Wednesday, January 28, 2015

Sitti Nurbaya (Kasiah Tak Sampai) Nurbaya Lari Ke Jakarta



Karya : Marah Rusli
Walaupun hari hampir pukul tujuh pagi, tetapi di pelabuhan
Teluk Bayur, belum terang benar. Di tempat-tempat yang tersembunyi,
di bawah-bawah pohon kayu, masih gelap. Beberapa
pekerja yang berjalan kaki menuju ke pelabuhan untuk mencari
nafkahnya, kelihatan masih berselubung kain sarung, supaya
jangan ditimpa angin pagi yang sejuk. Dari jauh, dari sebelah
timur, kedengaran bunyi lotong dan ungka, sebagai orang yang
bertempik sorak, bersuka raya, menyambut kedatangan cahaya
matahari, yang mulai menerangi hutan, tempat kediamannya.
Sesungguhnya, di sebelah timur kelihatan beberapa sinar
yang merah, memancar dari balik gunung, yang memagar
pelabuhan Teluk Bayur, sebagai hendak menembus awan yang
tebal. Di laut, kelihatan embun, seperti asap, tergantung di atas
air, berarak perlahan-lahan arah ke barat. Dari dalam kabut ini,
timbullah beberapa perahu kail, yang datang dari laut, berlayar
perlahan-lahan menuju ke darat, membawa ikan yang dapat
dikailnya pada malam hari. Angin teduh, laut pun tenang. Di
sebelah barat masih kelihatan bulan sebelah, tinggi di atas langit,
sedang cahayanya, kian lama kian pudar, sebagai perak belum
disepuh.
Sungguhpun hari masih pagi, tetapi di Teluk Bayur ramailah
sudah oleh orang yang hendak berlayar, meninggalkan kota
Padang atau mengantarkan mereka, yang hendak merantau ke
negeri lain; karena pada hari itulah ada sebuah kapal yang
hendak bertolak ke tanah Jawa, pukul delapan pagi. Pekerjapekerja,
ribut memuat dan membongkar barang-barang; anak
kapal ribut bersiap dan bekerja, sedang penumpang, berlari-lari
turun-naik, sebagai takut ketinggalan.
Pada sebuah kedai, yang ada di Teluk Bayur, kelihatan
seorang laki-laki tua, sebentar-sebentar menjenguk ke luar lalu
mengintip ke sana-sini, sebagai takut memperlihatkan dirinya.
Setelah masuklah ia kembali ke dalam kedai itu, lalu berkata
kepada seorang perempuan muda, yang berdiri di balik lemari,
"Rupa-rupanya tak ada orang yang tahu akan perjalanan kita ini,
karena sekarang, belum ada kelihatan seorang pun yang hamba
kenal."
"Untunglah," jawab perempuan muda itu, "tetapi baik juga
dilihat di luar. Siapa tahu, barangkali perjalanan kita ini diintip
orang juga."
Laki-laki tua tadi, pergilah ke luar kedai, lalu berjalan ke
sana kemari, pura-pura melihat ini dan itu, tetapi matanya
mengintip ke segenap tempat dan memperhatikan sekalian orang
yang dilihatnya.
Setelah berbunyilah seruling kapal yang pertama, keluarlah
kedua mereka dari kedai itu, berjalan lekas-lekas menuju kapal,
lalu naik ke atas geladak, mencari tempat yang tersembunyi dan
berdiam diri di sana. Dengan tiada diketahui mereka, adalah dua
orang laki-laki, yang mengintip segala kelakuan mereka dari
balik sebuah gudang.
Setelah nyatalah oleh kedua laki-laki ini, bahwa yang lari
naik ke kapal itu, ialah kurbannya, berkatalah seorang daripada
mereka kepada temannya, "Sekarang baiklah engkau pulang,
Pendekar Tiga! Kabarkanlah penglihatanmu ini kepada Engku
Datuk Meringgih, dan katakanlah kepada beliau, aku akan
mengikut mereka dengan kapal ini ke Jakarta, untuk menjalankan
perintahnya dan akan menuntut beberapa ilmu, yang berguna
untuk sasaran kita di sini. Lagi pula, aku di sana, akao mencari
beberapa kenalan dan murid-murid, yang suka masuk perkumpulan
kita."
"Baiklah, Kak Pendekar Lima," jawab Pendekar Tiga, "tetapi
adakah Kakak berbelanja?"
"Ada, untuk sementara," kata Pendekar Lima pula. "Jika
kurang, nanti akan kuminta dari Jakarta."
Kernudian daripada itu, bercerailah kedua mereka ini.
Pendekar Tiga pulang kembali ke kota Padang dan Pendekar
Lima berjalan perlahan-lahan ke pangkalan.
Setelah berbunyilah seruling yang kedua dan jambatan
hampir akan diangkat, barulah ia melompat naik kapal, lalu bersembunyi
di bawah geladak. Tiada beberapa lamanya kemudian
daripada itu, diangkatlah sauh dan berlayarlah kapal ini,
meninggalkan Teluk Bayur.
Setelah keluarlah kapal ini dari pelabuhan Teluk Bayur,
barulah perempuan yang melarikan diri tadi, berani keluar dari
tempat ia bersembunyi; lalu melihat ke sana kemari, mencari
tempat yang baik. Akhirnya dapatlah olehnya suatu tempat,
dekat kamar kapitan. Laki-laki yang bersama dengan dia, lalu
membentangkan tikarnya dan membuka sebuah kursi malas kain,
yang dibawanya untuk perempuan itu.
"Sekarang barulah senang hatiku sedikit, Pak Ali," kata
perempuan ini, setelah duduk di atas tikar itu. "Tetapi sungguhpun
demikian, was-wasku belum hilang; sebagai aku ini masih
diikuti oleh bala. Oleh sebab itu, baiklah Pak Ali coba juga nanti
berjalan ke mana-mana pura-pura mencari apa-apa dan dilihatlah
benar-benar, tiadakah diketahui orang perjalanan kita ini dan
tiadakah diikuti orang kita."
"Baiklah, orang kaya Nurbaya. Nanti hamba pergi periksa,
walaupun pada sangka hamba, tak ada orang yang tahu perjalanan
kita ini dan tak ada orang pula orang yang mengikuti
kita," jawab Ali.
Setelah duduk sejurus, berkatalah Nurbaya, "Pak Ali, sudahkah
dikirim surat kawat untuk Samsu, supaya disambutnya kita
di Tanjung Periuk?"
