Karya : Marah Rusli
"Bum, bum!" bunyi
tabuh. Seketika lagi kedengaranlah orang
bang di langgar dan mesjid,
karena magrib telah ada, waktu
orang akan sembahyang.
Ahmad Maulana dan istrinya,
kelihatan berjalan menuju ke
tikar sembahyang, lalu sujud ke
hadirat Tuhan, dua laki-istri.
Tiada berapa lama kemudian,
selesailah mereka daripada berbuat
bakti kepada Tuhannya, itu:
tetapi Ahmad Maulana tiada lekaslekas
berdiri dari tikar sembahyangnya,
melainkan terus
membaca doa, sampai kepada waktu
isya, lalu sembahyang pula.
Tatkala itu kelihatan Alimah dan
Nurbaya menyediakan
makanan di atas tikar rumput,
yang telah dialas dengan kain
putih, terbentang di tengah
rumah. Tiada berapa lamanya
kemudian daripada itu, duduklah
Ahmad Maulana makan,
dihadapi istrinya; sedang Alimah
dan Nurbaya, duduk jauh
sedikit dari sana, sebagai
menunggu, kalau-kalau Ahmad
Maulana minta apa-apa.
"Sedih hatiku melihat untung
Rapiah tadi. Baru berumur
delapan belas tahun, telah
meninggal dunia. Lebih-lebih sebab ia
meninggalkan dua orang anak yang
masih kecil-kecil. Yang tua,
perempuan, baru berumur tiga
tahun dan yang bungsu, laki-laki
berumur tengah dua tahun,"
kata Ahmad Maulana, sambil
menyenduk sayur-sayuran ke
piringnya.
"Ya, memang kasihan
benar," jawab istrinya. "Siapakah yang
akan memelihara anak-anak
ini?" .
"Itulah yang menambahkan
sedih hatiku," kata Ahmad
Maulana pula, "sebab tak ada
kaumnya yang mampu, yang akan
mengambil dan memelihara
kanak-kanak ini. Yang mati,
sudahlah; tidak dipikirkan lagi;
barangkali ia telah senang,
karena telah terlepas daripada
segala azab dunia; melainkan
dengan doalah harus dibantu,
supaya dilapangkan Allah juga ia
dalam kuburnya. Tetapi anak-anak
yang tinggal ini, bagaimanakah
halnya kelak? Sekecil itu, sudah
tak beribu lagi."
"Ayahnya bukankah masih ada?
Masakan tiada diperdulikannya
anak-anaknya?" jawab
Fatimah, istririya.
"Ayahnya?" tanya Ahmad
Maulana, sambil memandang
istrinya dengan merengut.
"Uh, masakan mau ia menanggung
beban itu! Bukankah telah menjadi
adat di sini, anak pulang
kepada mamak. Orang bangsawan
sebagai Sutan Hamzah pula,
'kan suka menyelenggarakan
anaknya; sedangkan dirinya sendiri
tak terurus olehnya! Berapa
banyak anaknya di kota Padang ini,
yang tiada diindahkannya.
Lebih-lebih sekarang ini, karena ia
rupanya sedang asyik kepada istri
mudanya.
Walaupun ia sudi memelihara
anak-anaknya ini sekalipun
tentulah akan bertambah-tambah
juga sengsara anak ini; sebab
mereka niscaya akan diserahkan
kepada ibu tirinya itu. Engkau
tahu sendiri betapa kelakuan
perempuan kepada anak tirinya.
Dalam seratus, jarang seorang
yang baik. Hampir sekaliaiinya
memandang anak tirinya, sebagai
musuhnya; sebab anak madunya.
Anak-anak yang tiada bersalah dan
tiada tahu apa-apa
dalam perkara orang tuanya,
disiksanya dan dideranya akan
melepaskan sakit hatinya kepada
madunya yang telah tak ada
lagi dan yang acap kali tiada
berdosa, bahkan teraniaya, karena
suaminya dirampas orang."
Rupanya kebenaran perkataan ini
tiada dapat dibatalkan oleh
Fatimah; oleh sebab itu
berdiamlah ia sejurus kemudian bertanya
pula ia dengan memutar haluan
percakapannya, "Tetapi apakah
sakitnya Rapiah itu?"
"Sakitnya yang sebenarnya
tiada kuketahui. Kata setengah
orang demam-demam saja dan kata
setengahnya batuk darah.
Ada pula yang mengatakan sakit
dalam badan. Khabarnya,
semenjak ia berkelahi dengan
suaminya, sebab ia marah, Sutan
Hamzah kawin dengan istrinya yang
baru ini, tiadalah ia bangun
lagi, sampai kepada waktu
mautnya, karena ia kena terjang
suaminya itu.
Entah mana yang benar, tiada
kuketahui. Tetapi kabar ini tak
guna diceritakan pula kepada
siapa pun; kalau kedengaran oleh
polisi, jadi perkara, nanti.
Bukannya kita boleh terbawa-bawa
saja, tetapi kalau sampai Sutan
Hamzah terhukum, bermusuhmusuhanlah
kita dengan Penghulu Sutan
Mahmud. Dan lagi
apakah jadinya dengan anaknya
yang masih kecil-kecil itu
kelak? Ibu mati, bapa
terbuang."
"Masakan hamba gila,
membukakan rahasia ini," jawab
Fatimah.
Tatkala itu kelihatan Nurbaya
berdiri, lalu masuk ke dalam
biliknya, sebagai hendak
mengambil apa-apa, tetapi sesungguhnya
hendak menyembunyikan air
matanya, yang keluar, tak
dapat ditahannya, karena ingat
akan nasibnya sendiri, hampir
sama dengan perempuan yang baru
berpulang dan anaknya yang
ditinggalkannya itu.
Setelah keringlah air matanya,
barulah ia keluar pula dan
kelihatan olehnya mamandanya
sudah selesai makan, lalu
membasuh tangannya.
"Alimah, coba ambil rokokku
dari dalam bajuku!" kata
Ahmad Maulana. Alimah segera
berdiri mengambil rokok itu
dan memberikannya kepada ayahnya.
"Sekarang makanlah kamu
sekalian!" kata Ahmad Maulana
pula, sambil membakar rokoknya.
Alimah dan Nurbaya mendekatlah ke
sana, lalu makan
bersama-sama dengan Fatimah.
"Sebenarnya pikiranku,
sekali-kali tiada setuju dengan adat
beristri banyak; karena terlebih
banyak kejahatannya daripada
kebaikannya," kata Ahmad Maulana,
sambil termenung
mengembuskan asap rokoknya.
"Banyak kecelakaannya yang
sudah kudengar dan banyak
sengsaranya, yang sudah kulihat
dengan mata kepalaku
sendiri."
"Ya, tetapi sudah adat kita
begitu; bagaimana hendak diubah?
Dalam agama kita pun tiada dilarang
laki-laki beristri lebih dari
seorang. Bila kita beranak
laki-laki, alangkah malunya kita,
walaupun kita bukan orang
berbangsa tinggi sekalipun bila anak
kita itu hanya seorang saja
istrinya; sebagai orang yang tak laku
kepada perempuan," jawab Fatimah.
"Jadi aku ini tak laku
kepada perempuan, sebab istriku hanya
engkau scorang? Engkau tiadakah
malu pula Alimah, sebab
ayahmu tak laku kepada perempuan
lain?" tanya Ahmad
Maulana kepada anaknya, seraya
tersenyum.
Aliniah tiada menjawab pertanyaan
ayahnya ini, melainkan
tunduk kemalu-maluan.
"Rupanya Mak Mudamu ini,
suka kepada laki-laki yang
beristri banyak, Nurbaya; sebab
itu baiklah kaupinangkan aku
perempuan barang selusin lagi.
Kalau tiada, ia nanti minta surat
cerai kepadaku, sebab malu,
kepada orang, suaminya tak laku
kepada perempuan," kata
Altmad Maulana pula.
Nurbaya pun tiada berani menjawab
olok-olok itu hanya
tersenyum, karena dilihatnya Mak
Mudanya merengut.
"Suatu lagi yang tak
baik," kata Ahmad Maulana; sedang
senyumnya hilang dari birinya,
"perkawinan itu dipandang
sebagai perniagaan. Di negeri
lain, perempuan yang dijual
kepada laki-laki, artinya si
laki-laki harus memberi uang kepada
si perempuan; akan tetapi di
sini, laki-laki dibeli oleh
perempuan, sebab perempuan;
memberi uang kepada laki-laki.
Oleh sebab adat yang sedemikian,
laki-laki dan perempuan
hanya diperhubungkan oleh . tali
uang saja atau karena keinginan
kepada keturunan yang baik;
sekali-sekali tidak dipertalikan oleh
cinta kasih sayang.
Itulah sebabnya tali silaturahim
antara suarni dan istri mudah
putus, sehingga lekas bercerai
kedua mereka. Bila telah bercerai,
tentulah si laki-laki beristri
pula dan si perempuan bersuami
kernbali. Jadi laki-laki banyak
istrinya dan perempuan banyak
suaminya.
Pada bangsa Barat, biasanya suami
dan istri tiada diperhubungkan
oleh tali uang atau harta,
melainkan terutama oleh
tali percintaan dan kasih sayang.
Karena itulah maka
perhubungan mereka lebih erat
sebab cinta kasih sayang itu, acap
kali tiada mengindahkan harta,
bangsa atau pangkat, Lagi pula,
mereka itu terikat oleh
perjanjian setia yang seorang kepada
yang lain; tak boleh bercerai,
bila tak ada sebab yang penting,
sehingga bertambah kuatlah
perhubungan itu."
"Ah, mengapa pula kita kan
menurut adat kafir itu," jawab
Fatimah, sambil membasuh
tangannya, sebab telah selesai
makan:
Alimah dan Nurbaya mulailah
mengangkat sisa-sisa
makanan, lalu menyuruh cuci
piring dan mangkuk, bekas tempat
makan, kepada bujang.
Sungguhpun Nurbaya bekerja,
tetapi telinganya selalu
dipasangnya, akan mendengar
perkataan Bapa Mudanya, karena
buah pikirannya sesuai benar
dengan pendapatnya.
