Sunday, February 10, 2013

Jangan Pilih Kuciang Aia…..!!!


Entah siapa yang memulai, banyak para pengamat politik mengintrodusir “Calon Anggota Legislatif (Caleg)” sama dengan Kucing, sehingga muncullah istilah-istilah yang memakai kata kucing yang berkaitan dengan masalah Caleg, seperti Kucing dalam Karung. Dan pengibaratan tersebut akan lebih klop jika dikaitkan pula dengan karakteristik Kucing dan Tikus serta Anjing karena ketiga binatang tersebut mempunyai hubungan kehidupan timbal balik yang sangat erat dan biasanya hidup dalam sebuah rumah. Pengibaratan yang bukan lagi sebatas Caleg tetapi lebih dari itu yaitu sebuah Negara (rumah), Anggota Legislatif (kucing), Koruptor (tikus) dan Aparat Keamanan/Hukum (Anjing).
Pada Pemilu 2004 ada iklan yang berbunyi, “Dalam Pemilu sebelumnya kita Memilih Kucing Dalam Karung, maka kali ini Kucingnya tidak ada dalam karung”. Iklan ini adalah untuk mensosialisasikan bahwa Pemilu sekarang kita bisa langsung memilih orangnya untuk menjadi Anggota Legislatif (DPR, DPRD dan DPD), tidak seperti sebelumnya yang hanya memilih partai sedangkan Anggota Legislatif ditentukan oleh Partai.
Jika Iklan pendek tersebut dijadikan sebuah Cerita maka banyak polemik yang bisa dimunculkan agar Iklan pendek tersebut menjadi cerita yang panjang… misalnya, Dulu sewaktu memilih Kucing Dalam Karung kita berspekulatif… kita memilih tetapi tidak tahu apakah kita akan mendapat kucing baik atau kucing jelek. Kita hanya bisa melihat karung saja tanpa tahu persis isinya kecuali bahwa di dalamnya ada beberapa ekor kucing.
Ada berbagai alasan orang untuk menentukan pilihan: ada yang memilih karena karungnya bagus dan bersih, dan berpikir sudah tentu isinya juga bagus dan bersih. Ada yang memilih karena isi karung… kalau karungnya berguncang-guncang hebat pastilah didalamnya terdapat kucing yang kuat dan gesit. Ada juga  yang memilih karena karung itu diam saja, berpikir pastilah kucingnya baik-baik semua, tidak suka ribut-ribut.
Alasan memilih karena suka di atas bisa kita balik untuk alasan orang yang menentukan pilihan karena tidak suka, aku pilih yang ini saja karena yang itu ribut melulu
Memilih di antara pilihan yang kelihatan jelas akan membuat kita leluasa memakai bermacam kriteria dalam memutuskan pilihan sesuai yang diinginkan… apakah dari kelaminnya, warna belangnya, posturnya, bunyi meongnya, atau keterampilannya, dan untuk apa kucing itu kita pilih. Apakah akan digunakan sebagai pembasmi tikus atau sekedar untuk dielus-elus.
Di sisi lain kita sudah memahami betul bahwa dari dulu hingga kini sangat banyak Tikus berkeliaran di sekitar kita, kelakuan mereka sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari… kadang beras kita dimakan, sambal kita yang dicuri, tong sampah kita diobok-obok, bahkan suara mereka entah itu berkelahi atau bergelut di atas loteng membuat kita susah tidur. Ukuran mereka pun semua type ada mulai dari yang normal, yang sangat kecil bahkan yang seukuran kucing pun ada. Mereka sangat gesit dan pintar… kita lengah sekejap makanan kita sudah tinggal sisa.
Karakter Anjing boleh dikatakan sama dengan Kucing… Cuma dalam tugas Anjing mendapat posisi lebih strategis yaitu melindungi rumah dari ancaman pencuri maupun tamu tak diundang….
Kita ibaratkan dalam Negara saat ini kita sedang menuju jurang kehancuaran.. karena para Tikus (Koruptor) sangat meraja lela. Hampir disetiap sudut mereka ada dan mengincar apa saja yang bisa dimakan.. incaran utama mereka tetap beras (Bulog) tetapi mereka juga memakan kabel-kabel dan Dinding lemari. Sementara Kucing-kucing (Politikus & Pejabat Negara) kita tidak kuasa menghadapi serangan tikus-tikus tersebut. Kucing kita kalah gesit… Lemari (Bank) sudah bobol baru memeong, sementera tikusnya sudah kabur. Kucing kita tak ubahnya “Kucing Tua” yang tidak bisa apa-apa kecuali menuggu dikasih makan atau menunggu empunya lengah dan ikut-ikutan mencuri makan. Kucing kita juga sudah tidak ada wibawa terutama dimata para Tikus… mereka tidak lagi ditakuti, karena jangankan untuk menguber Tikus… menangkap cicak yang jatuhpun tidak sanggup!
Kondisi tersebut bertambah parah ketika para Anjing turut campur urusan Kucing… mereka jadi sering berkelahi soal teritorial dan wewenang dan terus menjadi musuh berbuyutan. Apa jadinya… Tikus pada terbahak-bahak dan tepuk tangan sambil berkata… teruskan permusuhan kalian sementara kami akan teruskan pekerjaan kami.
Kita sebagai pemilik kadang-kadang memang lupa diri, tidak waspada…entah sudah beberapa kali lumbung beras dan lemari kita dibobol Tikus tetapi kita tidak mengambil tindakan tegas. Padahal kalau mau ada caranya, yiatu.. diracun saja! Mungkin timbul masalah, bagamaimana kalau Kucing dan Anjing ikut kena racun? Biarin saja… kalau ada Kucing dan Anjing yang memakan umpan untuk Tikus berarti mereka bukan yang baik. Kucing dan Anjing yang baik tentunya sudah tahu makan dimana, kan makanannya sudah dijatah (Gaji)… kalau coba-coba mencari makanan lain resikonya ya itu, kena Racun Tikus, Mati!
Kesimpulannya… nanti pada Pemilu 2014 akan ada lebih ribuan bahkan puluhan ribu calon Kucing dan kita harus hati-hati dalam menentukan pilihan. Walaupun secara Ekstrim dikatakan lebih baik memilih kucing dalam karung, walapun spekulatif tetapi masih ada “sedikit” harapan, siapa tahu dalam karung itu ada yang bagus dan kita beruntung memilihnnya, dari pada sekarang terbuka tapi tak satupun yang bisa diharapkan. Orang Minangkabau bilang, dulu ndak tau nan ka dipiliah, antah rancak antah busuakkini lah dibukak karuangnyoe.e ruponyo Kuciang Aia sadonyo, lai juo nan lain tapi Kuciang Ijuak pulo.
Kita harus tetap berfikir optimis, bahwa dari sekian ribu calon tentu ada sebagian yang bagus… nah pilihlah yang bagus… dengan memilih yang bagus minimal kita telah ikut menghalangi yang jelek untuk dapat suara. Selain berbuat baik kita juga harus mencegah kemungkaran… setuju! Ayo memilih.

Thursday, February 7, 2013

Java Freedom Movement


Dalam sebah acara Talk Show Televisi, Bang Komar dan Bung Adi diberondong presenter dengan pertanyaan-pertanyaan seputar Indonesia hari dan esok.