"Sudah, Orang Kaya, kemarin. Tetapi walaupun tak ada ia di
Tanjung Periuk, tak mengapa, karena hamba telah biasa ke
Jakarta dahulu, tatkala menjadi opas, membawa pesakitan," sahut
Ali.
"Betul, tetapi baik juga diketahuinya kedatangan kita ini,
supaya disediakannya tempat untuk kita," kata Nurbaya pula.
"Benar," jawab Ali. "Tetapi tiadakah Orang Kaya berasa
lapar? Barang kali belum makan apa-apa tadi!"
"Sesungguhnya perutku mulai berbunyi-bunyi, minta nasi,"
kata Nurbaya dengan tersenyum. Hatinya makin lama makin
riang, karena dapat meninggalkan kota Padang dengan tiada
diketahui orang dan karena mengingat pertemuan dengan
kekasihnya Samsulbahri.
"Tunggulah sebentar, hamba minta telur dan kopi," kata kusir
Ali, lalu pergi. Tiada berapa lama kemudian, kembali pula ia
dengan membawa beberapa butir telur dan dua mangkuk kopi.
Sementara itu, Nurbaya telah mengeluarkan beberapa ketupat
dan makan-makanan yang lain dari dalam rantangnya, lalu
makanlah kedua mereka itu.
Kira-kira sejam setelah itu, datanglah seorang mualim kapal,
meminta surat pelayaran. Tatkala sampai ia ke dekat Nurbaya
dan terlihat olehnya kecantikan perempuan ini, berbisik-bisiklah
ia dengan keraninya, dalam bahasa Belanda, "Bagaimana
pikiranmu tentang perempuan ini, Ludi?"
"Ini sesungguhnya bunga ros dari Padang," jawab Ludi.
"Sanggup engkau membujuknya? Selusin bir upahnya," kata
mualim itu pula.
"Coba-coba; tetapi rupanya ia orang baik-baik; tentu susah
didekati. Tambahan pula, ada yang menjaganya," jawab Ludi.
"Jika tak cukup selusin, nanti aku tambah setengah lusin
lagi," kata mualim itupula, seraya mengerling kepada Nurbaya,
"Pipinya yang cekung bila ia berkata-kata dan tahi lalat yang ada
pada pipinya, menambahkan asyik hati."
"Nantilah kucoba," jawab Ludi.
Segala percakapan ini didengar dan dimaklumi oleh Nurbaya
dan sangatlah benci hatinya melihat kedua mereka. Tetapi
ditahannya marahnya, supaya ia jangan dianiaya pula oleh
mereka.
Setelah sampai Ludi dan Mualim itu kepada Nurbaya, lalu
bertanya kerani ini, "Hendak ke mana ini?"
"Ke Jakarta," jawab Nurbaya dengan pendek.
"Ada teket?" tanya Ludi pula.
"Ini," jawab Nurbaya, seraya memberikan surat kapalnya.
Setelah dikoyak Ludi surat ini, lalu ia berkata, sambil
memulangkan cabikan teket itu, "Mengapa tinggal di sini? Di
bawah, ada tempat yang lebih baik. Kalau suka, nanti kupilihkan."
"Terima kasih! Biarlah kami di sini, karena di sini dekat
kapitan kalau ada apa-apa, boleh lekas menghadap dia."
Mendengar jawaban ini terpikirlah Ludi sejurus; tetapi lekas
ia berkata pula, "Bila kelak ada hujan atau gelombang, tentulah
basah di sini."
"Tak mengapa, kami bukan garam, hancur kena air. Jika
benar ada gelombang besar kelak, kami carilah tempat yang baik
pada pikiran kami," jawab Nurbaya, sambil melihat ke tempat
lain.
Setelah melihat Nurbaya menoleh itu, pergilah kedua
pegawai kapal ini, memeriksa surat-surat penumpang yang lain.
"Apa kataku? kata Ludi. "Memang dari jauh telah nyata
padaku, perempuan yang sedemikian sebagai burung merpati:
rupanya jinak, tetapi susah ditangkap."
"Tak peduli, Ludi; jika tak dapat dengan baik, dengan keras.
Carilah akal! Hilang semangatku melihat matanya dan
pandangannya yang tenang itu. Jika dapat olehmu nanti kucari
akal supaya gajimu ditambah." sahut mualim itu.
"Baiklah, nanti kucoba juga; tetapi kalau tak dapat, jangan
marah," jawab Ludi.
Sepeninggal kedua pegawai ini pergi, dikatakanlah oleh
Nurbaya kepada kusir Ali segala percakapan mereka.
"Jangan takut " kata kusir Ali, "nanti hamba berjaga benarbenar.
Jika berani juga ia mengganggu kita adukan saja kepada
kapitan kapal."
Tatkala itu angin teduh, laut pun tenang. Muka air, adalah
sebagai kaca besar yang berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari.
Dari ujung langit selatan sampai ke ujung langit utara, tiadalah
lain yang kelihatan, melainkan dataran yang amat luas, yang biru
warnanya. Hanyalah pada buritan kapal, air sebagai mendidih
dikacau roda kapal yang berpusing. Kapal pun berlayar seolaholah
meluncur di atas dataran yang rata, sebagai ditarik tali ajaib,
meninggalkan jejaknya yang berbaris-baris putih dan makin
lama makin besar memecah. Di sebelah utara dan di sebelah
barat, kelihatan beberapa pulau kecil yang berjejer jejer letaknya.
Cuaca terang, langit pun jernih pada segenap tempat. Tiada
berapa jauhnya dari kapal, kelihatan ikan berlompat-lompatan,
sebagai bermain-main berkejar-kejaran. Ada yang melompat
sebagai bermain-main jauhnya karena terkejut dilanggar kapal.
Dari jauh kelihatan ikan lumba-lumba, berenang beriringiringan,
sebentar timbul, sebentar hilang. Burung camar yang
putih warna bulunya, beterbangan kian kemari. Ada yang
mengintai ikan-ikan yang lengah, mengapungkan dirinya ke
muka air laut; ada yang tiada bergerak dari tempatnya sebagai
tergantung di udara, tetapi tiba-tiba menunjam ke bawah, sampai
ke atas air dengan deras terbangnya, seolah-olah anak panah
yang dilepaskan dari busumya. Tatkala terbang pula ia membumbung,
digonggongnyalah seekor ikan dalam paruhnya. Ada
pula yang melayang menyambar makanannya dengan jarinya.