"Mereka itu kafir, kata
kita; tetapi mereka barangkali berkata,
kitalah yang kafir, sebab tak
menurut agama mereka. Mana yang
benar, wallahualam! Tak dapat
kita putuskan; hanya Allah yang
mengetahui. Sekalian agama datang
dari pada-Nya, untuk
keselamatan manusia. Tentu saja
tiap-tiap bangsa akan memuji
agamanya sendiri, sebagai
tiap-tiap orang memuji dirinya sendiri
pula; tetapi pujian kepada diri
sendiri itu, tak boleh menjadi
sebab, untuk mencela diri orang
lain; apalagi kalau pengetahuan
kita hanya baru sekadar tentang
diri kita sendiri saja. Bagaimana
dapat kita perbandingkan dua buah
benda, kalau kita hanya tahu
satu saja, daripada keduanya?
Tentang agama itu, yang kita ketahui
hanya agama kita
sendiri, itu pun belum sempurna
pula. Agama lain sekali-kali
tiada kita ketahui. Bagaimana
dapat kita katakan buruk baiknya?
Bagaimana dapat kita
perbandingkan, mana yang benar, mana
yang salah, antara kedua agama
itu? Cobalah pikir benar-benar!
Bila aku mempunyai sebuah batu
dan engkau mempunyai pula
sebuah, dapatkah kaukatakan, mana
lebih berat di antara kedua
batu itu, jika tiada kauketahui
berat keduanya? Dan bagaimanakah
dapat kaukatakan, batumu lebih
berat daripada batuku, kalau
kau belum tahu berapa besar dan
berapa berat batuku? Sedangkan
batumu sendiri pun belum
kauketahui benar-benar, berat dan
ringannya."
"Tetapi bukankah dapat
dilihat dengan mata, ditaksir dengan
pikiran, menurut besarnya?"
jawab Fatirnah.
"Penglihatan dan taksiran
tiada selamanya benar. Tirnah yang
kecil, terkadang-kadang lebih
berat daripada kayu yang besar.
Sungguhpun demikian, harus juga
kaulihat dahulu besar kedua
benda itu, supaya dapat kautaksir
beratnya.
Sekarang apakah pengetahuanmu
tentang agama si kafir itu?
Lain tidak, hanya tentang
keburukannya saja; itu pun karena
mendengar cerita orang dan engkau
turutlah menyebutnya
sebagai seekor burung tiung
meniru perkataan yang diajarkan
kepadanya, dengan tiada tahu
sekali-kali apa artinya.
Tidak baik begitu, sesuatu yang
belum kauketahui benarbenar,
janganlah kaucela lekas-lekas.
Dalam agama kita pun
dilarang menuduh seseorang kafir
atau Islam, karena sekalian
itu, hanya Tuhanlah yang tahu.
Apalagi sebab hati manusia itu
tiada tetap, bertukar-tukar juga
sebilang waktu. Sekarang baik,
besok barangkali jahat; tak dapat
ditetapkan, karena manusia itu
bersifat lemah. Janganlah menilik
yang lahir saja, sebab yang
batin itulah yang lebih berharga.
Dan tahukah engkau akan batin
orang?
Walaupun pada lahirnya ia kafir,
siapa tahu, pada batinnya
barangkali ia Islam. Biarpun
sekarang ia kafir, boleh jadi nanti
berpaling hatinya, menjadi Islam.
Dan lagi pada pikiranku,
agama itu tak ada yang jahat,
sekaliannya baik, karena
maksudnya baik belaka dan
tujuannya kepada Tuhan Yang Esa."
Perkataan itu tiada juga dijawab
oleh Fatimah, sebab itu
berkata pulalah Ahmad Maulana,
setelah berdiam diri sejurus,
"Sungguhpun mereka itu
bangsa kafir, kata kita, ada juga adat
dan aturannya yang baik. Aturan,
lain, dan agama pun, lain;
jangan disamakan saja. Adat dan
aturan kita benar banyak yang
baik, tetapi ada juga yang salah.
Apakah salahnya, kalau ditiru
adat bangsa lain yang baik dan
dibuang adat kita yang buruk?
Adat mereka yang jahat itu jangan
kita ambil dan adat kita yang
baik disimpan benar-benar.
Banyak aturan dan adat bangsa
asing yang sudah kita tiru
dengan tiada dipikirkan
dalam-dalam buruk baiknya. Baju jas
dan sepatu, pakaian siapa itu?
Bukankah pakaian orang Barat?
Mengapakah dipakai juga? Orang
haji dan Arab pun banyak pula
yang meniru pakaian Barat itu.
Berkursi, bermeja, berlampu
gantung, bukan adat nenek moyang
kita turut juga. Piring dan
mangkuk, perbuatan siapa? Tetapi
dipakai juga? Adat dan aturan
siapakah yang harus diturut orang
Islam? Adat orang Arab?
Orang Arab makan kurma dan minum
susu unta; mengapa tidak
ditiru pula? Manakah adat dan
aturan kita yang asli?
Ah Fatimah, sekalian itu, hanya
dunia saja; bukan akhirat;
lahir, bukan batin. Pada
pikiranku, walaupun apa juga yang
engkau pakai atau perbuat, asal
hakikatmu suci dan hatimu tiada
bcrubah, tiada jadi apa-apa.
Tetapi walaupun kauturut bcnar tiaptiap
perkataan yang tersebut dalam
kitab, kalau hatimu tiada suci
dan lurus, tak ada gunanya."
"Ya itu betul; tetapi adat
kita, pusaka nenek moyang kita, tak
boleh disia-siakan atau
ditukar-tukar saja. Dan lagi, tak baik kita
membuang-buangnya; buruk dan baik
harus diturut. Itu tandanya
kita beradat. Kalau hendak
menambahnya dengan aturan lain,
baik, tetapi adat kita, dipakai
juga."
"Memang kurang baik membuang
yang lama, karena
nrendapat yang baru. Tetapi ada
di antara adat dan aturan lama
itu, yang sesungguhnya baik pada
zaman dahulu, tetapi kurang
baik atau tak berguna lagi waktu
sekarang ini. Adalah halnya
seperti pakaian tatkala mula-mula
dibeli, boleh dan baik dipakai,
tetapi makin lama ia makin tua
dan lapuk; akhirnya koyakkoyak,
tak dapat dipergunakan lagi.
Kalau sayang membuang
pakaian tua ini, karena mengingat
jasanya, sudahlah, simpanlah
ia, untuk jadi peringatan! Tetapi
pakaian baru, harus juga dibeli,
bukan?
Demikian juga adat itu;
bertukar-tukar, menurut zaman.
Walaupun tiada disengaja
menukarnya, ia akan berganti juga;
sebab tak ada yang tetap. Sekali
air pasang, sekali tepian beralih,
kata pepatah. Dan memanglah
begitu."
"Baiklah, sekarang cobalah
Kanda terangkan apa kejahatan
adat kita di Padang ini, tentang
beristri lebih daripada seorang?"
tanya Fatimah pula.
"Dengarlah," sahut
Ahmad Maulana. "Pertama, makir.
banyak istri makin banyak
belanja; scbab tiap-tiap istri itu harus
dibelanjai dengan secukupnya. Bila
kurang belanja, tentu saja
kurang hati istri-istri itu.
Dengan demikian, mudah timbul
perselisihan; dan bila selalu
berbantah saja, dengan tiap-tiap istri
yang banyak itu, tentulah
kehidupan kurang senang."
"Rupanya Kakanda lupa akan
perkataan Kakanda tadi dan
adat kita yang asli, yaitu
laki-laki tak usah memberi belanja
istrinya atau anaknya, karena
anak istrinya itu tanggungan
mamaknya. Laki-laki dipandang
sebagai orang semenda, orang
menumpang saja; jadi walaupun
istri dan anak banyak, tiada
menyusahkan."
"Bukan aku lupa," jawab
Ahmad Maulana. "Itulah yang lebih
terasa di hatiku. Laki-laki tak
usah memberi belanja dan
memelihara anak istrinya, bahkan
dapat makan dan pakaian pula
dari perempuan. Dan apabila
laki-laki itu berbangsa, tatkala
kawin, dijemput pula oleh
perempuan, dengan uang dan pakaian.
Jadi apa namanya laki-laki itu?
Karena sesungguhnya laki-laki
itulah yang harus memberi nafkah
dan memelihara anak istrinya,
sebab perempuan lebih lemah dari
laki-laki.
Bila dibandingkan laki-laki
dengan perempuan, tentang
bentuk badannya, kekuatannya,
akalnya dan lain-lain, nyatalah
laki-laki bangsa yang melindungi
anak-istri, sanak saudara, harta
benda, kampung halaman, baik
tentang musuh ataupun
keperluan yang lain-lain, untuk
kehidupan. Perempuan tempat
menyimpan dan mempertaruhkan anak
dan harta benda. Tetapi
menurut adatmu tadi, perempuari
menjadi laki-laki dan laki-laki
menjadi perempuan. Tiada sesuai
dengan aturan alam."
"Boleh jadi." jawab
Fatimah, "tetapi bukan perempuan itu
sendiri yang memberi makan
suaminya, melainkan mak-bapa
dan ahli si perempuan itu."
"Baik, aku terima jawabmu
itu, walaupun memang ada negeri
yang sesungguhnya perempuannya
yang mencari penghidupan,
karena ialah yang bekerja,
berniaga dan lain-lain sebagainya,
sedang suami tidur-tidur,
bersuka-suka hati, mengadu ayam,
mengadu burung atau berjudi.
Tetapi apakah namanya laki-laki
yang sedemikian itu? Bukankah
laki-laki ini dapat disamakan
dengan bapa kuda atau bapa sapi,
yang dipelihara baik-baik dan
diberi makan cukup, semata-mata
hanya karena hendak mengharap
keturunannya saja?
Kalau laki-laki itu bangsawan
atau iupawan, sudahlah; sebab
ada yang diharapkan dari padanya
yaitu rupa yang balk atau
bangsanya yang tinggi itu, supaya
turun kepada anaknya, meskipun
bangsa itu makin lama makin
berkurang harganya dan
makin kurang dipandang orang.
'Fetapi, kalau laki¬laki itu tiada
berbangsa tinggi, tiada berupa
baik, kepala bersegi, telinga lebar,
mata juling, hidung penyek, mulut
lebar, gigi keluar, punggung
bungkuk, kaki timpang pula sebelah,
apakah yang diharapkan
dari orang yang sedemikian?
Segala cacatnya itukah, supaya
anak cucunya sama bagusnya dengan
dia?"
"Laki-laki yang serupa itu
masakan laku! Yang dibeli,
tentulah yang bangsawan, rupawan,
pintar, berpangkat atau lainlainnya,"
jawab Fatimah.