Berikut petikannya:


Presenter (PS): Thank you both have come on our show this ...
BK: Wait, actually I am personally indebted because you took me to the Bung Adi (BA) because it has been so long I did not meet him directly ...
PS: I mean BK ..
BA: Well, face to face since we graduated did not see him again but we both always hold imaginary contacts...
PS: Okay, okay ... now BK first, how Indonesia today according to BK?
BK: Currently, Indonesia is really messed up, peoples and governments alike panic and this is due to the legacy Pak De ...
PS: What is not due to the inability of Habibie?
BK: O instead, if whoever inherited so hard to fix it, so it is not wrong in itself but rather because Habibie, Suharto.
PS: When it comes to inheritance, can not just blame Pak De, Bung Karno also wrong! Since Suharto inherited from Bung Karno.
BK: Soeharto not inherited but win, remember me re-but! And Bung Karno Indonesia as toppled situation is not as bad now, anyways Soeharto had plenty of time to fix it, that for 32 years!
BA: I add ... it is not right that Bung Karno take the blame for his time far away distances, in addition to the Bung Karno pass in an uneven economy in other words, the social gap is not as it is today.
PS: What is the impact of the current situation for the next Indonesia BK?
BK: If the other day that the rebel areas in the Outer Islands of Java, then tomorrow, tomorrow may be happening is the emergence of Gerakan Jawa Merdeka!.
PS: How can that be?
BK: That's what I see in two months Habibie leadership, during this crisis was the most miserable people on the island of Java, now they are really hungry, losing a job, fear squeezed, easily provoked and incitement issues ... anyway particular concern among victims of another financial crisis.
PS: Looks like BK reasons not relevant to the BK Freedom Movement Java say earlier ..
BK: Well, I have not finished, so do not cut it ... in his tenure Habibie seen trying to remove the myth Noto Nogoro. After he (Habibie) itself overturns the myth that President-3 is the Javanese ... then he also shifts the Javanese from important posts. We see in the cabinet ... Mendagri, Menpen, Menaker and many others, are very much different from the percentage composition of the Outer Java Java Habibie future when compared to the Soeharto era. So is the position of the Attorney General and the DPA ... even the armed forces too. So since many Javanese people, whose position shifted then it's possible they changed their minds ... forming a Freedom of Java.
PS: If you think yourself how BA ..
BA: I think the BK say what could have happened, as we-we were outside Java were very upset ... but the name Homeland important positions are always dominated by sono, even the position of the Governor, the Regent and the Mayor of us came from the island of Java. Over the worst of all of it was done by force and not fair, you will remember when the year 1995 in Riau, Riau Ismail Original People Suko who removed and replaced with the Munandar....Munandar age fortunately not long but even so it still Jawa successor Person , is the name of native inhibit career.
PS: I come back to BK ... the military body seems not occurred De-Javanization, as Commander and Chief of its staff is the Java ...
BK: If for the position of Commander and Chief of Staff Habibie was deliberately kept to a mission ..
PS: Bang mean?
BK: For Habibie ... Wiranto and Subagyo (Army Chief of Staff) still need to be maintained in order Dejawanisasi subtle, besides that they are a tool to get people ... sono divided equally between Wiranto and we know Subagyo actually not a gang ... so they left tertus that disputes it ... further widening the two men would also slip moreover they are close to retirement age.
PS: It is also interesting ... but we also need to hear reviews of BA, because of the earlier more silent ...
BA: Yeah, I do not seem deberi chance way, but my capacity equal to BK ... and from the corner of my field, again all nothing more than a legacy of Soeharto. Soeharto for 32 years has made Indonesia the dichotomy as if it only belongs to the Java ... so that Habibie now doing Dejawanisasi I think it's a reasonable person who is not Java, which would have hurt too. During the 32 years of Soeharto membangn kingdom with buddy-buddy and his family, they act without restraint ... Prabowo dilejitkan a General when he was still inexperienced, Treasury drained and then filled with foreign loans to be drained again, worse than all the positions filled by the highest to lowest Suharto people. There is one interesting and very unusual ... a Regent (Bantul) to serve a second time to ask for help from a Ward level that is far below the bureaucratic hierarchy. In a democratic country it is not possible but because Suharto was common as has been revealed in the article entitled BK Engineering History where the employer is forced to subordinate could happen especially the headman had been a family of Suharto himself. So also with the tribes affiliated companies, all established and huge profits just by his grandfather knee capital.
PS: I think the dude is too extreme to comment ...
BA: Extreme? ... up to you to judge me so, obviously what I say it is based on the knowledge I have ... and in fact all that we have seen in the New Order but you just do not dare to say this for fear!
PS: You? ... Meaning you never talk about it at that time?
BA: For us ... me and there is no term BK Off The Record ... but it is only limited to our neighborhood ... ha.ha.ha, not so BK?
BK: Yeah ... we are from the New Order has often peeling this stuff even events now for us is not a surprise because we had previously predicted ... so if one day you hear the Freedom Movement of Java you should not be surprised because we have let.
PS: Okay then ... do you think both of whom will be sitting as the President of the 4 ... BA first-lah?
BA: Problem President to-4? If the President to-5 is clear dong ya. For the President to-3 there are some names that have the same opportunities that Amien, Megawati and Habibie.
PS: But Habibie never say that it is not willing to be nominated again become President.
BA: Ah it's amazing, she used to say so because it is new so the President, suasanany still very chaotic and yet there is delish ... now after two months of Habibie had seemed to feel so the President was indeed delicious. Now it is looking Habibie is preparing forces to be President again. While that might appear as a dark horse is Hamengkubuwono X, Try Sutrisno ..
PS: Opportunities Wiranto himself how ..
BA: I look hard and very thin chances because Wiranto, Prabowo cs enemies are ... unless there is an agreement between them ..
PS: Latest on BK, Megawati and Amien extent opportunities?
BK: The problem here ... Mega it is considered as a kinship with the people ... as long as these rulers played Mega Orba then comes a kind of spiritual and emotional bond between the people and Mega, Mega especially bears the name of Sukarno. If Amien ... I see because he consistently pushes for reform ... voiced Amar Ma'ruf  Nahi Mungkar...Amien unjust and followers too much ... but other than that I see the name Try Sutrisno got a great chance if he can hand wash or disengaged from the Tanjung Priok. But for the details, we'll wait until the special session ... after that we can see clearly who will appear as the person who will receive the key to the next palace ...
 Bukittinggi in West Sumatra, July 22, 1998