Tiada berapa lamanya berlayar itu, luputlah daratan di
sebelah timur dari mata, hilang di balik ujung langit yang hampir
tiada berwatas dengan lautan.
Ke mana mata memandang, tiada lain yang kelihatan lagi
melainkan air semata-mata, disungkup oleh langit yang
melengkung. Ketika itu terasa benar oleh Nurbaya kecil dirinya,
karena sedangkan kapal yang besar itu, seolah-olah sebutir pasir
di padang sahara rupanya. Kebesaran dan kekuasaan Allah yang
menjadikan semesta alam ini, makin bertambah-tambah terasa
olehnya dan kecutlah rasa hatinya bila diingatnya halnya, tak
dapat lari ke mana-mana, lain daripada di atas kapal itu, jika
terjadi apa-apa di laut ini; karena lepas dari tempat yang kecil
ini, mautlah yang menunggunya. Nyata benar olehnya, bahwa
tempat nyawanya bergantung, tiada seberapa besamya. Di kapal
itulah saja kehidupan, tetapi di luar itu, kematian. "Adakah akan
sampai kembali aku ke darat?" pikimya dalam hatinya. "Di darat
itulah yang tiada berbahaya."
Rupanya ia lupa bahwa orang itu lebih banyak mati di
daratan daripada di lautan.
Setelah malamlah hari, terang benderanglah di kapal itu
disinari cahaya lampu listrik. Angin bertiup dari selatan,
menyegarkan segala kelasi kapal, yang telah bekerja berbelah
payah sehari itu. Setelah selesai makan, naiklah beberapa kerani
dan pegawai kapal, dari kelas dua, ke atas geladak; masingmasing
membawa permainan musiknya. Ada yang menggesek
biola, ada yang memetik gitar. mendolin, keroncong dan ada
pula yang meniup seruling, sedang yang baik suaranya,
menyanyikan lagu keroncong dan setambul, serta berpantun
berbalas-balasan, sebagai di bawah ini:
"Dari mana hendak ke mana,
dari Jepun ke bandar Cina.
Jangan marah saya bertanya,
bunga yang kembang siapa punya?"
"Siapa yang punya," berteriak Ludi, menyahuti temannya
yang bernyanyi itu. Orang yang kedua menyela pantun itu,
"Buah cempedak buah nangka, apa obatnya hati yang luka?"
Kemudian berpantun pula seorang lagi:
"Bajang-bajang tertali sutera,
tulang dibakar baunya sangit.
Dilihat gampang dipegang susah,
sebagai bulan di atas langit."
"Itukah dia!" teriak Ludi pula. Rupanya ia hanya pandai
bersorak-sorak saja. "Tarik, Yakub! Jangan malu-malu!" Pantun
itu dibalas oleh seorang lagi:
"Dari mana datangnya lintah,
dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta,
dari mata jatuh ke hati."
Pantun ini disela demikian, "Oleleh Kota Raja; jika boleh
dibawa saja."
"Ei... ei jangan!" kata Ludi pula, "Jangan merampas orang
punya!"
Kemudian berpantun pula orang yang pertama:
"Laju-laju perahu laju,
kapal berlayar ke Surabaya.
Biar lupa kain dan baju,
jangan lupa kepada saya.
"Siapa itu?" kedengaran seorang bertanya.
"Adik saya," jawab Ludi.
Sesungguhnya lagu keroncong dan Setambul ini, bila
dimainkan dengan bunyi-bunyi yang sedemikian, dalam terang
bulan, di tempat yang sunyi, sebagai di atas kapal waktu itu,
sangatlah merdu bunyinya, memberi asyik segala yang mendengarnya.
Itulah lagu yang selalu menarik hati anak mudamuda
yang suka bermain musik dan tiada jemu mereka
menyanyikannya. Akan tetapi, sebab yang memainkan lagu ini
acap kali orang yang kurang baik, di tempat yang sunyi-sunyi,
pada jauh malam, terkadang-kadang dengan maksud yang
kurang baik, menjadilah permainan ini, kurang disukai orang
baik-baik. Oleh sebab itulah sangatlah benci Nurbaya mendengar
bunyi-bunyian dan pantun mereka, lalu ia berbuat pura-pura
tidur, seraya menutup muka dan telinganya, supaya jangan terdengar
olehnya sekalian nyanyian itu.
Tatkala jauhlah sudah malam dan sunyilah di atas kapal,
datanglah Ludi berjalan perlahan-lahan, pura-pura hendak
memeriksa apa-apa. Setelah sampai ia ke tempat Nurbaya, lalu
dibangunkannya perempuan ini, sambil berkata, "Marilah ikut
aku, nanti kuberi tempat yang baik dan jika suka engkau menurut
kemauanku, kelak kuberi uang berapa sukamu."
Nurbaya lalu berdiri dan menolakkan Ludi, sambil berkata
dalam bahasa Belanda, "Jika berani engkau mengganggu aku
sekali lagi, kuadukanlah kelakuanmu yang tiada senonoh ini
kepada kapitan kapal. Akan menyusahkan penumpanglah kerjamu
di sini? Atau kausangka aku ini seorang perempuan jahat?
Buka matamu, lihat terang-terang; jangan samakan saja orang
baik-baik dengan orang jahat! Nyah engkau dari,sini!"
Kusir Ali sementara itu telah berdiri, melindungi Nurbaya;
tetapi Ludi rupanya tiada barani berbuat apa-apa lagi, lebih-lebih
karena mendengar Nurbaya berkata-kata dalam bahasa Belanda,
lalu pergi dari situ.
Walaupun sejak waktu itu Ludi tak kembali lagi, tetapi
semalam-malaman itu tiadalah berani mereka memicingkan
matanya, barang sekejap pun, takut kalau-kalau diganggu pula
oleh kerani itu.
Malam itu juga masuklah kapal ini ke pelabuhan Bengkulu,
akan tetapi tiadalah dapat memunggah atau memuat barangbarang,
sebab gelombang amat besar jadi ditunggulah sampai
keesokan harinya. Walaupun kapal ini berlabuh, tetapi Nurbaya
berasa badannya kurang enak, karena kapal itu sangat oleng
dipermainkan gelombang Ketaun. Oleh sebab tiada dapat berdiri,
tidurlah saja ia di atas bangkunya, sampai kapal itu berlayar pula,
meneruskan pelayarannya ke Jakarta. Tatkala itu, barulah
Nurbaya berasa senang sedikit, dapat berdiri dan berjalan jalan.
