Karya : Marah Rusli
Walaupun hari hampir pukul tujuh
pagi, tetapi di pelabuhan
Teluk Bayur, belum terang benar.
Di tempat-tempat yang tersembunyi,
di bawah-bawah pohon kayu, masih
gelap. Beberapa
pekerja yang berjalan kaki menuju
ke pelabuhan untuk mencari
nafkahnya, kelihatan masih
berselubung kain sarung, supaya
jangan ditimpa angin pagi yang
sejuk. Dari jauh, dari sebelah
timur, kedengaran bunyi lotong
dan ungka, sebagai orang yang
bertempik sorak, bersuka raya,
menyambut kedatangan cahaya
matahari, yang mulai menerangi
hutan, tempat kediamannya.
Sesungguhnya, di sebelah timur
kelihatan beberapa sinar
yang merah, memancar dari balik
gunung, yang memagar
pelabuhan Teluk Bayur, sebagai
hendak menembus awan yang
tebal. Di laut, kelihatan embun,
seperti asap, tergantung di atas
air, berarak perlahan-lahan arah
ke barat. Dari dalam kabut ini,
timbullah beberapa perahu kail,
yang datang dari laut, berlayar
perlahan-lahan menuju ke darat,
membawa ikan yang dapat
dikailnya pada malam hari. Angin
teduh, laut pun tenang. Di
sebelah barat masih kelihatan
bulan sebelah, tinggi di atas langit,
sedang cahayanya, kian lama kian pudar,
sebagai perak belum
disepuh.
Sungguhpun hari masih pagi,
tetapi di Teluk Bayur ramailah
sudah oleh orang yang hendak
berlayar, meninggalkan kota
Padang atau mengantarkan mereka,
yang hendak merantau ke
negeri lain; karena pada hari
itulah ada sebuah kapal yang
hendak bertolak ke tanah Jawa,
pukul delapan pagi. Pekerjapekerja,
ribut memuat dan membongkar
barang-barang; anak
kapal ribut bersiap dan bekerja,
sedang penumpang, berlari-lari
turun-naik, sebagai takut
ketinggalan.
Pada sebuah kedai, yang ada di
Teluk Bayur, kelihatan
seorang laki-laki tua,
sebentar-sebentar menjenguk ke luar lalu
mengintip ke sana-sini, sebagai
takut memperlihatkan dirinya.
Setelah masuklah ia kembali ke
dalam kedai itu, lalu berkata
kepada seorang perempuan muda,
yang berdiri di balik lemari,
"Rupa-rupanya tak ada orang
yang tahu akan perjalanan kita ini,
karena sekarang, belum ada
kelihatan seorang pun yang hamba
kenal."
"Untunglah," jawab
perempuan muda itu, "tetapi baik juga
dilihat di luar. Siapa tahu,
barangkali perjalanan kita ini diintip
orang juga."
Laki-laki tua tadi, pergilah ke
luar kedai, lalu berjalan ke
sana kemari, pura-pura melihat
ini dan itu, tetapi matanya
mengintip ke segenap tempat dan
memperhatikan sekalian orang
yang dilihatnya.
Setelah berbunyilah seruling
kapal yang pertama, keluarlah
kedua mereka dari kedai itu,
berjalan lekas-lekas menuju kapal,
lalu naik ke atas geladak,
mencari tempat yang tersembunyi dan
berdiam diri di sana. Dengan
tiada diketahui mereka, adalah dua
orang laki-laki, yang mengintip
segala kelakuan mereka dari
balik sebuah gudang.
Setelah nyatalah oleh kedua
laki-laki ini, bahwa yang lari
naik ke kapal itu, ialah
kurbannya, berkatalah seorang daripada
mereka kepada temannya,
"Sekarang baiklah engkau pulang,
Pendekar Tiga! Kabarkanlah
penglihatanmu ini kepada Engku
Datuk Meringgih, dan katakanlah
kepada beliau, aku akan
mengikut mereka dengan kapal ini
ke Jakarta, untuk menjalankan
perintahnya dan akan menuntut
beberapa ilmu, yang berguna
untuk sasaran kita di sini. Lagi
pula, aku di sana, akao mencari
beberapa kenalan dan murid-murid,
yang suka masuk perkumpulan
kita."
"Baiklah, Kak Pendekar
Lima," jawab Pendekar Tiga, "tetapi
adakah Kakak berbelanja?"
"Ada, untuk sementara,"
kata Pendekar Lima pula. "Jika
kurang, nanti akan kuminta dari
Jakarta."
Kernudian daripada itu,
bercerailah kedua mereka ini.
Pendekar Tiga pulang kembali ke
kota Padang dan Pendekar
Lima berjalan perlahan-lahan ke
pangkalan.
Setelah berbunyilah seruling yang
kedua dan jambatan
hampir akan diangkat, barulah ia
melompat naik kapal, lalu bersembunyi
di bawah geladak. Tiada beberapa
lamanya kemudian
daripada itu, diangkatlah sauh
dan berlayarlah kapal ini,
meninggalkan Teluk Bayur.
Setelah keluarlah kapal ini dari
pelabuhan Teluk Bayur,
barulah perempuan yang melarikan
diri tadi, berani keluar dari
tempat ia bersembunyi; lalu
melihat ke sana kemari, mencari
tempat yang baik. Akhirnya
dapatlah olehnya suatu tempat,
dekat kamar kapitan. Laki-laki
yang bersama dengan dia, lalu
membentangkan tikarnya dan
membuka sebuah kursi malas kain,
yang dibawanya untuk perempuan
itu.
"Sekarang barulah senang
hatiku sedikit, Pak Ali," kata
perempuan ini, setelah duduk di
atas tikar itu. "Tetapi sungguhpun
demikian, was-wasku belum hilang;
sebagai aku ini masih
diikuti oleh bala. Oleh sebab
itu, baiklah Pak Ali coba juga nanti
berjalan ke mana-mana pura-pura
mencari apa-apa dan dilihatlah
benar-benar, tiadakah diketahui
orang perjalanan kita ini dan
tiadakah diikuti orang
kita."
"Baiklah, orang kaya
Nurbaya. Nanti hamba pergi periksa,
walaupun pada sangka hamba, tak
ada orang yang tahu perjalanan
kita ini dan tak ada orang pula
orang yang mengikuti
kita," jawab Ali.
Setelah duduk sejurus, berkatalah
Nurbaya, "Pak Ali, sudahkah
dikirim surat kawat untuk Samsu,
supaya disambutnya kita
di Tanjung Periuk?"
"Sudah, Orang Kaya, kemarin.
