Wednesday, January 28, 2015

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode : Rusuh Belasting di Kota Padang (bag.2)

Ketujuh, dikatakan ada pegawai yang membuat rumah, jalan
dan lain-lain. Rumah siapakah yang dibuatnya? Rumah kami,
kami sendiri yang membuat. Jalan pun kami pula yang
mengerjakan. Apa paedahnya pegawai-pegawai yang diadakan
itu untuk kami? Pegawai perusahaan tanah, belum kami ketahui
di sini dan orang itu tak ada perlunya bagi kami. Apakah yang
akan diajarkannya kepada kami? Bertanam padi? Telah diketahui
nenek moyang kami beratus tahun yarig telah lalu. Perkara
hewan? Kerbau kami kembang biak juga, walaupun tiada
dipelihara benar-benar. Dari dokter itu adakah ia sampai
mengobat ke kampung-kampung kami? Hanya di kota itulah ia
tinggal, di tempat orang yang kaya-kaya. Kami anak kampung,
miskin, tak cakap membayar upahnya.
Balatentara, gunanya yang baru kelihatan oleh kami, lain
tidak akan memaksa kami menurut perintah Kompeni. Musuh
dari darat dan dari laut, siapakah itu? Jika bangsa kami, cukuplah
kami saja yang akan melawannya dan kalau bangsa asing,
apakah gunanya kami lawan? Orang Belanda bukankah bangsa
asing?
Perkara sekolah pun demikian pula, adanya hanya di kota
saja, untuk orang kota. Jika anak kami hendak bersekolah,
haruslah ia berjalan berpal-pal jauhnya; sebab di kampung hanya
langgar yang ada."
Begitulah jawab kebanyakan Penghulu, Kepala-Kepala
Negeri dan Kepala Kampung atas perintah belasting itu.
Sekarang marilah kita dengar pula pikiran anak negeri
sendiri.
Di kampung Kota Tengah, dekat kota Padang, berkumpullah
pada suatu malam, sekalian isi kampung ini, dalam mesjid.
Sesudah sembahyang isya, kelihatanlah beratus-ratus orang di
sana, orang kampung itu dan orang kampung-kampung lain,
yang rupanya telah diberi tahu, bahwa pada malam itu akan
diadakan rapat besar, untuk membicarakan perkara belasting.
Orang yang seakan-akan menjadi kepala permusyawaratan ini,
ialah haji-haji, orang alim, guru agama dan orang tua-tua. Di
antara orang tua-tua itu kelihatanlah Datuk Meringgih, saudagar
yang amat kaya di Padang.
Setelah hadir sekalian, mulailah Datuk Meringgih membuka
bicara.
"Sebabnya maka kami minta datang ninik mamak, adik
kakak, sanak saudara sekalian, malam ini berkumpul di sini,
ialah karena hendak membicarakan aturan baru yang akan
dipikulkan Kompeni kepada kita, yaitu pembayaran uang
belasting. Rupanya orang Belanda, belum puas mengisap darah
kita, memeras tenaga kita mengeluarkan keringat kita. Cobalah
pikir, uang rodi, uang jaga, dan beberapa uang yang lain-lain,
sudah kita bayar, katanya untuk kita; padahal untuk dirinya
sendiri, untuk mengenyangkan perutnya, melepaskan dahaganya
dan mengayakan bangsanya. Bagi kita anak negeri, paedah
apakah yang kita terima dari uang-uang yang telah kita bayar
itu? Adakah di antara saudara yang hadir ini, yang telah
merasainya? Hamba yang telah setua ini, tinggal di dalam kota,
siang malam bercampur gaul dengan Belanda, Cina, Keling,
Arab dan bangsa yang lain-lain, sampai sekarang, belum tahu
akan paedahnya itu. Ke mana perginya dan apa gunanya uang
itu, hanya Kompenilah yang tahu. Sebab dilihatnya kita suka saja
membayar uang-uang itu, sekarang dimintanya pula uang
belasting. Kalau belasting ini kita bayar juga esok, ada lagi uang
yang dimintanya dari kita. Barangkali rumah tangga, pakaian dan
perkakas, anak-istri kita dibiayainya pula.