"Kalau begitu, tak jadi
apalah. Tiap-tiap yang berharga, tentu
tak dapat dipinta saja, walaupun
barang yang berharga ini,
bagiku tak seberapa artinya.
Tetapi adat yang kita perbincangkan
tadi, yaitu laki-laki dipandang
sebagai orang yang inenumpang
saja, kedapatan juga pada orang
kebanyakan, jadi bukan pada
orang yang istimewa saja.
Lagi pula, daripada sifat-sifat
yang kausebut itu, hanyalah
kebangsawanan dan rupawan saja
yang dapat diturunkan kepada
anak cucu. Tetapi pangkat yang
tinggi atau ilmu yang dalam itu
apa gunanya, kalau tak dapat
menolong anak?"
Maka tiadalah pula dapat Fatimah
memberi jawaban.
"Kedua," kata
Ahmad Maulana, setelah berhenti sejurus,
"makin banyak istri; dan
makin banyak anak, makin banyak pula
belanja..."
"Tunggu dulu," kata
Ahmad Maulana, sebab dilihatnya
istrinya hendak menjawab,
"aku tahu, apa yang hendak kau
katakan, yaitu anak yang banyak
itu tiada menjadi alangan,
bukan? Sebab sekalian anak itu
ada bermamak, yang harus
memeliharanya. Tetapi karena hal
itulah, tak ada pertalian cinta
kasih sayang antara anak dan
bapa, sebagai antara laki dan istri
tadi itu pula. Dengan demikian,
laki-laki itu tiadalah tahu yang
dinamakan: Cinta kasih sayang
kepada anak dan istrinya. Yang
dikenalnya hanya sayang kepada
kemanakannya. Tetapi
kesayangan kepada kemanakan,
tiada dapat disamakan dengan
cinta kepada anak, darah daging
sendiri. Dan anaknya itu takkan
tahu pula cinta kepada bapanya,
hanya kepada ibunya saja,
sedang cinta kepada mamaknya
tiada seberapa. Istrinya hanya
cinta kepada anaknya, sebab darah
dagingnya, tetapi suaminya
orang lain pada perasaannya.
Sebab itu jaranglah mereka
mendapat persatuan suami-istri
dan kesenangan berumah tangga,
yang sangat berharga bagi bangsa
Barat.
Dan lagi, pikirlah! Kesalahan
siapa maka anak itu sampai ada
di dunia? Bukannya ia yang minta
dilahirkan, melainkan makbapanya
yang menjadikannya. Sekarang
sesudah anak itu lahir,
ia diserahkan kepada orang lain,
yang sekali-kali tiada bersalah
dalam hal ini. Walau mamaknya
sekalipun, kesayangannya
tiadalah akan sama dengan
kesayangan ayahnya sendiri...
Bagaimana rasanya itu? Cobalah
kaupikir benar-benar!
Jangan buta tuli, memandang adat
saja. Mana yang dekat kepada
si bapa, anaknya atau
kemanakannya? Anaknya darah dagingnya,
kemanakannya anak saudaranya,
walaupun yang sedarah
dengan dia.
Ada orang yang bersangka, anak
itu sesungguhnya terlebih
dekat kepada mamaknya daripada
bapanya, karena itu terang
kemanakan mamaknya, sebab
kelihatan dilahirkan oleh saudara
si mamak itu, yang sedarah dengan
dia. Tetapi ia belum tentu
anak si bapa; boleh, jadi juga
anak laki-laki lain, yaitu kalau
ibunya tiada setia kepada
suaminya. Jadi si bapa itu sebagai
kurang percaya kepada anak dan
istrinya.
Hal yang ganjil ini pada
sangkaku, asalnya dari adat zaman
dahulu kala, tatkala perempuan
boleh bersuami banyak atau
tatkala perkawinan belum teratur
benar sebagai sekarang ini.
Tetapi adat itu tiada sesuai lagi
dengan keadaan dewasa ini.
Perkara perkawinan pun telah
teratur dengan baik, artinya tiaptiap
laki-laki tentu istrinya dan
perempuan tentu pula suaminya,
disaksikan oleh orang banyak,
waktu mereka kawin.
Aku tiada hendak mengatakan,
bahwa tiap-tiap anak itu, tak
dapat tiada anak bapaknyalalt;
tentu boleh jadi juga anak lakilaki
lain. Tetapi hal yang sedemikian,
jarang terjadi sehingga
sekali-kali tak patut menjadi
alasan, anak mengganjilkan diri dari
apa adat orang sedunia ini, yaitu
pusaka turun kepada anak.
Kaulihat, itulah suatu contoh
yang menyatakan, bahwa
sesuatu adat yang dahulu
barangkali baik, tetapi sekarang ini,
mungkin tiada berharga lagi. Tak
baiklah adat yang telah lama
seperti ini, disimpan saja dalam
peti, kalau perlu, akan jadi tanda
mata daripada'nenek moyang kita
dahulu kala?"
Perkataan itu pun tiada dapat
disalahkan oleh Fatimah, sebab
itu diputarnya tujuan
perbincangan ini sedikit dengan berkata,
"Tetapi bukankah baik banyak
anak, supaya bangsa kembang
biak."
"O, kalau itu maksudmu,
memang benar sekali. Seharusnyalah
tiap-tiap bangsa itu
mengembangkan bangsanya, sebagai
tersebut dalam agama. Tetapi memelihara
bangsa itu, kewajiban
pula. Jangan menjadikan saja
pandai, mernelihara tak mau.
Betapa bangsa itu dapat kembang
dengan sempurna, jika tiada
dipelihara sendiri baik-baik?
Bekerja jangan tanggung, Mah!
Ketiga, walaupun
tersebut dalam kitab (agama), laki-laki
boleh beristri sampai empat
orang, tetapi haruslah harta si lakilaki
itu berlebih dahulu daripada
untuk memelihara seorang istri
dengan sempurna dan haruslah pula
ia adil dengan seadil-adilnya,
dalam segala hal, kepada keempat
istrinya itu; haruslah
boleh. Kalau tiada, menjadi dosa;
sebab kelakuan yang tak adil
itu mendatangkan dengki khianat
antara istri-istri itu. Tetapi
kebanyakan laki-laki itu tiada
adil kepada sekalian istrinya.
Biasanya yang baru itulah yang
lebih disayanginya, daripada
yang lama; yang muda lebih
digemari daripada yang tua; yang
bagus, lebih disukai daripada
yang buruk. Itu tak boleh; sekaliannya
harus sama, belanja, pakaian,
rumah tangga, cinta kasih
sayang dan lain-lain sebagainya.
Adakah laki-laki kita yang dapat
berbuat sedemikian? Dalam
seribu jarang seorang.
Kebanyakan, dalam segala hal, dilebihkannya
yang terlebih dicintai. Mustahil
akan dapat sama cinta
kepada segala istri, sebab telah
ditakdirkan Tuhan, manusia itu
terlebih ingin dan terlebih
sayang kepada yang molek daripada
yang buruk. Kelakuan yang serupa
itulah yang acap kali
menimbulkan cemburu dan dengki,
antara istri-istri itu, sehingga
terbitlah perbantahan, antara
laki-laid dengan istrinya dan antara
istri dengan istri. Walaupun
kepada istri yang mana laki-laki itu
pergi, yang diterimanya tiada
lain daripada muka masam, perkataan
yang kurang sedap didengar,
penjagaan yang kurang
sempurna, terkadang-kadang umpat
dan maki, sehinb ga
akhirnya jadi berkelahi. Adakah
senang kehidupan yang
sedemikian?
Lagi pula, istri-istri yang
dipermadukan itu, tiada lurus
hatinya kepada suaminya, baik
dalam perkara apa juga. Ada pula
istri itu yang menjadi jahat,
yang berbuat kelakuan yang tak
senonoh, karena hendak
membalaskan sakit hatinya kepada
suaminya. Perhubungan yang memang
kurang kuat tadi, menjadi
bertambah-tambah longgarlah,
sehingga akhirnya, hanya tinggal
surat kawin saja lagi, yang
memperaihatkan kedua mereka.
Meskipun aku laki-laki, tetapi
pada pikiranku, tiada boleh
suami berkecil hati, bila
istrinya yang dipermadukannya itu tiada
mengindahkan suaminya, karena
suami itu pun tiada pula
mempedulikan perasaan hati
istrinya. Perempuan manakah yang
dapat menahan hati, meliltat
suaminya dengan perempuan lain?
Adakah laki-laki yang dapat
senang hatinya, melihat istrinya
dengan laki-laki lain? Pada
pikiranku tak ada.
Keempat, ada juga
perempuan yang rupa-rupanya, tiada
mengindahkan kelakuan suaminya,
yang suka beristri banyak itu,
sebab perempuan itu sangat sabar.
Tetapi acap kali kesabaran
inilah, tanda kurang sayang
kepada suaminya. Karena cemburu
itu bukankah timbulnya daripada
hati yang cinta?
Apabila istri-istri itu sama
cinta kepada suaminya, tentulah
masing-masing mencari akal supaya
ia lebilt disayangi suaminya
daripada madunya. Kebanyakan akal
ini bukan dijalankan
dengan memperbaiki kelakuan atau
rumah tangga atau apa saja
yang dapat menarik hati suami
tadi, melainkan dengan jalan
berdukun dan pekasih.
Tiap-tiap istri, mencari dukun
yang pandai akan mengobati si
suami, supaya ia lebih dicintai
daripada madunya; terkadangkadang
sampai berhabis harta benda. Si
dukun bukannya
mempergunakan ilmu saja,
melainkan acap kali memakai
ramuan dan obat-obatan yang harus
dimakan si laki-laki. Betul
maksudnya baik, tetapi sebab
ramuan pekasih itu tiada selamanya
barang yang bersih, lama-kelamaan,
karena terlalu banyak
makan obat itu, dari sana-sini,
dari sekalian istrinya rusak juga
badannya. Bukan seorang dua orang
laki-laki yang telah menjadi
kurban perbuatan dukun seperti
itu. Sayang!
Perempuan yang tiada sabar,
terkadang-kadang, karena
sangat sakit hatinya
dipermadukan, bukan pekasih yang diberikannya
kepada suaminya yang sedemikian,
tetapi racun;
sehingga bertambah-tambalt
lekaslah ia berpulang ke negeri
yang baka.
Alimah, coba beri aku air teh
segelas! Kering mulutku rasanya
bercerita ini," kata Ahmad
Maulana kepada anaknya.
Alimah segera keluar dari dalam
biliknya, mengambil apa
yang diminta oleli ayahnya itu.