Tetapi walaupun tak ada ia di
Tanjung Periuk, tak mengapa,
karena hamba telah biasa ke
Jakarta dahulu, tatkala menjadi
opas, membawa pesakitan," sahut
Ali.
"Betul, tetapi baik juga
diketahuinya kedatangan kita ini,
supaya disediakannya tempat untuk
kita," kata Nurbaya pula.
"Benar," jawab Ali.
"Tetapi tiadakah Orang Kaya berasa
lapar? Barang kali belum makan
apa-apa tadi!"
"Sesungguhnya perutku mulai
berbunyi-bunyi, minta nasi,"
kata Nurbaya dengan tersenyum.
Hatinya makin lama makin
riang, karena dapat meninggalkan
kota Padang dengan tiada
diketahui orang dan karena
mengingat pertemuan dengan
kekasihnya Samsulbahri.
"Tunggulah sebentar, hamba
minta telur dan kopi," kata kusir
Ali, lalu pergi. Tiada berapa
lama kemudian, kembali pula ia
dengan membawa beberapa butir
telur dan dua mangkuk kopi.
Sementara itu, Nurbaya telah
mengeluarkan beberapa ketupat
dan makan-makanan yang lain dari
dalam rantangnya, lalu
makanlah kedua mereka itu.
Kira-kira sejam setelah itu, datanglah
seorang mualim kapal,
meminta surat pelayaran. Tatkala
sampai ia ke dekat Nurbaya
dan terlihat olehnya kecantikan
perempuan ini, berbisik-bisiklah
ia dengan keraninya, dalam bahasa
Belanda, "Bagaimana
pikiranmu tentang perempuan ini,
Ludi?"
"Ini sesungguhnya bunga ros
dari Padang," jawab Ludi.
"Sanggup engkau membujuknya?
Selusin bir upahnya," kata
mualim itu pula.
"Coba-coba; tetapi rupanya
ia orang baik-baik; tentu susah
didekati. Tambahan pula, ada yang
menjaganya," jawab Ludi.
"Jika tak cukup selusin,
nanti aku tambah setengah lusin
lagi," kata mualim itupula,
seraya mengerling kepada Nurbaya,
"Pipinya yang cekung bila ia
berkata-kata dan tahi lalat yang ada
pada pipinya, menambahkan asyik
hati."
"Nantilah kucoba,"
jawab Ludi.
Segala percakapan ini didengar
dan dimaklumi oleh Nurbaya
dan sangatlah benci hatinya
melihat kedua mereka. Tetapi
ditahannya marahnya, supaya ia
jangan dianiaya pula oleh
mereka.
Setelah sampai Ludi dan Mualim
itu kepada Nurbaya, lalu
bertanya kerani ini, "Hendak
ke mana ini?"
"Ke Jakarta," jawab
Nurbaya dengan pendek.
"Ada teket?" tanya Ludi
pula.
"Ini," jawab Nurbaya,
seraya memberikan surat kapalnya.
Setelah dikoyak Ludi surat ini,
lalu ia berkata, sambil
memulangkan cabikan teket itu,
"Mengapa tinggal di sini? Di
bawah, ada tempat yang lebih
baik. Kalau suka, nanti kupilihkan."
"Terima kasih! Biarlah kami
di sini, karena di sini dekat
kapitan kalau ada apa-apa, boleh
lekas menghadap dia."
Mendengar jawaban ini terpikirlah
Ludi sejurus; tetapi lekas
ia berkata pula, "Bila kelak
ada hujan atau gelombang, tentulah
basah di sini."
"Tak mengapa, kami bukan
garam, hancur kena air. Jika
benar ada gelombang besar kelak,
kami carilah tempat yang baik
pada pikiran kami," jawab
Nurbaya, sambil melihat ke tempat
lain.
Setelah melihat Nurbaya menoleh
itu, pergilah kedua
pegawai kapal ini, memeriksa
surat-surat penumpang yang lain.
"Apa kataku? kata Ludi.
"Memang dari jauh telah nyata
padaku, perempuan yang sedemikian
sebagai burung merpati:
rupanya jinak, tetapi susah
ditangkap."
"Tak peduli, Ludi; jika tak
dapat dengan baik, dengan keras.
Carilah akal! Hilang semangatku
melihat matanya dan
pandangannya yang tenang itu.
Jika dapat olehmu nanti kucari
akal supaya gajimu
ditambah." sahut mualim itu.
"Baiklah, nanti kucoba juga;
tetapi kalau tak dapat, jangan
marah," jawab Ludi.
Sepeninggal kedua pegawai ini
pergi, dikatakanlah oleh
Nurbaya kepada kusir Ali segala
percakapan mereka.
"Jangan takut " kata
kusir Ali, "nanti hamba berjaga benarbenar.
Jika berani juga ia mengganggu
kita adukan saja kepada
kapitan kapal."
Tatkala itu angin teduh, laut pun
tenang. Muka air, adalah
sebagai kaca besar yang
berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari.
Dari ujung langit selatan sampai
ke ujung langit utara, tiadalah
lain yang kelihatan, melainkan
dataran yang amat luas, yang biru
warnanya. Hanyalah pada buritan
kapal, air sebagai mendidih
dikacau roda kapal yang
berpusing. Kapal pun berlayar seolaholah
meluncur di atas dataran yang
rata, sebagai ditarik tali ajaib,
meninggalkan jejaknya yang
berbaris-baris putih dan makin
lama makin besar memecah. Di
sebelah utara dan di sebelah
barat, kelihatan beberapa pulau
kecil yang berjejer jejer letaknya.
Cuaca terang, langit pun jernih
pada segenap tempat. Tiada
berapa jauhnya dari kapal,
kelihatan ikan berlompat-lompatan,
sebagai bermain-main
berkejar-kejaran. Ada yang melompat
sebagai bermain-main jauhnya
karena terkejut dilanggar kapal.
Dari jauh kelihatan ikan
lumba-lumba, berenang beriringiringan,
sebentar timbul, sebentar hilang.
Burung camar yang
putih warna bulunya, beterbangan
kian kemari. Ada yang
mengintai ikan-ikan yang lengah,
mengapungkan dirinya ke
muka air laut; ada yang tiada
bergerak dari tempatnya sebagai
tergantung di udara, tetapi
tiba-tiba menunjam ke bawah, sampai
ke atas air dengan deras
terbangnya, seolah-olah anak panah
yang dilepaskan dari busumya.
Tatkala terbang pula ia membumbung,
digonggongnyalah seekor ikan
dalam paruhnya. Ada
pula yang melayang menyambar
makanannya dengan jarinya.
Tiada berapa lamanya berlayar
itu, luputlah daratan di
sebelah timur dari mata, hilang
di balik ujung langit yang hampir
tiada berwatas dengan lautan.