Bukankah pepatah kita telah menunjukkan betapa tamak dan
lobanya bangsa Belanda? Bukankah telalt dikatakan seperti
Belanda minta tanah, diberi sejengkal, mau sedepa. Peraturan
yang serupa ini, dalam jajahan bangsa lain seperti bangsa
Inggris, tak ada. Hamba sendiri sudah pergi ke Singapura, Pulau
Pinang, Perak dan Johor, tak ada hamba lihat orang yang membayar
belasting di sana. Hanya di sini saja yang ada. Jadi aturan
ini dibuat-buat saja olelt orang Belanda, untuk memeras kita,
supaya kering sekering-keringnya.
Memang kemauan orang Belanda, kita anak negeri, miskin
dan bodoh hendaknya, supaya mudah dipermain-mainkannya
dan bila kita tiada berdaya lagi kelak, tentulah akan dijualnya
seperti budak."
Mengapakah Datuk Meringgih ada di situ, mengasut anak
negeri, kepada Pemerintah? Mengapakah ia tiada pada perniagaannya?
Karena ia mengerti, kalau jadi dijalankan belasting itu,
tentulah ia yang banyak harus membayar. Lagi pula rupanya
Pemerintah di Padang, sedang mengintip perjalanannya, karena
orang makin lama makin kurang percaya akan kelurusan hatinya.
Hal ini diketahui oleh Datuk Meringgih, itulah sebabnya maka
sangat panas hatinya kepada Pemerintah Belanda. Ketika itu,
sebab ada jalan, hendakk dibalaskannya sakit hatinya ini. Oleh
sebab itulah dicarinya akal, supaya maksud Pemerintah ini tiada
sampai. Disuruhnya orang-orangnya ke sana kemari, mengasut
anak negeri, supaya melawan; jangan mau membayar belasting.
Setelah selesai Datuk Meringgih beikata-kata, berdirilah pula
seorang haji, katanya, "Pada pikiran hamba benarlah kata Engku
Datuk itu, karena hamba telah pergi ke Mekah, Madinah, Jedah,
tetapi di sana pun tak ada hamba dapat aturan sebagai ini.
Memang susah, kalau di bawah perintah kapir; selamanya kita
hendak dianiaya saja. Akhirnya niscaya agama kita akan ditukarnya
dengan agama Nasrani, sehingga menjadi kapirlah kita,
masuk api neraka seperti mereka. Tentu tak senang hati mereka,
melihat kita masuk surga; jadi dicarinya kawan mati."
Mendengar perkataan haji ini, geramlah hati sekalian yang
hadir dan kedengaranlah comel di sana-sini, mengatakan,
"Sesungguhnya tak patut!"
Ada pula yang berkata, "Memang Belanda tak boleh dipercayai,
bicaranya putar balik, sebagai lidah Keling."
Setengahnya berkata pula, "Memang Belanda musuh kita,
dunia akhirat, dalam perkara agama dan perkara yang lain-lain
pun."
Datuk Meringgih berseri mukanya melihat kegembiraan hati
sekalian orang itu dan sangatlah benci hatinya, tatkala ada
seorang di antara mereka yang berani menyahut, "Sepanjang
pendengaran hamba, uang itu akan dipergunakan, untuk
keperluan kita juga."
"Keperluan apa?" tanya Datuk Meringgih dengan segera.
"Pembuat jalan jalan, rumah-rumah dan sekolah, kantorkantor
misalnya," jawab yang berkata itu.
"Untuk siapa jalan yang baik, untuk kita atau untuk dia? Kita
tak perlu akan jalan yang baik, tetapi tak mau jalan yang buruk;
sebab itu disuruhnya kita membuat jalan untuk dia. Sekarang
jalan apa pula lagi yang akan dibuat dengan uang belasting itu?
Tentang rumah sekolah itu untuk siapa pula? Anak siapakah
yang banyak bersekolah, anak kita atau anaknya? Ada
beberapakah di antara Engku-Engku yang ada di sini, yang sudah
bersekolah Pemerintah? Tahukah Engku-Engku akan maksud
sekolah itu? Supaya anak-anak kita suka kepadanya dan benci
kepada bangsanya sendiri.
Di mana ada sekolah di kampung ini? Hamba tidak bersekolah
tetapi jadi kaya juga. Jadi, apa perlunya sekolah itu
kepada kita? Yang perlu bagi kita, yaitu langgar dan mesjid.
