Wednesday, January 28, 2015

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Episode : Percakapan Nurbaya dengan Alimah



Karya : Marah Rusli
"Bum, bum!" bunyi tabuh. Seketika lagi kedengaranlah orang
bang di langgar dan mesjid, karena magrib telah ada, waktu
orang akan sembahyang.
Ahmad Maulana dan istrinya, kelihatan berjalan menuju ke
tikar sembahyang, lalu sujud ke hadirat Tuhan, dua laki-istri.
Tiada berapa lama kemudian, selesailah mereka daripada berbuat
bakti kepada Tuhannya, itu: tetapi Ahmad Maulana tiada lekaslekas
berdiri dari tikar sembahyangnya, melainkan terus
membaca doa, sampai kepada waktu isya, lalu sembahyang pula.
Tatkala itu kelihatan Alimah dan Nurbaya menyediakan
makanan di atas tikar rumput, yang telah dialas dengan kain
putih, terbentang di tengah rumah. Tiada berapa lamanya
kemudian daripada itu, duduklah Ahmad Maulana makan,
dihadapi istrinya; sedang Alimah dan Nurbaya, duduk jauh
sedikit dari sana, sebagai menunggu, kalau-kalau Ahmad
Maulana minta apa-apa.
"Sedih hatiku melihat untung Rapiah tadi. Baru berumur
delapan belas tahun, telah meninggal dunia. Lebih-lebih sebab ia
meninggalkan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Yang tua,
perempuan, baru berumur tiga tahun dan yang bungsu, laki-laki
berumur tengah dua tahun," kata Ahmad Maulana, sambil
menyenduk sayur-sayuran ke piringnya.
"Ya, memang kasihan benar," jawab istrinya. "Siapakah yang
akan memelihara anak-anak ini?" .
"Itulah yang menambahkan sedih hatiku," kata Ahmad
Maulana pula, "sebab tak ada kaumnya yang mampu, yang akan
mengambil dan memelihara kanak-kanak ini. Yang mati,
sudahlah; tidak dipikirkan lagi; barangkali ia telah senang,
karena telah terlepas daripada segala azab dunia; melainkan
dengan doalah harus dibantu, supaya dilapangkan Allah juga ia
dalam kuburnya. Tetapi anak-anak yang tinggal ini, bagaimanakah
halnya kelak? Sekecil itu, sudah tak beribu lagi."
"Ayahnya bukankah masih ada? Masakan tiada diperdulikannya
anak-anaknya?" jawab Fatimah, istririya.
"Ayahnya?" tanya Ahmad Maulana, sambil memandang
istrinya dengan merengut. "Uh, masakan mau ia menanggung
beban itu! Bukankah telah menjadi adat di sini, anak pulang
kepada mamak. Orang bangsawan sebagai Sutan Hamzah pula,
'kan suka menyelenggarakan anaknya; sedangkan dirinya sendiri
tak terurus olehnya! Berapa banyak anaknya di kota Padang ini,
yang tiada diindahkannya. Lebih-lebih sekarang ini, karena ia
rupanya sedang asyik kepada istri mudanya.
Walaupun ia sudi memelihara anak-anaknya ini sekalipun
tentulah akan bertambah-tambah juga sengsara anak ini; sebab
mereka niscaya akan diserahkan kepada ibu tirinya itu. Engkau
tahu sendiri betapa kelakuan perempuan kepada anak tirinya.
Dalam seratus, jarang seorang yang baik. Hampir sekaliaiinya
memandang anak tirinya, sebagai musuhnya; sebab anak madunya.
Anak-anak yang tiada bersalah dan tiada tahu apa-apa
dalam perkara orang tuanya, disiksanya dan dideranya akan
melepaskan sakit hatinya kepada madunya yang telah tak ada
lagi dan yang acap kali tiada berdosa, bahkan teraniaya, karena
suaminya dirampas orang."
Rupanya kebenaran perkataan ini tiada dapat dibatalkan oleh
Fatimah; oleh sebab itu berdiamlah ia sejurus kemudian bertanya
pula ia dengan memutar haluan percakapannya, "Tetapi apakah
sakitnya Rapiah itu?"
"Sakitnya yang sebenarnya tiada kuketahui. Kata setengah
orang demam-demam saja dan kata setengahnya batuk darah.
Ada pula yang mengatakan sakit dalam badan. Khabarnya,
semenjak ia berkelahi dengan suaminya, sebab ia marah, Sutan
Hamzah kawin dengan istrinya yang baru ini, tiadalah ia bangun
lagi, sampai kepada waktu mautnya, karena ia kena terjang
suaminya itu.
Entah mana yang benar, tiada kuketahui. Tetapi kabar ini tak
guna diceritakan pula kepada siapa pun; kalau kedengaran oleh
polisi, jadi perkara, nanti. Bukannya kita boleh terbawa-bawa
saja, tetapi kalau sampai Sutan Hamzah terhukum, bermusuhmusuhanlah
kita dengan Penghulu Sutan Mahmud. Dan lagi
apakah jadinya dengan anaknya yang masih kecil-kecil itu
kelak? Ibu mati, bapa terbuang."
"Masakan hamba gila, membukakan rahasia ini," jawab
Fatimah.
Tatkala itu kelihatan Nurbaya berdiri, lalu masuk ke dalam
biliknya, sebagai hendak mengambil apa-apa, tetapi sesungguhnya
hendak menyembunyikan air matanya, yang keluar, tak
dapat ditahannya, karena ingat akan nasibnya sendiri, hampir
sama dengan perempuan yang baru berpulang dan anaknya yang
ditinggalkannya itu.
Setelah keringlah air matanya, barulah ia keluar pula dan
kelihatan olehnya mamandanya sudah selesai makan, lalu
membasuh tangannya.
"Alimah, coba ambil rokokku dari dalam bajuku!" kata
Ahmad Maulana. Alimah segera berdiri mengambil rokok itu
dan memberikannya kepada ayahnya.
"Sekarang makanlah kamu sekalian!" kata Ahmad Maulana
pula, sambil membakar rokoknya.
Alimah dan Nurbaya mendekatlah ke sana, lalu makan
bersama-sama dengan Fatimah.
"Sebenarnya pikiranku, sekali-kali tiada setuju dengan adat
beristri banyak; karena terlebih banyak kejahatannya daripada
kebaikannya," kata Ahmad Maulana, sambil termenung
mengembuskan asap rokoknya. "Banyak kecelakaannya yang
sudah kudengar dan banyak sengsaranya, yang sudah kulihat
dengan mata kepalaku sendiri."
"Ya, tetapi sudah adat kita begitu; bagaimana hendak diubah?
Dalam agama kita pun tiada dilarang laki-laki beristri lebih dari
seorang. Bila kita beranak laki-laki, alangkah malunya kita,
walaupun kita bukan orang berbangsa tinggi sekalipun bila anak
kita itu hanya seorang saja istrinya; sebagai orang yang tak laku
kepada perempuan," jawab Fatimah.
"Jadi aku ini tak laku kepada perempuan, sebab istriku hanya
engkau scorang? Engkau tiadakah malu pula Alimah, sebab
ayahmu tak laku kepada perempuan lain?" tanya Ahmad
Maulana kepada anaknya, seraya tersenyum.
Aliniah tiada menjawab pertanyaan ayahnya ini, melainkan
tunduk kemalu-maluan.
"Rupanya Mak Mudamu ini, suka kepada laki-laki yang
beristri banyak, Nurbaya; sebab itu baiklah kaupinangkan aku
perempuan barang selusin lagi. Kalau tiada, ia nanti minta surat
cerai kepadaku, sebab malu, kepada orang, suaminya tak laku
kepada perempuan," kata Altmad Maulana pula.
Nurbaya pun tiada berani menjawab olok-olok itu hanya
tersenyum, karena dilihatnya Mak Mudanya merengut.
"Suatu lagi yang tak baik," kata Ahmad Maulana; sedang
senyumnya hilang dari birinya, "perkawinan itu dipandang
sebagai perniagaan. Di negeri lain, perempuan yang dijual
kepada laki-laki, artinya si laki-laki harus memberi uang kepada
si perempuan; akan tetapi di sini, laki-laki dibeli oleh
perempuan, sebab perempuan; memberi uang kepada laki-laki.
Oleh sebab adat yang sedemikian, laki-laki dan perempuan
hanya diperhubungkan oleh . tali uang saja atau karena keinginan
kepada keturunan yang baik; sekali-sekali tidak dipertalikan oleh
cinta kasih sayang.
Itulah sebabnya tali silaturahim antara suarni dan istri mudah
putus, sehingga lekas bercerai kedua mereka. Bila telah bercerai,
tentulah si laki-laki beristri pula dan si perempuan bersuami
kernbali. Jadi laki-laki banyak istrinya dan perempuan banyak
suaminya.
Pada bangsa Barat, biasanya suami dan istri tiada diperhubungkan
oleh tali uang atau harta, melainkan terutama oleh
tali percintaan dan kasih sayang. Karena itulah maka
perhubungan mereka lebih erat sebab cinta kasih sayang itu, acap
kali tiada mengindahkan harta, bangsa atau pangkat, Lagi pula,
mereka itu terikat oleh perjanjian setia yang seorang kepada
yang lain; tak boleh bercerai, bila tak ada sebab yang penting,
sehingga bertambah kuatlah perhubungan itu."
"Ah, mengapa pula kita kan menurut adat kafir itu," jawab
Fatimah, sambil membasuh tangannya, sebab telah selesai
makan:
Alimah dan Nurbaya mulailah mengangkat sisa-sisa
makanan, lalu menyuruh cuci piring dan mangkuk, bekas tempat
makan, kepada bujang.
Sungguhpun Nurbaya bekerja, tetapi telinganya selalu
dipasangnya, akan mendengar perkataan Bapa Mudanya, karena
buah pikirannya sesuai benar dengan pendapatnya.