Ke mana mata memandang, tiada
lain yang kelihatan lagi
melainkan air semata-mata,
disungkup oleh langit yang
melengkung. Ketika itu terasa
benar oleh Nurbaya kecil dirinya,
karena sedangkan kapal yang besar
itu, seolah-olah sebutir pasir
di padang sahara rupanya.
Kebesaran dan kekuasaan Allah yang
menjadikan semesta alam ini,
makin bertambah-tambah terasa
olehnya dan kecutlah rasa hatinya
bila diingatnya halnya, tak
dapat lari ke mana-mana, lain
daripada di atas kapal itu, jika
terjadi apa-apa di laut ini;
karena lepas dari tempat yang kecil
ini, mautlah yang menunggunya.
Nyata benar olehnya, bahwa
tempat nyawanya bergantung, tiada
seberapa besamya. Di kapal
itulah saja kehidupan, tetapi di
luar itu, kematian. "Adakah akan
sampai kembali aku ke
darat?" pikimya dalam hatinya. "Di darat
itulah yang tiada
berbahaya."
Rupanya ia lupa bahwa orang itu
lebih banyak mati di
daratan daripada di lautan.
Setelah malamlah hari, terang
benderanglah di kapal itu
disinari cahaya lampu listrik.
Angin bertiup dari selatan,
menyegarkan segala kelasi kapal,
yang telah bekerja berbelah
payah sehari itu. Setelah selesai
makan, naiklah beberapa kerani
dan pegawai kapal, dari kelas
dua, ke atas geladak; masingmasing
membawa permainan musiknya. Ada
yang menggesek
biola, ada yang memetik gitar.
mendolin, keroncong dan ada
pula yang meniup seruling, sedang
yang baik suaranya,
menyanyikan lagu keroncong dan
setambul, serta berpantun
berbalas-balasan, sebagai di
bawah ini:
"Dari mana
hendak ke mana,
dari Jepun ke
bandar Cina.
Jangan marah
saya bertanya,
bunga yang
kembang siapa punya?"
"Siapa yang punya,"
berteriak Ludi, menyahuti temannya
yang bernyanyi itu. Orang yang
kedua menyela pantun itu,
"Buah cempedak buah nangka,
apa obatnya hati yang luka?"
Kemudian berpantun pula seorang
lagi:
"Bajang-bajang
tertali sutera,
tulang dibakar
baunya sangit.
Dilihat gampang
dipegang susah,
sebagai bulan di
atas langit."
"Itukah dia!" teriak
Ludi pula. Rupanya ia hanya pandai
bersorak-sorak saja. "Tarik,
Yakub! Jangan malu-malu!" Pantun
itu dibalas oleh seorang lagi:
"Dari mana
datangnya lintah,
dari sawah turun
ke kali
Dari mana
datangnya cinta,
dari mata jatuh
ke hati."
Pantun ini disela demikian,
"Oleleh Kota Raja; jika boleh
dibawa saja."
"Ei... ei jangan!" kata
Ludi pula, "Jangan merampas orang
punya!"
Kemudian berpantun pula orang
yang pertama:
"Laju-laju
perahu laju,
kapal berlayar
ke Surabaya.
Biar lupa kain
dan baju,
jangan lupa
kepada saya.
"Siapa itu?" kedengaran
seorang bertanya.
"Adik saya," jawab
Ludi.
Sesungguhnya lagu keroncong dan
Setambul ini, bila
dimainkan dengan bunyi-bunyi yang
sedemikian, dalam terang
bulan, di tempat yang sunyi,
sebagai di atas kapal waktu itu,
sangatlah merdu bunyinya, memberi
asyik segala yang mendengarnya.
Itulah lagu yang selalu menarik
hati anak mudamuda
yang suka bermain musik dan tiada
jemu mereka
menyanyikannya. Akan tetapi,
sebab yang memainkan lagu ini
acap kali orang yang kurang baik,
di tempat yang sunyi-sunyi,
pada jauh malam, terkadang-kadang
dengan maksud yang
kurang baik, menjadilah permainan
ini, kurang disukai orang
baik-baik. Oleh sebab itulah
sangatlah benci Nurbaya mendengar
bunyi-bunyian dan pantun mereka,
lalu ia berbuat pura-pura
tidur, seraya menutup muka dan
telinganya, supaya jangan terdengar
olehnya sekalian nyanyian itu.
Tatkala jauhlah sudah malam dan
sunyilah di atas kapal,
datanglah Ludi berjalan
perlahan-lahan, pura-pura hendak
memeriksa apa-apa. Setelah sampai
ia ke tempat Nurbaya, lalu
dibangunkannya perempuan ini,
sambil berkata, "Marilah ikut
aku, nanti kuberi tempat yang
baik dan jika suka engkau menurut
kemauanku, kelak kuberi uang
berapa sukamu."
Nurbaya lalu berdiri dan
menolakkan Ludi, sambil berkata
dalam bahasa Belanda, "Jika
berani engkau mengganggu aku
sekali lagi, kuadukanlah
kelakuanmu yang tiada senonoh ini
kepada kapitan kapal. Akan
menyusahkan penumpanglah kerjamu
di sini? Atau kausangka aku ini
seorang perempuan jahat?
Buka matamu, lihat terang-terang;
jangan samakan saja orang
baik-baik dengan orang jahat!
Nyah engkau dari,sini!"
Kusir Ali sementara itu telah
berdiri, melindungi Nurbaya;
tetapi Ludi rupanya tiada barani
berbuat apa-apa lagi, lebih-lebih
karena mendengar Nurbaya
berkata-kata dalam bahasa Belanda,
lalu pergi dari situ.
Walaupun sejak waktu itu Ludi tak
kembali lagi, tetapi
semalam-malaman itu tiadalah
berani mereka memicingkan
matanya, barang sekejap pun,
takut kalau-kalau diganggu pula
oleh kerani itu.
Malam itu juga masuklah kapal ini
ke pelabuhan Bengkulu,
akan tetapi tiadalah dapat
memunggah atau memuat barangbarang,
sebab gelombang amat besar jadi
ditunggulah sampai
keesokan harinya. Walaupun kapal
ini berlabuh, tetapi Nurbaya
berasa badannya kurang enak,
karena kapal itu sangat oleng
dipermainkan gelombang Ketaun.
Oleh sebab tiada dapat berdiri,
tidurlah saja ia di atas
bangkunya, sampai kapal itu berlayar pula,
meneruskan pelayarannya ke
Jakarta. Tatkala itu, barulah
Nurbaya berasa senang sedikit,
dapat berdiri dan berjalan jalan.
