Ketujuh, dikatakan ada pegawai
yang membuat rumah, jalan
dan lain-lain. Rumah siapakah
yang dibuatnya? Rumah kami,
kami sendiri yang membuat. Jalan
pun kami pula yang
mengerjakan. Apa paedahnya
pegawai-pegawai yang diadakan
itu untuk kami? Pegawai
perusahaan tanah, belum kami ketahui
di sini dan orang itu tak ada
perlunya bagi kami. Apakah yang
akan diajarkannya kepada kami?
Bertanam padi? Telah diketahui
nenek moyang kami beratus tahun
yarig telah lalu. Perkara
hewan? Kerbau kami kembang biak
juga, walaupun tiada
dipelihara benar-benar. Dari
dokter itu adakah ia sampai
mengobat ke kampung-kampung kami?
Hanya di kota itulah ia
tinggal, di tempat orang yang
kaya-kaya. Kami anak kampung,
miskin, tak cakap membayar
upahnya.
Balatentara, gunanya yang baru
kelihatan oleh kami, lain
tidak akan memaksa kami menurut
perintah Kompeni. Musuh
dari darat dan dari laut,
siapakah itu? Jika bangsa kami, cukuplah
kami saja yang akan melawannya
dan kalau bangsa asing,
apakah gunanya kami lawan? Orang
Belanda bukankah bangsa
asing?
Perkara sekolah pun demikian
pula, adanya hanya di kota
saja, untuk orang kota. Jika anak
kami hendak bersekolah,
haruslah ia berjalan berpal-pal
jauhnya; sebab di kampung hanya
langgar yang ada."
Begitulah jawab kebanyakan
Penghulu, Kepala-Kepala
Negeri dan Kepala Kampung atas
perintah belasting itu.
Sekarang marilah kita dengar pula
pikiran anak negeri
sendiri.
Di kampung Kota Tengah, dekat
kota Padang, berkumpullah
pada suatu malam, sekalian isi
kampung ini, dalam mesjid.
Sesudah sembahyang isya,
kelihatanlah beratus-ratus orang di
sana, orang kampung itu dan orang
kampung-kampung lain,
yang rupanya telah diberi tahu,
bahwa pada malam itu akan
diadakan rapat besar, untuk
membicarakan perkara belasting.
Orang yang seakan-akan menjadi
kepala permusyawaratan ini,
ialah haji-haji, orang alim, guru
agama dan orang tua-tua. Di
antara orang tua-tua itu
kelihatanlah Datuk Meringgih, saudagar
yang amat kaya di Padang.
Setelah hadir sekalian, mulailah
Datuk Meringgih membuka
bicara.
"Sebabnya maka kami minta
datang ninik mamak, adik
kakak, sanak saudara sekalian,
malam ini berkumpul di sini,
ialah karena hendak membicarakan
aturan baru yang akan
dipikulkan Kompeni kepada kita,
yaitu pembayaran uang
belasting. Rupanya orang Belanda,
belum puas mengisap darah
kita, memeras tenaga kita
mengeluarkan keringat kita. Cobalah
pikir, uang rodi, uang jaga, dan
beberapa uang yang lain-lain,
sudah kita bayar, katanya untuk
kita; padahal untuk dirinya
sendiri, untuk mengenyangkan
perutnya, melepaskan dahaganya
dan mengayakan bangsanya. Bagi
kita anak negeri, paedah
apakah yang kita terima dari
uang-uang yang telah kita bayar
itu? Adakah di antara saudara
yang hadir ini, yang telah
merasainya? Hamba yang telah
setua ini, tinggal di dalam kota,
siang malam bercampur gaul dengan
Belanda, Cina, Keling,
Arab dan bangsa yang lain-lain,
sampai sekarang, belum tahu
akan paedahnya itu. Ke mana perginya
dan apa gunanya uang
itu, hanya Kompenilah yang tahu.
Sebab dilihatnya kita suka saja
membayar uang-uang itu, sekarang
dimintanya pula uang
belasting. Kalau belasting ini
kita bayar juga esok, ada lagi uang
yang dimintanya dari kita.
Barangkali rumah tangga, pakaian dan
perkakas, anak-istri kita
dibiayainya pula.