"Mereka itu kafir, kata kita; tetapi mereka barangkali berkata,
kitalah yang kafir, sebab tak menurut agama mereka. Mana yang
benar, wallahualam! Tak dapat kita putuskan; hanya Allah yang
mengetahui. Sekalian agama datang dari pada-Nya, untuk
keselamatan manusia. Tentu saja tiap-tiap bangsa akan memuji
agamanya sendiri, sebagai tiap-tiap orang memuji dirinya sendiri
pula; tetapi pujian kepada diri sendiri itu, tak boleh menjadi
sebab, untuk mencela diri orang lain; apalagi kalau pengetahuan
kita hanya baru sekadar tentang diri kita sendiri saja. Bagaimana
dapat kita perbandingkan dua buah benda, kalau kita hanya tahu
satu saja, daripada keduanya?
Tentang agama itu, yang kita ketahui hanya agama kita
sendiri, itu pun belum sempurna pula. Agama lain sekali-kali
tiada kita ketahui. Bagaimana dapat kita katakan buruk baiknya?
Bagaimana dapat kita perbandingkan, mana yang benar, mana
yang salah, antara kedua agama itu? Cobalah pikir benar-benar!
Bila aku mempunyai sebuah batu dan engkau mempunyai pula
sebuah, dapatkah kaukatakan, mana lebih berat di antara kedua
batu itu, jika tiada kauketahui berat keduanya? Dan bagaimanakah
dapat kaukatakan, batumu lebih berat daripada batuku, kalau
kau belum tahu berapa besar dan berapa berat batuku? Sedangkan
batumu sendiri pun belum kauketahui benar-benar, berat dan
ringannya."
"Tetapi bukankah dapat dilihat dengan mata, ditaksir dengan
pikiran, menurut besarnya?" jawab Fatirnah.
"Penglihatan dan taksiran tiada selamanya benar. Tirnah yang
kecil, terkadang-kadang lebih berat daripada kayu yang besar.
Sungguhpun demikian, harus juga kaulihat dahulu besar kedua
benda itu, supaya dapat kautaksir beratnya.
Sekarang apakah pengetahuanmu tentang agama si kafir itu?
Lain tidak, hanya tentang keburukannya saja; itu pun karena
mendengar cerita orang dan engkau turutlah menyebutnya
sebagai seekor burung tiung meniru perkataan yang diajarkan
kepadanya, dengan tiada tahu sekali-kali apa artinya.
Tidak baik begitu, sesuatu yang belum kauketahui benarbenar,
janganlah kaucela lekas-lekas. Dalam agama kita pun
dilarang menuduh seseorang kafir atau Islam, karena sekalian
itu, hanya Tuhanlah yang tahu. Apalagi sebab hati manusia itu
tiada tetap, bertukar-tukar juga sebilang waktu. Sekarang baik,
besok barangkali jahat; tak dapat ditetapkan, karena manusia itu
bersifat lemah. Janganlah menilik yang lahir saja, sebab yang
batin itulah yang lebih berharga. Dan tahukah engkau akan batin
orang?
Walaupun pada lahirnya ia kafir, siapa tahu, pada batinnya
barangkali ia Islam. Biarpun sekarang ia kafir, boleh jadi nanti
berpaling hatinya, menjadi Islam. Dan lagi pada pikiranku,
agama itu tak ada yang jahat, sekaliannya baik, karena
maksudnya baik belaka dan tujuannya kepada Tuhan Yang Esa."
Perkataan itu tiada juga dijawab oleh Fatimah, sebab itu
berkata pulalah Ahmad Maulana, setelah berdiam diri sejurus,
"Sungguhpun mereka itu bangsa kafir, kata kita, ada juga adat
dan aturannya yang baik. Aturan, lain, dan agama pun, lain;
jangan disamakan saja. Adat dan aturan kita benar banyak yang
baik, tetapi ada juga yang salah. Apakah salahnya, kalau ditiru
adat bangsa lain yang baik dan dibuang adat kita yang buruk?
Adat mereka yang jahat itu jangan kita ambil dan adat kita yang
baik disimpan benar-benar.
Banyak aturan dan adat bangsa asing yang sudah kita tiru
dengan tiada dipikirkan dalam-dalam buruk baiknya. Baju jas
dan sepatu, pakaian siapa itu? Bukankah pakaian orang Barat?
Mengapakah dipakai juga? Orang haji dan Arab pun banyak pula
yang meniru pakaian Barat itu. Berkursi, bermeja, berlampu
gantung, bukan adat nenek moyang kita turut juga. Piring dan
mangkuk, perbuatan siapa? Tetapi dipakai juga? Adat dan aturan
siapakah yang harus diturut orang Islam? Adat orang Arab?
Orang Arab makan kurma dan minum susu unta; mengapa tidak
ditiru pula? Manakah adat dan aturan kita yang asli?
Ah Fatimah, sekalian itu, hanya dunia saja; bukan akhirat;
lahir, bukan batin. Pada pikiranku, walaupun apa juga yang
engkau pakai atau perbuat, asal hakikatmu suci dan hatimu tiada
bcrubah, tiada jadi apa-apa. Tetapi walaupun kauturut bcnar tiaptiap
perkataan yang tersebut dalam kitab, kalau hatimu tiada suci
dan lurus, tak ada gunanya."
"Ya itu betul; tetapi adat kita, pusaka nenek moyang kita, tak
boleh disia-siakan atau ditukar-tukar saja. Dan lagi, tak baik kita
membuang-buangnya; buruk dan baik harus diturut. Itu tandanya
kita beradat. Kalau hendak menambahnya dengan aturan lain,
baik, tetapi adat kita, dipakai juga."
"Memang kurang baik membuang yang lama, karena
nrendapat yang baru. Tetapi ada di antara adat dan aturan lama
itu, yang sesungguhnya baik pada zaman dahulu, tetapi kurang
baik atau tak berguna lagi waktu sekarang ini. Adalah halnya
seperti pakaian tatkala mula-mula dibeli, boleh dan baik dipakai,
tetapi makin lama ia makin tua dan lapuk; akhirnya koyakkoyak,
tak dapat dipergunakan lagi. Kalau sayang membuang
pakaian tua ini, karena mengingat jasanya, sudahlah, simpanlah
ia, untuk jadi peringatan! Tetapi pakaian baru, harus juga dibeli,
bukan?
Demikian juga adat itu; bertukar-tukar, menurut zaman.
Walaupun tiada disengaja menukarnya, ia akan berganti juga;
sebab tak ada yang tetap. Sekali air pasang, sekali tepian beralih,
kata pepatah. Dan memanglah begitu."
"Baiklah, sekarang cobalah Kanda terangkan apa kejahatan
adat kita di Padang ini, tentang beristri lebih daripada seorang?"
tanya Fatimah pula.
"Dengarlah," sahut Ahmad Maulana. "Pertama, makir.
banyak istri makin banyak belanja; scbab tiap-tiap istri itu harus
dibelanjai dengan secukupnya. Bila kurang belanja, tentu saja
kurang hati istri-istri itu. Dengan demikian, mudah timbul
perselisihan; dan bila selalu berbantah saja, dengan tiap-tiap istri
yang banyak itu, tentulah kehidupan kurang senang."
"Rupanya Kakanda lupa akan perkataan Kakanda tadi dan
adat kita yang asli, yaitu laki-laki tak usah memberi belanja
istrinya atau anaknya, karena anak istrinya itu tanggungan
mamaknya. Laki-laki dipandang sebagai orang semenda, orang
menumpang saja; jadi walaupun istri dan anak banyak, tiada
menyusahkan."
"Bukan aku lupa," jawab Ahmad Maulana. "Itulah yang lebih
terasa di hatiku. Laki-laki tak usah memberi belanja dan
memelihara anak istrinya, bahkan dapat makan dan pakaian pula
dari perempuan. Dan apabila laki-laki itu berbangsa, tatkala
kawin, dijemput pula oleh perempuan, dengan uang dan pakaian.
Jadi apa namanya laki-laki itu? Karena sesungguhnya laki-laki
itulah yang harus memberi nafkah dan memelihara anak istrinya,
sebab perempuan lebih lemah dari laki-laki.
Bila dibandingkan laki-laki dengan perempuan, tentang
bentuk badannya, kekuatannya, akalnya dan lain-lain, nyatalah
laki-laki bangsa yang melindungi anak-istri, sanak saudara, harta
benda, kampung halaman, baik tentang musuh ataupun
keperluan yang lain-lain, untuk kehidupan. Perempuan tempat
menyimpan dan mempertaruhkan anak dan harta benda. Tetapi
menurut adatmu tadi, perempuari menjadi laki-laki dan laki-laki
menjadi perempuan. Tiada sesuai dengan aturan alam."
"Boleh jadi." jawab Fatimah, "tetapi bukan perempuan itu
sendiri yang memberi makan suaminya, melainkan mak-bapa
dan ahli si perempuan itu."
"Baik, aku terima jawabmu itu, walaupun memang ada negeri
yang sesungguhnya perempuannya yang mencari penghidupan,
karena ialah yang bekerja, berniaga dan lain-lain sebagainya,
sedang suami tidur-tidur, bersuka-suka hati, mengadu ayam,
mengadu burung atau berjudi. Tetapi apakah namanya laki-laki
yang sedemikian itu? Bukankah laki-laki ini dapat disamakan
dengan bapa kuda atau bapa sapi, yang dipelihara baik-baik dan
diberi makan cukup, semata-mata hanya karena hendak mengharap
keturunannya saja?
Kalau laki-laki itu bangsawan atau iupawan, sudahlah; sebab
ada yang diharapkan dari padanya yaitu rupa yang balk atau
bangsanya yang tinggi itu, supaya turun kepada anaknya, meskipun
bangsa itu makin lama makin berkurang harganya dan
makin kurang dipandang orang. 'Fetapi, kalau laki¬laki itu tiada
berbangsa tinggi, tiada berupa baik, kepala bersegi, telinga lebar,
mata juling, hidung penyek, mulut lebar, gigi keluar, punggung
bungkuk, kaki timpang pula sebelah, apakah yang diharapkan
dari orang yang sedemikian? Segala cacatnya itukah, supaya
anak cucunya sama bagusnya dengan dia?"
"Laki-laki yang serupa itu masakan laku! Yang dibeli,
tentulah yang bangsawan, rupawan, pintar, berpangkat atau lainlainnya,"
jawab Fatimah.