Hari baik pula dan pelayaran pun
adalah selamat.
Akan tetapi pada malamnya,
kira-kira pukul sepuluh, cuaca
yang terang itu,
sekonyong-konyong bertukar menjadi gelap
gulita. Bintang-bintang yang
gemerlapan cahayanya, tiada
kelihatan lagi, sebab ditutup
awan yang tebal, yang mengandung
hujan. Angin teduh, lautan
tenang, dan walaupun waktu itu
malam hari, tetapi udara rasanya
panas.
Tiba-tiba kelihatan kilat di
langit sebelah selatan, disertai
bunyi halilintar yang amat
kerasnya. Tiada berapa lama
kemudian daripada itu, turunlah
hujan yang amat lebat, sebagai
dicurahkan dari langit, disertai
angin topan yang berembus dari
segenap pihak, berganti-ganti.
Gelombang yang besar pun
datanglah, menggulung setinggi
gunung; kadang-kadang bertumbuk
sama sendirinya, memecah di
tengah lautan. Kapal yang
besar itu terbanting ke sana
kemari dipermainkan gelombang
sebagai sekerat kayu yang tiada
berharga.
Maka olenglah kapal itu ke kiri
ke kanan, serta mengangguk
ke muka ke belakang. Air taut
menyimbah dari segala pihak
masuk ke geladak,
terkadang-kadang menghanyutkan peti-peti
atau barang-barang yang ringan,
menyusahkan sangat kepada
segala penumpang; yang telah
basah kuyup kena air dari atas dan
dari bawah: Oleh sebab itu,
sangatlah ribut mereka, masingmasing
mencari tempat akan melindungkan
diri serta barangbarangnya.
Bertambah-tambah kesukaran
mereka, karena kapal
sangat oleng, sehingga banyaklah
penumpang yang mabuk taut.
Dalam hal yang sedemikian,
tiba-tiba kelihatan seorang lakilaki,
yang berpakaian serba hitam,
datang dengan cepat mendekati
Nurbaya, yang sedang duduk di
kursinya, tak dapat berdiri,
karena pusing. Dengan segera
orang itu memegang badan
Nurbaya, lalu mengaggkat dan
membawanya ke sisi kapal,
hendak melemparkannya ke dalam
taut. Tatkala dilihat oleh
Nurbaya orang itu yaitu Pendekar
Lima, yang dikenalnya,
hendak menikam Samsulbahri
dahulu, berteriaklah ia minta
tolong serta berkuat, hendak
melepaskan dirinya dari tangan penjahat
ini.
Kusir Ali, terperanjat, lalu
berdiri mengejar Pendekar Lima
hendak menolong Nurbaya, sehingga
berkelahilah mereka itu
bergumul, hendak empas
mengempaskan. Oleh karena itu
terlepaslah Nurbaya dari tangan
penjahat ini. Tetapi malang,
tatkala Pak Ali hendak mendekati
Pendekar Lima pula, kenalah
ia disepak penjahat itu, lalu
jatuh tergelimpang. Orang gempar,
dan karena takut, Pendekar Lima
lari menyembunyikan dirinya,
lalu hilang pada suatu tempat
yang gelap, di buritan kapal.
Tatkala datang kapitan kapal ke
tempat perkelahian itu,
diceritakanlah oleh kusir Ali
segala hal yang telah terjadi.
Kapitan yang berhati santun dan
iba kasihan, segera memberi
perintah kepada anak buahnya,
menyuruh bawa Nurbaya ke
kamar sakit, karena pada ketika
itu ia, entah sebab sangat terkejut,
entah sebab diempaskan oleh
Pendekar Lima, jatuh
pingsan, terhantar di sisi kapal,
tiada khabarkan dirinya lagi. Dan
pada ketika itu juga disuruhnya
pula cari si penjahat itu di
segenap kapal. tetapi tiada
ketemu.
Keesokan harinya, kelihatan
seorang anak muda, berjalan
pulang balik di pelabuhan Tanjung
Periuk; rupanya ada yang
dinantinya di sana. Setelah
berlabuhlah kapal yang ditumpangi
Nurbaya. naiklah anak muda itu ke
kapal itu, sdinbil melihat ke
sana kemari, tetapi rupanya tiada
tampak yang dicarinya. Oleh
sebab itu bertanyalah ia kepada
beberapa penumpang, kalaukalau
ada seorang perempuan muda bernama
Nurbaya,
menumpang bersama-sama. Setelah
didengarnya dari mereka,
sekalian yang terjadi di atas
diri Nurbaya, segeralah ia masuk ke
kamar sakit itu dan sesungguhnya
di sana dilihatnya Nurbaya
terbaring di atas sebuah tempat
tidur. Maka tiadalah tertahan
hatinya lagi, lalu ia berlari
mendapatkan Nurbaya dan dipeluk
serta diciumnya perempuan ini,
sambil menangis, "Aduh
Nurbaya, adikku yang tercinta!
Rupanya hampir tiada dapat kita
bertemu lagi."
Mendengar perkataan ini,
terbangunlah Nurbaya. dan tatkala
dilihatnya yang memeluknya itu
Samsulbahri, menangislah pula
ia tersedu-sedu, seraya memeluk
kekasihnya ini.
"Sungguh celaka benar,
untungku ini," katanya. "tiada putusputusnya
dirundung mara bahaya. Bilakah
habisnya azab
sengsaraku? Jika tiada Pak Ali yang
menolong aku, tentulah aku
sekarang telah berkubur di dalam
laut."
"Sudahlah adikku, jangan
menangis lagi! Barangkali
sekarang inilah datang waktunya,
kita akan mendapat
kesenangan, karena telah jauh
daripada segala setan dan iblis.
Sabarlah, nanti aku ikhtiarkan,
supaya kita beroleh kesenangan
itu. Dapatkah engkau berjalan,
supaya boleh kita turun dari kapal
"Dapat," jawab Nurbaya,
"hanya aku masih letih dan pening
sedikit."
"Tak mengapa," jawab
kusir Ali, yang mengikut Samsu,
masuk kamar sakit, tetapi belum
tampak oleh anak muda ini,
"nanti hamba dukung!"
Mendengar perkataan ini,
menolehlah Samsu ke belakang
lalu segera menjabat tangan kusir
Ali, minta terima kasih atas
pertolongan dan setianya.
Tengah mereka berkata, masuklah
kapitan kapal dengan
seorang schout polisi, ke kamar
sakit itu, lalu berkata. "lniluh
dia!"
Melihat hal Nurbaya sedemikian,
terdiamlah schout ini
sejurus, kemudian diajaknya Samsu
ke luar. Setelah sampai ke
luar kamar itu, berkatalah schout
ini, "Engkau ini siapa?"