Bukankah pepatah kita telah
menunjukkan betapa tamak dan
lobanya bangsa Belanda? Bukankah
telalt dikatakan seperti
Belanda minta tanah, diberi
sejengkal, mau sedepa. Peraturan
yang serupa ini, dalam jajahan
bangsa lain seperti bangsa
Inggris, tak ada. Hamba sendiri
sudah pergi ke Singapura, Pulau
Pinang, Perak dan Johor, tak ada
hamba lihat orang yang membayar
belasting di sana. Hanya di sini
saja yang ada. Jadi aturan
ini dibuat-buat saja olelt orang
Belanda, untuk memeras kita,
supaya kering sekering-keringnya.
Memang kemauan orang Belanda,
kita anak negeri, miskin
dan bodoh hendaknya, supaya mudah
dipermain-mainkannya
dan bila kita tiada berdaya lagi
kelak, tentulah akan dijualnya
seperti budak."
Mengapakah Datuk Meringgih ada di
situ, mengasut anak
negeri, kepada Pemerintah?
Mengapakah ia tiada pada perniagaannya?
Karena ia mengerti, kalau jadi
dijalankan belasting itu,
tentulah ia yang banyak harus
membayar. Lagi pula rupanya
Pemerintah di Padang, sedang
mengintip perjalanannya, karena
orang makin lama makin kurang
percaya akan kelurusan hatinya.
Hal ini diketahui oleh Datuk
Meringgih, itulah sebabnya maka
sangat panas hatinya kepada
Pemerintah Belanda. Ketika itu,
sebab ada jalan, hendakk dibalaskannya
sakit hatinya ini. Oleh
sebab itulah dicarinya akal,
supaya maksud Pemerintah ini tiada
sampai. Disuruhnya orang-orangnya
ke sana kemari, mengasut
anak negeri, supaya melawan;
jangan mau membayar belasting.
Setelah selesai Datuk Meringgih
beikata-kata, berdirilah pula
seorang haji, katanya, "Pada
pikiran hamba benarlah kata Engku
Datuk itu, karena hamba telah
pergi ke Mekah, Madinah, Jedah,
tetapi di sana pun tak ada hamba
dapat aturan sebagai ini.
Memang susah, kalau di bawah
perintah kapir; selamanya kita
hendak dianiaya saja. Akhirnya
niscaya agama kita akan ditukarnya
dengan agama Nasrani, sehingga
menjadi kapirlah kita,
masuk api neraka seperti mereka.
Tentu tak senang hati mereka,
melihat kita masuk surga; jadi
dicarinya kawan mati."
Mendengar perkataan haji ini,
geramlah hati sekalian yang
hadir dan kedengaranlah comel di
sana-sini, mengatakan,
"Sesungguhnya tak
patut!"
Ada pula yang berkata,
"Memang Belanda tak boleh dipercayai,
bicaranya putar balik, sebagai
lidah Keling."
Setengahnya berkata pula,
"Memang Belanda musuh kita,
dunia akhirat, dalam perkara
agama dan perkara yang lain-lain
pun."
Datuk Meringgih berseri mukanya
melihat kegembiraan hati
sekalian orang itu dan sangatlah
benci hatinya, tatkala ada
seorang di antara mereka yang berani
menyahut, "Sepanjang
pendengaran hamba, uang itu akan
dipergunakan, untuk
keperluan kita juga."
"Keperluan apa?" tanya
Datuk Meringgih dengan segera.
"Pembuat jalan jalan,
rumah-rumah dan sekolah, kantorkantor
misalnya," jawab yang
berkata itu.
"Untuk siapa jalan yang
baik, untuk kita atau untuk dia? Kita
tak perlu akan jalan yang baik,
tetapi tak mau jalan yang buruk;
sebab itu disuruhnya kita membuat
jalan untuk dia. Sekarang
jalan apa pula lagi yang akan
dibuat dengan uang belasting itu?
Tentang rumah sekolah itu untuk
siapa pula? Anak siapakah
yang banyak bersekolah, anak kita
atau anaknya? Ada
beberapakah di antara Engku-Engku
yang ada di sini, yang sudah
bersekolah Pemerintah? Tahukah
Engku-Engku akan maksud
sekolah itu? Supaya anak-anak
kita suka kepadanya dan benci
kepada bangsanya sendiri.
Di mana ada sekolah di kampung
ini? Hamba tidak bersekolah
tetapi jadi kaya juga. Jadi, apa
perlunya sekolah itu
kepada kita? Yang perlu bagi
kita, yaitu langgar dan mesjid.