"Kalau begitu, tak jadi apalah. Tiap-tiap yang berharga, tentu
tak dapat dipinta saja, walaupun barang yang berharga ini,
bagiku tak seberapa artinya. Tetapi adat yang kita perbincangkan
tadi, yaitu laki-laki dipandang sebagai orang yang inenumpang
saja, kedapatan juga pada orang kebanyakan, jadi bukan pada
orang yang istimewa saja.
Lagi pula, daripada sifat-sifat yang kausebut itu, hanyalah
kebangsawanan dan rupawan saja yang dapat diturunkan kepada
anak cucu. Tetapi pangkat yang tinggi atau ilmu yang dalam itu
apa gunanya, kalau tak dapat menolong anak?"
Maka tiadalah pula dapat Fatimah memberi jawaban.
"Kedua," kata Ahmad Maulana, setelah berhenti sejurus,
"makin banyak istri; dan makin banyak anak, makin banyak pula
belanja..."
"Tunggu dulu," kata Ahmad Maulana, sebab dilihatnya
istrinya hendak menjawab, "aku tahu, apa yang hendak kau
katakan, yaitu anak yang banyak itu tiada menjadi alangan,
bukan? Sebab sekalian anak itu ada bermamak, yang harus
memeliharanya. Tetapi karena hal itulah, tak ada pertalian cinta
kasih sayang antara anak dan bapa, sebagai antara laki dan istri
tadi itu pula. Dengan demikian, laki-laki itu tiadalah tahu yang
dinamakan: Cinta kasih sayang kepada anak dan istrinya. Yang
dikenalnya hanya sayang kepada kemanakannya. Tetapi
kesayangan kepada kemanakan, tiada dapat disamakan dengan
cinta kepada anak, darah daging sendiri. Dan anaknya itu takkan
tahu pula cinta kepada bapanya, hanya kepada ibunya saja,
sedang cinta kepada mamaknya tiada seberapa. Istrinya hanya
cinta kepada anaknya, sebab darah dagingnya, tetapi suaminya
orang lain pada perasaannya. Sebab itu jaranglah mereka
mendapat persatuan suami-istri dan kesenangan berumah tangga,
yang sangat berharga bagi bangsa Barat.
Dan lagi, pikirlah! Kesalahan siapa maka anak itu sampai ada
di dunia? Bukannya ia yang minta dilahirkan, melainkan makbapanya
yang menjadikannya. Sekarang sesudah anak itu lahir,
ia diserahkan kepada orang lain, yang sekali-kali tiada bersalah
dalam hal ini. Walau mamaknya sekalipun, kesayangannya
tiadalah akan sama dengan kesayangan ayahnya sendiri...
Bagaimana rasanya itu? Cobalah kaupikir benar-benar!
Jangan buta tuli, memandang adat saja. Mana yang dekat kepada
si bapa, anaknya atau kemanakannya? Anaknya darah dagingnya,
kemanakannya anak saudaranya, walaupun yang sedarah
dengan dia.
Ada orang yang bersangka, anak itu sesungguhnya terlebih
dekat kepada mamaknya daripada bapanya, karena itu terang
kemanakan mamaknya, sebab kelihatan dilahirkan oleh saudara
si mamak itu, yang sedarah dengan dia. Tetapi ia belum tentu
anak si bapa; boleh, jadi juga anak laki-laki lain, yaitu kalau
ibunya tiada setia kepada suaminya. Jadi si bapa itu sebagai
kurang percaya kepada anak dan istrinya.
Hal yang ganjil ini pada sangkaku, asalnya dari adat zaman
dahulu kala, tatkala perempuan boleh bersuami banyak atau
tatkala perkawinan belum teratur benar sebagai sekarang ini.
Tetapi adat itu tiada sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini.
Perkara perkawinan pun telah teratur dengan baik, artinya tiaptiap
laki-laki tentu istrinya dan perempuan tentu pula suaminya,
disaksikan oleh orang banyak, waktu mereka kawin.
Aku tiada hendak mengatakan, bahwa tiap-tiap anak itu, tak
dapat tiada anak bapaknyalalt; tentu boleh jadi juga anak lakilaki
lain. Tetapi hal yang sedemikian, jarang terjadi sehingga
sekali-kali tak patut menjadi alasan, anak mengganjilkan diri dari
apa adat orang sedunia ini, yaitu pusaka turun kepada anak.
Kaulihat, itulah suatu contoh yang menyatakan, bahwa
sesuatu adat yang dahulu barangkali baik, tetapi sekarang ini,
mungkin tiada berharga lagi. Tak baiklah adat yang telah lama
seperti ini, disimpan saja dalam peti, kalau perlu, akan jadi tanda
mata daripada'nenek moyang kita dahulu kala?"
Perkataan itu pun tiada dapat disalahkan oleh Fatimah, sebab
itu diputarnya tujuan perbincangan ini sedikit dengan berkata,
"Tetapi bukankah baik banyak anak, supaya bangsa kembang
biak."
"O, kalau itu maksudmu, memang benar sekali. Seharusnyalah
tiap-tiap bangsa itu mengembangkan bangsanya, sebagai
tersebut dalam agama. Tetapi memelihara bangsa itu, kewajiban
pula. Jangan menjadikan saja pandai, mernelihara tak mau.
Betapa bangsa itu dapat kembang dengan sempurna, jika tiada
dipelihara sendiri baik-baik? Bekerja jangan tanggung, Mah!
Ketiga, walaupun tersebut dalam kitab (agama), laki-laki
boleh beristri sampai empat orang, tetapi haruslah harta si lakilaki
itu berlebih dahulu daripada untuk memelihara seorang istri
dengan sempurna dan haruslah pula ia adil dengan seadil-adilnya,
dalam segala hal, kepada keempat istrinya itu; haruslah
boleh. Kalau tiada, menjadi dosa; sebab kelakuan yang tak adil
itu mendatangkan dengki khianat antara istri-istri itu. Tetapi
kebanyakan laki-laki itu tiada adil kepada sekalian istrinya.
Biasanya yang baru itulah yang lebih disayanginya, daripada
yang lama; yang muda lebih digemari daripada yang tua; yang
bagus, lebih disukai daripada yang buruk. Itu tak boleh; sekaliannya
harus sama, belanja, pakaian, rumah tangga, cinta kasih
sayang dan lain-lain sebagainya.
Adakah laki-laki kita yang dapat berbuat sedemikian? Dalam
seribu jarang seorang. Kebanyakan, dalam segala hal, dilebihkannya
yang terlebih dicintai. Mustahil akan dapat sama cinta
kepada segala istri, sebab telah ditakdirkan Tuhan, manusia itu
terlebih ingin dan terlebih sayang kepada yang molek daripada
yang buruk. Kelakuan yang serupa itulah yang acap kali
menimbulkan cemburu dan dengki, antara istri-istri itu, sehingga
terbitlah perbantahan, antara laki-laid dengan istrinya dan antara
istri dengan istri. Walaupun kepada istri yang mana laki-laki itu
pergi, yang diterimanya tiada lain daripada muka masam, perkataan
yang kurang sedap didengar, penjagaan yang kurang
sempurna, terkadang-kadang umpat dan maki, sehinb ga
akhirnya jadi berkelahi. Adakah senang kehidupan yang
sedemikian?
Lagi pula, istri-istri yang dipermadukan itu, tiada lurus
hatinya kepada suaminya, baik dalam perkara apa juga. Ada pula
istri itu yang menjadi jahat, yang berbuat kelakuan yang tak
senonoh, karena hendak membalaskan sakit hatinya kepada
suaminya. Perhubungan yang memang kurang kuat tadi, menjadi
bertambah-tambah longgarlah, sehingga akhirnya, hanya tinggal
surat kawin saja lagi, yang memperaihatkan kedua mereka.
Meskipun aku laki-laki, tetapi pada pikiranku, tiada boleh
suami berkecil hati, bila istrinya yang dipermadukannya itu tiada
mengindahkan suaminya, karena suami itu pun tiada pula
mempedulikan perasaan hati istrinya. Perempuan manakah yang
dapat menahan hati, meliltat suaminya dengan perempuan lain?
Adakah laki-laki yang dapat senang hatinya, melihat istrinya
dengan laki-laki lain? Pada pikiranku tak ada.
Keempat, ada juga perempuan yang rupa-rupanya, tiada
mengindahkan kelakuan suaminya, yang suka beristri banyak itu,
sebab perempuan itu sangat sabar. Tetapi acap kali kesabaran
inilah, tanda kurang sayang kepada suaminya. Karena cemburu
itu bukankah timbulnya daripada hati yang cinta?
Apabila istri-istri itu sama cinta kepada suaminya, tentulah
masing-masing mencari akal supaya ia lebilt disayangi suaminya
daripada madunya. Kebanyakan akal ini bukan dijalankan
dengan memperbaiki kelakuan atau rumah tangga atau apa saja
yang dapat menarik hati suami tadi, melainkan dengan jalan
berdukun dan pekasih.
Tiap-tiap istri, mencari dukun yang pandai akan mengobati si
suami, supaya ia lebih dicintai daripada madunya; terkadangkadang
sampai berhabis harta benda. Si dukun bukannya
mempergunakan ilmu saja, melainkan acap kali memakai
ramuan dan obat-obatan yang harus dimakan si laki-laki. Betul
maksudnya baik, tetapi sebab ramuan pekasih itu tiada selamanya
barang yang bersih, lama-kelamaan, karena terlalu banyak
makan obat itu, dari sana-sini, dari sekalian istrinya rusak juga
badannya. Bukan seorang dua orang laki-laki yang telah menjadi
kurban perbuatan dukun seperti itu. Sayang!
Perempuan yang tiada sabar, terkadang-kadang, karena
sangat sakit hatinya dipermadukan, bukan pekasih yang diberikannya
kepada suaminya yang sedemikian, tetapi racun;
sehingga bertambah-tambalt lekaslah ia berpulang ke negeri
yang baka.
Alimah, coba beri aku air teh segelas! Kering mulutku rasanya
bercerita ini," kata Ahmad Maulana kepada anaknya.
