, sebelum
aku terpaksa mencabut nyawamu."
Mendengar perkataan ini berdirilah Datuk Meringgih, karena
hendak mengetahui, apakah yang akan dikatakan musuhnya itu.
"Datuk Meringgih! Sesungguhnya akulah Samsulbahri, yang
sepuluh tahun telah lalu, sudah mati, tetapi yang dikeluarkan
kemtali dari dalam kubur, untuk menghukum engkau atas segala
kejahatanmu yang keji itu. Tatkala aku membedil diriku di
Jakarta, karena terlebih suka mati daripada hidup menanggung
sengsara yang asalnya daripada perbuatanmu, tiadalah disampaikan
Tuhan maksudku itu. Rupanya aku terlebih dahulu harus
menuntut bela atas segala kesalahanmu. Itulah sebabnya maka
peluru yang kutujukan ke kepalaku, tiada menembus otakku.
Karena aku terperanjat, mendengar suara sahabatku, Arifin, yang
tatkala itu berteriak, dan tanganku bergoyang, sehingga anak
bedil, sekadar merusakkan tulang kepalaku saja. Ketika aku
sadar akan diriku, kupintalah kepada dokter dan sekalian orang
yang tahu akan halku, supaya kabar aku hidup kembali, tiada
disiarkan ke mana-mana, karena pada pikiranku, lebih baik aku
disangka orang telah mati daripada hidup sedemikian. Beberapa
kali aku mencari kematian, tetapi tiada juga dapat, karena Tuhan
masih memanjangkan umurku, supaya dapat menghukum
engkau atas segala dosamu.
Sepuluh tahun lamanya aku menanggung sengsara dan
dukacita yang tiada terderita, sepuluh tahun pula aku menaruh
dendam dalam hatiku kepadamu. Sekarang barulah disampaikan
Tuhan maksudku itu; sekarang barulah dapat aku menuntutkan
bela sekalian orang yang telah engkau aniaya, hai penjahat yang
sebesar-besarnya! Karena kekayaanmu, menjadilan engkau
sombong dan angkuh serta tekebur kepada Tuhan, yang telah
memberunu kekayaan itu. Pada sangkamu dengan kekayaan itu
tentulah 'kan dapat engkau berbuat sekehendak hatimu. Yang
tinggi kaujatuhkan, yang mulia kauhinakan, yang kaya kau
miskinkan dengan tiada pandang-memandang, tiada tilik-menilik
dan tiada menaruh belas kasihan, asal nafsumu yang jahat dan
hina itu dapat kaupenuhi.
Hai Datuk durhaka! Kekayaanmu itu tiada memberi paedah
kepada teman sejawatmu, sahabat kenalanmu, sesamamu
manusia dan kepada dirimu sendiri sekalipun, melainkan mendatangkan
segala bahaya, sengsara, duka nestapa kepada isi
negeri. Tiada layak engkau dikurniai Tuhan senjata yang sekuat
itu.
Dengan kekayaanmu itu kauceraikan anak daripada bapanya,
adik daripada kakaknya, asyik daripada masyuknya, sahabat
daripada karibnya. Dengan kekayaanmu itu kaujatuhkan Baginda
Sulaiman, sampal berpulang ke rahmatullah, karena dukacita;
dengan kekayaanmu itu kaupaksa anaknya menurut kesukaanmu
yang keji, kekasih dan saudaranya kauaniaya ini sampai hampir
mati di dalam laut. Kemudian kaudakwa ia mencuri barangbarangmu
yang kauperoleh dengan tipu daya, darah keringat
orang lain. Tatkala engkau tiada berdaya lagi akan memaksa
Nurbaya, yang tiada bersalah itu, kaubunuhlah ia dengan racun.
Dengan kekayaanmu itu kauceraikan aku daripada ibu-bapa
dan kaum keluargaku dan kauputuskan, pengharapanku akan
menjadi orang baik-baik, sehingga ibuku meninggal dunia
karena kesedihan hati. Sungguhpun demikian, sekalian itu belum
lagi seperseratus dari segala dosamu yang harus kautanggunl.