"Hamba seorang murid Sekolah
Dokter Jawa, nama hamba
Samsulbahri," sahut Samsu.
"Perempuan ini apamu,"
tanya polisi ini pula.
"Walaupun bukan saudara
hamba sejati, tetapi lebih baik
daripada adik kandung hamba,
" jawab Samsu pula.
"Siapa namanya?''
"Sitti Nurbaya."
"Dan orang yang bersama-sama
dia?"
"Ali, kusir ayah hamba, yang
berpangkat Penghulu di
Padang."
"Datang dari Padangkah kedua
mereka itu?"
"Memang: yang perempuan itu,
anak seorang saudagar di
sana."
"Jika demikian, benarlah dia
ini," kata schout itu pula.
"Apakah sebabnya maka Tuan
bertanya demikian?" tanya
Samsu.
"Bacalah telegram ini,"
jawab schout itu, sambil mengunjukkan
sehelai surat kawat.
Setelah Samsu membaca kabar kawat
ini, pucatlah mukanya
dan gemetarlah bibirnya.
Tangannya dikepalkannya dan giginya
digertakkannya; lalu berkata,
"Bilakah puas hati jahanam itu
menggoda Nurbaya ini?"
Kemudian berkata pula ia kepada
schout itu. "Pengaduan ini
takkan tiada bohong belaka;
maksudnya semata-mata hendak
menganiaya perempuan ini. Sebagai
nyata pada akhirnya yang
hendak dilakukan orang atas
dirinya malam tadi. Datuk
Meringgih ini ialah suaminya,
seorang yang sangat kejam. Itulah
sebabnya Nurbaya sampai lari
kemari. Ia hendak dibuangkan ke
laut, tentulah pekerjaan jahanam
itu juga, karena penjahat yang
membuangkan Nurbaya, ialah
orangnya." Kemudian dicetitakanlah
oleh Samsu hal-ihwal Nurbaya
dengan pendek, dari awal
sampai kepada akhirnya.
"Aku percaya akan
perkataanmu," kata schout, "tetapi aku
tiada dapat berbuat apa-apa, lain
daripada menurut perintah yang
kuterima ini."
"Tentu," jawab Samsu.
Setelah termenung sejurus,
berkata pula ia, "Sekarang apakah
maksud Tuan."
"Hendak kuperiksa segala
barangnya," jawab pegawai polisi.
"Baiklah, nanti hamba ambil
bawa-bawaannya," lalu masuklah
Samsu ke kamar Nurbaya dan sebentar
lagi keluar pula ia,
membawa barang-barang adiknya
ini. Setelah diperiksa, oleh
Schout nyatalah tiada kedapatan
apa-apa, lain daripada uang
kira-kira lima puluh rupiah dan
pakaian perempuan. Kemudian
diperiksanya pula peti kusir Ali.
Itu pun tiada juga kedapatan
apa-apa, lain daripada beberapa
helai pakaian.
"Uang ini siapa punya?"
tanya Schout,
"Uang Nurbaya," jawab
Ali.
"Kamu tahu, dari mana
diperolehnya uang ini?"
"Tahu, yaitu uang gadaian
gelangnya, yang harganya kirakira
dua ratus rupiah. Hamba sendiri
Yang menggadaikannya,
delapan puluh rupiah tatkala kami
akan berangkat kemari. Ini
suratnya. Yang tiga puluh rupiah
kami pakai untuk biaya kapal,
tinggal lagi lima puluh rupiah
itu.
"Tahu benarkah. engkau,
bahwa gelang itu kepunyaannya
sendiri dan bukan harta
suaminya?"
"Tahu: gelang itu pusaka
dari emaknya yang telah meninggal
dunia; diberikan kepadanya
sebelum ia kawin dengan Datuk
Meringgih."
"Memang," menyela
Samsu, "hamba pun tahu hal itu."
"Baiklah," kata Schout
pula, sambil menuliskan segala
perkataan mereka. "Tetapi
aku harus juga memeriksa perempuan
ini."
"Tiada ada alangannya; hanya
hamba minta, supaya perkara
ini jangan dikabarkan dahulu
kepadanya, sebab ia masih sakit;
kalau-kalau bertambah
penyakitnya, mendengar kabar yang tak
baik ini. Dan sesudah itu,
tentulah ia harus dibawa ke rumah
sakit, berobat di sana
dahulu," kata Samsu pula.
"Memang," kata dokter
kapal, yang ada juga di sana." la
masih sakit belum boleh dibawa
pulang."
"Apabila tuan suka memberi
suatu surat keterangan tentang
halnya, tentulah dapat ditunggu
sembuhnya dahulu," jawab
Schout.
"Nanti aku beri surat
itu," kata dokter kapal, lalu pergi.
Samsu dan schout masuk ke dalam
kamar Nurbaya, lalu
Samsu berkata kepadanya,
"Ini tuan schout hendak memeriksa
badanmu, kalau-kalau ada bekas
kecelakaan tadi malam; karena
penganiayaan itu akan
diperkarakan."
Samsu pura-pura berkata demikian,
supaya jangan diketahui
Nurbaya, maksud kedatangan
pegawai polisi ini. Setelah
diperiksa, berkata pula schout,
"Marilah, berangkat sekarang!
Nanti kutunjukkan rumah sakit
tempat berobat.'
"Baiklah," jawab Samsu.
Setelah siap, berangkatlah mereka
sekalian. Nurbaya berjalan
perlahan-lahan, dipimpin oleh
Samsu, menuju setasiun. Di sana
naiklah mereka ke kereta api yang
menuju ke kota Jakarta.
Dalam kereta api, berkata Samsu
kepada Nurbaya, "Engkau di
Jakarta berobat dahulu ke rumah
sakit supaya baik benar. Bila
telah sembuh nanti, boleh kita
musyawaratkan, yang baik
diperbuat."
"Bagaimana yang baik padamu
sajalah," jawab Nurbaya,
"aku menurut."
Setelah sampai ke kota Jakarta,
dimasukkanlah Nurbaya ke
rumah sakit; setiap hari dilihati
oleh Samsu dan kusir Ali. Tiada
beberapa lamanya Nurbaya dalam
rumah sakit ini sembuhlah ia
dari penyakitnya, lalu keluar
dari rumah sakit tinggal menumpang
di rumah seorang kepala kampung,
kenalan Samsu,
sementara menanti kapal yang akan
membawanya pulang
kembali ke Padang.
