Akhir tahun ini hampir disetiap daerah melalukan Mutasi Pejabat Struktural. Saya melihatnya seperti transfer pemain Sepakbola yang dilakukan pada akhir atau tengah musim kompetisi. Dan ini merupakan transfer yang paling ramai setelah berlangsungnya turnamen Pilkada serentak akhir tahun 2015 lalu. Spekulasi pun bermunculan siapa yang akan menjadi pemain kunci utama sekaligus menyandang ban kapten, serta siapa yang menjadi starting eleven.
Klub-klub yang berganti
Pelatih Kepala (Kepala Daerah) terlihat sangat getol melakukan perombakan
susunan pemainnya. Formasi dan filosopi yang dianut Pelatih Kepala sangat
mempengaruhi kriteria pemain yang akan dipilih. Beberapa pemain yang tidak
masuk dalam gaya permaianan Pelatih Kepala diisukan tidak akan dipakai lagi
pada musim berikutnya.
Hal ini lah yang menyebabkan
tingginya perpindahan pemain antar daerah, dan untuk itu beberapa klub sibuk
mengadakan seleksi pemain (lelang jabatan) untuk mendapatkan pemain kunci
terbaik. Berdasarkan Statuta terbaru otoritas persepakbolaan tertinggi, seleksi
pemain merupakan persyaratan yang harus dilakukan untuk melegalkan penempatan
pemain pada posisi tertentu.
Karir mentereng sebagai pemain
yang selalu terpakai bahkan tidak tergantikan merupakan faktor yang
mempengaruhi untuk meniti karir nantinya sebagai Kepala Pelatih. Banyak Pelatih
Kepala saat ini dulunya merupakan pemain handal di klubnya. Luis Enrique, Zinedine
Zidane, Jurgen Klinsmann, Antonio Conte dulunya merupakan pemain profesional
yang menjadi bintang diklubnya masing-masing.
Banyak faktor yang menyebabkan sebuah klub
tidak mampu menjadi juara walau telah dihuni banyak pemain dengan skill hebat
dan dipimpin Pelatih Kepala hebat pula, bahkan berjuluk kumpulan pemain luar
angkasa, Los Galacticos. Ada klub
yang disetiap musim transfer mampu membeli dan mengumpulkan pemain-pemain papan
atas tetapi tetap juga gagal meraih juara. Para pemain hebat itu sulit menyatu,
mereka tidak mampu menghilangkan nafsu egois dalam dirinya karena merasa paling
hebat.
Akibatnya, ketika berada pada posisi yang seharusnya menendang bola ke arah gawang lawan
malah masih memain-mainkan bola dan mengoper pada kawan yang tidak dalam posisi
bagus untuk mencetak gol. Mereka tidak mampu bermain kolektif sebagaimana
seharusnya sebuah tim.
Sebaliknya klub yang dihuni pemain-pemain
biasa ternyata mampu menjadi juara ditengah kepungan klub-klub raksasa, Leicester
City contohnya. Mungkin disini berlaku semboyan Kang Komar dalam sinetron Prema
Pensiun, “Dibawah pemimpin yang baik anak buah yang bodoh pun ada gunanya.
Dibawah pemimpin yang bodoh, pasukan terbaik pun kocar-kacir”.
Kesukaan Pelatih Kepala merekrut pemain
bintang dari luar secara langsung membuat
beberapa pemain lokal yang mengawali karir dari akademi klub terancam tidak
mendapat tempat atau kehilangan posisi dalam tim. Membuat regenerasi tidak
berjalan dengan baik bahkan bisa mematahkan semangat untuk meniti karir dengan
baik. Klub tidak memberikan perhatian dan kesempatan bermain yang cukup.
Hal ini pernah terjadi pada Inter Milan musim
2013-2014 dimana hampir 90% skuadnya berasal dari pemain asing dan bertolak
belakang dengan Barcelona yang mencapai kejayaannya ketika mereka memiliki trio
maut, Xavi, Andres Iniesta, Lionel Messi, yang
berasal dari produk lokal.
Memang tidak ada larangan
mentransfer pemain dari luar tetapi ada yang beda antara pemain asing dengan
para pemain lokal. Para pemain lokal biasanya memiliki militansi dalam merebut dan
mempertahankan kemenangan, demi diri dan daerahnya untuk yang terbaik. Makanya
transfer pemain harus dilakukan dengan hati-hati agar klub mampu berprestasi
dan regenerasi berjalan dengan baik.
Catatan:
Siapa saja berhak bicara tentang bola, termasuk para penonton karena penonton
juga dianggap pemain dan kadang sangat dibutuhkan untuk mempengaruhi jalannya
pertandingan.
#setelahnontonfinalAFF