Hari baik pula dan pelayaran pun adalah selamat.
Akan tetapi pada malamnya, kira-kira pukul sepuluh, cuaca
yang terang itu, sekonyong-konyong bertukar menjadi gelap
gulita. Bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, tiada
kelihatan lagi, sebab ditutup awan yang tebal, yang mengandung
hujan. Angin teduh, lautan tenang, dan walaupun waktu itu
malam hari, tetapi udara rasanya panas.
Tiba-tiba kelihatan kilat di langit sebelah selatan, disertai
bunyi halilintar yang amat kerasnya. Tiada berapa lama
kemudian daripada itu, turunlah hujan yang amat lebat, sebagai
dicurahkan dari langit, disertai angin topan yang berembus dari
segenap pihak, berganti-ganti. Gelombang yang besar pun
datanglah, menggulung setinggi gunung; kadang-kadang bertumbuk
sama sendirinya, memecah di tengah lautan. Kapal yang
besar itu terbanting ke sana kemari dipermainkan gelombang
sebagai sekerat kayu yang tiada berharga.
Maka olenglah kapal itu ke kiri ke kanan, serta mengangguk
ke muka ke belakang. Air taut menyimbah dari segala pihak
masuk ke geladak, terkadang-kadang menghanyutkan peti-peti
atau barang-barang yang ringan, menyusahkan sangat kepada
segala penumpang; yang telah basah kuyup kena air dari atas dan
dari bawah: Oleh sebab itu, sangatlah ribut mereka, masingmasing
mencari tempat akan melindungkan diri serta barangbarangnya.
Bertambah-tambah kesukaran mereka, karena kapal
sangat oleng, sehingga banyaklah penumpang yang mabuk taut.
Dalam hal yang sedemikian, tiba-tiba kelihatan seorang lakilaki,
yang berpakaian serba hitam, datang dengan cepat mendekati
Nurbaya, yang sedang duduk di kursinya, tak dapat berdiri,
karena pusing. Dengan segera orang itu memegang badan
Nurbaya, lalu mengaggkat dan membawanya ke sisi kapal,
hendak melemparkannya ke dalam taut. Tatkala dilihat oleh
Nurbaya orang itu yaitu Pendekar Lima, yang dikenalnya,
hendak menikam Samsulbahri dahulu, berteriaklah ia minta
tolong serta berkuat, hendak melepaskan dirinya dari tangan penjahat
ini.
Kusir Ali, terperanjat, lalu berdiri mengejar Pendekar Lima
hendak menolong Nurbaya, sehingga berkelahilah mereka itu
bergumul, hendak empas mengempaskan. Oleh karena itu
terlepaslah Nurbaya dari tangan penjahat ini. Tetapi malang,
tatkala Pak Ali hendak mendekati Pendekar Lima pula, kenalah
ia disepak penjahat itu, lalu jatuh tergelimpang. Orang gempar,
dan karena takut, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya,
lalu hilang pada suatu tempat yang gelap, di buritan kapal.
Tatkala datang kapitan kapal ke tempat perkelahian itu,
diceritakanlah oleh kusir Ali segala hal yang telah terjadi.
Kapitan yang berhati santun dan iba kasihan, segera memberi
perintah kepada anak buahnya, menyuruh bawa Nurbaya ke
kamar sakit, karena pada ketika itu ia, entah sebab sangat terkejut,
entah sebab diempaskan oleh Pendekar Lima, jatuh
pingsan, terhantar di sisi kapal, tiada khabarkan dirinya lagi. Dan
pada ketika itu juga disuruhnya pula cari si penjahat itu di
segenap kapal. tetapi tiada ketemu.
Keesokan harinya, kelihatan seorang anak muda, berjalan
pulang balik di pelabuhan Tanjung Periuk; rupanya ada yang
dinantinya di sana. Setelah berlabuhlah kapal yang ditumpangi
Nurbaya. naiklah anak muda itu ke kapal itu, sdinbil melihat ke
sana kemari, tetapi rupanya tiada tampak yang dicarinya. Oleh
sebab itu bertanyalah ia kepada beberapa penumpang, kalaukalau
ada seorang perempuan muda bernama Nurbaya,
menumpang bersama-sama. Setelah didengarnya dari mereka,
sekalian yang terjadi di atas diri Nurbaya, segeralah ia masuk ke
kamar sakit itu dan sesungguhnya di sana dilihatnya Nurbaya
terbaring di atas sebuah tempat tidur. Maka tiadalah tertahan
hatinya lagi, lalu ia berlari mendapatkan Nurbaya dan dipeluk
serta diciumnya perempuan ini, sambil menangis, "Aduh
Nurbaya, adikku yang tercinta! Rupanya hampir tiada dapat kita
bertemu lagi."
Mendengar perkataan ini, terbangunlah Nurbaya. dan tatkala
dilihatnya yang memeluknya itu Samsulbahri, menangislah pula
ia tersedu-sedu, seraya memeluk kekasihnya ini.
"Sungguh celaka benar, untungku ini," katanya. "tiada putusputusnya
dirundung mara bahaya. Bilakah habisnya azab
sengsaraku? Jika tiada Pak Ali yang menolong aku, tentulah aku
sekarang telah berkubur di dalam laut."
"Sudahlah adikku, jangan menangis lagi! Barangkali
sekarang inilah datang waktunya, kita akan mendapat
kesenangan, karena telah jauh daripada segala setan dan iblis.
Sabarlah, nanti aku ikhtiarkan, supaya kita beroleh kesenangan
itu. Dapatkah engkau berjalan, supaya boleh kita turun dari kapal
"Dapat," jawab Nurbaya, "hanya aku masih letih dan pening
sedikit."
"Tak mengapa," jawab kusir Ali, yang mengikut Samsu,
masuk kamar sakit, tetapi belum tampak oleh anak muda ini,
"nanti hamba dukung!"
Mendengar perkataan ini, menolehlah Samsu ke belakang
lalu segera menjabat tangan kusir Ali, minta terima kasih atas
pertolongan dan setianya.
Tengah mereka berkata, masuklah kapitan kapal dengan
seorang schout polisi, ke kamar sakit itu, lalu berkata. "lniluh
dia!"