Adakah diperbuatnya itu? Tidak, bukan? Tetapi gerejanya
dibesarkannya, diperbuatnya bagus-bagus dengan uang kita. Dan
tentang kantor itu, tak perlu hamba katakan gunanya; setiap hari
Engku-Engku dapat melihat sendiri. Bukankah di sana kita
dihukumnya, terkadang-kadang dengan tiada bersalah? Bila tak
mau menurut kehendaknya, dimasukkannya ke gedung yang
sebuah lagi, yaitu penjara.
"Apa lagi?" tanya Datuk Maringgih kepada orang yang menjawab
tadi. "Coba katakan, supaya hamba terangkan yang
sebenar-benarnya. Jangan suka mendengar kata orang saja dan
menurut kata itu dengan tiada dipikirkan dalam-dalam; menjadi
kita burung tiung."
Orang yang berkata tadi, tiadalah dapat menjawab lagi lalu
berdiam diri.
Setelah berdiam sejuruh, kedengaianlah pula suara Datuk
Meringgih, "Sekarang hendak hamba tanyakan kepada sekalian
saudara-saudara yang hadir ini, haruslah diturut saja perintah ini
dan dibiarkan hidung kita diberi bertali, sebagai kerbau, supaya
dapat ditariknya ke mana sukanya? Kita ini bukan binatang,
melainkan manusia juga, sebagai dia; bermata, berkepala,
berkaki dan bertangan. Mengapakah kita mau diperbodoh orang
datang? Adakah patut, limau dialahkan bendalu?"
"Sesungguhnya tak baik dibiarkan," jawab seorang guru tua,
"jadi bertambah-tambah lalim dia. Akhirnya diusirnya kita dari
negeri kita ini. Ke mana hendak pergi?"
"Jadi, jika tiada hendak dibiarkan, bagaimana?" tanya
seorang.
"Lawan saja," jawab beberapa anak muda. '
"Melawan itu mudah asal hati sungguh berani dan perkakas
cukup, diadulah untuk kelak," jawab yang bertanya tadi." Tetapi
tak adakah jalan lain-lain yang lebih baik, daripada melawan,
karena pekerjaan berperang itu tak baik dipermudah? Bukan
sedikit kesengsaraan dan kemalangan yang dibawanya. Kita ini
bukan sebatang kara, melainkan beranak beristri, berkaum
keluarga, berkampung, berhalaman. Yang berperang tidak
dipikirkan: esa hidup, kedua mati, namanya anak laki-laki.
Tetapi yang tinggal itulah, yang menjadi pikiran. Betapa hal
mereka kelak, bila kita kalah?"
Perkataan itu rupanya mendatangkan pikiran kepada yang
mendengarnya dan hal itu lekas dimaklumi oleh Datuk
Maringgih. Karena itu segeralah ia menjawab; katanya,
"Barangkali Engku takut berhadapan dengan Belanda. Jika dua
hati, tak perlu mengikut; karena tentulah akan mendatangkan
beban kepada kami. Kami bukannya perempuan; tak takut mati.
Yang tinggal itu kami serahkan kepada Tuhan. Dia terlebih
sempurna memelihara daripada kami."
"Bukan hamba takut," jawab orang itu pula. "Jika perlu,
hamba pun rela menyerahkan nyawa hamba. Tetapi yang hendak
hamba katakan, yaitu tak adakah jalan lain, yang lebih baik
daripada melawan, untuk memperoleh maksud kita? Kalau ada,
mengapakah takkan diturut?"
"Bagaimanakah jalan itu?" tanya orang banyak, yang rupanya
kurang suka berperang.
"Tak baiklah, bila kita pergi bersama-sama kepada
Pemerintah Tinggi di sini, minta diurungkan saja aturan itu?"
kata orang tadi pula.
"Ha, ha, ha!" tertawa Datuk Meringgih." Engku belum tahu
rupanya adat Belanda, sebab belum bercampur gaul dengan
mereka. Tetapi hamba ini, bukan sehari dua hari kenal pada
Belanda! Berpuluh tahun telah bercampur dengan mereka; sebab
itu tahu benar hamba akan adatnya. Belanda itu tiada nienaruh
kasihan tiada pandang-memandang, tiada tahu membalas guna,
hendak berkeras saja; apa-apa maksudnya harus terjadi.