Alimah segera keluar dari dalam biliknya, mengambil apa
yang diminta oleli ayahnya itu. Kemudian kembali pula ia ke
dalam biliknya, sedang Nurbaya di sana, pura-pura duduk menjahit,
tetapi sesungguhnya didengarkannya benar-benar segala
perkataan bapa mudanya ini.
"Kelima, apabila perempuan tadi hatinya kurang baik." kata
Ahmad Maulana pula, sesudah minum teh, "bukannya suarninya
saja yang diberinya ramuan itu, tetapi madunya pun diberinya
juga; bukan supaya sayang kepadanya, hanya supaya dibenci
oleh suaminya, ada pula yang membuat, agar madunya itu lekas
berkalang tanah. Siapa tahu, barangkali Rapiah ini kurban perbuatan
yang sedemikian pula. Kasihan!
Keenam, banyak perempuan yang telah dipermadukan itu,
karena takut beroleh kesakitan dan kesedihan pula, tiada hendak
kawin lagi, bila ia telah diceraikan oleh suaminya. Jika sekalian
perempuan berbuat demikian bagaimanakah akhirnya? Bagaimanakah
engkau dapat mengentbangkan bangsamu dengan
perempuan yang tak hendak kawin? Barangkali waktu ini hal ini
belum memberi khawatir, karena kebanyakan perempuan, belum
dapat mencari kehidupan sendiri akan tetapi kalau mereka telah
pandai pula sebagai laki-laki, tentulah lebih suka mereka
mencari penghidupan sendiri daripada selalu makan hati, sebab
dipermadukan oleh suaminya. Perempuan pun kawin, karena
hendak mencari kesenangan juga, bukan karena hendak
mengabdi kepada laki-laki."
"Itulah sebabnya tak baik arak perempuan disekolahkan,"
kata Fatimah.
"Supaya tinggal budoh dLn selama-lamanya menjadi budak
laki-laki, bukan? Boleh diperbuat sekeh ndak hati; sebagai
kerbau, diberi bertali hidungnya, supaya dapat ditarik. Dan
disuruh ke mana suka oleh yang mengembalakannya. Jika
engkau sendiri, sebagai seorang perempuan, suka bangsamu
diperbuat sedemikian, suka hatimulah! Tetapi kalau aku menjadi
perempuan, sekali-kali aku tak mau menerima peraturan ini."
Tatkala itu terdiamlah pula Fatimah, karena tak dapat menjawab
perkataan suaminya. ,
"Ketujuh, perempuan yang dipermadukan itu, hatinya tiada
lurus kepada suaminya dalam segala hal, seperti telah kukatakan
tadi. Janganlah dipandangnya suaminya sebagai kekasihnya,,
sebagai sahabatnya pun tak dapat dibenarkannya; karena pada
penglihatan dan perasaannya, laki-laki itu ialah tuannya yang
bengis. Bagaimanakah dapat hidup senang dan sehati dengan
musuh yang dibenci?
Ah Fatimah, banyak lagi kejahatan adat beristri banyak itu;
kemudian boleh kuceritakan pula. Sekarang mataku sudah
mengantuk, suruhlah, si Hasan memadami lampu dan menutup
pintu!"
Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, gelaplah rumah
Ahmad Maulana, sunyi senyap; karena lampu sudah dipadami
dan sekalian pintu jendela sudah ditutup. Hanya di belakang
rumah itulah masih kedengaran suara si Hasan, bujang Ahmad
Maulana, bersenandung perlahan-lahan, akan menggolekkan
dirinya sendiri.
Di dalam biiik Alimah, kelihatan Nurbaya dengan saudara
sepupunya ini, masih menjahit. Sebentar-sebentar Nurbaya
berhenti, lalu termenung, sebagai ada yang dipikirkannya.
"Nur, datang pula penyakitmu?" tanya Alimah.
"Bukan. Lim; hanya aku masih ingat akan perkataan bapa
tadi sebab pikirannya itu sangat terbenar dalam hatiku dan
menimbulkan ingatan kepada untung kita bangsa perempuan
ini," jawab Nurbaya.
"Nur, jangan kau banyak menyusahkan pikiranmu dengan
ingatan yang sedih-sedih! Penyakitmu rupanya masih ada.
Segala kenang-kenangan yang pilu-pilu, belum hendak hilang
dari hatimu. Bukankah engkau sudah berjanji kepadaku, akan
menetapkan pikiranmu supaya jangan tergoda pula lagi?"
"Bukan hatiku rawan, Lim; memang hal ini sudah lama
terpikir olehku. Cobalah kaupikir benar-benar, nasib kita
perempuan ini! Demi Tuhan yang bersifat rahman dan rahim,
kita telah dikurangkan daripada laki-laki, teman kita itu. Sengaja
kukatakan teman kita laki-laki itu, karena sesungguhnyalah
demikian walaupun banyak di antara mereka yang menyangka,
mereka itu bukan teman, melainkan tuan kita dan kita hambanya.
Pada persangkaan mereka, mereka lebih daripada kita, tentang
kekuatan dan akal mereka. Betul kita lemah daripada laki-laki
dan barangkali juga tiada sepandai laki-laki, akan tetapi
kelemahan tubuh kita dan kekurangan akal kita itu, bukanlah
sebab kelihatan kita yang kurang atau otak kita yang tiada
sempurna; hanya karena tubuh kita, sangat berlainan dengan
laki-laki. lngatlah. kita ini bangsa ibu, karena anak itu kita yang
mengandungnya melahirkannya, menyusukannya, memeliharanya
dan membesarkannya. Laki-laki tak tahu apa-apa, hanya
tahu senangnya saja.
Ingatlah perasaan perempuan yang hamil itu, muntah-muntah
sakit-sakit, tak sedap perasaan badan. Bukanlah sekalian itu
penyakit? Oleh sebab kira-kira dua bulan sesudah kita beranak,
kita telah bunting pula, bolehkah dikatakan, kita hampir
selamanya dalam sakit-sakit. Lihatlah perempuan yang tiap-tiap
tahun beranak! Bagaimana halnya? Badan rusak, lekas tua, umur
pendek. Bagaimana kita dapat menyamai kekuatan laki-laki,
yang boleh dikatakan selalu dalam sehat?
Lagi pula, segala pekerjaan laki-laki menambah kekuatan
badannya dan tajam pikirannya, tetapi pekerjaan kita perempuan
dari rumah ke dapur dan Jari dapur ke rumah, menjaga anak,
rnemasak, mencuci dan membersihkan rumah tangga; sekali-kali
bukan pekerjaan yang rnenambahkan kekuatan dan pikiran.
Laki-laki tahu perbedaan ini dan ia tahu pula penanggungan
kita tatkala kita hamil. Akan tetapi pengetahuannya itu jangankan
menjadi pandangan padanya, yang menimbulkan iba kasihan
kepada kita, tidak, melainkan ditertawakan dan dipermainkan
pula kita. Ada pula yang kawin, di waktu istrinya bunting atau
beranak. Kitakah yang berkehendak akan nasib yang malang ini?
Kitakah yang meminta, supaya dijadikan begitu? Oleh sebab
laki-laki itu tiada merasai penanggungan, kesengsaraan dan
kesakitan kita ini, itulah sebabnya tiada diindahkannya hal kita.
Jarang laki-laki yang ingat, bahwa ibunya yang telah bersusah
payah mengandung, melahirkan dan memeliharanya, bangsa
perempuan juga, bukan bangsanya sendiri, yaitu laki-laki."
"Benar sekali katamu itu, Nur," jawab Alimah, sarnbil
termenung memikirkan perkataan adiknya ini.
"Marilah kuteruskan uraian ini! Terlebih dahulu
penanggungan perempuan, karena anaknya, yang sebetulnya
bukan anaknya sendiri, melainkan anak berdua dengan laki-laki.
Oleh sebab itu haruslah kesusahan dan kesenangan yang
diperoleh, karena anak itu, terbagi sama rata atas ibu dan bapa.
Tetapi bukan begitu halnya, sebagai yang telah kupaparkan tadi.
Dan walaupun perempuan yang terlebih bersusah payah atas
anak itu, bahagia yang diperoleh lebih kepada bapanya daripada
kepada ibunya, karena anak itu kelak lebili dikenal sebagai anak
ayahnya daripada anak ibunya. Bila anak itu menjadi orang yang
berpangkat tinggi misalnya, siapakah yang terlebih beroleh nama
baik, bapanya atau ibunya? Bila orang bertanya. "Anak siapakah
yang baik, itu?" Yang disebut nama ayahnya, bukan nama
ibunya. Perempuan Barat, harus pula memakai nama suaminya.
Adakah adil perempuan ini?
Ah, keadilan! Adakah engkau dalam dunia ini atau tidak?
Kalau ada, di manakah engkau tersembunyi? keluh Nurbaya, lalu
termenung seketika.
Kemudian berkata pula ia, "Apabila kita hamil dua tiga bulan
bedan kurang segar kepala pening-pening, penglihatan kurang
terang pendengaran kurang nyata, perut selalu tak enak, acap kali
muntah, nafsu makan tiada tentu, yang enak, tak lazat rasanya
tetapi yang tak enak, disukai. Terkadang-kadang barang yang tak
ada atau sukar dicari atau tak patut dimakan, itulah yang
diidamkan. Kalau tak dapat, hati susalt dan sedih. Pikiran pun
kurang sempurna, acap kali suka marah dan benci kepada
seorang, tetapi sayang kepada yang lain, dengan tak ada sebab
karenanya. Kelakuan pun senantiasa berubah pula.
Bila hamil telah enam bulan, perut bertambah-tambah besar
dan mulai berat, sehingga susah berjalan, berdiri, bekerja, berhenti,
duduk, dan tidur. Pantangan bertambah-tambah banyak.
Ada makanan yang tak boleh dimakan, banyak pekerjaan yang
tak boleh dikerjakan, pendengaran yang tak boleh didengar dan
penglihatan yang tak boleh dilihat.
Tatkala anak hampir dilahirkan, tak dapatlah berbuat apa-apa
lagi, karena perut makin lama makin besar dan makin berat,
tetapi duduk selalu pun tak baik pula, karena susah kelak
melahirkan anak kata orang. Berjalan ke luar rumah, malu, takut
dikatakan tukang tambur.