Melihat hal Nurbaya sedemikian, terdiamlah schout ini
sejurus, kemudian diajaknya Samsu ke luar. Setelah sampai ke
luar kamar itu, berkatalah schout ini, "Engkau ini siapa?"
"Hamba seorang murid Sekolah Dokter Jawa, nama hamba
Samsulbahri," sahut Samsu.
"Perempuan ini apamu," tanya polisi ini pula.
"Walaupun bukan saudara hamba sejati, tetapi lebih baik
daripada adik kandung hamba, " jawab Samsu pula.
"Siapa namanya?''
"Sitti Nurbaya."
"Dan orang yang bersama-sama dia?"
"Ali, kusir ayah hamba, yang berpangkat Penghulu di
Padang."
"Datang dari Padangkah kedua mereka itu?"
"Memang: yang perempuan itu, anak seorang saudagar di
sana."
"Jika demikian, benarlah dia ini," kata schout itu pula.
"Apakah sebabnya maka Tuan bertanya demikian?" tanya
Samsu.
"Bacalah telegram ini," jawab schout itu, sambil mengunjukkan
sehelai surat kawat.
Setelah Samsu membaca kabar kawat ini, pucatlah mukanya
dan gemetarlah bibirnya. Tangannya dikepalkannya dan giginya
digertakkannya; lalu berkata, "Bilakah puas hati jahanam itu
menggoda Nurbaya ini?"
Kemudian berkata pula ia kepada schout itu. "Pengaduan ini
takkan tiada bohong belaka; maksudnya semata-mata hendak
menganiaya perempuan ini. Sebagai nyata pada akhirnya yang
hendak dilakukan orang atas dirinya malam tadi. Datuk
Meringgih ini ialah suaminya, seorang yang sangat kejam. Itulah
sebabnya Nurbaya sampai lari kemari. Ia hendak dibuangkan ke
laut, tentulah pekerjaan jahanam itu juga, karena penjahat yang
membuangkan Nurbaya, ialah orangnya." Kemudian dicetitakanlah
oleh Samsu hal-ihwal Nurbaya dengan pendek, dari awal
sampai kepada akhirnya.
"Aku percaya akan perkataanmu," kata schout, "tetapi aku
tiada dapat berbuat apa-apa, lain daripada menurut perintah yang
kuterima ini."
"Tentu," jawab Samsu.
Setelah termenung sejurus, berkata pula ia, "Sekarang apakah
maksud Tuan."
"Hendak kuperiksa segala barangnya," jawab pegawai polisi.
"Baiklah, nanti hamba ambil bawa-bawaannya," lalu masuklah
Samsu ke kamar Nurbaya dan sebentar lagi keluar pula ia,
membawa barang-barang adiknya ini. Setelah diperiksa, oleh
Schout nyatalah tiada kedapatan apa-apa, lain daripada uang
kira-kira lima puluh rupiah dan pakaian perempuan. Kemudian
diperiksanya pula peti kusir Ali. Itu pun tiada juga kedapatan
apa-apa, lain daripada beberapa helai pakaian.
"Uang ini siapa punya?" tanya Schout,
"Uang Nurbaya," jawab Ali.
"Kamu tahu, dari mana diperolehnya uang ini?"
"Tahu, yaitu uang gadaian gelangnya, yang harganya kirakira
dua ratus rupiah. Hamba sendiri Yang menggadaikannya,
delapan puluh rupiah tatkala kami akan berangkat kemari. Ini
suratnya. Yang tiga puluh rupiah kami pakai untuk biaya kapal,
tinggal lagi lima puluh rupiah itu.
"Tahu benarkah. engkau, bahwa gelang itu kepunyaannya
sendiri dan bukan harta suaminya?"
"Tahu: gelang itu pusaka dari emaknya yang telah meninggal
dunia; diberikan kepadanya sebelum ia kawin dengan Datuk
Meringgih."
"Memang," menyela Samsu, "hamba pun tahu hal itu."
"Baiklah," kata Schout pula, sambil menuliskan segala
perkataan mereka. "Tetapi aku harus juga memeriksa perempuan
ini."
"Tiada ada alangannya; hanya hamba minta, supaya perkara
ini jangan dikabarkan dahulu kepadanya, sebab ia masih sakit;
kalau-kalau bertambah penyakitnya, mendengar kabar yang tak
baik ini. Dan sesudah itu, tentulah ia harus dibawa ke rumah
sakit, berobat di sana dahulu," kata Samsu pula.
"Memang," kata dokter kapal, yang ada juga di sana." la
masih sakit belum boleh dibawa pulang."
"Apabila tuan suka memberi suatu surat keterangan tentang
halnya, tentulah dapat ditunggu sembuhnya dahulu," jawab
Schout.
"Nanti aku beri surat itu," kata dokter kapal, lalu pergi.
Samsu dan schout masuk ke dalam kamar Nurbaya, lalu
Samsu berkata kepadanya, "Ini tuan schout hendak memeriksa
badanmu, kalau-kalau ada bekas kecelakaan tadi malam; karena
penganiayaan itu akan diperkarakan."
Samsu pura-pura berkata demikian, supaya jangan diketahui
Nurbaya, maksud kedatangan pegawai polisi ini. Setelah
diperiksa, berkata pula schout, "Marilah, berangkat sekarang!
Nanti kutunjukkan rumah sakit tempat berobat.'
"Baiklah," jawab Samsu.
Setelah siap, berangkatlah mereka sekalian. Nurbaya berjalan
perlahan-lahan, dipimpin oleh Samsu, menuju setasiun. Di sana
naiklah mereka ke kereta api yang menuju ke kota Jakarta.
Dalam kereta api, berkata Samsu kepada Nurbaya, "Engkau di
Jakarta berobat dahulu ke rumah sakit supaya baik benar. Bila
telah sembuh nanti, boleh kita musyawaratkan, yang baik
diperbuat."
"Bagaimana yang baik padamu sajalah," jawab Nurbaya,
"aku menurut."
Setelah sampai ke kota Jakarta, dimasukkanlah Nurbaya ke
rumah sakit; setiap hari dilihati oleh Samsu dan kusir Ali. Tiada
beberapa lamanya Nurbaya dalam rumah sakit ini sembuhlah ia
dari penyakitnya, lalu keluar dari rumah sakit tinggal menumpang
di rumah seorang kepala kampung, kenalan Samsu,
sementara menanti kapal yang akan membawanya pulang
kembali ke Padang.