Kemudian kembali pula ia ke
dalam biliknya, sedang Nurbaya di
sana, pura-pura duduk menjahit,
tetapi sesungguhnya didengarkannya
benar-benar segala
perkataan bapa mudanya ini.
"Kelima, apabila
perempuan tadi hatinya kurang baik." kata
Ahmad Maulana pula, sesudah minum
teh, "bukannya suarninya
saja yang diberinya ramuan itu,
tetapi madunya pun diberinya
juga; bukan supaya sayang
kepadanya, hanya supaya dibenci
oleh suaminya, ada pula yang
membuat, agar madunya itu lekas
berkalang tanah. Siapa tahu,
barangkali Rapiah ini kurban perbuatan
yang sedemikian pula. Kasihan!
Keenam, banyak
perempuan yang telah dipermadukan itu,
karena takut beroleh kesakitan
dan kesedihan pula, tiada hendak
kawin lagi, bila ia telah
diceraikan oleh suaminya. Jika sekalian
perempuan berbuat demikian
bagaimanakah akhirnya? Bagaimanakah
engkau dapat mengentbangkan
bangsamu dengan
perempuan yang tak hendak kawin?
Barangkali waktu ini hal ini
belum memberi khawatir, karena
kebanyakan perempuan, belum
dapat mencari kehidupan sendiri
akan tetapi kalau mereka telah
pandai pula sebagai laki-laki,
tentulah lebih suka mereka
mencari penghidupan sendiri
daripada selalu makan hati, sebab
dipermadukan oleh suaminya.
Perempuan pun kawin, karena
hendak mencari kesenangan juga,
bukan karena hendak
mengabdi kepada laki-laki."
"Itulah sebabnya tak baik
arak perempuan disekolahkan,"
kata Fatimah.
"Supaya tinggal budoh dLn
selama-lamanya menjadi budak
laki-laki, bukan? Boleh diperbuat
sekeh ndak hati; sebagai
kerbau, diberi bertali hidungnya,
supaya dapat ditarik. Dan
disuruh ke mana suka oleh yang
mengembalakannya. Jika
engkau sendiri, sebagai seorang
perempuan, suka bangsamu
diperbuat sedemikian, suka
hatimulah! Tetapi kalau aku menjadi
perempuan, sekali-kali aku tak
mau menerima peraturan ini."
Tatkala itu terdiamlah pula
Fatimah, karena tak dapat menjawab
perkataan suaminya. ,
"Ketujuh, perempuan
yang dipermadukan itu, hatinya tiada
lurus kepada suaminya dalam
segala hal, seperti telah kukatakan
tadi. Janganlah dipandangnya
suaminya sebagai kekasihnya,,
sebagai sahabatnya pun tak dapat
dibenarkannya; karena pada
penglihatan dan perasaannya,
laki-laki itu ialah tuannya yang
bengis. Bagaimanakah dapat hidup
senang dan sehati dengan
musuh yang dibenci?
Ah Fatimah, banyak lagi kejahatan
adat beristri banyak itu;
kemudian boleh kuceritakan pula.
Sekarang mataku sudah
mengantuk, suruhlah, si Hasan
memadami lampu dan menutup
pintu!"
Tiada berapa lamanya kemudian
daripada itu, gelaplah rumah
Ahmad Maulana, sunyi senyap;
karena lampu sudah dipadami
dan sekalian pintu jendela sudah
ditutup. Hanya di belakang
rumah itulah masih kedengaran
suara si Hasan, bujang Ahmad
Maulana, bersenandung perlahan-lahan,
akan menggolekkan
dirinya sendiri.
Di dalam biiik Alimah, kelihatan
Nurbaya dengan saudara
sepupunya ini, masih menjahit.
Sebentar-sebentar Nurbaya
berhenti, lalu termenung, sebagai
ada yang dipikirkannya.
"Nur, datang pula
penyakitmu?" tanya Alimah.
"Bukan. Lim; hanya aku masih
ingat akan perkataan bapa
tadi sebab pikirannya itu sangat
terbenar dalam hatiku dan
menimbulkan ingatan kepada untung
kita bangsa perempuan
ini," jawab Nurbaya.
"Nur, jangan kau banyak
menyusahkan pikiranmu dengan
ingatan yang sedih-sedih!
Penyakitmu rupanya masih ada.
Segala kenang-kenangan yang
pilu-pilu, belum hendak hilang
dari hatimu. Bukankah engkau
sudah berjanji kepadaku, akan
menetapkan pikiranmu supaya
jangan tergoda pula lagi?"
"Bukan hatiku rawan, Lim; memang
hal ini sudah lama
terpikir olehku. Cobalah kaupikir
benar-benar, nasib kita
perempuan ini! Demi Tuhan yang
bersifat rahman dan rahim,
kita telah dikurangkan daripada
laki-laki, teman kita itu. Sengaja
kukatakan teman kita laki-laki
itu, karena sesungguhnyalah
demikian walaupun banyak di
antara mereka yang menyangka,
mereka itu bukan teman, melainkan
tuan kita dan kita hambanya.
Pada persangkaan mereka, mereka
lebih daripada kita, tentang
kekuatan dan akal mereka. Betul
kita lemah daripada laki-laki
dan barangkali juga tiada
sepandai laki-laki, akan tetapi
kelemahan tubuh kita dan
kekurangan akal kita itu, bukanlah
sebab kelihatan kita yang kurang
atau otak kita yang tiada
sempurna; hanya karena tubuh
kita, sangat berlainan dengan
laki-laki. lngatlah. kita ini
bangsa ibu, karena anak itu kita yang
mengandungnya melahirkannya,
menyusukannya, memeliharanya
dan membesarkannya. Laki-laki tak
tahu apa-apa, hanya
tahu senangnya saja.
Ingatlah perasaan perempuan yang
hamil itu, muntah-muntah
sakit-sakit, tak sedap perasaan
badan. Bukanlah sekalian itu
penyakit? Oleh sebab kira-kira
dua bulan sesudah kita beranak,
kita telah bunting pula, bolehkah
dikatakan, kita hampir
selamanya dalam sakit-sakit.
Lihatlah perempuan yang tiap-tiap
tahun beranak! Bagaimana halnya?
Badan rusak, lekas tua, umur
pendek. Bagaimana kita dapat
menyamai kekuatan laki-laki,
yang boleh dikatakan selalu dalam
sehat?
Lagi pula, segala pekerjaan
laki-laki menambah kekuatan
badannya dan tajam pikirannya,
tetapi pekerjaan kita perempuan
dari rumah ke dapur dan Jari
dapur ke rumah, menjaga anak,
rnemasak, mencuci dan
membersihkan rumah tangga; sekali-kali
bukan pekerjaan yang rnenambahkan
kekuatan dan pikiran.
Laki-laki tahu perbedaan ini dan
ia tahu pula penanggungan
kita tatkala kita hamil. Akan
tetapi pengetahuannya itu jangankan
menjadi pandangan padanya, yang
menimbulkan iba kasihan
kepada kita, tidak, melainkan
ditertawakan dan dipermainkan
pula kita. Ada pula yang kawin,
di waktu istrinya bunting atau
beranak. Kitakah yang berkehendak
akan nasib yang malang ini?
Kitakah yang meminta, supaya
dijadikan begitu? Oleh sebab
laki-laki itu tiada merasai
penanggungan, kesengsaraan dan
kesakitan kita ini, itulah
sebabnya tiada diindahkannya hal kita.
Jarang laki-laki yang ingat,
bahwa ibunya yang telah bersusah
payah mengandung, melahirkan dan
memeliharanya, bangsa
perempuan juga, bukan bangsanya
sendiri, yaitu laki-laki."
"Benar sekali katamu itu,
Nur," jawab Alimah, sarnbil
termenung memikirkan perkataan
adiknya ini.
"Marilah kuteruskan uraian
ini! Terlebih dahulu
penanggungan perempuan, karena
anaknya, yang sebetulnya
bukan anaknya sendiri, melainkan
anak berdua dengan laki-laki.
Oleh sebab itu haruslah kesusahan
dan kesenangan yang
diperoleh, karena anak itu,
terbagi sama rata atas ibu dan bapa.
Tetapi bukan begitu halnya,
sebagai yang telah kupaparkan tadi.
Dan walaupun perempuan yang
terlebih bersusah payah atas
anak itu, bahagia yang diperoleh
lebih kepada bapanya daripada
kepada ibunya, karena anak itu
kelak lebili dikenal sebagai anak
ayahnya daripada anak ibunya.
Bila anak itu menjadi orang yang
berpangkat tinggi misalnya,
siapakah yang terlebih beroleh nama
baik, bapanya atau ibunya? Bila
orang bertanya. "Anak siapakah
yang baik, itu?" Yang
disebut nama ayahnya, bukan nama
ibunya. Perempuan Barat, harus
pula memakai nama suaminya.
Adakah adil perempuan ini?
Ah, keadilan! Adakah engkau dalam
dunia ini atau tidak?
Kalau ada, di manakah engkau
tersembunyi? keluh Nurbaya, lalu
termenung seketika.
Kemudian berkata pula ia,
"Apabila kita hamil dua tiga bulan
bedan kurang segar kepala
pening-pening, penglihatan kurang
terang pendengaran kurang nyata,
perut selalu tak enak, acap kali
muntah, nafsu makan tiada tentu,
yang enak, tak lazat rasanya
tetapi yang tak enak, disukai.
Terkadang-kadang barang yang tak
ada atau sukar dicari atau tak
patut dimakan, itulah yang
diidamkan. Kalau tak dapat, hati
susalt dan sedih. Pikiran pun
kurang sempurna, acap kali suka
marah dan benci kepada
seorang, tetapi sayang kepada
yang lain, dengan tak ada sebab
karenanya. Kelakuan pun
senantiasa berubah pula.
Bila hamil telah enam bulan,
perut bertambah-tambah besar
dan mulai berat, sehingga susah
berjalan, berdiri, bekerja, berhenti,
duduk, dan tidur. Pantangan
bertambah-tambah banyak.
Ada makanan yang tak boleh
dimakan, banyak pekerjaan yang
tak boleh dikerjakan, pendengaran
yang tak boleh didengar dan
penglihatan yang tak boleh
dilihat.
Tatkala anak hampir dilahirkan,
tak dapatlah berbuat apa-apa
lagi, karena perut makin lama
makin besar dan makin berat,
tetapi duduk selalu pun tak baik
pula, karena susah kelak
melahirkan anak kata orang.
