Pertarungan antara Josrizal Zain dan Benny
Mukhtar untuk merebut posisi Walikota Payakumbuh periode 2007-2012 dan juga sama-sama majunya Fauzi Bahar dan Yusman Kasim sebagai Calon
Walikota (Cawako) Padang periode 2008-2013, telah memberikan pelajaran
demokrasi yang buruk kepada rakyat. Bagaimana tidak, pasangan yang dulunya
basandiang sebagai Walikota dan Wakil Walikota, kini malah batandiang untuk
memperebutkan BA 1 di daerah tersebut. Di sisi lain, jarang ditemui ada
pasangan yang pernah jadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih,
dilantik, disumpah dan menjalankan tugas sampai akhir masa baktinya, pada
pemilihan berikutnya kembali berpasangan.
Meskipun jarang ditelusuri pers dan dipublikasikan media
massa, konflik Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah merupakan fenomena umum yang
terjadi hampir disemua daerah di Indonesia. Bahkan di Jawa Barat perselisihan
antara Walikota Cimahi Itoc Tochija dengan Wakil Walikota Dedih Djunaedi (masa
bakti 2002-2007) berujung sampai diajukannya gugatan kepengadilan oleh Sang
Wakil Walikota. Di Sumatera Barat sudah jadi rahasia umum dan jadi ota di lapau-lapau
bahwa banyak pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sapayuang balain hati, masing-masing
punya poros politik tersendiri.
Sejarah perselisihan antara Kepala (pemerintahan) dengan
Wakilnya dimulai dengan retaknya hubungan Dwi-Tunggal Proklamator
Soekarno-Hatta karena perbedaan idealisme. Soekarno mengatakan revolusi belum
selesai, Hatta mengatakan selesai dan masanya untuk membangun. Hatta pun mundur
dan Bung Karno memerintah tanpa Wakil Presiden sampai kejatuhannya.
Pada zaman Orde Baru, memang tidak pernah terlihat ada
perbedaan paham antara Presiden Soeharto dengan para wakilnya (wapres), dari
Hamengku Buwono IX hingga Habibie. Tetapi keberadaan Soeharto yang dominan
membuat posisi Wapres tidak lebih sebagai simbol demokrasi. Ketika reformasi
bergulir kursi Wapres pun dipandang sebagai kompensasi dari tawar-menawar
koalisi politik.
Menurut peraturan perundang-undang posisi Wakil Kepala Daerah
memang tidak jelas, bahkan dalam konstitusi UUD 1945 tidak ada disebut tentang
Wakil Kepala Daerah atau Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota. Yang
ada hanya Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai kepala pemerintahan daerah
Propinsi, Kabupaten dan Kota, dipilih secara demokratis (pasal 18 ayat 4, hasil
amandemen kedua). Kecuali oleh UU No. 32 tahun 2004 pasal 56 ayat yang
menyatakan : Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan
calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil. Selanjutnya oleh Pasal 26 dijelaskan bahwa
Wakil Kepala Daerah bertugas membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan
pemerintah daerah, mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal, menindak
lanjuti laporan/temuan hasil pengawasan, memantau dan mengevaluasi tugas
dipemerintahan di kecamatan, memberikan saran dan pertimbangan, dan menjalankan
tugas kalau Kepala Daerah berhalangan. Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Kepala
Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
Lemahnya posisi tersebut membuat banyak Wakil Kepala Daerah
tidak merasa cukup puas ketika telah menjabat/menjadi Wagub, Wapub atau Wawako.
Hal ini terungkap pada acara Lokakarya dan Pertemuan Nasional (LPN) para Wakil
Kepala Daerah se-Indonesia di Bengkulu pada bulan Juni kemarin, yang
menghasilkan rekomendasi agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut.
Kepala Daerah sendiri cenderung memperlakukan wakilnya hanya sebagai
“pembantu” yang pada gilirannya jadi korban dari kebijakan-kebijakan yang ada
pada daerah tersebut. Dari segi wewenang dan alokasi anggaran Wakil Kepala
Daerah mendapat porsi yang jauh lebih kecil, untuk urusan-urusan penting wakil
sering tidak diikutsertakan bahkan dilimpahkan kepada pejabat Eselonering
Sekretaris Daerah atau Kepala Dinas.
Jika timbul masalah, misalnya ada demonstrasi masyarakat atas
kebijakan pemerintah baru wakil diberi tugas, ibarat bumper atau dijadikan
tameng. Akibat dari hal tersebut muncul opini bahwa wakil tidak mempunyai peran
dan kegiatannya tidak teragenda dengan baik sehingga aktifitasnya tidak
menentu.
Dimata masyarakat secara de facto Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah bukanlah 2 (dua) orang yang berbeda tingkat melainkan satu paket,
dwitunggal, sejajar yang mempunyai visi dan misi sama. Pada saat proses Pilkada
mereka berdua telah memberikan mahar berupa komitmen akan membangun lebih baik,
meningkatkan kesejahteraan, menciptakan pemerataan dan janji manis lainnya.
Untuk itu sebagai perlunasan hutang janji kepada masyarakat
diperlukan konsitensi sikap pasangan tersebut sebagaimana ketika sama-sama
sehilir semudik pada saat kampanye. Menyamakan persepsi dan orientasi adalah
hal mutlak yang harus dilakukan setiap pasangan Kepala Daerah karena secara
aturan sulit dirumuskan pembagian tugas masing-masing. Mereka harus sehati
sepikir seia sekata, berat sama dipikul rigan sama dijinjing karena
keberhasilan maupun kegagalan seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab berdua.
Komunikasi yang lancar dan sikap saling mempercayai akan membuat terjadinya
keseimbangan dalam pelaksanaan wewenang dan kebijakan, tidak perlu ditampilkan
siapa yang lebih berkuasa atau tidak berkuasa. Yang jelas, seorang wakil tetap
seorang wakil yang tidak bisa melampaui wewenang Kepala Daerah, begitu juga
sebaliknya sejak era reformasi tidak berlaku lagi pradigma Kepala Daerah
sebagai penguasa tunggal di wilayahnya.
Meski oleh regulasi yang berlaku saat ini tidak diatur secara
tegas dan jelas, posisi Wakil Kepala Daerah sangat vital dalam mengambil
kebijakan politis (menyangkut publik) karena pelaksanaan otonomi daerah masih
dalam tahap percobaan dimana permasalahannya sangat komplek yang sulit untuk
dihandle sendiri oleh Kepala Daerah. Untuk itu wacana agar meniadakan jabatan
wakil kepala daerah adalah merupakan langkah keliru dan sama saja degan
mengembalikan demokrasi ke zaman seperti orde baru.
Kalau pun harus memperbaiki aturan main, maka sebaiknya
seseorang hanya boleh menjabat sebagai Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala
Daerah untuk dua kali jabatan. Seseorang pernah menjadi wakil jika suatu saat
terpilih jadi kepala daerah maka dia hanya boleh untuk satu periode masa bakti.
Penjelasannya, seseorang yang pernah menjabat wagub, wabup dan wakil walikota
pada hakikatnya telah menjadi (bagian yang terpisahkan dari) kepala daerah
karena pada saat Pilkada mereka satu kotak pilihan suara, satu suara pemilih
adalah milik berdua.
Catatan :
Tulisan ini dimuat di
Harian Haluan
Pada tahun 2007
Terimakasih pak infonya, membantu saya :D
ReplyDelete