A.K. Gani lahir di Desa Palembayan, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat pada tanggal 16 September 1905. Ia menempuh pendidikan
Europeesche Lagere School (ELS; setingkat SD) di Bukittinggi, kemudian pindah
ke Palembang mengikuti kepindahan ayahnya yang berprofesi sebagai guru. Tamat
dari ELS, A.K. Gani melanjutkan pendidikan di School Tot Opleiding Voor
Inlandsche (STOVIA; sekolah dokter pribumi) di Jakarta. Karena sekolah ini
ditutup pemerintah ia memasuki Algemeene Middelbare School (AMS) dan akhirnya
mengikuti kuliah di Geneeskundige Hoge School (GHS; Sekolah Tinggi Kedokteran).
Kuliah di GHS diselesaikan pada tahun 1940 dengan memperoleh gelar dokter,
sesudah itu ia membuka praktik sebagai dokter di Palembang.
Pada masa bersekolah di Jakarta, A.K. Gani
sudah aktif dalam organisasi kepemudaan. Ia menjadi anggota pengurus Jong
Sumatranen Bond yang kemudian berganti nama menjadi Pemuda Sumatra. Ia turut
membantu terselenggaranya Kongres Pemuda bulan Oktober 1928. Sesudah itu ia
diangkat sebagai anggota komisi yang bertugas melakukan fungsi berbagai
organisasi pemuda yang akhirnya melahirkan Indonesia Muda pada awal tahun 1930.
dalam Indonesia Muda ia diangkat sebagai anggota Dewan Eksekutif.
Kegiatan dalam dunia politik dimulai A.K. Gani sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo). Pada bulan Mei 1937, setelah Partindo bubar, dengan beberapa temannya ia mendirikan partai baru yakni Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang langsung diketuainya. Pada tahun 1939 ia ikut mensponsori lahirnya Gabungan Politik Indonesia (Gapi) yang merupakan federasi partai-partai politik dan terkenal dengan aksi ”Indonesia Berparlemen”. Dalam kepengurusan Gapi ia duduk sebagai wakil Gerindo.
Pada masa pendudukan Jepang, Gani dipenjarakan selama satu tahun akibat sikap politiknya yang menentang fasisme. Ia dibebaskan berkat campur tangan Ir. Soekarno. Jepang kemudian mengangkatnya menjadi anggota Sumatra Chuo Sangi In (semacam dewan perwakilan) yang didirikan bulan Maret 1945.
Kegiatan dalam dunia politik dimulai A.K. Gani sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo). Pada bulan Mei 1937, setelah Partindo bubar, dengan beberapa temannya ia mendirikan partai baru yakni Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang langsung diketuainya. Pada tahun 1939 ia ikut mensponsori lahirnya Gabungan Politik Indonesia (Gapi) yang merupakan federasi partai-partai politik dan terkenal dengan aksi ”Indonesia Berparlemen”. Dalam kepengurusan Gapi ia duduk sebagai wakil Gerindo.
Pada masa pendudukan Jepang, Gani dipenjarakan selama satu tahun akibat sikap politiknya yang menentang fasisme. Ia dibebaskan berkat campur tangan Ir. Soekarno. Jepang kemudian mengangkatnya menjadi anggota Sumatra Chuo Sangi In (semacam dewan perwakilan) yang didirikan bulan Maret 1945.
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan
cepat diketahui di Palembang. Pada tanggal 23 Agustus ia membentuk Pemerintahan
Bangsa Indonesia Keresidenan Palembang yang langsung dipimpinnya sebagai residen.
Jabatan sebagai residen kemudian disahkan oleh Gubernur Sumatra. Selain itu,
pemerintah pusat mengangkat Gani sebagai koordinator pembentukan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) Sumatra. Dalam jabatan tersebut, ia membentuk Komandemen
Sumatra dan mengangkat Suharjo Harjowardoyo sebagai panglima dengan pangkat
jenderal mayor. Dalam penyempurnaan organisasi TKR yang kemudian menjadi TRI
dan akhirnya TNI, Gani pernah pula menduduki jabatan sebagai Komandan
Sub-Komandemen Sumatra Selatan. Pada waktu Provinsi Sumatra dipecah menjadi
tiga subprovinsi, ia pun diangkat sebagai Gubernur Muda Sub-Provinsi Sumatra
Selatan.