Bila laki-laki disuruh mendukung anaknya sejam saja, lelahlah
ia katanya; tetapi perempuan sembilan bulan lamanya; terkadang-
kadang lebih lama pula, tiada berhenti-henti siang
malam, pada segala tempat, mengandung anak dan sesudah itu
beberapa tahun pula mendukungnya, perempuan itu tiada botch
mengatakan lelah.
Bila waktu akan melahirkan anak telah datang, tak dapatlah
dikatakan perasaan diri kesakitan yang ditanggung. Alam dan
dunia rasakan lenyap, pikiran benar menjadi hilang, bertukar
dengan ketakutan dan was-was. Sakit pun tiada terderita, seluruh
badan rasakan hancur, pemandangan menjadi gelap, perasaan
tiada tentu. Bila susah bersalin itu, karena sesuatu hal, acap kali
membawa kita ke pintu kubur, jika tiada lekas dapat pertolongan.
Walaupun mendapat pertolongan sekalipun, dari dukun atau
dokter yang pandai, acap kali terlalu sakit juga, karena
terkadang-kadang dengan kekerasan. Ada yang dipotong, dibedah
dan dijahit, sekaliannya boleh mendatangkan cacat dan
penyakit seumur hidup.
Apabila anak itu telah lahir ke dunia, beberapa lamanya
perempuan itu harus tidur diam-diam, tak botch bergerak-gerak,
serta harus pula memakan bermacam-macam obat yang kurang
sedap rasanya, supaya lekas sembuh. Ada kalanya penyakit itu
lama maka baik, padahal dalam waktu itu kita telah harus menjaga
dan menyusukan anak, karena kurang baik jika anak itu diberi
susu lembu.
Bila kita telah sernbuh, tiadalah pula dapat melepaskan lelah
barang sedikit pun, sebab kewajiban yang lain telah menanti,
yaitu menjaga, memelihara dan membesarkan anak itu. Tak tentu
susah, tak tentu payah, tak tahu siang dan tak tahu malam;
karena makanannya harus diberi dan dijaga, pakaiannya harus
dibuat dan dibersihkan. lika menangis harus dibujuk dan didukung,
jika mengantuk harus ditidurkan dan diayunkan. Kalau
ia sakit, berjam-jam lamanya didukung dan dinyanyikan; siang
malam tak dapat tidur atau mengerjakan apa-apa yang lain,
karena berjaga-jaga.
Bila anak ini telah besar sedikit, permainan harus diadakan
belanja harus diberi dan ia harus dididik pula dengan sempurna,
supaya ia kelak menjadi orang yang baik.
Belum selesai pekerjaan ini tanggungan yang baru sudah
datang pula, karena anak yang kedua telah dikandung. Tatkala
anak ini telah besar, harus disekolahkan dan kemudian dikawinkan.
Anak perempuan, sesudah kawin pun masih ditolong oleh
ibunya."
"Sesungguhnya demikian hal perempuan bangsa kita," jawab
Alimah. "Betul aku sendiri belum merasai beranak, tetapi aku
acap kali bercakap-cakap dengan perempuan yang telah beranak
dan menolong mereka. Oleh sebab itu kuketahui perasaan dan
penanggungan mereka."
"Dan adakah selamanya baik balasan anak itu kepada
ibunya?" kata Nurbaya pula. "Lebih-lebiht anak laki-laki acap
kali tak tahu membalas guna. Terkadang-kadang, air susu ibunya
dibalasnya dengan air racun. Bila ia telah beristri, tiadalah diindahkannya
lagi ibunya. Ada pula yang tiada hendak mengaku
ibu lagi kepada makiiya, karena ia telah kaya atau berpangkat
tinggi malu beribukan perempuan yang biasa saja atau
perempuan yang bodoh. Dan ada pula yang memusuhi sampai
memukul dan menyiksa ibunya sendiri.
"Memang anak laki-laki yang acap kali berbuat begitu; anak
perempuan jarang," sahut Alimah. '
"Boleh jadi sebab angkuhnya juga. Walaupurt asalnya dari
ibunya, tetapi pada sangkanya, ibunya itu hina, sebab ia bangsa
perempuan," kata Nurbaya seraya mengangkat kepalanya.
Setelah sejurus terhenti, berkata pula ia, "Hal yang kedua,
yang menyebabkan kita lebih lemah dan lebih kurang tajam
pikiran kita daripada laki-laki, ialah pemeliharaan, pekerjaan dan
kewajiban kita. Tentang pemeliharaan kita, sejak kita mulai
pandai berjalan, sampai berumur enarn tujuh tahun sajalah kita
boleh dikatakan bebas sedikit; boleh berjalan-jalan ke sana
kemari; boleh bermain-main ke luar rumah. Itulah waktu yang
sangat mulia bagi kita, waktu kita berbesar hati, waktu kita
merasa bebas. Sudah itu sampai kepada hari tua kita, tiadalah
lain kehidupan kita melainkan dari rumah ke dapur dan dari
dapur kembali pula ke rumah.
Apabila telah berumur tujuh delapan tahun, mulailah
dikurung sebagai burung, tiada diberi melihat langit dan bumi,
sehingga tiadalah tahu apa yang terjadi sekeliling kita.
Sedangkan pakaian dun makanan, tiada diindahkan, apalagi
kehendak dan kesukaan hati. Sementara itu kita disuruh belajar
memasak, menjahit, menjaga rumah tangga, sekaliannya
pekerjaan yang tiada dapat menambah kekuatan dan menajamkan
pikiran.
Tetapi anak laki-laki waktu itu, lain daripada disuruh ke
sekolah dan ke langgar, disuruli pula belajar menari, memencak,
berenang, berkuda dan lain-lainnya, untuk menguatkan tubuh
dan menajamkan pikirannya. Jadi sekalian pelajaran dan
pekerjaan itu pada laki-laki selalu menambah kemauan, kekuatan
dan menajamkan pikirannya sedang pada perempuan melemahkan
tubuhnya dun tiada berapa menambah kepandaiannya.
Jadi pekerjaan dan kewajiban kita pula, ialah mengandung
dan menyusukan anak; kepada anak, memelihara, membesarkan
dan mengajari dia; kepada suami, menjaga rumah tangga mengatur
makanan, pakaian dan lain-lainnya dan kepada ibu-bapa
serta kaum keluarga menurut sebarang kehendaknya. Sekalian
itupun tiada pula menambah kekuatan dan akal kita, sebagai
pada laki-laki.
Pekerjaan, pemeliharaan dan kewajiban ini, bukan kita yang
menghendaki; kita terpaksa harus menjauhkannya. Dan untuk
siapa? Untuk laki-laki dengan anaknya. Demikian pula tentang
sifat-sifat perempuan itu, bukan ia yang memintanya. Adalah
patut laki-laki menghinakan dia, sebab kita beroleh sifat-sifat
ini? Pada pikiranku, tentang kemauan dan akal itu, bila kita
perempuan diberi pelajaran, pemeliharaan, makanan, pendeknya
sekaliannya sama benar-benar dengan laki-laki, tentulah kita tak
akan kalah dari laki-laki."
"Pikiranku pun demikian juga, Nur," jawab Alimah.
"Perbedaan itu adanya, hanya karena berlainan pemeliharaan,
pelajaran, kewajiban dan lain-lainnya."
"Sungguhpun begitu, banyak juga yang asalnya dari
kesalahan perempuan sendiri, maksudku kesalahan ibu. Karena
kurang pikirannya, banyak perbuatannya yang tidak baik. Misalnya
dilarangnya anak perempuannya pergi ke sekolah, sebab
takut anak itu menjadi jahat, karena pandai membaca dan
menulis, sehingga memberi malu. Pikiranku persangkaan ini
salah benar; karena hal itu, bergantung kepada, hati, serta tabiat
kelakuannya dan pelajaran yang diperolehnya. Bila cukup
kepandaian, luas pemandangan dan jauh pendengarannya, hingga
tahu ia membedakan yang baik dengan yang jahat, artinya dapat
ia menimbang buruk dan baik perbuatannya, tentulah tiada
mudah ia terjerumus ke dalam lubang godaan laki-laki. Di mana
diperolehnya ilmu-ilmu itu, kalau tiada di sekolah?
Sebab itu, haruslah perempuan itu terpelajar, supaya terjauh
ia daripada bahaya, dan terpelihara anak suaminya dengan
sepertinya. Tentu saja kepandaiannya itu dapat juga dipergunakannya
untuk kejahatan. Itulah sebabnya perlu hati yang
baik dan pikiran sempurna. Bila perempuan itu memang tiada
baik tabiatnya atau sebab salah ajarannya, walaupun ia tak berkepandaian
sekolah sekalipun, dapat juga ia berbuat pekerjaan
jahat. Tak adalah perempuan jahat, pada bangsa yang masih
bodoh?"
"Jika dipikir dalam-dalam, nyatalah kita perempuan ini,
diperbuat sebagai anak tiri dan laki-laki sebagai anak kandung,
sebab sangat diperbedakan. Dan perempuan tiada pula diberi
tempat bergantung." kata Alimah.
"Memang," jawab Nurbaya, "dari Tuhan kita telah mendapat
alangan yaitu dalam hal mengandung dan menjaga anak,
sehingga tiada dapat melawan laki-laki, tentang apa pun; oleh
agama tiada pula disamakan dengan laki-laki, sebab laki-laki
diizinkan beristri sampai ernpat, tetapi perempuan, ke luar rumah
pun tak boleh; oleh suami dihina dan disia-siakan dan oleh ibu
bapa serta kaum kerabat, dipaksa menwut segala kehendak hati
mereka. Bangsa dan negeri pun tiada pula hendak menolong."
Di situ terhentilah Nurbaya berkata-kata, termenung
memikirkan hal dan nasib bangsanya perempuan.
"Ya seadil-adilnya, tentulah perempuan boleh pula bersuami
dua tiga, kalau laki-laki boleh beristri banyak," kata Alimah.