"Nurbaya!" kata Samsu pada suatu ketika yang baik, kepada
adiknya ini. "Ada suatu kabar penting yang hendak kuceritakan
kepadamu, yang sampai kepada waktu ini kurahasiakan; sebab
aku khawatir penyakitmu, karena mendengarnya, akan menjadi
bertambah. Tetapi sekarang badanmu telah sehat kembali, mogamoga
dapat kausabarkan hatimu."
"Kabar apa itu?' tanya Nurbaya dengan terkejut, sambil
melihat kepada Samsu.
"Jangan khawatir," jawab Samsu, tatkala dilihatnya muka
Nurbaya berubah. Dicobanya tersenyum, hendak menghilangkan
khawatir kekasihnya ini. "Barangkali engkau masih ingat
kedatangan schout, ke kapal yang kautumpangi dahulu tatkala
kapal itu baru berlabuh dan ingat pula bahwa schout itu
memeriksa peti petimu dan peti Pak Ali. Dan tentulah engkau
belum lupa pula, engkau dari kapal terus dimasukkan ke rumah
sakit. Barangkali hal yang keniudian ini menimbulkan syak
wasangka dalam hatimu, bahwa aku kurang mengindahkan
engkau.
Walau ada sekalipun pikiranmu yang sedernikian, tak boleh
aku marah, sebab memang demikianlah rupanya kelakuanku
pada waktu itu. Seakan-akan kurang mengindahkan engkau.
Akan tetapi sebenarnyalah hanya Allah yang mengetahui betapa
besarnya hatiku, tatkala mendapat kabar dan melihat engkau
datang dan Tuhanlah yang mengetalrui betapa sedihnya hatiku
melihat kedatanganmu dengan hal yang serupa itu: karena baru
saja kita bertemu sekarang sudah harus bercerai pula. Ah ..."
"Apa kataniu?' tanya Nurbaya dengan terkejut, "sekarang ini
kita harus bercerai pula? Apa sebabnya?'
Maka diceritakanlah oleh Samsu, bahwa ada suatu dakwaan
datang dari Datuk Meringgih, mengatakan Nurbaya dan kusir Ali
melarikan barang-barang dan uang Datuk itu dan meminta,
supaya mereka ditahan dan dikirimkan kembali ke Padang
selekas-lekasnya.
"Sesungguhnyalah Datuk Meringgih itu manusia yang
sebengis-bengisnya. Sebelum mati aku belumlah puas hatinya,"
kata Nurbaya dengan sangat marahnya. "Percayakah engkau
akan sekalian dakwaannya itu?"
"Masakan aku percaya Nur; masakan engkau dapat berbuat
sedemikian," jawab Samsu. Sekalian orang yang mendengar
cerita ini, tak seorang pun percaya akan dakwa itu. Tetapi apa
hendak dikata? Kita sekarang berlawan dengan polisi; tiada
dapat berbuat apa-apa, harus menurut. Jika kita berlawan dengan
Datuk celaka itu, sebelum melayang nyawaku, tiadalah engkau
akan kembali ke Padang."
Nurbaya tidak menjawab, agaknya sebab sesak dadanya,
sampai didengarnya Samsu bertanya "Bagaimana pikiranmu,
Nur? Mengapa engkau berdiam diri?"
"Sebab perkara ini sangat sulit. Kehendak hatiku, sebolehbolehnya
janganlah aku sampai kembali pula ke Padang. Tak
dapat kukatakan bagaimana susahnya aku sampai kemari, tak
dapat kuceritakan bagaunana aku akan dihinakan orang Padang,
karena aku, sebagai seorang perempuan yang bersuami, telah
meninggalkan suaminya lari kepada laki-laki lain. Kalau aku
kembali ke Padang, niscaya akan kulihatlah sekalian mulut yang
niengejekkan aku dan akan kudengarlah pula segala perkataan
yang menghinakan aku. Akan tetapi ... ya adakah jalan lain yang
dapat diturut?'
Setelah berdiam sejurus berkata pula Samsu perlahan-lahan,
"Bagaimana pikiranmu, kalau kita lari dari sini supaya terlepas
dari tangan polisi?"
"Pada sangkaku akan sia-sia juga pekerjaan kita itu," jawab
Nurbaya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. "karena
akhirnya tentulah kita akan jatuh juga ke dalam tangan polisi. Di
mana hendak menyembunyikan diri? Seluruh tanah Jawa ada
polisi. Lagi pula kalau kita berbuat demikian, sebagai benarlah
aku bersalah. Bukankah aku takut karena salah dan berani karena
benar? Lari artinya takut, oleh karena itu, tentulah sekalian orang
akan bersangka, aku ini benar bersalah. Pada pikiranku, tak dapat
aku menyatakan kebenaranku, kalau tiada melawan dakwa itu.
Oleh sebab itu biarlah aku kembali dahulu. Tak susah bagiku
akan menyatakan kebenaranku dan perkara ini niscaya lekas
putus. Bila telah putus, lekaslah pula aku kembali kemari.
"Ah ya. Tetapi sesungguhnyakah tak ada jalan lain yang
dapat melepaskan engkau dari jahanam itu?" kata Samsu, sambil
mengepal tangannya, serta memukul meja, sebagai hendak
melepaskan panas hatinya. "Keinginan hatiku hendaknya
sekarang, setelah kita bercampur ini, janganlah bercerai pula;
karena kinilah kita dapat bersama-sama. Bila telah pulang
engkau ke Padang, harus kita bertemu pula dahulu, baru dapat
bercampur kembali. Padang Jakarta bukan semalalam, lautan
besar harus diseberangi, baru sampai. Sedangkan di dalam waktu
yang sesaat boleh banyak yang terjadi, apalagi dalam perceraian
yang tak tentu lamanya ini."
"Perkataanmu itu memang benar, Sam. Tetapi apa daya kita
dalam hal ini, lain daripada menurut kehendak polisi? Bukan
bagimu saja berat perceraian ini, tetapi terlebih-lebih bagiku,
yang sebagai burung telah lepas dari penjara dan sekarang harus
menyerahkan diri pula, masuk ke dalam sangkarnya kembali,
bertemu dengan algujunya.
"Ya Allah!' keluh Nurbaya. "Kepada siapakah hamba-Mu
akan meminta pertulungan lagi, lain daripada-Mu ... ?"
Samsu tiada dapat mengeluarkan suaranya, karena sedih
melihat adiknya ini.