Berjalan ke luar rumah, malu, takut
dikatakan tukang tambur.
Bila laki-laki disuruh mendukung
anaknya sejam saja, lelahlah
ia katanya; tetapi perempuan
sembilan bulan lamanya; terkadang-
kadang lebih lama pula, tiada
berhenti-henti siang
malam, pada segala tempat,
mengandung anak dan sesudah itu
beberapa tahun pula mendukungnya,
perempuan itu tiada botch
mengatakan lelah.
Bila waktu akan melahirkan anak
telah datang, tak dapatlah
dikatakan perasaan diri kesakitan
yang ditanggung. Alam dan
dunia rasakan lenyap, pikiran
benar menjadi hilang, bertukar
dengan ketakutan dan was-was.
Sakit pun tiada terderita, seluruh
badan rasakan hancur, pemandangan
menjadi gelap, perasaan
tiada tentu. Bila susah bersalin
itu, karena sesuatu hal, acap kali
membawa kita ke pintu kubur, jika
tiada lekas dapat pertolongan.
Walaupun mendapat pertolongan
sekalipun, dari dukun atau
dokter yang pandai, acap kali
terlalu sakit juga, karena
terkadang-kadang dengan kekerasan.
Ada yang dipotong, dibedah
dan dijahit, sekaliannya boleh
mendatangkan cacat dan
penyakit seumur hidup.
Apabila anak itu telah lahir ke
dunia, beberapa lamanya
perempuan itu harus tidur
diam-diam, tak botch bergerak-gerak,
serta harus pula memakan bermacam-macam
obat yang kurang
sedap rasanya, supaya lekas
sembuh. Ada kalanya penyakit itu
lama maka baik, padahal dalam
waktu itu kita telah harus menjaga
dan menyusukan anak, karena
kurang baik jika anak itu diberi
susu lembu.
Bila kita telah sernbuh, tiadalah
pula dapat melepaskan lelah
barang sedikit pun, sebab
kewajiban yang lain telah menanti,
yaitu menjaga, memelihara dan
membesarkan anak itu. Tak tentu
susah, tak tentu payah, tak tahu
siang dan tak tahu malam;
karena makanannya harus diberi
dan dijaga, pakaiannya harus
dibuat dan dibersihkan. lika
menangis harus dibujuk dan didukung,
jika mengantuk harus ditidurkan
dan diayunkan. Kalau
ia sakit, berjam-jam lamanya
didukung dan dinyanyikan; siang
malam tak dapat tidur atau
mengerjakan apa-apa yang lain,
karena berjaga-jaga.
Bila anak ini telah besar
sedikit, permainan harus diadakan
belanja harus diberi dan ia harus
dididik pula dengan sempurna,
supaya ia kelak menjadi orang
yang baik.
Belum selesai pekerjaan ini
tanggungan yang baru sudah
datang pula, karena anak yang
kedua telah dikandung. Tatkala
anak ini telah besar, harus
disekolahkan dan kemudian dikawinkan.
Anak perempuan, sesudah kawin pun
masih ditolong oleh
ibunya."
"Sesungguhnya demikian hal
perempuan bangsa kita," jawab
Alimah. "Betul aku sendiri
belum merasai beranak, tetapi aku
acap kali bercakap-cakap dengan
perempuan yang telah beranak
dan menolong mereka. Oleh sebab
itu kuketahui perasaan dan
penanggungan mereka."
"Dan adakah selamanya baik
balasan anak itu kepada
ibunya?" kata Nurbaya pula.
"Lebih-lebiht anak laki-laki acap
kali tak tahu membalas guna.
Terkadang-kadang, air susu ibunya
dibalasnya dengan air racun. Bila
ia telah beristri, tiadalah diindahkannya
lagi ibunya. Ada pula yang tiada
hendak mengaku
ibu lagi kepada makiiya, karena ia
telah kaya atau berpangkat
tinggi malu beribukan perempuan
yang biasa saja atau
perempuan yang bodoh. Dan ada
pula yang memusuhi sampai
memukul dan menyiksa ibunya
sendiri.
"Memang anak laki-laki yang
acap kali berbuat begitu; anak
perempuan jarang," sahut
Alimah. '
"Boleh jadi sebab angkuhnya
juga. Walaupurt asalnya dari
ibunya, tetapi pada sangkanya,
ibunya itu hina, sebab ia bangsa
perempuan," kata Nurbaya
seraya mengangkat kepalanya.
Setelah sejurus terhenti, berkata
pula ia, "Hal yang kedua,
yang menyebabkan kita lebih lemah
dan lebih kurang tajam
pikiran kita daripada laki-laki,
ialah pemeliharaan, pekerjaan dan
kewajiban kita. Tentang
pemeliharaan kita, sejak kita mulai
pandai berjalan, sampai berumur
enarn tujuh tahun sajalah kita
boleh dikatakan bebas sedikit;
boleh berjalan-jalan ke sana
kemari; boleh bermain-main ke
luar rumah. Itulah waktu yang
sangat mulia bagi kita, waktu
kita berbesar hati, waktu kita
merasa bebas. Sudah itu sampai
kepada hari tua kita, tiadalah
lain kehidupan kita melainkan dari
rumah ke dapur dan dari
dapur kembali pula ke rumah.
Apabila telah berumur tujuh
delapan tahun, mulailah
dikurung sebagai burung, tiada
diberi melihat langit dan bumi,
sehingga tiadalah tahu apa yang
terjadi sekeliling kita.
Sedangkan pakaian dun makanan,
tiada diindahkan, apalagi
kehendak dan kesukaan hati.
Sementara itu kita disuruh belajar
memasak, menjahit, menjaga rumah
tangga, sekaliannya
pekerjaan yang tiada dapat
menambah kekuatan dan menajamkan
pikiran.
Tetapi anak laki-laki waktu itu,
lain daripada disuruh ke
sekolah dan ke langgar, disuruli
pula belajar menari, memencak,
berenang, berkuda dan
lain-lainnya, untuk menguatkan tubuh
dan menajamkan pikirannya. Jadi
sekalian pelajaran dan
pekerjaan itu pada laki-laki
selalu menambah kemauan, kekuatan
dan menajamkan pikirannya sedang
pada perempuan melemahkan
tubuhnya dun tiada berapa
menambah kepandaiannya.
Jadi pekerjaan dan kewajiban kita
pula, ialah mengandung
dan menyusukan anak; kepada anak,
memelihara, membesarkan
dan mengajari dia; kepada suami,
menjaga rumah tangga mengatur
makanan, pakaian dan lain-lainnya
dan kepada ibu-bapa
serta kaum keluarga menurut
sebarang kehendaknya. Sekalian
itupun tiada pula menambah
kekuatan dan akal kita, sebagai
pada laki-laki.
Pekerjaan, pemeliharaan dan
kewajiban ini, bukan kita yang
menghendaki; kita terpaksa harus
menjauhkannya. Dan untuk
siapa? Untuk laki-laki dengan
anaknya. Demikian pula tentang
sifat-sifat perempuan itu, bukan
ia yang memintanya. Adalah
patut laki-laki menghinakan dia,
sebab kita beroleh sifat-sifat
ini? Pada pikiranku, tentang
kemauan dan akal itu, bila kita
perempuan diberi pelajaran,
pemeliharaan, makanan, pendeknya
sekaliannya sama benar-benar
dengan laki-laki, tentulah kita tak
akan kalah dari laki-laki."
"Pikiranku pun demikian
juga, Nur," jawab Alimah.
"Perbedaan itu adanya, hanya
karena berlainan pemeliharaan,
pelajaran, kewajiban dan
lain-lainnya."
"Sungguhpun begitu, banyak
juga yang asalnya dari
kesalahan perempuan sendiri,
maksudku kesalahan ibu. Karena
kurang pikirannya, banyak
perbuatannya yang tidak baik. Misalnya
dilarangnya anak perempuannya
pergi ke sekolah, sebab
takut anak itu menjadi jahat,
karena pandai membaca dan
menulis, sehingga memberi malu.
Pikiranku persangkaan ini
salah benar; karena hal itu,
bergantung kepada, hati, serta tabiat
kelakuannya dan pelajaran yang
diperolehnya. Bila cukup
kepandaian, luas pemandangan dan
jauh pendengarannya, hingga
tahu ia membedakan yang baik
dengan yang jahat, artinya dapat
ia menimbang buruk dan baik
perbuatannya, tentulah tiada
mudah ia terjerumus ke dalam
lubang godaan laki-laki. Di mana
diperolehnya ilmu-ilmu itu, kalau
tiada di sekolah?
Sebab itu, haruslah perempuan itu
terpelajar, supaya terjauh
ia daripada bahaya, dan
terpelihara anak suaminya dengan
sepertinya. Tentu saja kepandaiannya
itu dapat juga dipergunakannya
untuk kejahatan. Itulah sebabnya
perlu hati yang
baik dan pikiran sempurna. Bila
perempuan itu memang tiada
baik tabiatnya atau sebab salah
ajarannya, walaupun ia tak berkepandaian
sekolah sekalipun, dapat juga ia
berbuat pekerjaan
jahat. Tak adalah perempuan
jahat, pada bangsa yang masih
bodoh?"
"Jika dipikir dalam-dalam,
nyatalah kita perempuan ini,
diperbuat sebagai anak tiri dan
laki-laki sebagai anak kandung,
sebab sangat diperbedakan. Dan
perempuan tiada pula diberi
tempat bergantung." kata
Alimah.
"Memang," jawab
Nurbaya, "dari Tuhan kita telah mendapat
alangan yaitu dalam hal
mengandung dan menjaga anak,
sehingga tiada dapat melawan
laki-laki, tentang apa pun; oleh
agama tiada pula disamakan dengan
laki-laki, sebab laki-laki
diizinkan beristri sampai ernpat,
tetapi perempuan, ke luar rumah
pun tak boleh; oleh suami dihina
dan disia-siakan dan oleh ibu
bapa serta kaum kerabat, dipaksa
menwut segala kehendak hati
mereka. Bangsa dan negeri pun
tiada pula hendak menolong."
Di situ terhentilah Nurbaya
berkata-kata, termenung
memikirkan hal dan nasib
bangsanya perempuan.
"Ya seadil-adilnya, tentulah
perempuan boleh pula bersuami
dua tiga, kalau laki-laki boleh
beristri banyak," kata Alimah.
"Apa, perempuan bersuami banyak.