Selain memegang berbagai kepemimpinan di
Sumatra Selatan pada masa-masa awal revolusi, Gani juga aktif mengadakan
perdagangan barter (yang oleh Belanda disebut penyeludupan) dengan luar negeri,
terutama dengan Singapura dan Malaya. Dari hasil barter itu ia berhasil
memasukkan berbagai keperluan pemerintah, terutama senjata. Dalam melakukan
barter ini ia bekerja sama dengan beberapa orang pedagang Tionghoa.
Kiprah Gani dalam pemerintahan pusat dimulai sebagai Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Sjahrir III (Oktober 1946 – Juni 1947). Atas prakarsanya, pada bulan Januari 1947 dibentuk Planning Board (Dewan Perancang) yang bertugas menyusun rencana pembangunan ekonomi. Planning Board yang langsung dipimpinnya ini kemudian dikembangkan menjadi Panitia Pemikir Siasat Ekonomi di bawah pimpinan Wakil Presiden Hatta, sedangkan Gani diangkat sebagai Wakil Ketua. Jabatan sebagai Menteri Kemakmuran tetap dipegang Gani dalam Kabinet Amir Syarifuddin, di samping jabatanya sebagai Wakil Perdana Menteri. Selain itu, Gani juga berperan aktif dalam perundingan dengan Belanda yang akhirnya melahirkan Perjanjian Linggajati.
Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua, Gani memimpin perjuangan gerilya sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Sumatra Selatan (DMISS). Ia merupakan satu-satunya gubernur militer di Sumatra yang banyak berkomunikasi dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Sumatra Barat. Sebagai penghargaan atas jasanya memimpin perjuangan gerilya ini, pada bulan Februari 1950 Dewan Perwakilan Rakyat Sumatra Selatan menganugerahinya gelar Pemimpin Agung Gerilya disertai sebuah medali emas. Medali yang merupakan kebanggaannya ini kemudian dijualnya untuk membantu menyekolahkan anak-anak bekas pejuang.
Kiprah Gani dalam pemerintahan pusat dimulai sebagai Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Sjahrir III (Oktober 1946 – Juni 1947). Atas prakarsanya, pada bulan Januari 1947 dibentuk Planning Board (Dewan Perancang) yang bertugas menyusun rencana pembangunan ekonomi. Planning Board yang langsung dipimpinnya ini kemudian dikembangkan menjadi Panitia Pemikir Siasat Ekonomi di bawah pimpinan Wakil Presiden Hatta, sedangkan Gani diangkat sebagai Wakil Ketua. Jabatan sebagai Menteri Kemakmuran tetap dipegang Gani dalam Kabinet Amir Syarifuddin, di samping jabatanya sebagai Wakil Perdana Menteri. Selain itu, Gani juga berperan aktif dalam perundingan dengan Belanda yang akhirnya melahirkan Perjanjian Linggajati.
Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua, Gani memimpin perjuangan gerilya sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Sumatra Selatan (DMISS). Ia merupakan satu-satunya gubernur militer di Sumatra yang banyak berkomunikasi dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Sumatra Barat. Sebagai penghargaan atas jasanya memimpin perjuangan gerilya ini, pada bulan Februari 1950 Dewan Perwakilan Rakyat Sumatra Selatan menganugerahinya gelar Pemimpin Agung Gerilya disertai sebuah medali emas. Medali yang merupakan kebanggaannya ini kemudian dijualnya untuk membantu menyekolahkan anak-anak bekas pejuang.
Keikutsertaan terakhir Gani di bidang
pemerintahan ialah sebagai Menteri Perhubungan dalam Kabinet Ali Sastromijoyo
I. Sesudah itu ia diangkat menjadi anggota Kontituante sebagai wakil PNI, dan
akhirnya menjadi anggota MPRS. Selain itu, ia juga memegang berbagai jabatan di
Sumatra Selatan sambil membuka praktik sebagai dokter.