Adakah diperbuatnya itu? Tidak,
bukan? Tetapi gerejanya
dibesarkannya, diperbuatnya
bagus-bagus dengan uang kita. Dan
tentang kantor itu, tak perlu
hamba katakan gunanya; setiap hari
Engku-Engku dapat melihat
sendiri. Bukankah di sana kita
dihukumnya, terkadang-kadang
dengan tiada bersalah? Bila tak
mau menurut kehendaknya,
dimasukkannya ke gedung yang
sebuah lagi, yaitu penjara.
"Apa lagi?" tanya Datuk
Maringgih kepada orang yang menjawab
tadi. "Coba katakan, supaya
hamba terangkan yang
sebenar-benarnya. Jangan suka
mendengar kata orang saja dan
menurut kata itu dengan tiada
dipikirkan dalam-dalam; menjadi
kita burung tiung."
Orang yang berkata tadi, tiadalah
dapat menjawab lagi lalu
berdiam diri.
Setelah berdiam sejuruh,
kedengaianlah pula suara Datuk
Meringgih, "Sekarang hendak
hamba tanyakan kepada sekalian
saudara-saudara yang hadir ini,
haruslah diturut saja perintah ini
dan dibiarkan hidung kita diberi
bertali, sebagai kerbau, supaya
dapat ditariknya ke mana sukanya?
Kita ini bukan binatang,
melainkan manusia juga, sebagai
dia; bermata, berkepala,
berkaki dan bertangan. Mengapakah
kita mau diperbodoh orang
datang? Adakah patut, limau
dialahkan bendalu?"
"Sesungguhnya tak baik
dibiarkan," jawab seorang guru tua,
"jadi bertambah-tambah lalim
dia. Akhirnya diusirnya kita dari
negeri kita ini. Ke mana hendak
pergi?"
"Jadi, jika tiada hendak
dibiarkan, bagaimana?" tanya
seorang.
"Lawan saja," jawab
beberapa anak muda. '
"Melawan itu mudah asal hati
sungguh berani dan perkakas
cukup, diadulah untuk
kelak," jawab yang bertanya tadi." Tetapi
tak adakah jalan lain-lain yang
lebih baik, daripada melawan,
karena pekerjaan berperang itu
tak baik dipermudah? Bukan
sedikit kesengsaraan dan
kemalangan yang dibawanya. Kita ini
bukan sebatang kara, melainkan
beranak beristri, berkaum
keluarga, berkampung, berhalaman.
Yang berperang tidak
dipikirkan: esa hidup, kedua
mati, namanya anak laki-laki.
Tetapi yang tinggal itulah, yang
menjadi pikiran. Betapa hal
mereka kelak, bila kita
kalah?"
Perkataan itu rupanya
mendatangkan pikiran kepada yang
mendengarnya dan hal itu lekas
dimaklumi oleh Datuk
Maringgih. Karena itu segeralah
ia menjawab; katanya,
"Barangkali Engku takut
berhadapan dengan Belanda. Jika dua
hati, tak perlu mengikut; karena
tentulah akan mendatangkan
beban kepada kami. Kami bukannya
perempuan; tak takut mati.
Yang tinggal itu kami serahkan
kepada Tuhan. Dia terlebih
sempurna memelihara daripada
kami."
"Bukan hamba takut,"
jawab orang itu pula. "Jika perlu,
hamba pun rela menyerahkan nyawa
hamba. Tetapi yang hendak
hamba katakan, yaitu tak adakah jalan
lain, yang lebih baik
daripada melawan, untuk
memperoleh maksud kita? Kalau ada,
mengapakah takkan diturut?"
"Bagaimanakah jalan
itu?" tanya orang banyak, yang rupanya
kurang suka berperang.
"Tak baiklah, bila kita
pergi bersama-sama kepada
Pemerintah Tinggi di sini, minta
diurungkan saja aturan itu?"
kata orang tadi pula.
"Ha, ha, ha!" tertawa
Datuk Meringgih." Engku belum tahu
rupanya adat Belanda, sebab belum
bercampur gaul dengan
mereka. Tetapi hamba ini, bukan
sehari dua hari kenal pada
Belanda! Berpuluh tahun telah
bercampur dengan mereka; sebab
itu tahu benar hamba akan
adatnya. Belanda itu tiada nienaruh
kasihan tiada pandang-memandang,
tiada tahu membalas guna,
hendak berkeras saja; apa-apa
maksudnya harus terjadi.
