Hari Jumat
kemarin pada saat menyaksikan acara Deklarasi Pasangan SBY Boediono melalui
siaran langsung di televisi sebagaian dari kita “urang awak” mungkin merasa suprise ketika Gamawan Fauzi yang
notabene Gubernur Sumatera Barat tampil beperan sebagai deklarator. Dan
sebagian dari kita secara emosional tentu bangga melihat Gubernur Sumbar dekat
dengan Presiden RI atau ada yang menilai Gamawan pintar membaca situasi dan
mengambil kesempatan. Bahkan ada yang menilai langkah yang diambil Gamawan
tersebut merupakan pilihan yang tepat dan menguntungkan bagi Sumatera Barat.
Tetapi, juga
tidak sedikit yang kecewa dan berpendapat seharusnya Gamawan tidak hadir
apalagi beberan sebagai pembaca naskah deklarasi, karena sulit untuk
menghilangkan sosok Gamawan Fauzi sebagi seorang Pemimpin Ranah Minang walaupun
kehadirannya bukan dalam kapasitas sebagai Gubernur atau mewakili seluruh
rakyat Sumbar.
Kehadiran
Gamawan secara personal bagaimanapun juga dapat menggiring opini publik bahwa
masyarakat Sumatera Barat akan mendukung pasangan Capres/Cawapres “SBY Berbudi” pada Pilpres nanti (?).
Lain halnya dengan kehadiran Djufri (walikota Bukittinggi) dimana ia juga
menjabat sebagai Ketua DPD partai Demokrat Sumbar.
Sebagai gambaran,
H. Gamawan Fauzi, SH, MM adalah Gubernur Sumatera Barat periode 2005 s/d 2010
yang bersama wakilnya Prof. H. Marlis Rahman (dikenal dengan Gama)meraih
757.256 suara pemilih (41.50%) pada Pilkada tahun 2005 Pasangan Gama
mengalahkan 4 pasangan Cagub dan Cawagub Sumbar lainnya walaupun waktu itu Gama
hanya diusung oleh gabungan beberapa Partai Politik diantaranya PDIP dan PBB
yang sewaktu Pemilu Legislatif 2004 tidak memperoleh suara yang singnifikan di
tingkat Provinsi Sumatera Barat. Dapat disimpulkan kemenangan Pasangan Gama
dalam Pemilihan langsung Gubernur Sumbar karena Figur Gamawan Fauzi yang
dikenal sebagai sosok Kepala Daerah yang sukses.
Artinya
Gawaman dikenal bukanlah sebagai tokoh politik yang malang melintang sebagai
pengurus atau fungsionaris partai politik walaupun telah 3 kali memenangi
pertarungan politik (2 kali terpilih sebagai Bupati Solok). Ia lebih dikenal
sebagai seorang birokrat ulung atau juga sebagai sorang pamong senior.
Terlepas dari
diajak atau sengaja merapat ke SBY dan tidak diajak oleh pasangan lainnya.
Bagaimanapun juga kehadiran Gamawan dan berperan sebagai juru bicara koalisi
pendukung ataupun Pasangan SBY-Boediono bisa dikatakan bahwa ia telah “menabur benih politik” yang
konsekuensinya bisa saja sebuah blunder politik karena tideak bersikap netral
terhadap pasangan Capres-Cawapres lainnya. Dalam politik semua kemungkingan
bisa terjadi dan sampai saat ini tidak ada yang bisa menjamin pasangan mana
yang akan memenangi Pilpres nanti. Kalau yang menang SBY-Boediono tentu saja
Gamawan akan menuai hasil dari benih politik yang ia tanam, mungkin saja
jabatan sebagai Gubernur akan berganti menjadi Mentgeri atau jabatan prestisius
lainnya di Jakarta.
Bagaimana
jika SBY-Boediono kalah dan yang menang JK-Wiranto atau Mega-Prabowo? Kita
tidak bisa bayangkan sindiran politik yang keluar dari Jusuf Kalla “Rang Sumando Awak” atau dari Megawati
yang suaminya juga mempunyai sisilah keturunan dengan Ranah Minang. Rasanya
tidak tepat kalau pilihan Gamwan dilakukan demi masyarkat Minangkabau dan
Sumatera Barat karena jika dilihat dari ranji atau sissilah SBY-Boediono tidak
ada sangkut pautnya dengan Ranah Minang.
Dan kalau
motivasinya jabatan Menteri, tanpa menghadiri dan berperan nyata pada acara
tesebut pun akan didapatkan oleh Gamawan Fauzi karena secara kualitas Gamawan
memang layak naik kelas. Lagi pula Azwar Anas maupun Hasan Basri Durin telah
membuktikan bahwa biasanya setelah jadi Gubernur Smatera Barat karir akan
berlanjut menjadi Menteri. Benih Poltik bisa menghasilkan karir yang cepat
melejit dan sebaiknya juga membuat karir merosot tajam, siapkah Gamawan akan
hal itu?
Catatan :
Tulisan ini dimuat di
Harian Haluan
edisi Senin tanggal 18 Mei
2009, Hal 3
Pak Tua nan Bakupiah Tinju tu, Nyiak Wali dima tu da Kom????
ReplyDeleteSuhu uda nan di gunuang kawi tu...
ReplyDelete