Hari
Kamis malam setelah menonton siaran langsung pertandingan sepakbola Pra Piala
Dunia 2014 antara Indonesia melawan Turkmenistan, saya di-ha-pe seorang rekan.
Mulanya saya pikir dia akan bercerita tentang Kesebelasan Timnas PSSI yang
bermain sangat agresif di 45 menit pertama sehingga unggul 3-0, tetapi
dipenghujung babak II Boaz Salosa cs kehabisan kehabisan tenaga sehingga nyaris
gagal, walau akhirnya menang dengan skor 4-3.
Tetapi
rupanya dia bercerita tentang pelantikan pejabat struktural yang dilakukan
Bupati Agam Indra Catri siang harinya. Katanya, satu dari sekian pejabat yang
dilantik tadi, salah satunya sangat “beruntung”, karena baru saja pindah ke
sini dan langsung dapat jabatan basah. Dan katanya lagi, ini merupakan orang
yang ke-5 di era Bupati Indra Catri yang mempunyai nasib yang sangat beruntung,
dinonjobkan oleh oleh Bupati di daerah lain, pindah ke Pemkab Agam dan langsung
dapat kursi empuk. Lebih kurang setengah jam dia “ribut-ribut” bercerita layaknya
pengamat politik.
Disatu
sisi pelantikan pejabat struktural eselon III dan IV dilingkungan Pemerintah
Kabupaten Agam yang dilakukan Bupati Indra Catri sama dengan
pelantikan-pelantikan yang dilakukan oleh Bupati/Walikota (Kepala Daerah)
bahkan yang dilakukan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno yang sama-sama baru saja
memenangi Pemilukada. Bahkan wajar pula disebut “hal yang biasa” ketika para
Kepala Daerah tersebut melakukan mutasi besar-besaran serta menonjobkan para
pejabat yang dianggap sebagai “bukan pendukung”nya sewaktu Pemilukada.
Terkait
dengan itu, sebagaimana pernah diberitakan Koran ini, Bupati Agam Indra Catri
dalam menanggapi gonjang-ganjing yang berkembang menjelang dilakukan mutasi,
berkomentar “mutasi pejabat tak perlu diributkan, karena mutasi merupakan hal
yang biasa dalam sebuah organisasi dan bertujuan untuk kepentingan organisasi
dan penyegaran” (Haluan, Selasa 19/7/2011).
Tetapi
sesungguhnya mutasi yang dilakukan setelah Pemilukada merupakan mutasi yang
“luar biasa” karena dengan merombak total pejabat struktural yang diangkat
Kepala Daerah sebelumnya dari Kepala Dinas, Kepala Kantor, Camat hingga Kepala
Sekolah membuat organiasasi pemerintah tersebut seakan baru mulai berjalan dari
titik nol kilometer. Inilah yang menjadikan mutasi tersebut menjadi luar biasa
karena setiap pergantian pucuk pimpinan para anak buahpun diganti pula yang
secara prosedural dan aturan kepegawaian tidak diperbolehkan. Akibat banyaknya
pejabat yang dicopot jabatannya dengan alasan yang tidak jelas, dan menjadi pecundang
dibawah Kepala Daerah yang baru pada akhirnya ada yang memilih pindah ke daerah
lain atau mengajukan tuntutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Fenomena
mutasi pasca Pemilukada tidak urung membuat kegoncangan secara nasional bahkan
di Sumatera Barat pasca Pemilu serentak tahun lalu hal ini juga terjadi. Kita
tentu masih ingat “himbauan” Gubernur Sumbar Irwan Prayitno agar proses pindah
PNS antar daerah ditunda sementara terkait dengan banyaknya permohonan pejabat
dari daerah (Kabupaten/Kota) ke Propinsi dan ke daerah lain.
Mutasi
dan pelantikan yang dilakukan Bupati Agam Indra Catri menjadi perlu
“diributkan” karena ada hal “luar biasa”, ada hal tidak lazim yang telah
dilakukan. Pertama, Kabupaten Agam menjadi tempat “pelarian dan penampungan” para
mantan pejabat yang dinonjobkan dari daerah lain. Kedua, Badan Pertimbangan
Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) Kabuapaten Agam lebih suka memilih PNS-PNS
yang baru pindak ke Kabupaten Agam untuk diberi jabatan eselon dan menonjobkan
PNS yang meniti karir puluhan tahun di Agam. Ketiga, para PNS yang pindah dari
daerah lain ke Kabupaten diterima begitu saja tanpa “proses yang selektif”
sehingga ketika menjadi pejabat di Agam tersangkut masalah hukum. Saat ini dari
3 orang pejabat Kabupaten Agam yang tersangkut kasus hukum, ketiganya merupakan
PNS yang pindah dari luar ke dalam Kabupaten Agam.
Alasan
lain pantas disebut luar biasa adalah ketika dibandingan dengan daerah lain,
apa yang terjadi di Agam juga “berbeda”. Misalnya dibandingan dengan apa yang terjadi
di Pasaman Barat. Belasan pejabat dari Pasaman pindah ke Pasaman Barat dalam
bukan dalam status nonjob walau kejadiannya sama-sama setelah Pemilukda. Mereka
sengaja hijrah Lubuk Sikaping ke Simpang Empat, bukan karena dinonjobkan dan
minta pindah keluar. Mereka dalam posisi sedang menduduki jabatan!.
Kalaupun
dari sisi aturan kepegawaian tidak ada yang dilanggar dan Bupati serta
Baperjakat mempunyai alasan dan pertimbangan yang matang dalam mengambil
langkah tersebut, tetap saja dari sisi pembinaan organisasi hal itu tidak baik.
Kepala Daerah selain Pejabat Negara atau Jabatan Politis pada dirinya melekat
fungsi sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian di daerahnya. Seharusnya dalam
posisi tersebut Kepala Daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian tidak melakukan
perekrutan kader dari luar organisasinya untuk ditempatkan pada jabatan-jabatan
strategis. Karena itu akan mematahkan semangat para kader yang mengabdi dan
berjuang cukup lama di organisasi itu. Sebaliknya, sebagai Pejabat Pembina
Kepegawaian sudah sepantasnya Kepala Daerah memacu kreatifitas, menumbuhkan
semangat dan memberi peluang kepada para PNS yang di daerahnya.
Oleh
karena itu mutasi-mutasi “luar biasa” yang terjadi bukan hanya di Kabupaten
Agam, Pasaman Barat maupun daerah lainnya harus dicegah agar tidak terjadi
berulang-ulang. Caranya mengkin dengan memperketat aturan kepegawaian khususnya
pengangkatan PNS dalam jabatan structural dan membatasi kewenangan Kepala
Daerah dalam urusan kepegawaian. Sementara itu, khusus bagi PNS yang dinonjobkan
tanpa alasan yang jelas, langkah terbaik saat ini adalah meniru apa
yang dilakukan beberapa PNS di Kabupaten Limapuluh Kota, mengajukan gugatan ke
PTUN. Karena keputusan Kepala Daerah yang yang dipengaruhi unsure politis
cenderung melanggar peraturan perundang-undangan yang ada, hal itu telah
dibuktikan oleh Ilyas Mawar dan Budi Permana yang memenangi perkara di PTUN
karena dinonjobkan Kepala Daerahnya.
Lubuk Basung, 31 Juli 2011
No comments:
Post a Comment