Bukankah ia katanya bangsa yang memerintah, yaitu bangsa
yang tinggi? Kita ini dipandangnya sebagai budak, sebagai
binatang, tak boleh membuka bicara, melainkan harus buta tuli,
menurut kemauannya. Hamba berani bertaruh, seribu lawan,
serupiah, kalau dikabulkannya permjntaan kita itu. Lagi pula
perintah datangnya dari Jakarta, bukannya dari Pemerintah
Tinggi di sini. Walaupun Pemerintah Tinggi di sini memperkenankan
permintaan kita, kalau Pemerintah Tinggi di Jakarta
tak suka, masakan boleh jadi. Tambahan lagi siapa tahu,
barangkali perintah itu dari negeri Belanda datangnya. Siapa
yang hendak pergi ke sana, bertemu dengan raja Belanda? Pada
pikiran hamba, jika kita tiada hendak menurut perintah ini,
baiklah ditunjukkan dengan melawan. Itulah jalan yang
sependek-pendeknya. Bila akan dikabulkannya, tentu lekas
diturutnya kemauan kita. Berperang sedikit dikabulkannya, tentu
lekas diturutnya kemauan kita. Berperang sedikit apa salahnya,
permainan anak laki-laki. Untuk beroleh keuntungan, bukankah
harus rugi lebih dahulu?"
Muka mereka yang telah mulai sabar sedikit, menjadilah
gembira pula,mendengar kata Datuk Meringgih ini.
"Yang hamba pikirkan, ialah akhir kelaknya. Jika melawan,
adakah akan dapat kemenangan? Karena Belanda banyak
serdadunya dan cukup senjatanya. Kalau tiada terlawan, menjadi
sia-sialah pekerjaan kita dan akhirnya rusak binasa, tiada
bertentu; sedang belasting harus juga dibayar."
"Perkara kalah memang itu tiada dapat ditentukan lebih
dahulu, karena sekaliannya itu takdir Allah. Jika ditolongnya kita
walau berjuta banyaknya serdadu musuh dan berkapal perkakas
dan senjatanya, tentulah kita akan beroleh kemenangan juga. Jika
tak menang pun, tak mengapa, karena telah kita perlihatkan
kepadanya, bahwa kita bukan perempuan, melainkan laki-laki,
yang tak boleh diperbuat sembarang saja. Apabila ia kemudian
hari hendak membuat peraturan baru pula, tentulah akan
dipikirnya baik-baik, sebelum dijalankannya. Inilah suatti
daripada keuntungan kita. Akan tetapi, kalau kita berdiam diri
saja dan menurut segala kemauannya, niscaya dikatakannya kita
takut dan sebab lemah tentulah akan dititinya benar-benar,
sehingga tiadalah terlepas lagi kita daripada aniayanya, makin
lama, makin bertambah.berat. Lihatlah orang Aceh! Apa senjatanya?
Tetapi dapat mereka melawan, sehingga sampai sekarang,
belum juga takluk lagi. Pendeknya asal hati jantan, tentu boleh
menjadi." jawab Datuk Meringgih.
"Benar perkataan Engku Datuk itu," teriak beberapa anak
muda, yang masuk perkumpulan Datuk Meringgih. "Itulah perkataan
laki-laki sejati. Pendeknya sekarang begini saja, barang
siapa yang tak hendak ikut melawan, boleh tinggal di rumah.
Jika hendak menyebelah kepada kapir itu pun, tak dilarang; asal
jangan ada di sini lagi, sebab tentulah takkan kami beri ampun."
Karena perkataan ini, tak adalah lagi yang berani membantah
kamauan Datuk Meringgih ini, sehingga sekaliannya terdiam
sejurus, sampai berkata pula seorang haji tua, "Berperang dengan
Belanda itu ada akalnya. Jika tak ada perkakas lawan dengan
yang lain."
"Akal apa itu? Cobalah nenek haji katakan!" teriak beberapa
orang yang kurang berani.
"Akal orang Aceh; bedil dan meriam itu dilawannya dengan
isim; sehingga bedil tak berbunyi atau tak mengenai dan pedang
tak makan."