Hai Datuk Meringgih! Tiadakah terasa olehmu kesalahnmu
itu? Tiadakah takut engkau kepada Tuhan, yang memberikan
segala kekuasaan itu kepadamu? Tiadakah malu engkau kepada
sesamamu manusia, yang engkau perdayakan? Dan tiadalah
belas kasihan engkau kepada sekalian mereka, yang telah
menjadi kurbanmu?"
Samsulbahri berhenti sejurus berkata-kata itu, karena penuh
rasa dadanya dan sesak rasa napasnya, menahan hatinya yang tak
dapat direncanakan di sini.
Datuk Meringgih tiada menjawab sepatah kata pun, sebab
baru dirasanya waktu itu, kebenaran perkataan Samsulbahri ini.
Di situlah baru nyata padanya, bahwa sebenarnya sampai kepada
waktu itu, belumlah lagi ia berbuat kebaikan dengan hartanya
yang sekian banyaknya itu. Bila ia mati dalam peperangan ini,
tentulah segala hartanya itu akan terbagi-bagi kepada yang
tinggal dan apakah akan dibawanya ke dalam kubur? Tak lain
nama yang jahat, sumpah, umpat dan maki segala mereka yang
telah dianiaya. Dan tentulah sekalian itu akan memberatinya
dalam kuburnya. Bila ada ia berbuat kebaikan, barangkali adalah
juga yang akan mendoakan arwahnya.
Di sana, tatkala ia telah hempir ke pintu kubur, baru
diinsyafinya, bahwa harta dunia itu sangat sedikit harganya,
untuk kehidupannya di negeri yang baka. Maka timbullah sesal
dalarn hatinya atas perbuatannya yang telah lalu. Akan tetapi apa
hendak dikata, karena tatkala itu dirasainya, ia tak dapat lagi
memperbaiki kesalahannya itu.
Setelah sejurus berdiam diri, berkatalah pula Samsulbahri
dengan menyapu air matanya, yang tak dapat ditahannya, "Hai
Datuk Meringgih! Sekaranglah akan kuperlihatkan kepadamu,
bahwa ada lagi yang terlebih berkuasa daripada hartamu itu.
Walaupun seratus kali lebih banyak hartamu dari yang ada
sekarang ini, tiadalah akan dapat ia mengubah pikiranku, hendak
membalas kejahatanmu itu dan tiadalah dapat ia menolong
melepaskan engkau dari dalam tanganku. Terimalah olehmu
hukumanmu!" lalu Samsu mengangkat pestolnya, menembak
Datuk Meringgih. Tetapi tatkala itu juga Datuk Meringgih
melompat ke muka, menetak Samsulbahri dengan parangnya,
sambil berteriak, "Rasailah pula olehmu bekas tanganku, hai
anjing Belanda!"
Setelah itu juga rebahlah keduanya ke tanah; Datuk
Meringgih karena kena peluru Samsulbahri, yang menembus
dada dan jantungnya dan Samsulbahri, karena kena parang
Datuk Meringgih kepalanya.
Tatkala diangkat Letnan Mas oleh serdadwrya, kelihatan di
antara mayat-mayat perusuh itu, dua mayat yang memakai serba
hitam yang seorang lehernya hampir putus, rupanya kena
kelewang, yang seorang lagi dadanya tembus kena bayonet.
Itulah mayat Pendekar Lima dan Pendekar Empat, yang beroleh
hukuman daripada Yang Maha Kuasa, atas segala kejahatannya.
Dua hari kemudian daripada peperangan yang tersebut di atas
ini, kelihatanlah dalam rumah sakit di Padang, seorang opsir,
sedang tidur di atas sebuah ranjang, berselimutkan kain selimut
putih. Rupanya ia sakit keras, karena hampir seluruh kepalanya
terbungkus perban putih, sehingga hanya mukanya saja yang
tampak, yang pucat warnanya. Dekat tempat tidur ini, berdirilah
seorang penjaga, yang sedang mengatur gelas-gelas obat,
perlahan-lahan; rupanya ia takut, kalau-kalau si sakit ini terkejut
bangun. Ketika itu masuklah seorang dokter Belanda, hendak
memeriksa keadaan si sakit ini.
Bersambung ke..... Episode : Peperangan Samsul Bahri dengan Datuk Maringgih (bag.2)

No comments:

Post a Comment