Bukankah ia katanya bangsa yang
memerintah, yaitu bangsa
yang tinggi? Kita ini
dipandangnya sebagai budak, sebagai
binatang, tak boleh membuka
bicara, melainkan harus buta tuli,
menurut kemauannya. Hamba berani
bertaruh, seribu lawan,
serupiah, kalau dikabulkannya
permjntaan kita itu. Lagi pula
perintah datangnya dari Jakarta,
bukannya dari Pemerintah
Tinggi di sini. Walaupun
Pemerintah Tinggi di sini memperkenankan
permintaan kita, kalau Pemerintah
Tinggi di Jakarta
tak suka, masakan boleh jadi.
Tambahan lagi siapa tahu,
barangkali perintah itu dari
negeri Belanda datangnya. Siapa
yang hendak pergi ke sana,
bertemu dengan raja Belanda? Pada
pikiran hamba, jika kita tiada
hendak menurut perintah ini,
baiklah ditunjukkan dengan
melawan. Itulah jalan yang
sependek-pendeknya. Bila akan dikabulkannya,
tentu lekas
diturutnya kemauan kita.
Berperang sedikit dikabulkannya, tentu
lekas diturutnya kemauan kita.
Berperang sedikit apa salahnya,
permainan anak laki-laki. Untuk
beroleh keuntungan, bukankah
harus rugi lebih dahulu?"
Muka mereka yang telah mulai
sabar sedikit, menjadilah
gembira pula,mendengar kata Datuk
Meringgih ini.
"Yang hamba pikirkan, ialah
akhir kelaknya. Jika melawan,
adakah akan dapat kemenangan?
Karena Belanda banyak
serdadunya dan cukup senjatanya.
Kalau tiada terlawan, menjadi
sia-sialah pekerjaan kita dan
akhirnya rusak binasa, tiada
bertentu; sedang belasting harus
juga dibayar."
"Perkara kalah memang itu
tiada dapat ditentukan lebih
dahulu, karena sekaliannya itu
takdir Allah. Jika ditolongnya kita
walau berjuta banyaknya serdadu
musuh dan berkapal perkakas
dan senjatanya, tentulah kita
akan beroleh kemenangan juga. Jika
tak menang pun, tak mengapa,
karena telah kita perlihatkan
kepadanya, bahwa kita bukan
perempuan, melainkan laki-laki,
yang tak boleh diperbuat
sembarang saja. Apabila ia kemudian
hari hendak membuat peraturan
baru pula, tentulah akan
dipikirnya baik-baik, sebelum
dijalankannya. Inilah suatti
daripada keuntungan kita. Akan
tetapi, kalau kita berdiam diri
saja dan menurut segala
kemauannya, niscaya dikatakannya kita
takut dan sebab lemah tentulah
akan dititinya benar-benar,
sehingga tiadalah terlepas lagi
kita daripada aniayanya, makin
lama, makin bertambah.berat.
Lihatlah orang Aceh! Apa senjatanya?
Tetapi dapat mereka melawan,
sehingga sampai sekarang,
belum juga takluk lagi. Pendeknya
asal hati jantan, tentu boleh
menjadi." jawab Datuk
Meringgih.
"Benar perkataan Engku Datuk
itu," teriak beberapa anak
muda, yang masuk perkumpulan
Datuk Meringgih. "Itulah perkataan
laki-laki sejati. Pendeknya
sekarang begini saja, barang
siapa yang tak hendak ikut
melawan, boleh tinggal di rumah.
Jika hendak menyebelah kepada
kapir itu pun, tak dilarang; asal
jangan ada di sini lagi, sebab
tentulah takkan kami beri ampun."
Karena perkataan ini, tak adalah
lagi yang berani membantah
kamauan Datuk Meringgih ini,
sehingga sekaliannya terdiam
sejurus, sampai berkata pula
seorang haji tua, "Berperang dengan
Belanda itu ada akalnya. Jika tak
ada perkakas lawan dengan
yang lain."
"Akal apa itu? Cobalah nenek
haji katakan!" teriak beberapa
orang yang kurang berani.