"Sungguhpun hatiku rasakan hancur akan meninggalkan
engkau pula, tetapi tiadalah akan senang hatiku, bila perkara ini
belum selesai. Biar dikatakan perempuan yang tiada setia kepada
suaminya, sebab memang Datuk jahanam itu bukan suamiku,
melainkan algojoku, yang telah dilindungi surat kawin, tetapi
aku tiadalah sekali-kali suka dikatakan pencuri, sebab memang
aku bukan pencuri. Oleh sebab itu kebenaranku dalam hal ini,
harus dinyatakan. Hanya suatu yang terpikir dalam hatiku,
tidakkah buleh perkara ini diperiksa di Jakarta ini saja? Jika
sekiranya boleh bcrapakah baiknya!"
"Ya, memang itu suatu akal," kata Samsu tiba-tiba, lalu
berdiri dan memakai topinya.
Hendak ke mana engkau?" tanya Nurbaya, yang belum
mengerti maksud Samsu ini.
"Hendak pergi ke kantor Asisten Residen, menanyakan,
bolehkah perkara ini diperiksa di sini saja,"
"Ya, baik. Cobalah!" kata Nurbaya. "Mudah-mudahan
disampaikan Allah juga maksudmu itu."
Seketika itu juga berangkatlah Samsu dan kira-kira pukul
dua, barulah ia kembali. Tetapi dari jauh telah kelihatan oleh
Nurbaya pada mukanya, bahwa maksudnya tiada berhasil,
karena Samsu datang dengan berdukacita.
"Bagaimana?" tanya Nurbaya dari jauh. pulang."
"Ah, tak boleh. Engkau harus juga pulang."
"Memang telah kusangka," kata Nurbaya. "Apa boleh buat!"
"Ya, memang; malang itu tak dapat ditolak. Sungguhpun
demikian baik juga engkau berhati-hati. Siapa tahu algojomu itu
ada lagi akalnya, untuk membinasakan engkau; sebab ia rupanya
tak takut dan tak ngeri berbuat segala kejahatan. Sementara itu,
akan kucarilah pekerjaan di sini, supaya ada penghidupan kita,
bila engkau telah kembali dan hidup bersama-sama dengan aku
kelak. Jika aku teruskan pelajaranku, tentulah susah kita hidup di
sini. Bagiku, biar tak menjadi dokter, asal hidup bersama-sama
dengan engkau."
"Benar sekali perkataanmu itu, Sam. Itulah jalan yang sebaikbaiknya
diturut, supaya selamat kita. Dan walaupun kusayangkan
benar, engkau meninggalkan sekolahmu, tetapi harus juga
kubenarkan maksudmu ini. Oleh sebab itu berjanjilah aku
kepadamu, bila kita telah bersama-sama kelak, akan kubalas
jasamu itu dengan penjagaan dan bantuan yang sebaik-baiknyadalam
kehidupanmu."
"Ah, perkara sekolahku janganlah kaupikirkan. Ingatlah akan
janjiku kepada ayahmu! Tidak pun demikian, seharusnyalah juga
aku membela engkau," kata Samsu, "lagi pula, memang aku tak
dapat meneruskan pelajaranku, karena kurang belanja. Engkau
tahu sendiri, ayahku tak hendak membantu lagi."
"Oleh sebab itu, pada pikiranku, bila kita telah bersama-sama
kelak, akan kusuruh juallah rumah dan tanahku serta sekalian
barang-barangku yang masih ada di Padang, supaya uang itu
dapat kita pakai pembeli rumah di sini, atau untuk apa-apa saja
yang perlu; karena aku tak hendak kembali lagi ke Padang,
biarlah mati di rantau orang. Di tanah airku sendiri tiada lain
daripada kesusahan dan kesengsaraaq yang kuperoleh.
Barangkali di negeri orang dapat aku beroleh kesenangan," kata
Nurbaya.
"Ya, benar; sesungguhnyalah itu. Pikiranku pun deniikian
juga. Padaku, apa lagi yang akan menarik hatiku ke Padang?
Engkau telah ada di sini dan ibuku akan kusuruh datang kemari,
tinggal bersama-sama dengan kita," jawab Samsu.
"Wahai, alangkah senang hatiku, bila ibumu pun telah
bersama-sama pula dengan kita! Tentulah hilang segala sengsara
yang telah kurasai itu; tentulah tinggal kesenangan dan kesukaan
lagi; tentulah... Ah, sesungguhnya cita-cita itu sangat elok
rasanya," kata Nurbaya setelah termenung sejurus, sedang
keriangan hatinya yang mulai timbul, hilang kembali, bertukar
dengan sedih, sehingga mendatangkan khawatir pula, dalani
hatinya, takut kalau-kalau tiada disampaikan Tuhan.
"Masih ingatkah engkau akan segala cita-cita pada malam,
tatkala engkau akan berangkat kemari, Sam? Apakah jadinya
sekarang?"
"Jangan berpikir sedemikian!" jawab Samsu. "Jangan putus
asa! Engkau masih muda dan aku pun begitu pula. Siapa tahu,
tidak sekarang, barangkali kelak kita beroleh kesenangan.
Masakan hujan saja dari pagi sampai petang. Panas sesudah
hujan, menimbulkan kesegaran badan dan kesenangan hati."
"Kuharap demikian jugalah hendaknya! Akan tetapi, karena
segala kecelakaan dan kedukaan telah datalig bertubi-tubi
menimpa diriku, tak beranilah aku berharap lagi; istimewa pula
sebab aku sekarang harus pulang ke Padang.
Sesungguhnya sangat berat hatiku hendak meninggalkan
engkau dan Jakarta ini, karena aku di sini sungguh berasa
senang; pertama sebab ada dalam tanganmu. kedua sebab jauh
dari tempat aku beroleh mara bahaya. Dan lagi, sebagai ada yang
melarang aku kembali ke Padang, sebagai di sana telah
menunggu pula sesuatu kecelakaan yang mengancam diriku."
"Hilangkanlah pikiran yang seperti itu! Ingatlah akan nasihat
orang tuamu!" kata Samsu dengan perlahan-lahan, membujuk
kekasihnya, walaupun hatinya sendiri berasa khawatir pula.
"Apalagi karena dalatn perkara ini, kita tak boleh mengatakan
tidak; harus menurut. Sebab itu nienyerahlah engkau dan berhatihatilah
menjaga diri! Selama-lamanya engkau sebulan di sana;
sudah itu tentulah kita bertemu pula.