"Apa, perempuan bersuami banyak. Sedangkan melihat muka
laki-laki lain; tak boleh. Jika hendak ke luar rumah, haruslah
ditutup muka rapat-rapat, begitu pula bagian badan yang lainlain.
Sudah demikian, talak diserahkan pula kepada si laki-laki.
Mengapakah begitu? Mengapa laki-laki saja yang boleh menceraikan
dan mengawini perempuan, sesuka hatinya? Apakah
sebabnya maka perempuan tiada boleh berbuat begitu pula?
Perempuan sajakah yang boleh berbuat kesalahan dan menerima
hukuman dari laki-laki? Tiadakah laki-laki itu boleh pula berbuat
kesalahan kepada istrinya?
Apabila dikatakan kelaliman ini kepada laki-laki, tentulah
mereka akan gelak tersenyum saja, karena pada sangkanya,
itulah yang seadil-adilnya. Bukankah laki-laki itu tuan
perempuan, dan perempuan itu hamba laki-laki? Tentu saja
mereka boleh berbuat sekehendak, hatinya kepada kita; disiksa,
dipukul dan didera dengan tiada diberi belanja yang cukup dan
rumah tangga yang baik; tiada pula dilepaskan hati kita, tiada
diberi melihat permainan apa pun, yang boleh menyenangkan
hati dan meuambalt penglihatan dan tiada diizinkan pula mendengar
bunyi-bunyian yang menghilangkan kesusahan.
Jika salah sedikit, karena belum tahu, bukan pelajaran atau
peringatan yang diperoleh, hanya maki dan nistalah yang
diterima; ada kalanya disertai pula oleh pukul dan terjang. Jika
terlambat menyediakan makanan atau pakaian, perkataan yang
hina tentulah kedengaran. Menjawab, sekali-kali tak boleh; apa
yang terasa di hati tak boleh dikeluarkan, harus disimpan saja
dalam dada. Kalau berani melawan, tentulah akan diusir sebagai
anjing. Jika lekas diceraikan, sudahlah, tetapi acip kali,
digantung tak bertali; tiada dan tiada pula dipulang-pulangi*)
sehingga segala maksud, jadi terhalang."
"Sungguhpun demikian, penanggungan itu belumlah
seberapa, jika dibandingkan dengan penanggungan dipermadukan,"
kata Alimah. "Aku lebih suka dipukul, dikurung atau
dihinakan, daripada dipermadukan."
"Tentu," jawab Nurbaya, "itulah sebabnya agaknya, engkau
sampai bercerai dengan suamimu."
"Memang," kata Alimah.
"Cobalah ceritakan, bagaimana asalnya perceraian itu!" kata
Nurbaya pula.
"Asal mulanya, ialah asutan perempuannya dan maknya.
Kata mereka, aku yang mengasut suamiku, supaya ia benci
kepada mereka, sebab selama ia kawin dengan aku, mereka tiada
dapat berbelanja dari suamiku. Tetapi aku, sekali-kali tiada berbuat
demikian. Hanya ada aku minta kepada suamiku, supaya
*) dikunjung-kunjungi
belanja rumah setiap hari, jangan sampai kurang, sebab orang
tuaku bukan hartawan. Mendengar permintaanku ini, diberikannya
segala pendapatannya kepadaku. Dari uang itu, aku berikan
kepada ibunya sepuluh rupiah dan saudaranya lima belas rupiah
sebulan. Pada sangkaku, jika sekedar makan, cukuplah belanja
sekian itu. Tetapi rupanya kemauan mereka, sekalian pendapatan
suamiku harus diberikan kepada mereka, sebagai tatkala suamiku
belum kawin dengan aku.
Mana boleh jadi, sebab orang telah bertambah, rumah telah
dua. Bukanlah telah diketahuinya, sebelum kami kawin, ayahku
bukan orang yang mampu; jadi tak dapat menerirna suamiku,
sebagai menerima anak-anak bangsawan di Padang ini; segala
disediakan dan diadakan, tinggal pulang saja lagi. Lagi pula,
suamiku bukan seorang yang berbangsa tingki. Meskipun
demikian, mula-mula ia hendak dijemput juga. Akan tetapi
tatkala ayahku, berkata, ia tiada beruang, sudilah ia sebagai
biasa, suka sama suka saja.
Sesungguhnya perkawinan itu, atas kemauan mentua dan ipar
perempuanku itulah. Tetapi tatkala dilihat mereka, pemberian
suamiku berkurang kepadanya, bencilah mereka kepadaku dan
bibujuknyalah suamiku, supaya menceraikan aku.
Setelah dilihat mereka, suamiku tak mau saja menurut asutan
mereka dicarinyalah dukun ke sana kemari, supaya suamiku
benci kepadaku dan aku diceraikannya. Kabarnya mereka sampai
berniat hendak mengerjakan aku, supaya aku menjadi gila atau
mati.
Tatkala maksudnya yang jahat ini, dengan jalan demikian,
tak sampai pula, dikawinkannyalah suamiku dengan seorang
perempuan hartawan. Ketika aku mendengar kabar ini, tak
dapatlah kurencanakan, bagaimana rasa hatiku; marah, sedih,
benci bercampur baur tak tentu. Mataku gelap, kepalaku pening,
pendengaran hilang dan perasaan pun lenyap. Bibir dan sekujur
badanku gemetar, hatiku berdebar-debar, rasakan belah, segala
sendi anggota menjadi lemah, sehingga terjatuhlah aku ke tempat
tidurku beberapa lama¬ya, tiada khabarkan diri.
Semalam-malam aku menangis, karena tak dapat menahan
hati. Tatkala aku bertemu pula dengan suamiku adalah sebagai
aku melihat binatang rasanya, aku melihat dia: benci dan marah,
datang berganti-ganti. Segala kesukaan dan kasih sayangku
kepadanya, tiada berasa lagi. Jika tiada disabarkan oleh ibuku,
niscaya kukenakanlah tanganku ke kepalanya; begitulah geram
hatiku. Berapa kali aku minta bercerai, tetapi tiada dikabulkannya.
Apa dayaku? Karena talak dalam tangannya. Jika aku yang
memegang talak tentulah tak sampai kulihat lagi mukanya,
kujatuhkan talak ttga sekali.
Sejak waktu itu, tiadalah kuindahkan lagi dia, baik tentang
makanannya atau pakaiannya; sebab hatiku telah berubah
kepadanya, tiada lurus lagi. Jika ada laki-laki lain, yang
menggodaku pada waktu itu, agaknya kuturutkan, karena sakit
hatiku. Hendak aku lari, takut, kalau-kalau digantungkan aku
selama-lamanya; tiada diceraikan dan tidak pula dibelanjai.
Path suatu hari tatkala aku berjalan jalan dengan makku,
pada, malarrtd hari di pasar Kampung Jawa, kelihatanlah olehku
suamiku itu, sedang berjalan-jalan bersuka-sukaan, membeli apaapa
dengan maduku itu. Ketika kulihat mereka itu, gelaplah
mataku, tak tahu lagi, apa yang kuperbuat. Kata ibuku, aku terus
memburu perempuan itu, lalu menghela rambut dan bajunya
sambil memaki-makinya, sehingga berkelahilah kami di tengah~
orang banyak, bergumul dan bertarik-tarikkan rambut. Setelah
kami dipisahkan orang, kuberi malulah suamiku itu dengan
perkataan yang keji-keji serta kukatakan ia bukan laki-laki, kalau
tiada berani menceraikan daku. Ituiah sebabnya maka di pasar itu
juga dijatuhkannya talak kepadaku.
Inilah akhirnya perkawinan yang telah menghabiskan
beberapa biaya dan menimbulkan beberapa susah payah, disebabkan
perkara pemaduan."
"Jadi berapa lamanya kau bercampur dengan suamimu itu?"
tanya Nurbaya."
"Tak sampai setahun," jawab Alimah. "Sejak itu aku bersumpah,
tiada hendak kawin lagi. Apakah gunanya kawin, jika
untuk menyusahkan hati, merusakkan badan dan menghabiskan
harta? Maksudku kawin helidak mendapat kesenangan dan
menumpangkan diriku. Jika tiadadapat yang sedemikian, lebih
baik janda sebagai ini; bebas sebagai burung di udara, tiada siapa
dapat mengalangi barang sesuatu maksudku."
"Atau tinggal perawan selama-lamanya." kata Nurbaya.
"Itu tak boleh, karena terlalu aib, bagi kita; dikatakan tak
laku, sebab ada cacat," jawab Alimah.
"Aib itu karena diaibkan. Akan tetapi jika telah banyak yang
berbuat begitu, menjadi biasalah pula," kata Nurbaya.
"Barangkali," jawab Alimah.
Setelah Nurbaya termenung sejurus, berkata pula ia, seraya
mengeluh, "Memang demikianlah nasib kita perempuan. Adakah
akan berubah peraturan kita ini? Adakah kita akan dihargai oleh
laki-laki, kelak? Biar tak banyak, sekadar untuk yang perlu bagi
kehidupan kita saja pun, cukuplah. Aku tiada hendak meminta,
supaya perempuan disamakan benar-benar dengan laki-laki
dalam segala hal; tidak, karena aku mengerti juga, tentu tak
boleh jadi. Tetapi permintaanku, hendaknya laki-laki itu
memandang perempuan, sebagai adiknya, jika tak mau ia
memuliakan dan menghormati perempuannya, sebagai pada
bangsa Eropa. Janganlah dipandangnya kita sebagai hamba atau
suatu makhluk yang hina. Biarlah perempuan menuntut ilmu
yang berguna baginya, biarlah ia diizinkan melihat dan mendengar
segala ,yang boleh menambah pengetahuannya; biarlah ia
boleh mengeluarkan perasaan hatinya dan buah pikirannya,
supaya dapat bertukar-tukar pikiran, untuk menajamkan otaknya.
Dan berilah ia kuasa atas segala yang harus dikuasainya, agar
jangan sama ia dengan boneka yang bernyawa saja.
Perkara rumah tangga, pada pikiranku boleh dimisalkan
dengan sebuah negeri, yang diperintahi oleh dua orang wazir.