Monday, December 10, 2012

Rindu Minangkabau


Mau dibawa kemana atau mau dijadikan apa Sumatra Barat 20 Tahun ke depan? Mungkin itu pertanyaan pokok terkait Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Sumatra Barat. Secara ekstrim tak perlu RPJP! Karena saat ini Sumatra Barat sudah hebat di segala bidang! Para Bupati dan Walikota kita sangat banyak yang berprestasi, Anugrah ini, Satya Lencana itu, Piala dan pigam silih berganti dibawa dari Istana Presiden di Jakarta. Bahkan banyak daerah punya visi dan misi yang sangat rancak, Kota Beriman, Kabupaten Madani. Pembangunan sudah sangat pesat, jalan-jalan sudah diaspal, by pas, dua jalur bahkan kita mempunyai jalan layang di kelok 9.
Tetapi jikok diinok-inokan bana, kemajuan Sumatra Barat yang ada saat ini hanyalah pembangunan fisik belaka. Kita membangun Sumatra Barat dengan citra Minangkabau tanpa membangkitkan roh Minangkabau yang telah lama hilang. Kita rindu pada Minangkabau tetapi tidak tahu cara mengobati rasa taragak tersebut. Kita hanya membuat gonjong-gonjong pada bangunan kantor, gerbang batas daerah, halte dan banguna wisata. Kita memasang marawa merah-kuning-hitam hanya sebagai umbul-umbul. Banyak dari kita yang Batagak Pangulu ketika akan ada alek demokrasi. Kita berbahasa minang ketika kehabisan kosa kata Bahasa Indonesia dalam berbicara. Bahkan kita memberi nama Minangkabau pada Bandar Udara Internasional sebagai tanda Minangkabau itu di Sumatra Barat.
Kita terjebak pada visi dan misi yang sangat jauh ke depan sehingga kita lupa awal tempat kita berpijak. Kita terlalu ingin cepat berhasil padahal kita butuh proses. Kita memasang plang daerah sebagai kota Beriman tetapi sangat banyak kejadian dan perbuatan maksiat di dalamnya. Kita bangga menyebut diri sebagai Kabupaten Madani tetapi di setiap sudut banyak kedai koa dan domino yang ramai ketika kumandang azan terdengar. Mesjid dan surau kita banyak tetapi lengang, anak-anak sekolah kita berpakaian muslim tetapi kelakuan mereka….?
Oleh karena itu, yang kita butuhkan saat ini dan nantinya adalah character building sebagai Urang Minang yang beradat, kita tak perlu ikut gaya orang lain. Karena itulah yang membuat orang lain kenal Sumatra Barat, doeloe ada Hatta, Agus Salim, Syahrir, Hamka dan banyak lagi yang lain, yang punya reputasi bukan hanya Nasional tetapi juga Internasional. Kita dikenal sebagai gudangnya orang pintar, jujur dan religius. Daerah kita dikenal sangat aman dan nyaman sebagai tujuan menimba ilmu bagi yang muda dan berlibur bagi orang yang berduit. Untuk itu kita harus kembali menggali, menghidupkan dan menbangkitkan Minangkabau sesungguhnya. Kesimpulan RPJP kita seharusnya adalah Mambangkik Batang Tarandam.

Friday, November 30, 2012

APBD Rahasia Negara?


Sampai saat ini sangat banyak masyarakat kita yang tidak tahu apa-apa mengenai haknya pada penyelenggaraan pemerintahaan. Tidak tahu apa itu Anggaran Pendapatan dan belanja di daerahnya (APBD). Misalnya, banyak urang awak yang tidak paham APBD Propinsi Sumbar,  banyak Rang Agam yang indak tau manau APBD Kabupaten Agam tahun 2012 dan RAPBD 2013 begitu pula masyarakat di daerah lainnya. ABPD seakan menjadi Dokumen Rahasia Negera karena sangat sulit untuk mengaksesnya. Jangankan untuk memiliki dokumennya melihatnyapun sangat sulit.
Begitu pula dengan kinerja Kepala Daerahnya, katakanlah dalam hal Laporan keterangan Penrtanggungjawaban (LKPJ) masyarakat tidak pernah tahu dan tidak terlibat secara langsung kecuali oleh para Wakil Rakyat di DPRD. Masyarakat tidak punya kesempatan untuk menilai apakah LKPJ itu telah jujur atau banyak bohongnya. Padahal LKPJ merupakan Progres report pelaksanaan tugas atau laporan pencapaian kinerja Pemda dalam satu tahun anggaran. Untuk itu seharusnya LKPJ harus diberitahukan masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih.
Dengan adanya peraturan pemerintah (PP) Nomor 3 tahun 2007 tentang laporan penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah Daerah dalam hal ini Kepala Daerah wajib menyampaikan kinerjanya kepada masyarakat secara langsung. Seperti dinyatakan Pasal 27 PP Nomor 3 tahun 3007 menyebutkan Kepala Daerah diwajibkan memberikan informasi laporan penyelenggaraan pemerintah daerah (LPDD) kepada masyarakat melalui iklan di media cetak dan elektronik untuk diminta tanggapan dan saran.
Untuk itu keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan harus diberdayakan terutama dalam hal pengambilan keputusan atau kebijakan public supaya pengawasan hak-hak rakyat bisa ditingkatkan. Hal ini sekaligus untuk memperkuat legitimasi politik dari rakyat terhadap pemerintahnya. Secara awam, paling tidak masyarakat bisa mengetahui berapa jumlah APBD dan dari mana asalnya serta untuk apa uang (ABPD) itu, siapa yang membelanjakan, dan bagaimana membelanjakannya. Apa itu LKPJ, apakah seperti Pidato Presiden pada setiap bulan Agustus atau seperti laporan ketua panitia acara karang taruna di kampung-kampung.
Pada tahap lebih kritis masyarakat idealnya sudah mengetahui hakekat dan fungsi anggaran (APBD) yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Seberapa besar anggaran untuk biaya operasional, belanja pegawai (Aparatur Pemda dan Anggota DPRD). Dan seberapa besar untuk biaya pembangunan. Apakah banyak pos-pos anggaran yang tidak berpihak kepada rakyat atau tidak relevan dengan kondisi rakyat saat ini.
Apakah isi LKPJ Kepala Daerahnya banyak berisi data manipulative, berisi data yang di mark up dan fiktif seta tidak bersih karena korupsi masih merajalela di berbagai SKPD. Semua itu harus diketahui rakyat bahkan harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat karena secara politis Gubernur, Bupati/Walikota dipilih langsung oleh rakyat.
Untuk itu semua keputusan dan kebijakan yang menyangkut publik secara keseluruhan harus melibatkan rakyat dan semua dokumen yang berisi hak dan kepentingan masyarakat harus dipublikasikan secara luas. Bila perlu Dokumen sejenis APBD dan LKPJ itu juga ada pada setiap tempat yang mudah diakses masyarakat seperti di kantor Walinagai dan kantor Lurah


Monday, November 26, 2012

Wanted!, Gubernur dan Isteri Asli Melayu Riau.



Pengantar: Tahun 2003 menjelang Pemilihan Gubernur Riau berkembang isu mengenai “primmodialisme ekstrim” dimana bukan hanya Gubernurnya saja yang harus orang Melayu Asli tetapi Isterinya juga. Menurut beberapa kalangan isu itu muncul/dimunculkan untuk menghambat Saleh Jasit untuk terpilih keduakalinya. Sekarang di Riau juga sedang siap-siap memilih Gubernur… entah apa isu yang berkembang. Berikut catatan BK pada tahun 2003.

