Belakangan Gempa sudah menjadi momok
yang sangat menakutkan bagi masyarakat kita, goyang sedikit semua pada
berhamburan keluar rumah, ke luar gedung menghindar agar tidak tertimpa
bagunan. Fenomena ini disebabkan bahwa kita tidak mempercayai bangunan-bangunan
yang ada sekarang, padahal semua itu di rancang oleh para arsitektur yang telah
bersekolah tinggi dengan menggunakan bahan beton, semen dan besi. Bagaimana
tidak, jangankan rumah penduduk, Rumah Bagonjong Kantor Gubernur Sumatra Barat
yang dibangun dengan biaya besar itu terancam ambruk, membuat semua pegawai
termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur tidak lagi nyaman di dalamnya.
Mengingat daerah kita yang rawan Gempa,
inyiak moyang urang awak telah mengantisipasinya dengan membuat bangunan berupa
Rumah Gadang yang dilukiskan dengan kata-kata Rumah Gadang sambilan ruang,
salanjo kudo manari, sapakiak budak maimbau, sajariah kubin malayang, gonjong
rabuang mambasuik, parabuangannyo si ulu gerang, jariahnyo puyuah balari, tiang
panjang maharajo lelo.
Walaupun tegaknya tidak vertikal dan
terlihat mudah roboh, Rumah Gadang sangat tahan terhadap guncangan gempa maupun
terpaan angin puting beliung. Para insinyur bangunan-bangunan Minang tempo
doeloe telah merancang bangunan sesuai dengan kondisi alam, bukan sekedar
pemanfaatan apa yang ada pada waktu itu, tetapi sesuai dangan teori urang awak
“bakarano bakajadian”, tidak mempergunakan paku bukan karena sekedar karena
belum ada paku waktu itu tetapi karena dengan menggunakan “pasak” yang
berfungsi sebagai engsel bangunan menjadi fleksibel ketika gempa mengguncang.
Sayangnya karya monumental tersebut
hanya kita sikapi sebagai sebuah warisan seni bukan sebagai wasiat, kita hanya
membuat Rumah Gadang untuk museum sejarah tempat bernostalgia. Kita hanya
meniru-niru “gonjong”nya pada bagunan-bangunan kantor, halte bus dan gerbang
pagar. Kita tidak pernah mau untuk menggali dan mengkaji, baa kok bagonjong?
Baa kok tiangnyo indak ditanam ka dalam tanah?
Salah satu pesan penting dari permukaan
dinding depan Rumah Gadang penuh dengan ukiran-ukiran yaitu “Alam Takambang
Jadi Guru”. Untuk jika akhirnya Kantor Gubernur kita memang benar-benar ambruk,
hendaknya dimaknai bukan sebagai runtuhnya sebuah bangunan gedung, tatapi
sebagai sebuah peringatan bahwa kita telah salah menjalankan “wasiat”.
Kita bangga menjadi orang Minangkabau,
karena adat budaya dan alamnya sangat indah tiada duanya di dunia ini sehingga
banyak di kunjungi banyak turis. Tetapi kita meniggalkan semua apa yang dikagumi
orang lain itu, kita tidak lagi seperti orang Minang, bertutur, berpakaian,
bergaul, bermasyarakat, daerah kita tidak lagi mencerminkan Ranah Minang. Tak
ada lagi Rumah Gadang Bagonjong Limo kecuali di “Kebun Bintang” Bukittinggi dan
di Minang Village Padang Panjang. Tak ada lagi pasar tradisional, tak ada lagi
amai-amai yang manggaleh karena semua berubah jadi Mall dengan pelayan
gadis-gadis muda yang cantik. Kita tidak sadar telah terbuai dengan mimpi hidup
di masa depan, kita merasa malu dengan semua pernak-pernik Tradisional Kuno
Minangkabau.
Tidak cukup kuatkah gempa kemarin
membuat kita sadar untuk kembali ke khittah Minangkabau?.
No comments:
Post a Comment