"Akal orang Aceh; bedil dan
meriam itu dilawannya dengan
isim; sehingga bedil tak berbunyi
atau tak mengenai dan pedang
tak makan."
"Tahukan Nenek ilmu
itu?"
"Jika tak tahu, apa gunanya
aku berkata-kata di sini? Bukan
cuma-cuma saja rambutku telah
putih. Aku sendiri sudah pergi
ke tanah Aceh, menuntut ilmu
itu."
"Kalau begitu tak perlu
takut. Tetapkanlah hati, untuk
melawan dan suruhlah dia datang
beribu-ribu kemari," kata yang
berani kepada yang tak berdaya.
Demikianlah pikiran kebanyakan
anak negeri, tentang
belasting itu.
Oleh sebab pada sangkanya,
Pemerintah berbuat tak semenamena
kepada mereka, ditetapkannyalah,
tiada hendak membayar
belasting dan jika dipaksa juga,
tentu melawan.
Sesungguhnya, tatkala seorang
menteri di Padang Hulu
datang hendak menangkap beberapa
orang, yapg disangka
menjadi kepala dalam perusuhan
itu, melawanlah anak negeri
dan dibunuhnyalah menteri ini.
Beberapa Datuk yang keras
kepala, dipenjarakan dalam
penjara Bukit Tinggi. Pada keesokan
harinya. datanglah beratus-ratus
anak negeri, meminta lepaskan
mereka itu. Seorang Tuanku Laras
yang dengan keras hendak
menjalankan belasting itu
dibunuh; dikatakan menolong bangsa
Belanda. Demikian pula seorang
Kemendur, diserang anak
negeri dalam rumahnya. Tatkala ia
telah dibunuh, mayatnya
dilembarkan ke dalam api rumahnya
yang dibakar. Seorang
Asisten Residen diserang, ketika
bekerja dalam kantornya.
Banyak gudang Pemerintah yang
berisi kopi, dirampas dan
dibakar begitu juga rumah-rumah
dan kantor-kantor Pemerintah.
Dengan demikian, gemparlah
seluruh Padang Hulu dan
Padang Hilir. Di mana-mana
kedengaran rusuh dan orang
melawan, sebagai mereka telah
mupakat lebih dahulu sama-sama
hendak berontak.
Serdadu yang ada, tak dapat,
disuruh memadamkan huru-hara
itu. sebab tak cukup, lalu
disuruh menjaga kota saja. Sekalian
pegawai Pemerintah disuruh
berkumpul dalam kota. Di dalam
kota, yang selalu dikelilingi
serdadu, dicarilah akal sebolehbolehnya
akan melindungkan diri, bila
musuh datang
menyerang. Dan lagi dilarang
orang berkumpul-kumpul di sana,
supaya jangan dapat bermupakat.
Pada malam hari tak boleh
berjalan di tempat-tempat yang
gelap, dengan tiada membawa api
(suluh). Memakai pakaian
serba putih pun dilarang, supaya
jangan disangkakan musuh.
Pada malam hari, serdadu-serdadu
ronda di dalam kota menjaga
keamanan. Sementara itu
dimintalah serdadu-serdadu datang dari
negeri lain lalu dikirimkan
mereka ke tempat-tempat yang yang
berbahaya dan disuruh pula ronda
ke luar kota atau ke kampungkampung.
harta benda Pemerintah. Jalan
kereta api dari pelabuhan Teluk
Bayur sampai ke Padang Hulu pun,
dijaga oleh serdadu, supaya
jangan dirusak perusuh.
Akan tetapi anak negeri selalu
pula berkumpul-kumpul di
luar kota di tempat yang sunyi, bermupakat
akan melawan atau
menyerang. Masing-masing bersiap,
menyediakan senjata, untuk
berperang. Perempuan-perempaan
dan anak-anak dikirim ke
gunung-gunung. Harta benda mereka
dikuburkan di dalam tanah
atau disembunyikan di tempat yang
sunyi. Utusan dikirim ke
segenap tempat, supaya dapat
santa-sama menyerang. Ada yang
dikirim ke Aceh hendak mengajak
orang Aceh bersama-sama
melawan dan ada pula yang diutus
ke negeri Turki, akan
mengadukan kelaliman Pemerintah
Belanda.
...Bersambung ke ....Episode : Peperangan antara Samsul Bahri dengan Datuk Maringgih
No comments:
Post a Comment