“Dicari, anak jati Melayu, ciri-ciri: Lahir di Riau, bapak sama mak kandung orang Melayu, bisa cakap Melayu, punya istri padusi Melayu”, Adanya Rekomendasi Mubes I Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (Mubes I FKPMR) tanggal 27 Maret 2003 yang berbunyi, “Gubernur Riau/Wagubri adalah putra daerah Melayu Riau dan juga mempunyai Istri putri Melayu Riau pula” sungguh suatu langkah mundur dalam demokrasi. Karena jabatan Gubernur/Wagub adalah jabatan politis dan setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam hal tersebut.  Hak untuk memilih dan dipilih adalah Hak Perdata Universal tanpa melihat asal-usulnya,  jenis kelamin, almamater, suku dan lain-lain. Dan biasanya seseorang akan sulit menjadi pemimpin tanpa melalui sistem dan mekanisme demokratis, tanpa bakat dan kemampuan, tanpa memiliki visi dan wawasan, tanpa dukungan dari masyarakat (partai politik) yang memenangkan pemilu.
Kebanggaan terhadap suku memang juga penting untuk memunculkan dan menampakkan karakter. Orang Melayu (Riau) adalah Pemeluk Islam yang taat, memikirkan dunia akhirat, berbudaya penuh sopan santun, bersikap open dan bertelinga tipis/malu akan sindiran. Ketika niat baik Walikota Pekanbaru untuk menutup tempat perjudian digagalkan oleh PTUN, maka Orang Melayu sangat marah! Adalah bukti betapa antipatinya Orang Melayu terhadap kegiatan maksiat.
Atau tentang Orang Minang yang membanggakan adatnya basandi sara’, sara’ basandi kitabullah, yang sangat pandai bergaul sehingga bisa merantau dan hidup membaur dengan suku-suku lain dipenjuru dunia, atau tentang suku-suku lainnya.
Mestinya yang dikedepankan dalam Cagubri 2003-2008 mendatang adalah The Best Chief yang mampu mengangkat harkat dan martabat warga Riau, dan mampu mengatasi 1001 persoalan yang membelit Riau. Mestinya bukan “orang mana-nya” yang dijadikan persoalan penting dalam menentukan Gubernur/Wagub melainkan orang yang mampu mengatasi persoalan yang kita hadapi dari hari ke hari di Riau yang pada ujungnya menyangkut usus atau isi perut rakyat yang kosong.
Propinsi Riau sebagaimana dimuat Harian Riau Pos pada Liputan Khusus Ahad 16/02/03 merupakan Pasar Ekonomi dan Ladang Berburu Rupiah dan merupakan daerah tujuan para investor. Jika didaerah lain ladangnya adalah palawija maka di sini adalah ladang minyak! Baik ladang minyak bumi maupun ladang minyak sawit!. Belasan Triliyun Rupiah uang beredar dan bermacam potensi bisnis lainnya juga diiringi dengan banyak persoalan yang akan menjadi bom waktu yang siap meledak di Riau. Persoalan keamanan, buruh, penyakit masyarakat, judi, narkoba, pelacuran & pekerja seks, pornografi, pencemaran/limbah, bobroknya mental dan disiplin aparat pemerintah, korupsi dan praktek nepotisme, arus pengungsi dari Daerah dan Negara tetangga merupakan tugas tidak enaknya jadi Gubri disamping anggaran dan fasilitas wah yang diberikan.
Bila diurai satu persatu persoalan tersebut nyata sekali dihadapan kita; pertama keamanan, hampir setiap hari kita disuguhi berita mengenai perampasan, penodongan, perampokan, pencopetan, perkosaan, penipuan dan peristiwa kriminal lainnya. Seakan penjahat tidak pernah jera dan tidak habis-habisnya walaupun sudah di-dor dan dipenjara. Kedua masalah narkoba, Riau tidak lagi kawasan perlintasan Narkoba tetapi telah menjadi pasar potensial perdagangan barang haram tersebut. Bukan hanya preman saja yang jadi konsumen tetapi telah merambah para wakil rakyat dan pejabat eksekutif. Ketiga masalah perjudian dan pelacuran; perjudian seperti permainan bola ketangkasan, kupon putih secara kasat mata dapat kita temui di setiap sudut daerah, baik ditengah kota maupun disudut-sudut kampung. Pelacuran; pemberian izin lokalisasi dengan alasan agar tidak berkeliaran di tengah kota adalah alasan yang lucu karena perbuatan tersebut adalah jelas-jelas maksiat dan sangat jauh dari budaya orang melayu. Keempat masalah buruh, banyaknya kawasan industri yang sekaligus menimbulkan masalah yang komplek dan kait-berkait yang pada umumnya disebabkan upah yang berada dibawah kebutuhan hidup minimum. Di Propinsi yang kaya raya UMPnya tidak lebih dari Rp.500 Ribu. Kelima masalah pencemaran lingkungan/limbah; hampir semua perusahaan yang ada merupakan penyumbang limbah yang menghancurkan ekosistim lingkungan sungai dan hutan yang akhirnya menghancurkan ekonomi  masyarakat yang menggantungkan hidup pada lingkungan sungai dan hutan tersebut. Begitu pula dengan masalah penebangan hutan yang menimbulkan masalah asap dimusim panas dan banjir dimusim hujan. Keenam masalah Mental dan disiplin Aparat Pemerintahan; banyak sekali terjadi praktek manipulasi yang mengabaikan sistem kerja aparat yang benar, menerima suap yang dianggap pemberian, meminta fasilitas dengan alasan macam-macam tanpa diiringi kualitas kerja yang baik.
Jadi, memilih Gubri mendatang tidak sekedar Putra Melayu Riau yang beristrikan Putri Melayu Riau melainkan orang yang mampu dan yang siap bersedia untuk bekerja 24 Jam sehari, 7 hari seminggu, 30 hari sebulan, 12 bulan setahun, bahkan 5 tahun dalam masa jabatan 2003-2008. Jangan memilih orang yang menganggap 5 tahun jadi Gubri adalah kesempatan emas dan sangat enak, karena berhak atas anggaran milyaran rupiah yang berisi tunjangan pakaian, kesehatan bahkan setiap berkunjung ke daerah akan disambut bak raja.
Gubri mendatang adalah orang yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi rakyat Riau, aman tanpa takut kecopetan ketika naik oplet dan jalan tidak macet karena aksi demonstrasi buruh atau mahasiswa. Nyaman ketika tidak ada lagi lokasi perjudian atau pelacuran yang indentik dengan narkoba dan kejahatan. Tidak ada lagi perang antara kelompok pemuda bahkan perang antara aparat dengan aparat yang berawal dari tempat perjudian atau dari lokalisasi pelacuran. Tidak ada lagi perang dan ketegangan antar etnis yang bersumber dari ego kebesaran organisasi kesukuan.
Selanjutnya yang tak kalah penting, Gubernur itu harus mampu bersikap seperti sikap Orang Melayu yang mampu mengetengahkan Melayu ditengah-tengah Riau tidak sekedar menjadi orang pinggiran, Gubernur yang tidak hanya sekedar berpakaian Melayu ketika hari jum’at. Gubernur yang mau memperhatikan masyarakat Melayu Riau agar benar-benar menikmati warisan leluhurnya: sumber daya alamnya, minyak bumi dan hasil hutannya. Gubernur yang tidak hanya menghidupkan Melayu dengan corak bangunan kantor, berbalas pantun pada acara-acara seremonial atau hanya sekedar membuat film dokumenter kebudayaan Melayu pada kenyataannya tidak dibudayakan dan dilestarikan.
Karena FKPMR hanya memberikan  rekomendasi hendaknya dapat disikapi dengan arif  bahwa rekomendasi tersebut lahir (mungkin) karena kekawatiran akan munculnya slogan pesimistis Akan Hilang Melayu di Riau. Rekomendasi tersebut sekaligus doa semoga Gubri mendatang memahami betul maksud kalimat sakti “Tak akan Hilang Melayu di Bumi (Riau)” agar tetap sakti dan abadi. Tidak terlalu penting apakah Gubri itu laki-laki atau perempuan, orang Melayu Riau atau bukan, beristeri/bersuami Melayu atau tidak. Harapan dan do’a tersebut tentunya terpulang kepada para pemilih yang menentukan siapa yang berhak menjadi Gubernur/Wagubri nantinya, Amin.