Aku sesungguhnya ingun benar hendak mengantarkan
engkau; tetapi waktu ini tiada dapat aku berangkat, karena ada
sesuatu pekerjaan yang hendak kuminta. Kalau aku pergi dari
sini, tentulah lepas pekerjaan itu dari tanganku. Keinginan
hatiku, bila engkau telah kembali pula kemari, aku telah
mempunyai pekerjaan.
Lagi pula, engkau kembali ke Padang diantarkan oleh
seorang opas yang kukenal. Nanti kupesankan kepadanya,
supaya engkau dijaganya baik-baik. Jika engkau kelak hendak
kembali kemari dan tak ada teman, kirimlah kabar kepadaku!
Tentu aku datang menjemput. Dengan demikian, tak lama aku di
Padang. Bila aku menumpang dengan kapal Jakarta yang bertemu
di Padang dengan kapal dari Aceh, barangkali hari itu juga
dapat aku kembali, sehingga tak perlu bermalam di Padang.
Seboleh-bolehnya jangan aku bertemu pula dengan ayahku.
Bagaimana pikiranmu Nur? Baikkah begitu?"
"Baiklah, kalau engkau suka demikian," jawab Nurbaya,
sambil memandang muka Samsu dengan tersenyum.
"Memang engkau baik hati, segala menurut," kata Samsu
pula, seraya mencium adiknya ini.
"Sekarang kenakanlah pakaianmu, supaya dapat kita berjalan-
jalan, melihat-lihat kota Jakarta ini, sebab besok kapal
berangkat ke Padang."
"Besokkah aku harus berangkat dan bercerai pula denga
engkau?" tanya Nurbaya.
"Untuk sementara," jawab Samsu.
Setelah selesai memakai, berjalanlah kedua mereka, berpegang-
pegangan tangan, melihat tamasya kota Jakarta pada
malam hari. Oleh Samsu dibawalah Nurbaya berjalan ke sana
kemari, naik bendi dan kereta, sekeliling kota Jakarta. Tidaklah
dapat dikatakan senang hati Nurbaya melihat keindahan kota ini.
"Sesungguhnya kota Jakarta ini sangat besar dan sangat
ramai; penuh dengan toko dan rumah yang besar-besar dan
bagus-bagus. Harus jadi ibu negeri Indonesia," kata Nurbaya.
Setelah puas bersiar-siar, masuklah kedua mereka ke dalam
sebuah rumah makan, karena perutnya berasa lapar. Bila
kenyanglah sudah makan. lalu dibawa oleh Samsu Nurbaya
melihat komedi kuda, yang kebetulan sedang bermain di sana.
Kemudian barulah mereka pulang kembali, sambil berjalan
perlahan-lahan.Semalam itu lupalah Nurbaya akan hal ihwal
yang telah di-tanggungnya, dan dirasainyalah kesenangan
seorang perempuan yang bebas, yang berdekatan dengan
kekasihnya. Malam itulah malam yang ketiga kali. Nurbaya
merasa untungnya mujur.
"Tak banyak permintaanku tak banyak keinginan hatiku,
biarlah tak kaya atau tak berpangkat tinggi, asal mendapat
kcsenangan sebagai waktu ini," katanya. "Inilah surga dunia,
yang baru kukenal, Sam. Adakah akan dapat selama-lamanya
kita seperti ini?"
"Mengapa tidak? Kalau engkau telah ada pula di sini nanti,
apakah yang akan menjadi alangan lagi atas diri kita untuk selalu
bersama-sama?"
Dengan bercakap-cakap sedemikian, sampailah mereka ke
rumah tempat Nurbaya menumpang, lalu duduk di serambi muka
bertutur-turut, sebagai hendak memuas-muaskan hatinya.
"Sam!" kata Nurbaya tiba-tiba, "aku mendengar suatu pantun
yang demikian bunyinya:
"Dari jauh kapalmu datang,
pasang bendera atas kemudi.
Dari jauh adikmu datang,
melihat Kakanda yang baik budi."
"Jawabnya begini," kata Samsu, sambil tersenyum:
"Selasih di kampung Batak,
perawan luka tentang kaki.
Terima kasih banyak-banyak,
sudi datang melihati."
"Suatu lagi," kata Nurbaya:
"Sultan Iskandar raja Sikilang,
raja Barus pegang tongkatnya,
Tidak disesal badanku hilang,
sudah harus pada tempatnya."
"Jawabnya," kata Samsu:
"Sukar membilang buah kelapa,
burung pipit terbang sekawan.
Biar hilang tidak mengapa,
asal bersama dengan Tuan."
Demikianlah kedua mereka itu bercakap-cakap dan
berpantun-pantun serta bersenda gurau.
***
Pada keesokan harinya, berlayarlah Nurbaya pulang ke
Padang, bersama-sama kusir Ali, diantarkan oleh seorang opas
polisi. Dengan tolong Allah, adalah selamat perjalanan itu tiada
kurang suatu apa.
Setelah sampai ke Padang diperiksalah perkara itu, dan
nyatalah bahwa Nurbaya tiada bersalah apa-apa, dalam perkara
ini, hanyalah khianat Datuk Meringgih, yang pura-pura berbuat
sebagai barang dan uangnya dilarikan Nurbaya, supaya istrinya
ini dikirimkan kembali ke Padang.
Katanya mula-mula, tak tahu di mana barang-barang dan
uang itu disimpan Nurbaya, dan sebab ia lari; disangkanya uang
dan barang itu dibawanya. Tetapi setelah ditunjukkan Nurbaya
tempat barang-barang dan uang itu disimpan, nyatalah istrinya
tiada bersalah apa-apa.
Walaupun dimaklumi orang, Datuk Meringgih dengan
sengaja berbuat demikian tetapi tiadalah ia beroleh hukuman
apa-apa sebab ia seorang saudagar yang amat kaya di Padang.
Tatkala kapal telah berangkat, termenunglah Samsu sejurus
di pelabuhan Tanjung Periuk, karena sebagai didengarnya suara
yang timbul dalam hatinya mengatakan: Nurbaya tiada akan
kembali lagi dan itulah pertemuan mereka yang penghabisan di
atas dunia ini. Walaupun sangat khawatir dan kabur pikirannya
tetapi disabarkannya juga hatinya, dan meminta pertolongan
Tuhan yang pengasih penyayang.
.....Bersambung ke...Percakapan Nurbaya dengan Alimah

No comments:

Post a Comment