Sedangkan melihat muka
laki-laki lain; tak boleh. Jika
hendak ke luar rumah, haruslah
ditutup muka rapat-rapat, begitu
pula bagian badan yang lainlain.
Sudah demikian, talak diserahkan
pula kepada si laki-laki.
Mengapakah begitu? Mengapa
laki-laki saja yang boleh menceraikan
dan mengawini perempuan, sesuka
hatinya? Apakah
sebabnya maka perempuan tiada
boleh berbuat begitu pula?
Perempuan sajakah yang boleh
berbuat kesalahan dan menerima
hukuman dari laki-laki? Tiadakah
laki-laki itu boleh pula berbuat
kesalahan kepada istrinya?
Apabila dikatakan kelaliman ini
kepada laki-laki, tentulah
mereka akan gelak tersenyum saja,
karena pada sangkanya,
itulah yang seadil-adilnya.
Bukankah laki-laki itu tuan
perempuan, dan perempuan itu
hamba laki-laki? Tentu saja
mereka boleh berbuat sekehendak,
hatinya kepada kita; disiksa,
dipukul dan didera dengan tiada
diberi belanja yang cukup dan
rumah tangga yang baik; tiada
pula dilepaskan hati kita, tiada
diberi melihat permainan apa pun,
yang boleh menyenangkan
hati dan meuambalt penglihatan
dan tiada diizinkan pula mendengar
bunyi-bunyian yang menghilangkan
kesusahan.
Jika salah sedikit, karena belum
tahu, bukan pelajaran atau
peringatan yang diperoleh, hanya
maki dan nistalah yang
diterima; ada kalanya disertai
pula oleh pukul dan terjang. Jika
terlambat menyediakan makanan
atau pakaian, perkataan yang
hina tentulah kedengaran.
Menjawab, sekali-kali tak boleh; apa
yang terasa di hati tak boleh
dikeluarkan, harus disimpan saja
dalam dada. Kalau berani melawan,
tentulah akan diusir sebagai
anjing. Jika lekas diceraikan,
sudahlah, tetapi acip kali,
digantung tak bertali; tiada dan
tiada pula dipulang-pulangi*)
sehingga segala maksud, jadi
terhalang."
"Sungguhpun demikian,
penanggungan itu belumlah
seberapa, jika dibandingkan
dengan penanggungan dipermadukan,"
kata Alimah. "Aku lebih suka
dipukul, dikurung atau
dihinakan, daripada
dipermadukan."
"Tentu," jawab Nurbaya,
"itulah sebabnya agaknya, engkau
sampai bercerai dengan
suamimu."
"Memang," kata Alimah.
"Cobalah ceritakan,
bagaimana asalnya perceraian itu!" kata
Nurbaya pula.
"Asal mulanya, ialah asutan
perempuannya dan maknya.
Kata mereka, aku yang mengasut
suamiku, supaya ia benci
kepada mereka, sebab selama ia
kawin dengan aku, mereka tiada
dapat berbelanja dari suamiku.
Tetapi aku, sekali-kali tiada berbuat
demikian. Hanya ada aku minta
kepada suamiku, supaya
*) dikunjung-kunjungi
belanja rumah setiap hari, jangan
sampai kurang, sebab orang
tuaku bukan hartawan. Mendengar
permintaanku ini, diberikannya
segala pendapatannya kepadaku.
Dari uang itu, aku berikan
kepada ibunya sepuluh rupiah dan
saudaranya lima belas rupiah
sebulan. Pada sangkaku, jika
sekedar makan, cukuplah belanja
sekian itu. Tetapi rupanya
kemauan mereka, sekalian pendapatan
suamiku harus diberikan kepada
mereka, sebagai tatkala suamiku
belum kawin dengan aku.
Mana boleh jadi, sebab orang
telah bertambah, rumah telah
dua. Bukanlah telah diketahuinya,
sebelum kami kawin, ayahku
bukan orang yang mampu; jadi tak
dapat menerirna suamiku,
sebagai menerima anak-anak
bangsawan di Padang ini; segala
disediakan dan diadakan, tinggal
pulang saja lagi. Lagi pula,
suamiku bukan seorang yang
berbangsa tingki. Meskipun
demikian, mula-mula ia hendak
dijemput juga. Akan tetapi
tatkala ayahku, berkata, ia tiada
beruang, sudilah ia sebagai
biasa, suka sama suka saja.
Sesungguhnya perkawinan itu, atas
kemauan mentua dan ipar
perempuanku itulah. Tetapi
tatkala dilihat mereka, pemberian
suamiku berkurang kepadanya,
bencilah mereka kepadaku dan
bibujuknyalah suamiku, supaya
menceraikan aku.
Setelah dilihat mereka, suamiku
tak mau saja menurut asutan
mereka dicarinyalah dukun ke sana
kemari, supaya suamiku
benci kepadaku dan aku
diceraikannya. Kabarnya mereka sampai
berniat hendak mengerjakan aku,
supaya aku menjadi gila atau
mati.
Tatkala maksudnya yang jahat ini,
dengan jalan demikian,
tak sampai pula, dikawinkannyalah
suamiku dengan seorang
perempuan hartawan. Ketika aku
mendengar kabar ini, tak
dapatlah kurencanakan, bagaimana
rasa hatiku; marah, sedih,
benci bercampur baur tak tentu.
Mataku gelap, kepalaku pening,
pendengaran hilang dan perasaan
pun lenyap. Bibir dan sekujur
badanku gemetar, hatiku
berdebar-debar, rasakan belah, segala
sendi anggota menjadi lemah,
sehingga terjatuhlah aku ke tempat
tidurku beberapa lama¬ya, tiada
khabarkan diri.
Semalam-malam aku menangis,
karena tak dapat menahan
hati. Tatkala aku bertemu pula
dengan suamiku adalah sebagai
aku melihat binatang rasanya, aku
melihat dia: benci dan marah,
datang berganti-ganti. Segala
kesukaan dan kasih sayangku
kepadanya, tiada berasa lagi.
Jika tiada disabarkan oleh ibuku,
niscaya kukenakanlah tanganku ke
kepalanya; begitulah geram
hatiku. Berapa kali aku minta
bercerai, tetapi tiada dikabulkannya.
Apa dayaku? Karena talak dalam
tangannya. Jika aku yang
memegang talak tentulah tak
sampai kulihat lagi mukanya,
kujatuhkan talak ttga sekali.
Sejak waktu itu, tiadalah
kuindahkan lagi dia, baik tentang
makanannya atau pakaiannya; sebab
hatiku telah berubah
kepadanya, tiada lurus lagi. Jika
ada laki-laki lain, yang
menggodaku pada waktu itu,
agaknya kuturutkan, karena sakit
hatiku. Hendak aku lari, takut,
kalau-kalau digantungkan aku
selama-lamanya; tiada diceraikan
dan tidak pula dibelanjai.
Path suatu hari tatkala aku
berjalan jalan dengan makku,
pada, malarrtd hari di pasar
Kampung Jawa, kelihatanlah olehku
suamiku itu, sedang
berjalan-jalan bersuka-sukaan, membeli apaapa
dengan maduku itu. Ketika kulihat
mereka itu, gelaplah
mataku, tak tahu lagi, apa yang
kuperbuat. Kata ibuku, aku terus
memburu perempuan itu, lalu menghela
rambut dan bajunya
sambil memaki-makinya, sehingga
berkelahilah kami di tengah~
orang banyak, bergumul dan
bertarik-tarikkan rambut. Setelah
kami dipisahkan orang, kuberi
malulah suamiku itu dengan
perkataan yang keji-keji serta
kukatakan ia bukan laki-laki, kalau
tiada berani menceraikan daku.
Ituiah sebabnya maka di pasar itu
juga dijatuhkannya talak
kepadaku.
Inilah akhirnya perkawinan yang
telah menghabiskan
beberapa biaya dan menimbulkan
beberapa susah payah, disebabkan
perkara pemaduan."
"Jadi berapa lamanya kau
bercampur dengan suamimu itu?"
tanya Nurbaya."
"Tak sampai setahun,"
jawab Alimah. "Sejak itu aku bersumpah,
tiada hendak kawin lagi. Apakah
gunanya kawin, jika
untuk menyusahkan hati,
merusakkan badan dan menghabiskan
harta? Maksudku kawin helidak
mendapat kesenangan dan
menumpangkan diriku. Jika
tiadadapat yang sedemikian, lebih
baik janda sebagai ini; bebas
sebagai burung di udara, tiada siapa
dapat mengalangi barang sesuatu
maksudku."
"Atau tinggal perawan
selama-lamanya." kata Nurbaya.
"Itu tak boleh, karena
terlalu aib, bagi kita; dikatakan tak
laku, sebab ada cacat,"
jawab Alimah.
"Aib itu karena diaibkan.
Akan tetapi jika telah banyak yang
berbuat begitu, menjadi biasalah
pula," kata Nurbaya.
"Barangkali," jawab
Alimah.
Setelah Nurbaya termenung
sejurus, berkata pula ia, seraya
mengeluh, "Memang
demikianlah nasib kita perempuan. Adakah
akan berubah peraturan kita ini?
Adakah kita akan dihargai oleh
laki-laki, kelak? Biar tak
banyak, sekadar untuk yang perlu bagi
kehidupan kita saja pun,
cukuplah. Aku tiada hendak meminta,
supaya perempuan disamakan
benar-benar dengan laki-laki
dalam segala hal; tidak, karena
aku mengerti juga, tentu tak
boleh jadi. Tetapi permintaanku,
hendaknya laki-laki itu
memandang perempuan, sebagai
adiknya, jika tak mau ia
memuliakan dan menghormati
perempuannya, sebagai pada
bangsa Eropa. Janganlah
dipandangnya kita sebagai hamba atau
suatu makhluk yang hina. Biarlah
perempuan menuntut ilmu
yang berguna baginya, biarlah ia
diizinkan melihat dan mendengar
segala ,yang boleh menambah
pengetahuannya; biarlah ia
boleh mengeluarkan perasaan
hatinya dan buah pikirannya,
supaya dapat bertukar-tukar
pikiran, untuk menajamkan otaknya.
Dan berilah ia kuasa atas segala
yang harus dikuasainya, agar
jangan sama ia dengan boneka yang
bernyawa saja.
Perkara rumah tangga, pada
pikiranku boleh dimisalkan
dengan sebuah negeri, yang
diperintahi oleh dua orang wazir.