Kedua wazir ini hampir sama besar kekuasaannya. Seorang
wazir perkara dalam negeri, yaitu istri dan seorang pula wazir
perkara luar negeri, yaitu suami. Segala hal dalam negeri, yakni
perkara rumah tangga, penjagaan anak, makanan, perkakasperkakas
dan lain-lainnya, harus dikuasai oleh istri. Oleh sebab
itu harus perempuan faham dalarn segala hal-hal ini. Perkara luar
negeri, jadi perkara mencari penghidupan, pekerjaan, perlindungan
dan lain-lain, harus dikuasai oleh laki-laki; perempuan
tak boleh campur dalam hal itu. Di dalam segala perkara yang
penting, yang mengenai kewajiban keduanya, tentulah kedua
wazir itu boleh campur-mencampuri kewajiban masing-masing
dan bermupakat kedua, supaya dapat yang sebaik-baiknya."
"Tetapi siapakah yang menjadi raja?" tanya Alimah.
"Raja tak ada; segala sesuatu boleh dimupakatkan berdua,
supaya bertambah-tambah baik negeri. Jika hendak dilebihkan
sedikit kekuasaan wazir luar negeri itu, biarlah, tak mengapa;
sebab pahamnya lebih tua, lebih-lebih dalam memutuskan
perkara yang sukar-sukar, asal jangan lupa ia, pangkatnya
sesungguhnya sama dengan wazir dalam negeri dan janganlah ia
sampai bersangka, bahwa ialah raja, jadi dapat berbuat sekehendak
hatinya kepada temannya itu.
Kedua mereka itu sebenarnya satu, hanya terjadi dari dua
badan. Wazir dalam negeri perlu dapat pertolongan dari wazir
luar negeri, dan kebalikannya, wazir luar negeri harus pula
dibantu oleh wazir dalam negeri, dalam pekerjaan dan
kewajibannya; jadi tolong-menolonglah keduanya, dalam segala
kesusahan dan kesenangan, sebagai kata pepatah: berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing. Sekali-kali janganlah masingmasing
bersangka, mereka dapat hidup sendiri-sendiri, karena
pekerjaan dan kekuasaannya yang berlain-lainan itu.
Sekalian penghasilan laki-laki atau perempuan, tak boleh
disembunyi-sembunyikan; baik dengan sebenar-benarnya
dinyatakan, supaya dapat dikumpulkan jadi satu. Dari jumlah
hasil ini, diberikan sebagian kepada perempuan, untuk belanja
rumah tangga, makanan dan lain-lain sebagainya; sebagian pula
kepada laki-laki, untuk biaya di luar rumah. Jika ada kelebihan,
simpanlah di atas nama berdua atau di atas nama anak. Jika lakilaki
kurang percaya kepada perempuan, sebetulnya tak boleh
laki-laki demikian, sebab laki-istri itu harus percaya-mempercayai
dan harus berhati sama lurus lebih baik janganlah
dicampurkan perkara keuangan itu. Tetapi kalau misalnya pada
sangka laki-laki, istrinya kurang pandai menjalankan uang
belanja atau pada sangka si perempuan, suaminya sangat boros,
tentulah mereka boleh campur-mencampuri tugas dalam perkara
keuangan ini.
Lain daripada itu, haruslah masing-masing selalu mencari
akal, untuk menyenangkan temannya dan selalu menjaga, supaya
jangan sampai sakit menyakiti hati. Jika tumbuh silang selisih,
janganlah masing-masing hendak beraja di hati dan bersutan di
mata sendiri-sendiri saja, karena jika demikian, menjadi kusutlah
penghidupan. Jika terbit marah, tahanlah hati, jangan ber¬katakata
atau berbuat apa-apa melainkan dinginkanlah darah yang
panas itu dahulu, supaya jangan berbuat atau mengatakan
sesuatu, dalam marah; karena hal itu boleh mendatangkan sesal
yang tak habis kemudian hari. Kalau marah tak hendak hilang,
bawalah tidur atau berjalan-jalan. Setelah habis marah dan
pikiran yang baik timbul pula, bicarakanlah pertikaian itu dengan
sabar bersama-sama, supaya mendapat kebenaran. Tak jua dapat
diputuskan, barulah dibawa kepada orang tua atau guru, minta
diselesaikan; karena biasanya, mereka banyak mempunyai
pendapat tentang hal ini. Kalau sudah demikian, tak dapat jua
diselesaikan kekusutan itu baiklah bercerai keduanya. Apa boleh
buat. Daripada bercampur dalam neraka, lebih baik bercerai
dalam surga. Tetapi bercerai itu hendaklah dengan baik, jangan
sampai menaruh dendam kesumat. Tatkala kawin dengan baik,
bercerai pun dengan baik pula. Siapa tahu, barangkali jodoh
masih ada: jadi mudah kembali. Biarpun telah habis sekalipun
jodoh, apako gunanya bekas suami atau istri itu dipandang
se,bagai musuh? Karena kita telah bercampur beberapa lamanya;
menjadi satu dengan dia. Bukankah lebih baik ia dipandang
sebagai saudara? Sedangkan hewan yang telah dipelihara, lagi
tak dapat dilupakan dalam sekejap mata, mengapakah manusia,
yang terkadang-kadang telah terikat kepada kita dengan tali
anak, diperbuat musuh?
Berselisih bermaki-makian, sampai terbuka rahasia yang
penting-penting, berteriak-teriak, sampai gempar orang sebelahmenyebelah,
berpukul-pukulan, sampai berluka-lukaan atau cara
lain yang semacam itu bukan saja tak berguna, tetapi menyatakan
kita bukan orang yang betertib sopan dan tak tahu peraturan
yang baik. Lagi pula ia boleh mendatangkan, bahaya kepada
badan sendiri. Bukankah lebih baik, kalau hendak berselisilr,
masuk berdua ke dalam bilik, tutup pintu, lalu bicarakan atau
keluarkan apa yang terasa dalam hati, perlahan-lahan, supaya
jangan diketahui orang. Apakah gunanya perselisilran kita,
diperlihatkan kepada orang lain, yang tiada bersangkut paut
dengan hal itu; apalagi karena tiada berapa lama sesudah itu, kita
akaii berdamai pula? Pada rasa hatiku, perkara yang sedemikian,
masuk rahasia rumah tangga kita; tak ada faedahnya diketahui
orang lain. Lagi pula aib rasanya seperti kelakuan anak kecil,
sebentar berkelahi, sebentar berbaik. Lihatlah anak-anak! Tatkala
berkelahi, bermaki-makian, berpukul-pukulan, seakan-akan
hendak berbunuh-bunuhan rupanya, tetapi sejurus kemudian
berbaik pula, bermain-main, bersama-sama, sebagai orang yang
berkasih-kasihan. Sedangkan pada anak-anak telah ganjil
rasanya kelakuan yang sedemikian, istimewa pula pada orang
yang telah cukup umurnya.
Perselisilian yang kecil-kecil, terkadang-kadang memang tak
dapat dihindarkan. Tetapi tak mengapa; itulah tanda bercampur
dua barang yang hidup. Sedangkan senduk dengan periuk, ada
kalanya lagi berlaga, kata orang; apa pula manusia, yang
pikirannya tiada selamanya tetap. Dan acap kali perselisihan itu
sebagai garam, menyedapkan makanan; sebab lebih besai
perselisihan, lebih nikmat pula perdamaiannya."
Sedang mereka bercakap-cakap itu, kedengaranlah dari jauh,
tukang jualan kue berteriak, "Eeee bipang, kue kerambil, kue
kacang, wajik lemang, enak-enak eeeii! ... Eee bipang!"
"Hai, telah berapa kali aku dengar tukang kue itu berteriakteriak;
rupanya sudah ada pula orang berjual kue-kue, pada
malam hari di sini," kata Nurbaya, yang telah mulai lelah berkata-
kata sedang perutnya mulai merasa lapar pula.
"Benar rupanya; tetapi baru semalam ini kudengar suara itu.
Biasanya tiada kemari jalannya, sebab di sini sunyi. Barangkali
ia sesat," jawab Alimah.
"Mari kita panggil ia, Lim! Barangkali enak-enak kuenya,"
kata Nurbaya pula.
"Ah, apa gunanya? Jika engkau hendak makan kue-kue, di
lemari ada, aku sediakan untuk jamu yang datang. Aku
sesungguhnya kurang suka makan kue-kue yang dibeli di jalan
raya, sebab tak tahu, siapa yang membuatnya dan biasanya
barang dagangan itu, tiada diindahkan amat memasaknya;
terkadang-kadang kotor," jawab Alirnah.
"Ah, masakan kotor! Aku di kampung Jawa Dalam, acap kali
membeli kue-kue itu dengan Samsu. Kami makan bersama-sama
dalarn kebun: belum pernah kedapatan yang kotor. Alangkah
senang hatinya, bila ia ada bersama-sama dengan kita sekarang
ini! Marilah kita beli, nanti bertambah-tambah jauh ia," kata
Nurbaya seraya menarik tangan saudaranya, mengajaknya
keluar, supaya dapat memanggil tukang kue itu.
"Bipang, bawa kemari!" seru Nurbaya.
Setelah hainpir tukang kue itu, bertanyalah Alimah, "Kue
dari mana ini?"
"Kue Mak Sati," jawab si penjual.
"Mak Sati di Kampung Jawa?" tanya Nurbaya.
"Saya," jawab tukang kue itu.
"Mengapa belum pernah kulihat engkau di Kampung Jawa?"
tanya Nurbaya pula. "Tukang kuenya yang seorang lagi acap kali
berjaja di Kampung Jawa Dalam. Aku kenal benar padanya
Amat namanya, bukan?"
"Benar. la berjaja di Kampung Jawa Dalam, hamba di sini,"
jawab tukang kue itu.
"Tetapi apa sebabnya, baru sekarang ini, kudengar suaramu?
Selama ini, di mana engkau?" tanya Alimah.
"Hamba baru datang dari Padang Darat," sahut tukang kue
itu, sambil membuka tempat kuenya, akan memperlihatkan
jualannya. "Sebab hamba belum dapat pekerjaan yang baik,
menjadi tukang kuelah hamba sementara."
