Sunday, December 11, 2016

Bukan Mutasi Biasa

Hari Kamis malam setelah menonton siaran langsung pertandingan sepakbola Pra Piala Dunia 2014 antara Indonesia melawan Turkmenistan, saya di-ha-pe seorang rekan. Mulanya saya pikir dia akan bercerita tentang Kesebelasan Timnas PSSI yang bermain sangat agresif di 45 menit pertama sehingga unggul 3-0, tetapi dipenghujung babak II Boaz Salosa cs kehabisan kehabisan tenaga sehingga nyaris gagal, walau akhirnya menang dengan skor 4-3.
 Tetapi rupanya dia bercerita tentang pelantikan pejabat struktural yang dilakukan Bupati Agam Indra Catri siang harinya. Katanya, satu dari sekian pejabat yang dilantik tadi, salah satunya sangat “beruntung”, karena baru saja pindah ke sini dan langsung dapat jabatan basah. Dan katanya lagi, ini merupakan orang yang ke-5 di era Bupati Indra Catri yang mempunyai nasib yang sangat beruntung, dinonjobkan oleh oleh Bupati di daerah lain, pindah ke Pemkab Agam dan langsung dapat kursi empuk. Lebih kurang setengah jam dia “ribut-ribut” bercerita layaknya pengamat politik.
Disatu sisi pelantikan pejabat struktural eselon III dan IV dilingkungan Pemerintah Kabupaten Agam yang dilakukan Bupati Indra Catri sama dengan pelantikan-pelantikan yang dilakukan oleh Bupati/Walikota (Kepala Daerah) bahkan yang dilakukan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno yang sama-sama baru saja memenangi Pemilukada. Bahkan wajar pula disebut “hal yang biasa” ketika para Kepala Daerah tersebut melakukan mutasi besar-besaran serta menonjobkan para pejabat yang dianggap sebagai “bukan pendukung”nya sewaktu Pemilukada.
Terkait dengan itu, sebagaimana pernah diberitakan Koran ini, Bupati Agam Indra Catri dalam menanggapi gonjang-ganjing yang berkembang menjelang dilakukan mutasi, berkomentar “mutasi pejabat tak perlu diributkan, karena mutasi merupakan hal yang biasa dalam sebuah organisasi dan bertujuan untuk kepentingan organisasi dan penyegaran” (Haluan, Selasa 19/7/2011).
Tetapi sesungguhnya mutasi yang dilakukan setelah Pemilukada merupakan mutasi yang “luar biasa” karena dengan merombak total pejabat struktural yang diangkat Kepala Daerah sebelumnya dari Kepala Dinas, Kepala Kantor, Camat hingga Kepala Sekolah membuat organiasasi pemerintah tersebut seakan baru mulai berjalan dari titik nol kilometer. Inilah yang menjadikan mutasi tersebut menjadi luar biasa karena setiap pergantian pucuk pimpinan para anak buahpun diganti pula yang secara prosedural dan aturan kepegawaian tidak diperbolehkan. Akibat banyaknya pejabat yang dicopot jabatannya dengan alasan yang tidak jelas, dan menjadi pecundang dibawah Kepala Daerah yang baru pada akhirnya ada yang memilih pindah ke daerah lain atau mengajukan tuntutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Fenomena mutasi pasca Pemilukada tidak urung membuat kegoncangan secara nasional bahkan di Sumatera Barat pasca Pemilu serentak tahun lalu hal ini juga terjadi. Kita tentu masih ingat “himbauan” Gubernur Sumbar Irwan Prayitno agar proses pindah PNS antar daerah ditunda sementara terkait dengan banyaknya permohonan pejabat dari daerah (Kabupaten/Kota) ke Propinsi dan ke daerah lain.
Mutasi dan pelantikan yang dilakukan Bupati Agam Indra Catri menjadi perlu “diributkan” karena ada hal “luar biasa”, ada hal tidak lazim yang telah dilakukan. Pertama, Kabupaten Agam menjadi tempat “pelarian dan penampungan” para mantan pejabat yang dinonjobkan dari daerah lain. Kedua, Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) Kabuapaten Agam lebih suka memilih PNS-PNS yang baru pindak ke Kabupaten Agam untuk diberi jabatan eselon dan menonjobkan PNS yang meniti karir puluhan tahun di Agam. Ketiga, para PNS yang pindah dari daerah lain ke Kabupaten diterima begitu saja tanpa “proses yang selektif” sehingga ketika menjadi pejabat di Agam tersangkut masalah hukum. Saat ini dari 3 orang pejabat Kabupaten Agam yang tersangkut kasus hukum, ketiganya merupakan PNS yang pindah dari luar ke dalam Kabupaten Agam.
Alasan lain pantas disebut luar biasa adalah ketika dibandingan dengan daerah lain, apa yang terjadi di Agam juga “berbeda”. Misalnya dibandingan dengan apa yang terjadi di Pasaman Barat. Belasan pejabat dari Pasaman pindah ke Pasaman Barat dalam bukan dalam status nonjob walau kejadiannya sama-sama setelah Pemilukda. Mereka sengaja hijrah Lubuk Sikaping ke Simpang Empat, bukan karena dinonjobkan dan minta pindah keluar. Mereka dalam posisi sedang menduduki jabatan!.
Kalaupun dari sisi aturan kepegawaian tidak ada yang dilanggar dan Bupati serta Baperjakat mempunyai alasan dan pertimbangan yang matang dalam mengambil langkah tersebut, tetap saja dari sisi pembinaan organisasi hal itu tidak baik. Kepala Daerah selain Pejabat Negara atau Jabatan Politis pada dirinya melekat fungsi sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian di daerahnya. Seharusnya dalam posisi tersebut Kepala Daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian tidak melakukan perekrutan kader dari luar organisasinya untuk ditempatkan pada jabatan-jabatan strategis. Karena itu akan mematahkan semangat para kader yang mengabdi dan berjuang cukup lama di organisasi itu. Sebaliknya, sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian sudah sepantasnya Kepala Daerah memacu kreatifitas, menumbuhkan semangat dan memberi peluang kepada para PNS yang di daerahnya.

Oleh karena itu mutasi-mutasi “luar biasa” yang terjadi bukan hanya di Kabupaten Agam, Pasaman Barat maupun daerah lainnya harus dicegah agar tidak terjadi berulang-ulang. Caranya mengkin dengan memperketat aturan kepegawaian khususnya pengangkatan PNS dalam jabatan structural dan membatasi kewenangan Kepala Daerah dalam urusan kepegawaian. Sementara itu, khusus bagi PNS yang dinonjobkan tanpa alasan yang jelas,  langkah terbaik saat ini adalah meniru apa yang dilakukan beberapa PNS di Kabupaten Limapuluh Kota, mengajukan gugatan ke PTUN. Karena keputusan Kepala Daerah yang yang dipengaruhi unsure politis cenderung melanggar peraturan perundang-undangan yang ada, hal itu telah dibuktikan oleh Ilyas Mawar dan Budi Permana yang memenangi perkara di PTUN karena dinonjobkan Kepala Daerahnya.

Lubuk Basung, 31 Juli 2011

No comments:

Post a Comment