Dokter Adnan Kapau Gani meninggal dunia di Palembang pada tanggal 23 Desember 1968 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ksatria, Bukit Siguntang, Palembang. Penghargaan tertinggi yang diterimanya dari pemerintah ialah Bintang Mahaputra Adipradana pada tanggal 7 Agustus 1995. Penghargaan lain ialah Bintang Gerilya (17 Agustus 1958), Lencana Gerakan Operasi Militer I dan II.
Atas jasa-jasanya Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor : 068/TK/Tahun 2007 tanggal 6 November 2007.
Dokter Adnan Kapau Gani meninggal dunia di Palembang pada tanggal 23 Desember 1968 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ksatria, Bukit Siguntang, Palembang. Penghargaan tertinggi yang diterimanya dari pemerintah ialah Bintang Mahaputra Adipradana pada tanggal 7 Agustus 1995. Penghargaan lain ialah Bintang Gerilya (17 Agustus 1958), Lencana Gerakan Operasi Militer I dan II.
Atas jasa-jasanya Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor : 068/TK/Tahun 2007 tanggal 6 November 2007.
Sumber: http://pahlawancenter.com/dr-adnan-kapau-gani/
PENDIDIKAN kedokteran di Salemba No. 6 Jakarta di zaman Hindia Belanda telah menghasilkan dokter yang kemudian ternyata punya aneka ragam bakat dan kemampuan.
Di seminar Ikatan Alumni Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran 22 Mei 2007, saya kemukakan sebagai contoh dr. Adnan Kapau Gani (1905-1968). Ketika Gubernur Jenderal De Jonge (1931-36) telah mengasingkan Bung Karno ke Ende, Flores, dan Bung Hatta, Bung Sjahrir ke Boven Digul, ketika kaum nasionalis nonkoperator tidak berkutik dibuatnya, dan nasionalis koperator seperti M.H. Thamrin, Soetardjo, Soekardjo Wirjopranoto di Dewan Rakyat (Volksraad) masih mengangkat suara, dr. Gani memilih masuk Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang sifatnya left-of-center bersama Mr. Amir Syarifuddin, Mr. Muhammad Yamin dan dari generasi lebih muda Adam Malik. Gani melihat bagaimana Belanda kolonial melecehkan tuntutan Indonesia berparlemen dan tidak memperlakukan secara sungguh-sungguh Petisi Soetardjo tahun 1936 di Volksraad untuk melaksanakan hak penentuan nasib sendiri dan dalam masa 10 tahun mengadakan konferensi antara Hindia dan Kerajaan Belanda.
Tersumbat di bidang politik, Gani mencari outlet atau jalan keluar untuk menyalurkan energi dan dinamikanya. Dia menjadi bintang film memegang peran utama dalam film yang disutradarai oleh wartawan Raden Arifin berjudul “Asmara Moerni” pada tahun 1941. Dia berpasangan dengan aktris Djoewariah. Akibat jadi bintang film itu, Gani dikritik dari segala penjuru. Masa iya seorang tokoh pergerakan nasional, dokter, dan intelektual mau terjun ke dunia sandiwara, dunia wayang Stambul? Itu tidak pantas, kata pengritiknya. Akan tetapi, Gani cuek saja. Baliho yang dipasang di bioskop Kramat, Batavia memperlihatkan close-up Gani dan Djoewariah. Gani dengan rambut keriting, disisir belah tengah, hidung mancung memang “cakep” alias handsome. Petualangan pertama menjadi bintang film ternyata adalah yang terakhir.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/04/0902.htm
Dr. A.K. Gani Bintang Film
Oleh H. ROSIHAN ANWAR
PENDIDIKAN kedokteran di Salemba No. 6 Jakarta di zaman Hindia Belanda telah menghasilkan dokter yang kemudian ternyata punya aneka ragam bakat dan kemampuan.