"Nurbaya!" kata Samsu
pada suatu ketika yang baik, kepada
adiknya ini. "Ada suatu
kabar penting yang hendak kuceritakan
kepadamu, yang sampai kepada
waktu ini kurahasiakan; sebab
aku khawatir penyakitmu, karena
mendengarnya, akan menjadi
bertambah. Tetapi sekarang
badanmu telah sehat kembali, mogamoga
dapat kausabarkan hatimu."
"Kabar apa itu?' tanya
Nurbaya dengan terkejut, sambil
melihat kepada Samsu.
"Jangan khawatir,"
jawab Samsu, tatkala dilihatnya muka
Nurbaya berubah. Dicobanya
tersenyum, hendak menghilangkan
khawatir kekasihnya ini.
"Barangkali engkau masih ingat
kedatangan schout, ke kapal yang
kautumpangi dahulu tatkala
kapal itu baru berlabuh dan ingat
pula bahwa schout itu
memeriksa peti petimu dan peti
Pak Ali. Dan tentulah engkau
belum lupa pula, engkau dari
kapal terus dimasukkan ke rumah
sakit. Barangkali hal yang
keniudian ini menimbulkan syak
wasangka dalam hatimu, bahwa aku
kurang mengindahkan
engkau.
Walau ada sekalipun pikiranmu
yang sedernikian, tak boleh
aku marah, sebab memang
demikianlah rupanya kelakuanku
pada waktu itu. Seakan-akan
kurang mengindahkan engkau.
Akan tetapi sebenarnyalah hanya
Allah yang mengetahui betapa
besarnya hatiku, tatkala mendapat
kabar dan melihat engkau
datang dan Tuhanlah yang
mengetalrui betapa sedihnya hatiku
melihat kedatanganmu dengan hal
yang serupa itu: karena baru
saja kita bertemu sekarang sudah
harus bercerai pula. Ah ..."
"Apa kataniu?' tanya Nurbaya
dengan terkejut, "sekarang ini
kita harus bercerai pula? Apa
sebabnya?'
Maka diceritakanlah oleh Samsu,
bahwa ada suatu dakwaan
datang dari Datuk Meringgih,
mengatakan Nurbaya dan kusir Ali
melarikan barang-barang dan uang
Datuk itu dan meminta,
supaya mereka ditahan dan
dikirimkan kembali ke Padang
selekas-lekasnya.
"Sesungguhnyalah Datuk
Meringgih itu manusia yang
sebengis-bengisnya. Sebelum mati
aku belumlah puas hatinya,"
kata Nurbaya dengan sangat
marahnya. "Percayakah engkau
akan sekalian dakwaannya itu?"
"Masakan aku percaya Nur;
masakan engkau dapat berbuat
sedemikian," jawab Samsu.
Sekalian orang yang mendengar
cerita ini, tak seorang pun
percaya akan dakwa itu. Tetapi apa
hendak dikata? Kita sekarang
berlawan dengan polisi; tiada
dapat berbuat apa-apa, harus
menurut. Jika kita berlawan dengan
Datuk celaka itu, sebelum
melayang nyawaku, tiadalah engkau
akan kembali ke Padang."
Nurbaya tidak menjawab, agaknya
sebab sesak dadanya,
sampai didengarnya Samsu bertanya
"Bagaimana pikiranmu,
Nur? Mengapa engkau berdiam
diri?"
"Sebab perkara ini sangat
sulit. Kehendak hatiku, sebolehbolehnya
janganlah aku sampai kembali pula
ke Padang. Tak
dapat kukatakan bagaimana
susahnya aku sampai kemari, tak
dapat kuceritakan bagaunana aku
akan dihinakan orang Padang,
karena aku, sebagai seorang
perempuan yang bersuami, telah
meninggalkan suaminya lari kepada
laki-laki lain. Kalau aku
kembali ke Padang, niscaya akan
kulihatlah sekalian mulut yang
niengejekkan aku dan akan
kudengarlah pula segala perkataan
yang menghinakan aku. Akan tetapi
... ya adakah jalan lain yang
dapat diturut?'
Setelah berdiam sejurus berkata
pula Samsu perlahan-lahan,
"Bagaimana pikiranmu, kalau
kita lari dari sini supaya terlepas
dari tangan polisi?"
"Pada sangkaku akan sia-sia
juga pekerjaan kita itu," jawab
Nurbaya dengan
menggeleng-gelengkan kepalanya. "karena
akhirnya tentulah kita akan jatuh
juga ke dalam tangan polisi. Di
mana hendak menyembunyikan diri?
Seluruh tanah Jawa ada
polisi. Lagi pula kalau kita
berbuat demikian, sebagai benarlah
aku bersalah. Bukankah aku takut
karena salah dan berani karena
benar? Lari artinya takut, oleh
karena itu, tentulah sekalian orang
akan bersangka, aku ini benar
bersalah. Pada pikiranku, tak dapat
aku menyatakan kebenaranku, kalau
tiada melawan dakwa itu.
Oleh sebab itu biarlah aku
kembali dahulu. Tak susah bagiku
akan menyatakan kebenaranku dan
perkara ini niscaya lekas
putus. Bila telah putus, lekaslah
pula aku kembali kemari.
"Ah ya. Tetapi
sesungguhnyakah tak ada jalan lain yang
dapat melepaskan engkau dari jahanam
itu?" kata Samsu, sambil
mengepal tangannya, serta memukul
meja, sebagai hendak
melepaskan panas hatinya.
"Keinginan hatiku hendaknya
sekarang, setelah kita bercampur
ini, janganlah bercerai pula;
karena kinilah kita dapat
bersama-sama. Bila telah pulang
engkau ke Padang, harus kita
bertemu pula dahulu, baru dapat
bercampur kembali. Padang Jakarta
bukan semalalam, lautan
besar harus diseberangi, baru
sampai. Sedangkan di dalam waktu
yang sesaat boleh banyak yang
terjadi, apalagi dalam perceraian
yang tak tentu lamanya ini."
"Perkataanmu itu memang
benar, Sam. Tetapi apa daya kita
dalam hal ini, lain daripada
menurut kehendak polisi? Bukan
bagimu saja berat perceraian ini,
tetapi terlebih-lebih bagiku,
yang sebagai burung telah lepas
dari penjara dan sekarang harus
menyerahkan diri pula, masuk ke
dalam sangkarnya kembali,
bertemu dengan algujunya.
"Ya Allah!' keluh Nurbaya.
"Kepada siapakah hamba-Mu
akan meminta pertulungan lagi,
lain daripada-Mu ... ?"
Samsu tiada dapat mengeluarkan
suaranya, karena sedih
melihat adiknya ini.