"Tahukan Nenek ilmu itu?"
"Jika tak tahu, apa gunanya aku berkata-kata di sini? Bukan
cuma-cuma saja rambutku telah putih. Aku sendiri sudah pergi
ke tanah Aceh, menuntut ilmu itu."
"Kalau begitu tak perlu takut. Tetapkanlah hati, untuk
melawan dan suruhlah dia datang beribu-ribu kemari," kata yang
berani kepada yang tak berdaya.
Demikianlah pikiran kebanyakan anak negeri, tentang
belasting itu.
Oleh sebab pada sangkanya, Pemerintah berbuat tak semenamena
kepada mereka, ditetapkannyalah, tiada hendak membayar
belasting dan jika dipaksa juga, tentu melawan.
Sesungguhnya, tatkala seorang menteri di Padang Hulu
datang hendak menangkap beberapa orang, yapg disangka
menjadi kepala dalam perusuhan itu, melawanlah anak negeri
dan dibunuhnyalah menteri ini. Beberapa Datuk yang keras
kepala, dipenjarakan dalam penjara Bukit Tinggi. Pada keesokan
harinya. datanglah beratus-ratus anak negeri, meminta lepaskan
mereka itu. Seorang Tuanku Laras yang dengan keras hendak
menjalankan belasting itu dibunuh; dikatakan menolong bangsa
Belanda. Demikian pula seorang Kemendur, diserang anak
negeri dalam rumahnya. Tatkala ia telah dibunuh, mayatnya
dilembarkan ke dalam api rumahnya yang dibakar. Seorang
Asisten Residen diserang, ketika bekerja dalam kantornya.
Banyak gudang Pemerintah yang berisi kopi, dirampas dan
dibakar begitu juga rumah-rumah dan kantor-kantor Pemerintah.
Dengan demikian, gemparlah seluruh Padang Hulu dan
Padang Hilir. Di mana-mana kedengaran rusuh dan orang
melawan, sebagai mereka telah mupakat lebih dahulu sama-sama
hendak berontak.
Serdadu yang ada, tak dapat, disuruh memadamkan huru-hara
itu. sebab tak cukup, lalu disuruh menjaga kota saja. Sekalian
pegawai Pemerintah disuruh berkumpul dalam kota. Di dalam
kota, yang selalu dikelilingi serdadu, dicarilah akal sebolehbolehnya
akan melindungkan diri, bila musuh datang
menyerang. Dan lagi dilarang orang berkumpul-kumpul di sana,
supaya jangan dapat bermupakat.
Pada malam hari tak boleh berjalan di tempat-tempat yang
gelap, dengan tiada membawa api (suluh). Memakai pakaian
serba putih pun dilarang, supaya jangan disangkakan musuh.
Pada malam hari, serdadu-serdadu ronda di dalam kota menjaga
keamanan. Sementara itu dimintalah serdadu-serdadu datang dari
negeri lain lalu dikirimkan mereka ke tempat-tempat yang yang
berbahaya dan disuruh pula ronda ke luar kota atau ke kampungkampung.
Ada pula yang disuruh menjaga rumah-rumah dan
harta benda Pemerintah. Jalan kereta api dari pelabuhan Teluk
Bayur sampai ke Padang Hulu pun, dijaga oleh serdadu, supaya
jangan dirusak perusuh.
Akan tetapi anak negeri selalu pula berkumpul-kumpul di
luar kota di tempat yang sunyi, bermupakat akan melawan atau
menyerang. Masing-masing bersiap, menyediakan senjata, untuk
berperang. Perempuan-perempaan dan anak-anak dikirim ke
gunung-gunung. Harta benda mereka dikuburkan di dalam tanah
atau disembunyikan di tempat yang sunyi. Utusan dikirim ke
segenap tempat, supaya dapat santa-sama menyerang. Ada yang
dikirim ke Aceh hendak mengajak orang Aceh bersama-sama
melawan dan ada pula yang diutus ke negeri Turki, akan
mengadukan kelaliman Pemerintah Belanda.
...Bersambung ke ....Episode : Peperangan antara Samsul Bahri dengan Datuk Maringgih

No comments:

Post a Comment