Pekanbaru – Riau, 14 Juni 2003

Dari kumpulan tulisan Kamaruddin
dalam Buku : Bang Komar – Prediksi,
Khayalan, Pikiran dan Doa-doa.

Thursday, November 22, 2012

Wakil Kepala Daerah


Pertarungan antara Josrizal Zain dan Benny Mukhtar untuk merebut posisi Walikota Payakumbuh periode 2007-2012 dan juga sama-sama majunya Fauzi Bahar dan Yusman Kasim sebagai Calon Walikota (Cawako) Padang periode 2008-2013, telah memberikan pelajaran demokrasi yang buruk kepada rakyat. Bagaimana tidak, pasangan yang dulunya basandiang sebagai Walikota dan Wakil Walikota, kini malah batandiang untuk memperebutkan BA 1 di daerah tersebut. Di sisi lain, jarang ditemui ada pasangan yang pernah jadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih, dilantik, disumpah dan menjalankan tugas sampai akhir masa baktinya, pada pemilihan berikutnya kembali berpasangan.
Meskipun jarang ditelusuri pers dan dipublikasikan media massa, konflik Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah merupakan fenomena umum yang terjadi hampir disemua daerah di Indonesia. Bahkan di Jawa Barat perselisihan antara Walikota Cimahi Itoc Tochija dengan Wakil Walikota Dedih Djunaedi (masa bakti 2002-2007) berujung sampai diajukannya gugatan kepengadilan oleh Sang Wakil Walikota. Di Sumatera Barat sudah jadi rahasia umum dan jadi ota di lapau-lapau bahwa banyak pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sapayuang balain hati, masing-masing punya poros politik tersendiri.
Sejarah perselisihan antara Kepala (pemerintahan) dengan Wakilnya dimulai dengan retaknya hubungan Dwi-Tunggal Proklamator Soekarno-Hatta karena perbedaan idealisme. Soekarno mengatakan revolusi belum selesai, Hatta mengatakan selesai dan masanya untuk membangun. Hatta pun mundur dan Bung Karno memerintah tanpa Wakil Presiden sampai kejatuhannya.
Pada zaman Orde Baru, memang tidak pernah terlihat ada perbedaan paham antara Presiden Soeharto dengan para wakilnya (wapres), dari Hamengku Buwono IX hingga Habibie. Tetapi keberadaan Soeharto yang dominan membuat posisi Wapres tidak lebih sebagai simbol demokrasi. Ketika reformasi bergulir kursi Wapres pun dipandang sebagai kompensasi dari tawar-menawar koalisi politik.
Menurut peraturan perundang-undang posisi Wakil Kepala Daerah memang tidak jelas, bahkan dalam konstitusi UUD 1945 tidak ada disebut tentang Wakil Kepala Daerah atau Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota. Yang ada hanya Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai kepala pemerintahan daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota, dipilih secara demokratis (pasal 18 ayat 4, hasil amandemen kedua). Kecuali oleh UU No. 32 tahun 2004 pasal 56 ayat yang menyatakan : Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Selanjutnya oleh Pasal 26 dijelaskan bahwa Wakil Kepala Daerah bertugas membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintah daerah, mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal, menindak lanjuti laporan/temuan hasil pengawasan, memantau dan mengevaluasi tugas dipemerintahan di kecamatan, memberikan saran dan pertimbangan, dan menjalankan tugas kalau Kepala Daerah berhalangan. Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
Lemahnya posisi tersebut membuat banyak Wakil Kepala Daerah tidak merasa cukup puas ketika telah menjabat/menjadi Wagub, Wapub atau Wawako. Hal ini terungkap pada acara Lokakarya dan Pertemuan Nasional (LPN) para Wakil Kepala Daerah se-Indonesia di Bengkulu pada bulan Juni kemarin, yang menghasilkan rekomendasi agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut.
Kepala Daerah sendiri cenderung memperlakukan wakilnya hanya sebagai “pembantu” yang pada gilirannya jadi korban dari kebijakan-kebijakan yang ada pada daerah tersebut. Dari segi wewenang dan alokasi anggaran Wakil Kepala Daerah mendapat porsi yang jauh lebih kecil, untuk urusan-urusan penting wakil sering tidak diikutsertakan bahkan dilimpahkan kepada pejabat Eselonering Sekretaris Daerah atau Kepala Dinas.
Jika timbul masalah, misalnya ada demonstrasi masyarakat atas kebijakan pemerintah baru wakil diberi tugas, ibarat bumper atau dijadikan tameng. Akibat dari hal tersebut muncul opini bahwa wakil tidak mempunyai peran dan kegiatannya tidak teragenda dengan baik sehingga aktifitasnya tidak menentu.
Dimata masyarakat secara de facto Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bukanlah 2 (dua) orang yang berbeda tingkat melainkan satu paket, dwitunggal, sejajar yang mempunyai visi dan misi sama. Pada saat proses Pilkada mereka berdua telah memberikan mahar berupa komitmen akan membangun lebih baik, meningkatkan kesejahteraan, menciptakan pemerataan dan janji manis lainnya.
Untuk itu sebagai perlunasan hutang janji kepada masyarakat diperlukan konsitensi sikap pasangan tersebut sebagaimana ketika sama-sama sehilir semudik pada saat kampanye. Menyamakan persepsi dan orientasi adalah hal mutlak yang harus dilakukan setiap pasangan Kepala Daerah karena secara aturan sulit dirumuskan pembagian tugas masing-masing. Mereka harus sehati sepikir seia sekata, berat sama dipikul rigan sama dijinjing karena keberhasilan maupun kegagalan seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab berdua. Komunikasi yang lancar dan sikap saling mempercayai akan membuat terjadinya keseimbangan dalam pelaksanaan wewenang dan kebijakan, tidak perlu ditampilkan siapa yang lebih berkuasa atau tidak berkuasa. Yang jelas, seorang wakil tetap seorang wakil yang tidak bisa melampaui wewenang Kepala Daerah, begitu juga sebaliknya sejak era reformasi tidak berlaku lagi pradigma Kepala Daerah sebagai penguasa tunggal di wilayahnya.
Meski oleh regulasi yang berlaku saat ini tidak diatur secara tegas dan jelas, posisi Wakil Kepala Daerah sangat vital dalam mengambil kebijakan politis (menyangkut publik) karena pelaksanaan otonomi daerah masih dalam tahap percobaan dimana permasalahannya sangat komplek yang sulit untuk dihandle sendiri oleh Kepala Daerah. Untuk itu wacana agar meniadakan jabatan wakil kepala daerah adalah merupakan langkah keliru dan sama saja degan mengembalikan demokrasi ke zaman seperti orde baru.
Kalau pun harus memperbaiki aturan main, maka sebaiknya seseorang hanya boleh menjabat sebagai Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah untuk dua kali jabatan. Seseorang pernah menjadi wakil jika suatu saat terpilih jadi kepala daerah maka dia hanya boleh untuk satu periode masa bakti. Penjelasannya, seseorang yang pernah menjabat wagub, wabup dan wakil walikota pada hakikatnya telah menjadi (bagian yang terpisahkan dari) kepala daerah karena pada saat Pilkada mereka satu kotak pilihan suara, satu suara pemilih adalah milik berdua.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan
Pada tahun 2007