Kedua wazir ini hampir sama besar
kekuasaannya. Seorang
wazir perkara dalam negeri, yaitu
istri dan seorang pula wazir
perkara luar negeri, yaitu suami.
Segala hal dalam negeri, yakni
perkara rumah tangga, penjagaan
anak, makanan, perkakasperkakas
dan lain-lainnya, harus dikuasai
oleh istri. Oleh sebab
itu harus perempuan faham dalarn
segala hal-hal ini. Perkara luar
negeri, jadi perkara mencari
penghidupan, pekerjaan, perlindungan
dan lain-lain, harus dikuasai
oleh laki-laki; perempuan
tak boleh campur dalam hal itu.
Di dalam segala perkara yang
penting, yang mengenai kewajiban
keduanya, tentulah kedua
wazir itu boleh campur-mencampuri
kewajiban masing-masing
dan bermupakat kedua, supaya
dapat yang sebaik-baiknya."
"Tetapi siapakah yang
menjadi raja?" tanya Alimah.
"Raja tak ada; segala
sesuatu boleh dimupakatkan berdua,
supaya bertambah-tambah baik
negeri. Jika hendak dilebihkan
sedikit kekuasaan wazir luar
negeri itu, biarlah, tak mengapa;
sebab pahamnya lebih tua,
lebih-lebih dalam memutuskan
perkara yang sukar-sukar, asal
jangan lupa ia, pangkatnya
sesungguhnya sama dengan wazir
dalam negeri dan janganlah ia
sampai bersangka, bahwa ialah
raja, jadi dapat berbuat sekehendak
hatinya kepada temannya itu.
Kedua mereka itu sebenarnya satu,
hanya terjadi dari dua
badan. Wazir dalam negeri perlu
dapat pertolongan dari wazir
luar negeri, dan kebalikannya,
wazir luar negeri harus pula
dibantu oleh wazir dalam negeri,
dalam pekerjaan dan
kewajibannya; jadi
tolong-menolonglah keduanya, dalam segala
kesusahan dan kesenangan, sebagai
kata pepatah: berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing.
Sekali-kali janganlah masingmasing
bersangka, mereka dapat hidup
sendiri-sendiri, karena
pekerjaan dan kekuasaannya yang
berlain-lainan itu.
Sekalian penghasilan laki-laki
atau perempuan, tak boleh
disembunyi-sembunyikan; baik
dengan sebenar-benarnya
dinyatakan, supaya dapat
dikumpulkan jadi satu. Dari jumlah
hasil ini, diberikan sebagian
kepada perempuan, untuk belanja
rumah tangga, makanan dan
lain-lain sebagainya; sebagian pula
kepada laki-laki, untuk biaya di
luar rumah. Jika ada kelebihan,
simpanlah di atas nama berdua
atau di atas nama anak. Jika lakilaki
kurang percaya kepada perempuan,
sebetulnya tak boleh
laki-laki demikian, sebab
laki-istri itu harus percaya-mempercayai
dan harus berhati sama lurus
lebih baik janganlah
dicampurkan perkara keuangan itu.
Tetapi kalau misalnya pada
sangka laki-laki, istrinya kurang
pandai menjalankan uang
belanja atau pada sangka si
perempuan, suaminya sangat boros,
tentulah mereka boleh
campur-mencampuri tugas dalam perkara
keuangan ini.
Lain daripada itu, haruslah
masing-masing selalu mencari
akal, untuk menyenangkan temannya
dan selalu menjaga, supaya
jangan sampai sakit menyakiti
hati. Jika tumbuh silang selisih,
janganlah masing-masing hendak
beraja di hati dan bersutan di
mata sendiri-sendiri saja, karena
jika demikian, menjadi kusutlah
penghidupan. Jika terbit marah,
tahanlah hati, jangan ber¬katakata
atau berbuat apa-apa melainkan
dinginkanlah darah yang
panas itu dahulu, supaya jangan
berbuat atau mengatakan
sesuatu, dalam marah; karena hal
itu boleh mendatangkan sesal
yang tak habis kemudian hari.
Kalau marah tak hendak hilang,
bawalah tidur atau
berjalan-jalan. Setelah habis marah dan
pikiran yang baik timbul pula,
bicarakanlah pertikaian itu dengan
sabar bersama-sama, supaya
mendapat kebenaran. Tak jua dapat
diputuskan, barulah dibawa kepada
orang tua atau guru, minta
diselesaikan; karena biasanya,
mereka banyak mempunyai
pendapat tentang hal ini. Kalau
sudah demikian, tak dapat jua
diselesaikan kekusutan itu
baiklah bercerai keduanya. Apa boleh
buat. Daripada bercampur dalam
neraka, lebih baik bercerai
dalam surga. Tetapi bercerai itu
hendaklah dengan baik, jangan
sampai menaruh dendam kesumat.
Tatkala kawin dengan baik,
bercerai pun dengan baik pula.
Siapa tahu, barangkali jodoh
masih ada: jadi mudah kembali.
Biarpun telah habis sekalipun
jodoh, apako gunanya bekas suami
atau istri itu dipandang
se,bagai musuh? Karena kita telah
bercampur beberapa lamanya;
menjadi satu dengan dia. Bukankah
lebih baik ia dipandang
sebagai saudara? Sedangkan hewan
yang telah dipelihara, lagi
tak dapat dilupakan dalam sekejap
mata, mengapakah manusia,
yang terkadang-kadang telah
terikat kepada kita dengan tali
anak, diperbuat musuh?
Berselisih bermaki-makian, sampai
terbuka rahasia yang
penting-penting,
berteriak-teriak, sampai gempar orang sebelahmenyebelah,
berpukul-pukulan, sampai
berluka-lukaan atau cara
lain yang semacam itu bukan saja
tak berguna, tetapi menyatakan
kita bukan orang yang betertib
sopan dan tak tahu peraturan
yang baik. Lagi pula ia boleh
mendatangkan, bahaya kepada
badan sendiri. Bukankah lebih
baik, kalau hendak berselisilr,
masuk berdua ke dalam bilik,
tutup pintu, lalu bicarakan atau
keluarkan apa yang terasa dalam
hati, perlahan-lahan, supaya
jangan diketahui orang. Apakah
gunanya perselisilran kita,
diperlihatkan kepada orang lain,
yang tiada bersangkut paut
dengan hal itu; apalagi karena
tiada berapa lama sesudah itu, kita
akaii berdamai pula? Pada rasa
hatiku, perkara yang sedemikian,
masuk rahasia rumah tangga kita;
tak ada faedahnya diketahui
orang lain. Lagi pula aib rasanya
seperti kelakuan anak kecil,
sebentar berkelahi, sebentar
berbaik. Lihatlah anak-anak! Tatkala
berkelahi, bermaki-makian,
berpukul-pukulan, seakan-akan
hendak berbunuh-bunuhan rupanya,
tetapi sejurus kemudian
berbaik pula, bermain-main,
bersama-sama, sebagai orang yang
berkasih-kasihan. Sedangkan pada
anak-anak telah ganjil
rasanya kelakuan yang sedemikian,
istimewa pula pada orang
yang telah cukup umurnya.
Perselisilian yang kecil-kecil,
terkadang-kadang memang tak
dapat dihindarkan. Tetapi tak
mengapa; itulah tanda bercampur
dua barang yang hidup. Sedangkan
senduk dengan periuk, ada
kalanya lagi berlaga, kata orang;
apa pula manusia, yang
pikirannya tiada selamanya tetap.
Dan acap kali perselisihan itu
sebagai garam, menyedapkan
makanan; sebab lebih besai
perselisihan, lebih nikmat pula
perdamaiannya."
Sedang mereka bercakap-cakap itu,
kedengaranlah dari jauh,
tukang jualan kue berteriak,
"Eeee bipang, kue kerambil, kue
kacang, wajik lemang, enak-enak
eeeii! ... Eee bipang!"
"Hai, telah berapa kali aku
dengar tukang kue itu berteriakteriak;
rupanya sudah ada pula orang
berjual kue-kue, pada
malam hari di sini," kata
Nurbaya, yang telah mulai lelah berkata-
kata sedang perutnya mulai merasa
lapar pula.
"Benar rupanya; tetapi baru
semalam ini kudengar suara itu.
Biasanya tiada kemari jalannya,
sebab di sini sunyi. Barangkali
ia sesat," jawab Alimah.
"Mari kita panggil ia, Lim!
Barangkali enak-enak kuenya,"
kata Nurbaya pula.
"Ah, apa gunanya? Jika
engkau hendak makan kue-kue, di
lemari ada, aku sediakan untuk
jamu yang datang. Aku
sesungguhnya kurang suka makan
kue-kue yang dibeli di jalan
raya, sebab tak tahu, siapa yang
membuatnya dan biasanya
barang dagangan itu, tiada
diindahkan amat memasaknya;
terkadang-kadang kotor,"
jawab Alirnah.
"Ah, masakan kotor! Aku di
kampung Jawa Dalam, acap kali
membeli kue-kue itu dengan Samsu.
Kami makan bersama-sama
dalarn kebun: belum pernah
kedapatan yang kotor. Alangkah
senang hatinya, bila ia ada
bersama-sama dengan kita sekarang
ini! Marilah kita beli, nanti
bertambah-tambah jauh ia," kata
Nurbaya seraya menarik tangan
saudaranya, mengajaknya
keluar, supaya dapat memanggil
tukang kue itu.
"Bipang, bawa kemari!"
seru Nurbaya.
Setelah hainpir tukang kue itu,
bertanyalah Alimah, "Kue
dari mana ini?"
"Kue Mak Sati," jawab
si penjual.
"Mak Sati di Kampung
Jawa?" tanya Nurbaya.
"Saya," jawab tukang
kue itu.
"Mengapa belum pernah
kulihat engkau di Kampung Jawa?"
tanya Nurbaya pula. "Tukang
kuenya yang seorang lagi acap kali
berjaja di Kampung Jawa Dalam.
Aku kenal benar padanya
Amat namanya, bukan?"
"Benar. la berjaja di
Kampung Jawa Dalam, hamba di sini,"
jawab tukang kue itu.
"Tetapi apa sebabnya, baru
sekarang ini, kudengar suaramu?
Selama ini, di mana engkau?"
tanya Alimah.
"Hamba baru datang dari
Padang Darat," sahut tukang kue
itu, sambil membuka tempat
kuenya, akan memperlihatkan
jualannya. "Sebab hamba
belum dapat pekerjaan yang baik,
menjadi tukang kuelah hamba
sementara."