"Di mana negerimu," tanya Nurbaya, sambil memeriksa kuekue
itu.
"Di Payakumbuh," jawab tukang kue.
"Kue wajik ini tak ada yang baru?" tanya Nurbaya.
"Tak ada," jawab tukang kue. "Akan tetapi jika Orang Kaya
suka makan lemang bergula, ada yang masih panas."
"Mana?" tanya Nurbaya.
"Ini," jawab tukang kue, seraya membuka tempat kue yang
sebuah lagi dan memilih beberapa lemang yang masih hangaf,
lalu ditunjukkannya kepada Nurbaya.
"Baik, berilah empat buah lemang itu!" kata Nurbaya pula.
"Apa gunanya banyak-banyak, Nur? Aku sedang tak enak
makan sekarang, nasi pun tiada habis."
Tatkala ifu mengerlinglah tukang kue dengan sudut matanya
kepada Alimah. Jika kelihatan oleh Alimah sudut mata ini,
tentulah nyata kepadanya, tukang kue itu marah rupanya,
mendengar perkataannya ini. Tetapi Alimah tiada melihat
kepadanya dan Nurbaya sedang asyik memilih kue-kue yang
enak-enak.
Setelah diambil Nurbaya beberapa kue yang lain, dibayarnyalah
harga makanan itu, lalu berangkatlah tukang kue itu, berjalan
cepat-cepat ke luar pekarangan.
Kedua perempuan muda itu pun pergilah duduk ke serambi
muka, lalu bercakap-cakap pula, sedang Nurbaya membuka
sebuah lemang akan dimakannya.
"Mengapa tiada terdengar lagi suara tukang kue tadi?" tanya
Alimah.
"Dipanggil orang yang di rumah muka agaknya," jawab
Nurbaya. "Makanlah kue-kue ini!"
"Tadi sudah kukatakan kepadamu, aku telah beberapa hari
tak enak makan. Berilah wajik itu sebuah! Aku coba-coba."
"Jangan begitu, Lim! Barangkali sekali inilah lagi kita akan
makan bersama-sama. Bila aku telah pergi pula ke Jakarta, tentu
susah kita akan bertemu kembali, sebab Samsu rupanya tak
hendak kembali lagi ke Padang ini. Ia hendak tinggal selamalamanya
di tanah Jawa. Bila aku telah ada di sana, is hendak
menjual segala hartaku yang masih ada di sini, untuk pembeli
rumah di sana. Dan bila aku telah senang kelak, kumintalah
engkau datang. Maukah engkau, Lim?" tanya Nurbaya, sambil
memakan lemang yang telah dikupasnya itu.
"Tentu mau, sebab aku pun ingin hendak melihat tanah Jawa;
lebih-lebih kola Jakarta."
"Hai, mengapakah lemang ini pahit gulanya?" tanya
Nurbaya.
"Barangkali gula enaunya kurang baik atau angus memasaknya,"
jawab Alimah.
"Barangkali ini enak," kata Nurbaya pula sambil mengupas
sebuah lemang lagi. Yang pertama tadi, telah habis dimakannya.
"Sesungguhnya kola Jakarta itu sangat besar; sepuluh kali lebih
besar dari kola Padang ini agaknya. Dan ramainya tak dapat
dikatakan; siang malam di jalan raya penuh orang dan kendaraan
serta kereta-kereta, bermacam-macam. Bagusnya pun tak ada
bandingannya; penuh dengan gedung yang cantik-cantik dan
kedai yang besar-besar. Patut dijadikan ibu negeri, tempat
kedudukan Pemerintah Tinggi. Tetapi istana yang sebenarnya
ada di Bogor, karena hawa negeri ini dingin; sedang di Jakarta
sangat panas. Nanti, bila aku telah ada di Jakarta pula, tentulah
kami akan berjalan-jalan ke Bogor, kata Samsu.
Sekarang inilah baru berasa senang benar hatiku, Lim, karena
tak ada alangan apa-apa lagi. Tambahan pula, tatkala aku di
Jakarta, nyata benar olehku, hati Samsu sekali-kali tiada berubah
kepadaku. Alangkah senangnya rasa hatiku, ketika berjalan jalan
dengan dia, bersiar-siar dam berputar-putar, naik bendi dan
kereta, melihat kola Jakarta... Ah, mengapa pening kepalaku ini
rasanya?"
"Barangkali kurang tidur tadi malam," jawab Alimah.
"Tidak, siang tadi, lama aku tidur. Hai, seperti berputar
penglihatanku."
"Marilah masuk, coba tidurkan!"
"Ya," jawab Nurbaya, lalu berdiri, hendak masuk ke ruang
tengah, tetapi tiba-tiba jatuhlah ia. Oleh sebab itu dipeluklah oleh
Alimah pinggangnya, lalu dibawanya masuk ke bilik dan
ditidurkannya di alas tilam.
"Tolong pijit sedikit kepalaku ini, Lim! Barangkali benar aku
masuk angin."
"Baiklah," jawab Alimah; lalu dipijitnya kepala Nurbaya.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, tertidurlah Nurbaya
rupanya.
Tatkala memijit itu berpikir Alimah dalam hatinya,
"Mengapakah Nurbaya tiba-tiba jadi pening? Apakah yang
diperbuatnya tadi? Pukul setengah sebelas ia telah tidur. Biasanya
sampai jauh malam is masih bercerita-cerita dan bercakapcakap."
Walaupun Nurbaya telah terlena, masih dipijit juga oleh
Alimah kepalanya, sampai beberapa lamanya. la takut adiknya
itu akan terbangun pula karena kurang enak rasa badannya;
apalagi karena Nurbaya rupanya senang kena pijitnya, sebab
lekas ia tertidur.
Ketika ia berdiri hendak pergi tidur pula, diperhatikannya
muka adiknya itu. Sangatlah is terperanjat melihat Nurbaya,
sebagai tiada bernafas lagi, lalu diguncangkannya badan
Nurbaya, supaya bangun. Tetapi sesungguhnyalah, perempuan
yang malang itu, tak ada lagi.
Maka menjeritlah Alimah, meratap menangis amat sangat,
sehingga ibu bapanya terperanjat bangun dan datang berlari-lari.
Tatkala dilihat Fatimah, Nurbaya terhantar di tempat tidurnya,
tiada bergerak lagi, lalu berteriaklah pula ia menangis dengan
merentak-rentak dan memukul-mukulkan tangannya, sehingga
ramailah bunyi ratap di rumah itu. Orang sebelah-menyebelah
pun gempar datang, hendak mengetahui, apa yang terjadi di situ.
Tetapi seorang pun tak dapat memberi keterangan yang nyata,
selainnya daripada Nurbaya telah meninggal. Malam itu juga
Ahmad Maulana pergi memanggil dokter dan dua jam kemudian
datanglah dokter itu,lalu memeriksa Nurbaya dan nyatalah
kepadanya, bahwa Nurbaya memang telah meninggal. Walaupun
dokter mencobakan sekalian ilmunya, untuk menolong Nurbaya,
tetapi sia-sia belaka.
Karena menurut cerita Alimah, Nurbaya berasa badannya tak
enak sesudah memakan lemang itu, diambillah oleh dokter
lemang yang tinggal lagi dengan kue-kue lain, akan disuruh
diperiksanya. Pada keesokan harinya nyatalah kepadanya, bahwa
Nurbaya termakan racun. Itulah yang menyebabkan mautnya.
Meskipun perkara terserah ke tangan polisi, tetapi yang
bersalah, tiada kedapatan.
Untuk mengetahui penjahat ini, marilah kita kembali mengikuti
tukang kue tadi.
Setelah sampai ia ke jalan besar, tiba-tiba keluarlah seseorang
yang memakai serba hitam dari balik pohon kayu, lalu
menghampiri tukang kue itu. Setelah dekat bertanyalah ia,
"Bagaimana Pendekar Empat?"
"Dibelinya, dan aku berikan yang bergula enau."
"Bagus! Sekarang marilah kita pergi kelas-lekas dari sini."
"Tetapi peti kue ini bagaimana?" tanya Pendekar Empat.
"Nanti; di rumah kosong itu ada sumur yang tiada dipakai
lagi. Ke sanalah kaumasukkan peti ini," jawab Pendekar Lima.
"Tetapi aku khawatir juga, kalau-kalau yang lain pun kena
pula," kata Pendekar Empat.
"Ada siapa lagi di sana?" tanya Pendekar Lima.
"Alimah; tetapi katanya ia tak mau memakan kue-kue, sebab
perutnya tak enak. Itulah sebabnya dilarangnya Nurbaya membeli
banyak-banyak. Panas hatiku mendengar perkataannya itu.
Jika tidak di rumahnya, kuterjang ia, supaya mulutnya jangan
dapat berkata-kata lagi," sahut Pendekar Empat.
"Berapa buah dibelinya lemangmu?" tanya Pendekar Lima
pula.
" "Empat buah;" jawab Pendekar Empat.
"Masakan keempatnya dimakan Nurbaya sebab sebuah
lemang pun cukup untuk membawa dua tiga orang ke pintu
kubur. Akan tetapi, tahu benarkah engkau, keempatnya berisi
gula?"
"Tahu, sebab yang berisi gula itu, kupisahkan."
"Jika demikian, tentulah sampai maksud kita, sekali ini," kata
Pendekar Lima.
"Turutlah aku!" lalu hilanglah keduanya pada tempat yang
gelap.
Pada keesokan harinya, tatkala sampai kabar kematian
Nurbaya ini kepada Sitti Maryam, yang sedang sakit keras di
Kampung Sebelah, karena terkejut ditinggalkan anaknya Samsu,
tiba-tiba berpulanglah pula ibu Samsulbahri ini, sebab kabar itu
rupanya sangat menyedihkan hatinya.
Pada hari itu, kelihatanlah dua jenazah, dibawa ke gunung
Padang. Kedua perempuan yang sangat dicintai Samsu ini,
dikuburkan dekat makam Baginda Sulaiman, ayah Sitti Nurbaya.
....Bersambung ke....Samsul Bahri Membunuh Diri

No comments:

Post a Comment