Tuesday, November 20, 2012

Menyelamatkan Uang Rakyat


Ekperience is the best teacher, pengalaman adalah guru yang terbaik. Banyak orang setuju akan pepatah Eropa ini karena pengalaman adalah merupakan kisah yang nyata peristiwa yang telah terjadi pada diri kita maupun yang dialami orang lain. Dalam takaran lebih besar Nusantara beserta isinya merupakan bangsa yang sangat kenyang akan pengalaman dalam bidang apapun, ironisnya kita termasuk kedalam yang tidak mau berguru pada pengalaman. Berulang-ulangnya kecelakaan pesawat terbang dan kereta api, déjà vu penembakan rakyat oleh aparat, dan terus-menerusnya praktek korupsi serta makin membludaknya penghuni Lapas Cipinang membuktikan sangat bandelnya bangsa ini.
Dengan alasan kemajuan zaman dan haik teihgnologi (logat Pak Habibie) banyak visioner di negeri ini telah sampai memikirkan hidup di planet lain yang bagi mayoritas rakyat itu hanya fiksi. Tanpa disadari elit pimpinan kita terlalu jauh merantau dan hidup dengan kemewahan menghambur-hamburkan uang meninggalkan rakyat di desa primitif dalam kekurangan sandang dan pangan.
Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Memenuhi tuntutan reformasi kita telah mencurahkan banyak energi untuk mengoperasi tumor korupsi dari perut bumi Indonesia, tidak sedikit peraturan perundang-undang, Institusi, Aparatur dan biaya yang dikeluarkan untuk proyek tersebut, tetapi bukannya sembuh malahan tumor tersebut makin menggerogoti uang rakyat Indonesia. Sejak tahun 1971 kita telah memproduksi tidak kurang 45 buah peraturan perundangan berkait dengan korupsi yaitu 1 Tap MPR, 22  Undang-Undang, 1 Perpu, 6 Peraturan Pemerintah, 1 Kepres, 1 Perda, 1 Permenteri, 7 Keputusan Mahkamah Konstitusi, bisa dibayangkan besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk itu.
Jika ditinjau secara hukum dagang, menghabiskan uang untuk menyelamatkan uang adalah pekerjaan yang sia-sia karena jangankan dapat untung balik modal pun tidak, bukti konkritnya uang yang berhasil diselamatkan Timtas Tipikor tidak seberapa dibandingkan dengan uang yang hilang pada kasus korupsi yang terjadi pada selama masa tugas tim tersebut. Atau jumlah uang dihabiskan dan yang diselamatkan oleh gugus tugas pemberantasan korupsi lainnya tidak membuat jumlah total uang hilang makin berkurang.
Rendahnya pengalaman nilai-nilai religius, pemahaman adat budaya sebagai orang timur yang bermalu dalam arti sebagai orang berpendidikan tinggi (Doktor dan Profesor) membuat praktek korupsi berjalan mulus. Pimpinan yang bergelar pasca sarjana, tokoh adat, baru pulang dari tanah suci, rajin ketempat ibadah ternyata tidak menjamin untuk tidak melakukan korupsi.
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai orang yang paling dipercaya rakyat pun telah pernah mencoba meracik dan memasarkan resep anti korupsi yaitu Inpres nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Intruksi Presiden tersebut ibarat obat yang harus dimakan atau ditelan bulat-bulat oleh para elit pimpinan Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Gubernur, Bupati dan Walikota agar virus korupsi tidak lagi menjalar kemana-mana.
Dari 12 macam obat pada resep Presiden tersebut ada salah satu yang jika dimakan setiap elit pemimpin maka korupsi tidak akan mewabah seperti saat ini yaitu sebagaimana tercantum pada poin ketujuh yang intinya pola hidup sederhana dan hemat. Sayangnya, dosis obat resep Presiden terlalu rendah hanya berupa intruksi sehingga hampir 3 tahun berlalu belum juga memberikan kemajuan dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi.


Pemimpin Yang Hemat
Jika kita mau bertanya kepada anak-anak Sekolah Dasar kenapa orang jadi miskin atau bagaimana caranya supaya kaya? Jawabannya pasti seperti yang diajarkan pak guru dan bu guru atau yang tertulis pada dinding sekolah Boros Pangkal Miskin, Hemat Pangkal Kaya. Seharusnya para pemimpin kita menutup muka-merasa malu, karena belum juga mampu memberantas korupsi dan memerangi kemiskinan. Kita terlalu memikirkan hal-hal atau cara-cara yang luar biasa untuk memberantas korupsi padahal korupsi itu sendiri disebabkan oleh hal sederhana yakni pola hidup boros, contohnya dalam membuat anggaran belanja kita bertumpu pada pinjaman, kita tidak mau berbelanja sesuai uang ada di kantong kita.
Para tersangka, terdakwa dan narapidana kasus korupsi yang notabene adalah para pejabat, berpangkat tinggi, orang yang telah kaya membuktikan bahwa pelaku korupsi itu adalah para pemimpin. Kuatnya budaya paternalistik pada bangsa kita membuat perbuatan korupsi terjadi bak air sungai mengalir, jika dihulu orang korupsi maka sampai kehilir orang akan melakukan hal yang sama. Oleh karena itu kita butuh pemimpin (orang yang berada di hulu) sekaliber Khalifah atau Paus yang titahnya dijalankan tanpa reserve, yang omongannya laksana undang-undang dan prilakunya jadi petunjuk pelaksana. Orang yang memiliki kemampuan menghimbau bawahannya untuk bertindak yang baik dan menjauhi perbuatan yang jelek.
Intruksi atau regulasi apapun yang dikeluarkan pemerintah untuk memberantas korupsi akan menjadi mujarab apabila disikapi sebagai sebuah pedoman tingkah laku oleh para aparatur dan diiringi kerelaan bergaya hidup sederhana dan hemat dimulai dari lingkungan Kepala Pemerintah, para Menteri, pimpinan TNI, dan pimpinan lembaga pemerintah lainnya. Melihat milyaran bahkan triliyunan rupiah uang rakyat yang hilang karena perilaku boros (korupsi) sudah sepatutnya para pemimpin untuk memulai hidup sederhana dan hemat, karena hanya dengan cara berhemat kita bisa kaya yang pada gilirannya menghentikan pemborosan yang mengakibatkan jutaan orang rakyat kita menjadi miskin.
Life style para pemimpin mempunyai efek yang kuat terhadap orang yang dipimpinnya, misalnya ketika ia hanya memakai mobil dinas seharga 200 juta rupiah niscaya bawahannya tidak akan berani memakai mobil dinas yang harganya Milyaran Rupiah. Atau membuat daftar belanja (APBN-APBD) tanpa bersumber dari pinjaman yang tidak besar pasak dari tiang, masih dianggarkan tetapi sudah minus alias tekor, lucunya masih juga bisa dikorup.