"Sungguhpun hatiku rasakan
hancur akan meninggalkan
engkau pula, tetapi tiadalah akan
senang hatiku, bila perkara ini
belum selesai. Biar dikatakan
perempuan yang tiada setia kepada
suaminya, sebab memang Datuk
jahanam itu bukan suamiku,
melainkan algojoku, yang telah
dilindungi surat kawin, tetapi
aku tiadalah sekali-kali suka
dikatakan pencuri, sebab memang
aku bukan pencuri. Oleh sebab itu
kebenaranku dalam hal ini,
harus dinyatakan. Hanya suatu
yang terpikir dalam hatiku,
tidakkah buleh perkara ini
diperiksa di Jakarta ini saja? Jika
sekiranya boleh bcrapakah
baiknya!"
"Ya, memang itu suatu
akal," kata Samsu tiba-tiba, lalu
berdiri dan memakai topinya.
Hendak ke mana engkau?"
tanya Nurbaya, yang belum
mengerti maksud Samsu ini.
"Hendak pergi ke kantor
Asisten Residen, menanyakan,
bolehkah perkara ini diperiksa di
sini saja,"
"Ya, baik. Cobalah!"
kata Nurbaya. "Mudah-mudahan
disampaikan Allah juga maksudmu
itu."
Seketika itu juga berangkatlah
Samsu dan kira-kira pukul
dua, barulah ia kembali. Tetapi
dari jauh telah kelihatan oleh
Nurbaya pada mukanya, bahwa
maksudnya tiada berhasil,
karena Samsu datang dengan
berdukacita.
"Bagaimana?" tanya
Nurbaya dari jauh. pulang."
"Ah, tak boleh. Engkau harus
juga pulang."
"Memang telah kusangka,"
kata Nurbaya. "Apa boleh buat!"
"Ya, memang; malang itu tak
dapat ditolak. Sungguhpun
demikian baik juga engkau
berhati-hati. Siapa tahu algojomu itu
ada lagi akalnya, untuk
membinasakan engkau; sebab ia rupanya
tak takut dan tak ngeri berbuat
segala kejahatan. Sementara itu,
akan kucarilah pekerjaan di sini,
supaya ada penghidupan kita,
bila engkau telah kembali dan
hidup bersama-sama dengan aku
kelak. Jika aku teruskan
pelajaranku, tentulah susah kita hidup di
sini. Bagiku, biar tak menjadi
dokter, asal hidup bersama-sama
dengan engkau."
"Benar sekali perkataanmu
itu, Sam. Itulah jalan yang sebaikbaiknya
diturut, supaya selamat kita. Dan
walaupun kusayangkan
benar, engkau meninggalkan
sekolahmu, tetapi harus juga
kubenarkan maksudmu ini. Oleh
sebab itu berjanjilah aku
kepadamu, bila kita telah
bersama-sama kelak, akan kubalas
jasamu itu dengan penjagaan dan
bantuan yang sebaik-baiknyadalam
kehidupanmu."
"Ah, perkara sekolahku
janganlah kaupikirkan. Ingatlah akan
janjiku kepada ayahmu! Tidak pun
demikian, seharusnyalah juga
aku membela engkau," kata
Samsu, "lagi pula, memang aku tak
dapat meneruskan pelajaranku,
karena kurang belanja. Engkau
tahu sendiri, ayahku tak hendak
membantu lagi."
"Oleh sebab itu, pada
pikiranku, bila kita telah bersama-sama
kelak, akan kusuruh juallah rumah
dan tanahku serta sekalian
barang-barangku yang masih ada di
Padang, supaya uang itu
dapat kita pakai pembeli rumah di
sini, atau untuk apa-apa saja
yang perlu; karena aku tak hendak
kembali lagi ke Padang,
biarlah mati di rantau orang. Di
tanah airku sendiri tiada lain
daripada kesusahan dan
kesengsaraaq yang kuperoleh.
Barangkali di negeri orang dapat
aku beroleh kesenangan," kata
Nurbaya.
"Ya, benar; sesungguhnyalah
itu. Pikiranku pun deniikian
juga. Padaku, apa lagi yang akan
menarik hatiku ke Padang?
Engkau telah ada di sini dan
ibuku akan kusuruh datang kemari,
tinggal bersama-sama dengan
kita," jawab Samsu.
"Wahai, alangkah senang
hatiku, bila ibumu pun telah
bersama-sama pula dengan kita!
Tentulah hilang segala sengsara
yang telah kurasai itu; tentulah
tinggal kesenangan dan kesukaan
lagi; tentulah... Ah,
sesungguhnya cita-cita itu sangat elok
rasanya," kata Nurbaya
setelah termenung sejurus, sedang
keriangan hatinya yang mulai
timbul, hilang kembali, bertukar
dengan sedih, sehingga
mendatangkan khawatir pula, dalani
hatinya, takut kalau-kalau tiada
disampaikan Tuhan.
"Masih ingatkah engkau akan
segala cita-cita pada malam,
tatkala engkau akan berangkat
kemari, Sam? Apakah jadinya
sekarang?"
"Jangan berpikir
sedemikian!" jawab Samsu. "Jangan putus
asa! Engkau masih muda dan aku
pun begitu pula. Siapa tahu,
tidak sekarang, barangkali kelak
kita beroleh kesenangan.
Masakan hujan saja dari pagi
sampai petang. Panas sesudah
hujan, menimbulkan kesegaran
badan dan kesenangan hati."
"Kuharap demikian jugalah
hendaknya! Akan tetapi, karena
segala kecelakaan dan kedukaan
telah datalig bertubi-tubi
menimpa diriku, tak beranilah aku
berharap lagi; istimewa pula
sebab aku sekarang harus pulang
ke Padang.
Sesungguhnya sangat berat hatiku hendak
meninggalkan
engkau dan Jakarta ini, karena
aku di sini sungguh berasa
senang; pertama sebab ada dalam
tanganmu. kedua sebab jauh
dari tempat aku beroleh mara
bahaya. Dan lagi, sebagai ada yang
melarang aku kembali ke Padang,
sebagai di sana telah
menunggu pula sesuatu kecelakaan
yang mengancam diriku."
"Hilangkanlah pikiran yang
seperti itu! Ingatlah akan nasihat
orang tuamu!" kata Samsu
dengan perlahan-lahan, membujuk
kekasihnya, walaupun hatinya
sendiri berasa khawatir pula.
"Apalagi karena dalatn
perkara ini, kita tak boleh mengatakan
tidak; harus menurut. Sebab itu
nienyerahlah engkau dan berhatihatilah
menjaga diri! Selama-lamanya
engkau sebulan di sana;
sudah itu tentulah kita bertemu
pula.