"Di mana negerimu,"
tanya Nurbaya, sambil memeriksa kuekue
itu.
"Di Payakumbuh," jawab
tukang kue.
"Kue wajik ini tak ada yang
baru?" tanya Nurbaya.
"Tak ada," jawab tukang
kue. "Akan tetapi jika Orang Kaya
suka makan lemang bergula, ada
yang masih panas."
"Mana?" tanya Nurbaya.
"Ini," jawab tukang
kue, seraya membuka tempat kue yang
sebuah lagi dan memilih beberapa
lemang yang masih hangaf,
lalu ditunjukkannya kepada
Nurbaya.
"Baik, berilah empat buah
lemang itu!" kata Nurbaya pula.
"Apa gunanya banyak-banyak,
Nur? Aku sedang tak enak
makan sekarang, nasi pun tiada
habis."
Tatkala ifu mengerlinglah tukang
kue dengan sudut matanya
kepada Alimah. Jika kelihatan
oleh Alimah sudut mata ini,
tentulah nyata kepadanya, tukang
kue itu marah rupanya,
mendengar perkataannya ini.
Tetapi Alimah tiada melihat
kepadanya dan Nurbaya sedang
asyik memilih kue-kue yang
enak-enak.
Setelah diambil Nurbaya beberapa
kue yang lain, dibayarnyalah
harga makanan itu, lalu
berangkatlah tukang kue itu, berjalan
cepat-cepat ke luar pekarangan.
Kedua perempuan muda itu pun
pergilah duduk ke serambi
muka, lalu bercakap-cakap pula,
sedang Nurbaya membuka
sebuah lemang akan dimakannya.
"Mengapa tiada terdengar
lagi suara tukang kue tadi?" tanya
Alimah.
"Dipanggil orang yang di
rumah muka agaknya," jawab
Nurbaya. "Makanlah kue-kue
ini!"
"Tadi sudah kukatakan
kepadamu, aku telah beberapa hari
tak enak makan. Berilah wajik itu
sebuah! Aku coba-coba."
"Jangan begitu, Lim!
Barangkali sekali inilah lagi kita akan
makan bersama-sama. Bila aku
telah pergi pula ke Jakarta, tentu
susah kita akan bertemu kembali,
sebab Samsu rupanya tak
hendak kembali lagi ke Padang
ini. Ia hendak tinggal selamalamanya
di tanah Jawa. Bila aku telah ada
di sana, is hendak
menjual segala hartaku yang masih
ada di sini, untuk pembeli
rumah di sana. Dan bila aku telah
senang kelak, kumintalah
engkau datang. Maukah engkau,
Lim?" tanya Nurbaya, sambil
memakan lemang yang telah
dikupasnya itu.
"Tentu mau, sebab aku pun
ingin hendak melihat tanah Jawa;
lebih-lebih kola Jakarta."
"Hai, mengapakah lemang ini
pahit gulanya?" tanya
Nurbaya.
"Barangkali gula enaunya
kurang baik atau angus memasaknya,"
jawab Alimah.
"Barangkali ini enak,"
kata Nurbaya pula sambil mengupas
sebuah lemang lagi. Yang pertama
tadi, telah habis dimakannya.
"Sesungguhnya kola Jakarta
itu sangat besar; sepuluh kali lebih
besar dari kola Padang ini
agaknya. Dan ramainya tak dapat
dikatakan; siang malam di jalan
raya penuh orang dan kendaraan
serta kereta-kereta,
bermacam-macam. Bagusnya pun tak ada
bandingannya; penuh dengan gedung
yang cantik-cantik dan
kedai yang besar-besar. Patut
dijadikan ibu negeri, tempat
kedudukan Pemerintah Tinggi.
Tetapi istana yang sebenarnya
ada di Bogor, karena hawa negeri
ini dingin; sedang di Jakarta
sangat panas. Nanti, bila aku
telah ada di Jakarta pula, tentulah
kami akan berjalan-jalan ke
Bogor, kata Samsu.
Sekarang inilah baru berasa
senang benar hatiku, Lim, karena
tak ada alangan apa-apa lagi.
Tambahan pula, tatkala aku di
Jakarta, nyata benar olehku, hati
Samsu sekali-kali tiada berubah
kepadaku. Alangkah senangnya rasa
hatiku, ketika berjalan jalan
dengan dia, bersiar-siar dam
berputar-putar, naik bendi dan
kereta, melihat kola Jakarta...
Ah, mengapa pening kepalaku ini
rasanya?"
"Barangkali kurang tidur
tadi malam," jawab Alimah.
"Tidak, siang tadi, lama aku
tidur. Hai, seperti berputar
penglihatanku."
"Marilah masuk, coba
tidurkan!"
"Ya," jawab Nurbaya,
lalu berdiri, hendak masuk ke ruang
tengah, tetapi tiba-tiba jatuhlah
ia. Oleh sebab itu dipeluklah oleh
Alimah pinggangnya, lalu
dibawanya masuk ke bilik dan
ditidurkannya di alas tilam.
"Tolong pijit sedikit
kepalaku ini, Lim! Barangkali benar aku
masuk angin."
"Baiklah," jawab
Alimah; lalu dipijitnya kepala Nurbaya.
Tiada berapa lama kemudian
daripada itu, tertidurlah Nurbaya
rupanya.
Tatkala memijit itu berpikir
Alimah dalam hatinya,
"Mengapakah Nurbaya
tiba-tiba jadi pening? Apakah yang
diperbuatnya tadi? Pukul setengah
sebelas ia telah tidur. Biasanya
sampai jauh malam is masih
bercerita-cerita dan bercakapcakap."
Walaupun Nurbaya telah terlena,
masih dipijit juga oleh
Alimah kepalanya, sampai beberapa
lamanya. la takut adiknya
itu akan terbangun pula karena
kurang enak rasa badannya;
apalagi karena Nurbaya rupanya
senang kena pijitnya, sebab
lekas ia tertidur.
Ketika ia berdiri hendak pergi
tidur pula, diperhatikannya
muka adiknya itu. Sangatlah is
terperanjat melihat Nurbaya,
sebagai tiada bernafas lagi, lalu
diguncangkannya badan
Nurbaya, supaya bangun. Tetapi
sesungguhnyalah, perempuan
yang malang itu, tak ada lagi.
Maka menjeritlah Alimah, meratap
menangis amat sangat,
sehingga ibu bapanya terperanjat
bangun dan datang berlari-lari.
Tatkala dilihat Fatimah, Nurbaya
terhantar di tempat tidurnya,
tiada bergerak lagi, lalu
berteriaklah pula ia menangis dengan
merentak-rentak dan
memukul-mukulkan tangannya, sehingga
ramailah bunyi ratap di rumah
itu. Orang sebelah-menyebelah
pun gempar datang, hendak
mengetahui, apa yang terjadi di situ.
Tetapi seorang pun tak dapat
memberi keterangan yang nyata,
selainnya daripada Nurbaya telah
meninggal. Malam itu juga
Ahmad Maulana pergi memanggil
dokter dan dua jam kemudian
datanglah dokter itu,lalu
memeriksa Nurbaya dan nyatalah
kepadanya, bahwa Nurbaya memang
telah meninggal. Walaupun
dokter mencobakan sekalian
ilmunya, untuk menolong Nurbaya,
tetapi sia-sia belaka.
Karena menurut cerita Alimah,
Nurbaya berasa badannya tak
enak sesudah memakan lemang itu,
diambillah oleh dokter
lemang yang tinggal lagi dengan
kue-kue lain, akan disuruh
diperiksanya. Pada keesokan
harinya nyatalah kepadanya, bahwa
Nurbaya termakan racun. Itulah
yang menyebabkan mautnya.
Meskipun perkara terserah ke
tangan polisi, tetapi yang
bersalah, tiada kedapatan.
Untuk mengetahui penjahat ini,
marilah kita kembali mengikuti
tukang kue tadi.
Setelah sampai ia ke jalan besar,
tiba-tiba keluarlah seseorang
yang memakai serba hitam dari
balik pohon kayu, lalu
menghampiri tukang kue itu. Setelah
dekat bertanyalah ia,
"Bagaimana Pendekar
Empat?"
"Dibelinya, dan aku berikan
yang bergula enau."
"Bagus! Sekarang marilah
kita pergi kelas-lekas dari sini."
"Tetapi peti kue ini
bagaimana?" tanya Pendekar Empat.
"Nanti; di rumah kosong itu
ada sumur yang tiada dipakai
lagi. Ke sanalah kaumasukkan peti
ini," jawab Pendekar Lima.
"Tetapi aku khawatir juga,
kalau-kalau yang lain pun kena
pula," kata Pendekar Empat.
"Ada siapa lagi di
sana?" tanya Pendekar Lima.
"Alimah; tetapi katanya ia
tak mau memakan kue-kue, sebab
perutnya tak enak. Itulah
sebabnya dilarangnya Nurbaya membeli
banyak-banyak. Panas hatiku
mendengar perkataannya itu.
Jika tidak di rumahnya, kuterjang
ia, supaya mulutnya jangan
dapat berkata-kata lagi,"
sahut Pendekar Empat.
"Berapa buah dibelinya
lemangmu?" tanya Pendekar Lima
pula.
" "Empat buah;"
jawab Pendekar Empat.
"Masakan keempatnya dimakan
Nurbaya sebab sebuah
lemang pun cukup untuk membawa
dua tiga orang ke pintu
kubur. Akan tetapi, tahu benarkah
engkau, keempatnya berisi
gula?"
"Tahu, sebab yang berisi
gula itu, kupisahkan."
"Jika demikian, tentulah
sampai maksud kita, sekali ini," kata
Pendekar Lima.
"Turutlah aku!" lalu
hilanglah keduanya pada tempat yang
gelap.
Pada keesokan harinya, tatkala
sampai kabar kematian
Nurbaya ini kepada Sitti Maryam,
yang sedang sakit keras di
Kampung Sebelah, karena terkejut
ditinggalkan anaknya Samsu,
tiba-tiba berpulanglah pula ibu
Samsulbahri ini, sebab kabar itu
rupanya sangat menyedihkan
hatinya.
Pada hari itu, kelihatanlah dua
jenazah, dibawa ke gunung
Padang. Kedua perempuan yang
sangat dicintai Samsu ini,
dikuburkan dekat makam Baginda
Sulaiman, ayah Sitti Nurbaya.
....Bersambung ke....Samsul Bahri Membunuh Diri
No comments:
Post a Comment