Tuesday, November 13, 2012

Gamawan Menabur Benih Politik



Hari Jumat kemarin pada saat menyaksikan acara Deklarasi Pasangan SBY Boediono melalui siaran langsung di televisi sebagaian dari kita “urang awak” mungkin merasa suprise ketika Gamawan Fauzi yang notabene Gubernur Sumatera Barat tampil beperan sebagai deklarator. Dan sebagian dari kita secara emosional tentu bangga melihat Gubernur Sumbar dekat dengan Presiden RI atau ada yang menilai Gamawan pintar membaca situasi dan mengambil kesempatan. Bahkan ada yang menilai langkah yang diambil Gamawan tersebut merupakan pilihan yang tepat dan menguntungkan bagi Sumatera Barat.
Tetapi, juga tidak sedikit yang kecewa dan berpendapat seharusnya Gamawan tidak hadir apalagi beberan sebagai pembaca naskah deklarasi, karena sulit untuk menghilangkan sosok Gamawan Fauzi sebagi seorang Pemimpin Ranah Minang walaupun kehadirannya bukan dalam kapasitas sebagai Gubernur atau mewakili seluruh rakyat Sumbar.
Kehadiran Gamawan secara personal bagaimanapun juga dapat menggiring opini publik bahwa masyarakat Sumatera Barat akan mendukung pasangan Capres/Cawapres “SBY Berbudi” pada Pilpres nanti (?). Lain halnya dengan kehadiran Djufri (walikota Bukittinggi) dimana ia juga menjabat sebagai Ketua DPD partai Demokrat Sumbar.
Sebagai gambaran, H. Gamawan Fauzi, SH, MM adalah Gubernur Sumatera Barat periode 2005 s/d 2010 yang bersama wakilnya Prof. H. Marlis Rahman (dikenal dengan Gama)meraih 757.256 suara pemilih (41.50%) pada Pilkada tahun 2005 Pasangan Gama mengalahkan 4 pasangan Cagub dan Cawagub Sumbar lainnya walaupun waktu itu Gama hanya diusung oleh gabungan beberapa Partai Politik diantaranya PDIP dan PBB yang sewaktu Pemilu Legislatif 2004 tidak memperoleh suara yang singnifikan di tingkat Provinsi Sumatera Barat. Dapat disimpulkan kemenangan Pasangan Gama dalam Pemilihan langsung Gubernur Sumbar karena Figur Gamawan Fauzi yang dikenal sebagai sosok Kepala Daerah yang sukses.
Artinya
Gawaman dikenal bukanlah sebagai tokoh politik yang malang melintang sebagai pengurus atau fungsionaris partai politik walaupun telah 3 kali memenangi pertarungan politik (2 kali terpilih sebagai Bupati Solok). Ia lebih dikenal sebagai seorang birokrat ulung atau juga sebagai sorang pamong senior.
Terlepas dari diajak atau sengaja merapat ke SBY dan tidak diajak oleh pasangan lainnya. Bagaimanapun juga kehadiran Gamawan dan berperan sebagai juru bicara koalisi pendukung ataupun Pasangan SBY-Boediono bisa dikatakan bahwa ia telah “menabur benih politik” yang konsekuensinya bisa saja sebuah blunder politik karena tideak bersikap netral terhadap pasangan Capres-Cawapres lainnya. Dalam politik semua kemungkingan bisa terjadi dan sampai saat ini tidak ada yang bisa menjamin pasangan mana yang akan memenangi Pilpres nanti. Kalau yang menang SBY-Boediono tentu saja Gamawan akan menuai hasil dari benih politik yang ia tanam, mungkin saja jabatan sebagai Gubernur akan berganti menjadi Mentgeri atau jabatan prestisius lainnya di Jakarta.
Bagaimana jika SBY-Boediono kalah dan yang menang JK-Wiranto atau Mega-Prabowo? Kita tidak bisa bayangkan sindiran politik yang keluar dari Jusuf Kalla “Rang Sumando Awak” atau dari Megawati yang suaminya juga mempunyai sisilah keturunan dengan Ranah Minang. Rasanya tidak tepat kalau pilihan Gamwan dilakukan demi masyarkat Minangkabau dan Sumatera Barat karena jika dilihat dari ranji atau sissilah SBY-Boediono tidak ada sangkut pautnya dengan Ranah Minang.
Dan kalau motivasinya jabatan Menteri, tanpa menghadiri dan berperan nyata pada acara tesebut pun akan didapatkan oleh Gamawan Fauzi karena secara kualitas Gamawan memang layak naik kelas. Lagi pula Azwar Anas maupun Hasan Basri Durin telah membuktikan bahwa biasanya setelah jadi Gubernur Smatera Barat karir akan berlanjut menjadi Menteri. Benih Poltik bisa menghasilkan karir yang cepat melejit dan sebaiknya juga membuat karir merosot tajam, siapkah Gamawan akan hal itu?

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan
edisi Senin tanggal 18 Mei 2009, Hal 3