Aku sesungguhnya ingun benar
hendak mengantarkan
engkau; tetapi waktu ini tiada
dapat aku berangkat, karena ada
sesuatu pekerjaan yang hendak
kuminta. Kalau aku pergi dari
sini, tentulah lepas pekerjaan
itu dari tanganku. Keinginan
hatiku, bila engkau telah kembali
pula kemari, aku telah
mempunyai pekerjaan.
Lagi pula, engkau kembali ke
Padang diantarkan oleh
seorang opas yang kukenal. Nanti
kupesankan kepadanya,
supaya engkau dijaganya
baik-baik. Jika engkau kelak hendak
kembali kemari dan tak ada teman,
kirimlah kabar kepadaku!
Tentu aku datang menjemput. Dengan
demikian, tak lama aku di
Padang. Bila aku menumpang dengan
kapal Jakarta yang bertemu
di Padang dengan kapal dari Aceh,
barangkali hari itu juga
dapat aku kembali, sehingga tak
perlu bermalam di Padang.
Seboleh-bolehnya jangan aku
bertemu pula dengan ayahku.
Bagaimana pikiranmu Nur? Baikkah
begitu?"
"Baiklah, kalau engkau suka
demikian," jawab Nurbaya,
sambil memandang muka Samsu
dengan tersenyum.
"Memang engkau baik hati,
segala menurut," kata Samsu
pula, seraya mencium adiknya ini.
"Sekarang kenakanlah
pakaianmu, supaya dapat kita berjalan-
jalan, melihat-lihat kota Jakarta
ini, sebab besok kapal
berangkat ke Padang."
"Besokkah aku harus
berangkat dan bercerai pula denga
engkau?" tanya Nurbaya.
"Untuk sementara,"
jawab Samsu.
Setelah selesai memakai,
berjalanlah kedua mereka, berpegang-
pegangan tangan, melihat tamasya
kota Jakarta pada
malam hari. Oleh Samsu dibawalah
Nurbaya berjalan ke sana
kemari, naik bendi dan kereta,
sekeliling kota Jakarta. Tidaklah
dapat dikatakan senang hati
Nurbaya melihat keindahan kota ini.
"Sesungguhnya kota Jakarta
ini sangat besar dan sangat
ramai; penuh dengan toko dan
rumah yang besar-besar dan
bagus-bagus. Harus jadi ibu
negeri Indonesia," kata Nurbaya.
Setelah puas bersiar-siar,
masuklah kedua mereka ke dalam
sebuah rumah makan, karena
perutnya berasa lapar. Bila
kenyanglah sudah makan. lalu
dibawa oleh Samsu Nurbaya
melihat komedi kuda, yang
kebetulan sedang bermain di sana.
Kemudian barulah mereka pulang
kembali, sambil berjalan
perlahan-lahan.Semalam itu
lupalah Nurbaya akan hal ihwal
yang telah di-tanggungnya, dan
dirasainyalah kesenangan
seorang perempuan yang bebas,
yang berdekatan dengan
kekasihnya. Malam itulah malam
yang ketiga kali. Nurbaya
merasa untungnya mujur.
"Tak banyak permintaanku tak
banyak keinginan hatiku,
biarlah tak kaya atau tak
berpangkat tinggi, asal mendapat
kcsenangan sebagai waktu
ini," katanya. "Inilah surga dunia,
yang baru kukenal, Sam. Adakah
akan dapat selama-lamanya
kita seperti ini?"
"Mengapa tidak? Kalau engkau
telah ada pula di sini nanti,
apakah yang akan menjadi alangan
lagi atas diri kita untuk selalu
bersama-sama?"
Dengan bercakap-cakap sedemikian,
sampailah mereka ke
rumah tempat Nurbaya menumpang,
lalu duduk di serambi muka
bertutur-turut, sebagai hendak
memuas-muaskan hatinya.
"Sam!" kata Nurbaya
tiba-tiba, "aku mendengar suatu pantun
yang demikian bunyinya:
"Dari jauh
kapalmu datang,
pasang bendera
atas kemudi.
Dari jauh adikmu
datang,
melihat Kakanda
yang baik budi."
"Jawabnya begini," kata
Samsu, sambil tersenyum:
"Selasih di
kampung Batak,
perawan luka
tentang kaki.
Terima kasih
banyak-banyak,
sudi datang
melihati."
"Suatu lagi," kata
Nurbaya:
"Sultan
Iskandar raja Sikilang,
raja Barus
pegang tongkatnya,
Tidak disesal
badanku hilang,
sudah harus pada
tempatnya."
"Jawabnya," kata Samsu:
"Sukar
membilang buah kelapa,
burung pipit
terbang sekawan.
Biar hilang
tidak mengapa,
asal bersama
dengan Tuan."
Demikianlah kedua mereka itu
bercakap-cakap dan
berpantun-pantun serta bersenda
gurau.
***
Pada keesokan harinya,
berlayarlah Nurbaya pulang ke
Padang, bersama-sama kusir Ali,
diantarkan oleh seorang opas
polisi. Dengan tolong Allah,
adalah selamat perjalanan itu tiada
kurang suatu apa.
Setelah sampai ke Padang
diperiksalah perkara itu, dan
nyatalah bahwa Nurbaya tiada
bersalah apa-apa, dalam perkara
ini, hanyalah khianat Datuk
Meringgih, yang pura-pura berbuat
sebagai barang dan uangnya
dilarikan Nurbaya, supaya istrinya
ini dikirimkan kembali ke Padang.
Katanya mula-mula, tak tahu di
mana barang-barang dan
uang itu disimpan Nurbaya, dan
sebab ia lari; disangkanya uang
dan barang itu dibawanya. Tetapi
setelah ditunjukkan Nurbaya
tempat barang-barang dan uang itu
disimpan, nyatalah istrinya
tiada bersalah apa-apa.
Walaupun dimaklumi orang, Datuk
Meringgih dengan
sengaja berbuat demikian tetapi
tiadalah ia beroleh hukuman
apa-apa sebab ia seorang saudagar
yang amat kaya di Padang.
Tatkala kapal telah berangkat,
termenunglah Samsu sejurus
di pelabuhan Tanjung Periuk,
karena sebagai didengarnya suara
yang timbul dalam hatinya
mengatakan: Nurbaya tiada akan
kembali lagi dan itulah pertemuan
mereka yang penghabisan di
atas dunia ini. Walaupun sangat
khawatir dan kabur pikirannya
tetapi disabarkannya juga
hatinya, dan meminta pertolongan
Tuhan yang pengasih penyayang.
.....Bersambung ke...Percakapan Nurbaya dengan Alimah
No comments:
Post a Comment