Di seminar Ikatan Alumni Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran 22 Mei 2007, saya kemukakan sebagai contoh dr. Adnan Kapau Gani (1905-1968). Ketika Gubernur Jenderal De Jonge (1931-36) telah mengasingkan Bung Karno ke Ende, Flores, dan Bung Hatta, Bung Sjahrir ke Boven Digul, ketika kaum nasionalis nonkoperator tidak berkutik dibuatnya, dan nasionalis koperator seperti M.H. Thamrin, Soetardjo, Soekardjo Wirjopranoto di Dewan Rakyat (Volksraad) masih mengangkat suara, dr. Gani memilih masuk Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang sifatnya left-of-center bersama Mr. Amir Syarifuddin, Mr. Muhammad Yamin dan dari generasi lebih muda Adam Malik. Gani melihat bagaimana Belanda kolonial melecehkan tuntutan Indonesia berparlemen dan tidak memperlakukan secara sungguh-sungguh Petisi Soetardjo tahun 1936 di Volksraad untuk melaksanakan hak penentuan nasib sendiri dan dalam masa 10 tahun mengadakan konferensi antara Hindia dan Kerajaan Belanda.
Tersumbat di bidang politik, Gani mencari outlet atau jalan keluar untuk menyalurkan energi dan dinamikanya. Dia menjadi bintang film memegang peran utama dalam film yang disutradarai oleh wartawan Raden Arifin berjudul “Asmara Moerni” pada tahun 1941. Dia berpasangan dengan aktris Djoewariah. Akibat jadi bintang film itu, Gani dikritik dari segala penjuru. Masa iya seorang tokoh pergerakan nasional, dokter, dan intelektual mau terjun ke dunia sandiwara, dunia wayang Stambul? Itu tidak pantas, kata pengritiknya. Akan tetapi, Gani cuek saja. Baliho yang dipasang di bioskop Kramat, Batavia memperlihatkan close-up Gani dan Djoewariah. Gani dengan rambut keriting, disisir belah tengah, hidung mancung memang “cakep” alias handsome. Petualangan pertama menjadi bintang film ternyata adalah yang terakhir.
Namun di bidang lain, setelah proklamasi
kemerdekaan, dr. A.K. Gani yang berpraktik di Palembang tampil sebagai gubernur
militer Sumatra Selatan. Tentara membutuhkan senjata dan amunisi, tekstil, dan
lain-lain. Gani lalu melakukan perdagangan barter dengan Singapura. Karet,
kopi, dan produk lain diselundupkannya keluar. Ketika Kolonel Simbolon dari
Palembang bersama perwira lain datang di Jakarta awal 1946, saya lihat mereka
berpakaian seragam terbuat dari bahan wol inggris, berbeda dengan pakaian
tentara di Yogya yang mengalami krisis tekstil. Dokter Gani dengan bangga
berkata kepada koresponden luar negeri bahwa dia adalah The greatest smuggler
of Southeast Asia, penyelundup terbesar dari Asia Tenggara.
Dokter Gani jadi anggota delegasi dalam perundingan dengan Belanda di Linggajati (1946) dan ketika Belanda melancarkan aksi militer pertama 21 Juli 1947, utusan Belanda yang datang memberitahukan ke rumah Perdana Menteri RI di Pegangsaan Timur 56 diterima oleh Menteri Perekonomian dr. A.K. Gani. Ia sungguh seorang colourful doctor. Praktik dokternya di Palembang ramai. Pasien-pasiennya suka minta injeksi spesial kepadanya agar lekas sembuh, dikenal sebagai “suntikan maut”.
Dokter Gani jadi anggota delegasi dalam perundingan dengan Belanda di Linggajati (1946) dan ketika Belanda melancarkan aksi militer pertama 21 Juli 1947, utusan Belanda yang datang memberitahukan ke rumah Perdana Menteri RI di Pegangsaan Timur 56 diterima oleh Menteri Perekonomian dr. A.K. Gani. Ia sungguh seorang colourful doctor. Praktik dokternya di Palembang ramai. Pasien-pasiennya suka minta injeksi spesial kepadanya agar lekas sembuh, dikenal sebagai “suntikan maut”.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/04/0902.htm
No comments:
Post a Comment