Monday, November 12, 2012

Bergudul


Keras Kepala! itulah gambaran sikap Pemerintah dan orang orang di daerah. Banyaknya konflik yang terjadi ketika Pemilihan Kepala Daerah belakangan ini ternyata cukup mengusik nurani BK untuk terus menulis, apalagi BK juga dengar banyak sekali keluhan mengenai Korupsi yang kian merajalela. BK mencoba menulis untuk menbantu anda-anda melihat Otonomi di Zaman Orde Baru dengan otonomi di Zaman Reformasi (Otoda Kabupaten/Kota) dari visi BK.
Perbedaan-perbedaan yang sangat menonjol antara Doeloe dengan sekarang (BK sengaja menyeut demikian karena tidak tahu persis nomor dan tahun UU) adalah :
Doeloe yang disebut Pemerintah Daerah (Pemda) adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sedangkan Sekarang adalah hanya Kepala Daera.
Doeleo yang bertanggungjawab atas berhasil tidaknya pembangunan adalah Kepala Daerah dan juga DPRD, sedangkan sekarang tanggungjawab itu hanya pada Bupati/Walikota yang dinilai oleh DPRD.
Doeleo tidak ada Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) tahunan Bupati/Wako
Doeloe secara hirarki Bupati/Walikota adalah Bawahan dari Gubernur sehingga kebijaksanaan dari atas bisa cepat sampai dan dilaksanakan Bupati/Walikota, sekarang Bupati/Walko lebih berkuasa daripada Gubernur karena Gubernur tidak mempunyai wilayah sedangkan Bupati/Walko punya.
Doeleo Bupati/Walko “sesungguhnya” dipilih oleh Pemerintah Pusat sedangkan sekarang sepenuhnya ditentukan oleh DPRD.
Dari Perbedaan-perbedaan tersebut maka akan muncul-muncul persoalan seperti saat ini :
Anggota DRPD tidak mempunyai tanggungjawab secara moral karena secara formal tidak ada aturan yang mewajibkan mereka memberikan laporan pertanggungjawaban.
LPJ dan Pemilihan Bupati/Walko membuka kesempatan/peluang terjadinya Suap Menyuap.
Menjelang penyampaian LPJ Bupati/Wako akan muncul komentar-komentar dari Anggota DPRD yang umumnya mengindikasikan akan adanya penolakan LPJ, padahal hal tersebut merupakan pancingan agar Bupati/Wako “mendekati” mereka dan memberikan sesuatu supaya LPJ mulus diterima.
Kuatnya Posisi DPRD membuat mereka bisa “menyedot APBD” untuk kepentingan DPRD, bahkan prosentasenya sangat signifikan dari Anggaran untuk kepentingan yang lebih penting.
Gubernur kehilangan fungsi untuk mengontrol jalannya pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.
Bupati/Wako bisa dengan seenaknya melakukan “sesuatu” apakah itu bepergian tanpa izin dari Gubernur.
Munculnya Perda-perda yang bersemangat primodialisme/kedaerahan sehingga membuat daerah menjadi Negara dalam Negara.
Keadaan-keadaan atau permasalahan doeloe:
Pemilihan Bupati/Wako selalu “ditentukan” oleh Pemerintah Pusat sehingga cenderung Bupati/Wako “didatangkan/dititipkan” oleh Pusat dan cenderung adalah orang-orang yang tidak dikenal oleh Masyarakat di Daerah.
Tidak ada keseimbangan antara dana hasil daerah yang “disetor” ke pusat dengan dana yang “dikembalikan” ke Daerah.
Daerah selalu merasa dieksplokitisir oleh Pemerintah Pusat.
Dari sekian banyak permasalahan yang timbul, BK melihat masalah terbesar adalah Krisis Kepercayaan terhadap Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah dan Rakyat di Daerah (Anggota DPRD) tidak mau lagi mengikuti “petunjuk” ataupun “saran” yang diberikan oleh Pemerintah Pusat baik melalui Produk Undang-undang maupun dalam bentuk lain. Mereka menganggap setiap Petunjuk dan Saran tersebut adalah taktik Pemerintah Pusat untuk mengebiri Daerah Otonom.
Tetapi yang lucunya, jika terjadi perselisihan dalam Pemilihan Kepala Daerah maka mereka  mengatakan akan menyerahkan persoalan kepada Pemerintah Pusat (Depdagri), dan ketika Mendagri mengambil suatu “Kebijaksanaan” maka kebijaksanaan tersebut tidak mereka laksanakan. Padahal ketika akan meminta petunjuk mereka telah sepakat untuk menerima dan melaksanakan kebijaksanaan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat seberapapun pahitnya.
Otonomi ternyata membuat Pemda dan DPRD menjadi Besar Kepala dan akhirnya berubah menjadi Bergudul. Keleluasaan mengelola daerah beserta uangnya membuat para Kepala Daerah dan Anggota DPRD menjadi konglomerat ditengah-tengah penderitaan rakyatnya, bahkan Gubernurpun dibuat iri dan jengkel. Bupati/Wako atau DPRD bisa kapan saja untuk berpergian kemana saja tanpa pamit kepada Gubernur. Alasan Bupati/Wako… tidak ada aturan yang mengharuskan kami minta izin dan Gubernur bukan atasan kami.
BK juga melihat bahwa banyak persepsi yang salah mengenai Otonomi, mereka menganggap bahwa tanggung jawab mereka semata hanya mengurusi daerahnya tak peduli dengan daerah lain bahkan tidak peduli dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semangat kedaerahan telah menjadi pemicu timbulnya Negara dalam Negara, mereka mengurus keuangan sesuka hatinya, membuat aturan tanpa mempedulikan peraturan, mendudukkan pejabat tanpa pertimbangan profesionalisme, sangat banyak kesalahan yang terjadi.
Walaupun begitu bukan tidak ada cara untuk membenahinya, dan yang pertama sekali haruslah dari Kepala Derah itu sendiri karena dia merupakan “Raja” di daerahnya. Dibutuhkan seorang Raja yang sabar, jujur dan bersih. Sabar dalam mempersiapkan rencana pembangunan yang matang, tidak terburu-buru sehingga tidak menimbulkan dampak buruk dari kebijaksanaan yang diambilnya. Jujur, bersikap terus terang mengenai kondisi manajemen dan keuangan daerah, dan bersih dalam menjalankan tugas,tidak mau menerima pemberian/imbalan apapun dalam bentuk uang, fasilitas ataupun dalam bentuk lain kecuali hak yang telah diatur oleh peraturan. Sikap-sikap tersebut sangat diperlukan agar Pemda bisa menegakkan aturan hukum tanpa konpromi. Jangan hanya karena sering diberikan angpao atau Tiket Pesawat dan Fasilitas Akomodasi oleh seseorang atau suatu Perusahaan, orang atau perusahaan tersebut tidak ditindak walau telah jelas-jelas melanggar peraturan.
Untuk memulai sesuatu hal diperlukan komitmen dan dalam pelaksanaannya diperlukan sikap yang konsisten. Memang selalu kita dengar Komitmen dari Bupati/Wako atau pejabat-pejabat yang baru dilantik untuk memberantas Korupsi, tetapi setelah menjabat mereka tak pernah lagi menyebut-nyebut komitmen tersebut karena mereka memang tidak melaksanakannya.
Dan mereka malah cenderung mengaburkan penafsiran korupsi tersebut dengan jumlah, mereka selalu menyebutkan “hanya” untuk angka-angka yang tidak sampai puluhan milyar rupiah. Padahal walaupun itu hanya Rp. 100.000,- tetap saja korupsi namanya jika diperoleh dengan tidak benar. Dan mereka karena alasan gaji yang kecil atau dana operasional yang terbatas menyatakan “terpaksa” meminta dana kepada pihak lain yang seharusnya tidak boleh. Karena alasan-alasan tersebut maka praktek-praktek korupsi menjadi terang-terangan dan pada gilirannya mental korup tersebut menjadi sesuatu yang lumrah.
Saat ini kita seakan sudah terbisa melihat seseorang yang berubah drastis mendadak kaya setelah menduduki jabatan tertentu padahal kita tahu Gajinya berapa. Dan begitu juga mereka yang korup, mereka seakan tak bersalah dan lebih parahnya merasa tak berdosa telah “mendadak jadi kaya” karena dalam fikirannya tertanam… ah semua pejabat begitu.
Dan mungkin suatu saat nanti orang tidak lagi menganggap sakral kata “K-O-R-U-P-S-I” karena sudah menjadi kebiasaan dan lumrah dilakukan semua orang. Kalau suatu lingkungan sudah menganggap hal tersebut tidak terlarang maka yang sesungguhnya salah pun menjadi benar. Apalagi pembenaran kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan mempunyai jabatan. Kita tentu masih ingat ketika para tokoh dan orang pintar di Jakarta yang tidak suka Megawati jadi Presiden mengeluarkan Fatwa “Haram Perempuan Jadi Pemimpin” tetapi kemudian ketika Megawati mau tidak mau harus jadi Presiden juga, maka mereka bersedia dikangkangi Perempuan asal dapat jabatan.
Akhirnya BK mengajak kita semua untuk terus berjuang untuk menegakkan kebenaran, kebenaran yang menurut hati kita tidak bisa diingkari. Semoga.