Monday, November 12, 2012

Bergudul


Keras Kepala! itulah gambaran sikap Pemerintah dan orang orang di daerah. Banyaknya konflik yang terjadi ketika Pemilihan Kepala Daerah belakangan ini ternyata cukup mengusik nurani BK untuk terus menulis, apalagi BK juga dengar banyak sekali keluhan mengenai Korupsi yang kian merajalela. BK mencoba menulis untuk menbantu anda-anda melihat Otonomi di Zaman Orde Baru dengan otonomi di Zaman Reformasi (Otoda Kabupaten/Kota) dari visi BK.
Perbedaan-perbedaan yang sangat menonjol antara Doeloe dengan sekarang (BK sengaja menyeut demikian karena tidak tahu persis nomor dan tahun UU) adalah :
Doeloe yang disebut Pemerintah Daerah (Pemda) adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sedangkan Sekarang adalah hanya Kepala Daera.
Doeleo yang bertanggungjawab atas berhasil tidaknya pembangunan adalah Kepala Daerah dan juga DPRD, sedangkan sekarang tanggungjawab itu hanya pada Bupati/Walikota yang dinilai oleh DPRD.
Doeleo tidak ada Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) tahunan Bupati/Wako
Doeloe secara hirarki Bupati/Walikota adalah Bawahan dari Gubernur sehingga kebijaksanaan dari atas bisa cepat sampai dan dilaksanakan Bupati/Walikota, sekarang Bupati/Walko lebih berkuasa daripada Gubernur karena Gubernur tidak mempunyai wilayah sedangkan Bupati/Walko punya.
Doeleo Bupati/Walko “sesungguhnya” dipilih oleh Pemerintah Pusat sedangkan sekarang sepenuhnya ditentukan oleh DPRD.
Dari Perbedaan-perbedaan tersebut maka akan muncul-muncul persoalan seperti saat ini :
Anggota DRPD tidak mempunyai tanggungjawab secara moral karena secara formal tidak ada aturan yang mewajibkan mereka memberikan laporan pertanggungjawaban.
LPJ dan Pemilihan Bupati/Walko membuka kesempatan/peluang terjadinya Suap Menyuap.
Menjelang penyampaian LPJ Bupati/Wako akan muncul komentar-komentar dari Anggota DPRD yang umumnya mengindikasikan akan adanya penolakan LPJ, padahal hal tersebut merupakan pancingan agar Bupati/Wako “mendekati” mereka dan memberikan sesuatu supaya LPJ mulus diterima.
Kuatnya Posisi DPRD membuat mereka bisa “menyedot APBD” untuk kepentingan DPRD, bahkan prosentasenya sangat signifikan dari Anggaran untuk kepentingan yang lebih penting.
Gubernur kehilangan fungsi untuk mengontrol jalannya pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.
Bupati/Wako bisa dengan seenaknya melakukan “sesuatu” apakah itu bepergian tanpa izin dari Gubernur.
Munculnya Perda-perda yang bersemangat primodialisme/kedaerahan sehingga membuat daerah menjadi Negara dalam Negara.
Keadaan-keadaan atau permasalahan doeloe:
Pemilihan Bupati/Wako selalu “ditentukan” oleh Pemerintah Pusat sehingga cenderung Bupati/Wako “didatangkan/dititipkan” oleh Pusat dan cenderung adalah orang-orang yang tidak dikenal oleh Masyarakat di Daerah.
Tidak ada keseimbangan antara dana hasil daerah yang “disetor” ke pusat dengan dana yang “dikembalikan” ke Daerah.
Daerah selalu merasa dieksplokitisir oleh Pemerintah Pusat.
Dari sekian banyak permasalahan yang timbul, BK melihat masalah terbesar adalah Krisis Kepercayaan terhadap Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah dan Rakyat di Daerah (Anggota DPRD) tidak mau lagi mengikuti “petunjuk” ataupun “saran” yang diberikan oleh Pemerintah Pusat baik melalui Produk Undang-undang maupun dalam bentuk lain. Mereka menganggap setiap Petunjuk dan Saran tersebut adalah taktik Pemerintah Pusat untuk mengebiri Daerah Otonom.
Tetapi yang lucunya, jika terjadi perselisihan dalam Pemilihan Kepala Daerah maka mereka  mengatakan akan menyerahkan persoalan kepada Pemerintah Pusat (Depdagri), dan ketika Mendagri mengambil suatu “Kebijaksanaan” maka kebijaksanaan tersebut tidak mereka laksanakan. Padahal ketika akan meminta petunjuk mereka telah sepakat untuk menerima dan melaksanakan kebijaksanaan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat seberapapun pahitnya.
Otonomi ternyata membuat Pemda dan DPRD menjadi Besar Kepala dan akhirnya berubah menjadi Bergudul. Keleluasaan mengelola daerah beserta uangnya membuat para Kepala Daerah dan Anggota DPRD menjadi konglomerat ditengah-tengah penderitaan rakyatnya, bahkan Gubernurpun dibuat iri dan jengkel. Bupati/Wako atau DPRD bisa kapan saja untuk berpergian kemana saja tanpa pamit kepada Gubernur. Alasan Bupati/Wako… tidak ada aturan yang mengharuskan kami minta izin dan Gubernur bukan atasan kami.
BK juga melihat bahwa banyak persepsi yang salah mengenai Otonomi, mereka menganggap bahwa tanggung jawab mereka semata hanya mengurusi daerahnya tak peduli dengan daerah lain bahkan tidak peduli dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semangat kedaerahan telah menjadi pemicu timbulnya Negara dalam Negara, mereka mengurus keuangan sesuka hatinya, membuat aturan tanpa mempedulikan peraturan, mendudukkan pejabat tanpa pertimbangan profesionalisme, sangat banyak kesalahan yang terjadi.
Walaupun begitu bukan tidak ada cara untuk membenahinya, dan yang pertama sekali haruslah dari Kepala Derah itu sendiri karena dia merupakan “Raja” di daerahnya. Dibutuhkan seorang Raja yang sabar, jujur dan bersih. Sabar dalam mempersiapkan rencana pembangunan yang matang, tidak terburu-buru sehingga tidak menimbulkan dampak buruk dari kebijaksanaan yang diambilnya. Jujur, bersikap terus terang mengenai kondisi manajemen dan keuangan daerah, dan bersih dalam menjalankan tugas,tidak mau menerima pemberian/imbalan apapun dalam bentuk uang, fasilitas ataupun dalam bentuk lain kecuali hak yang telah diatur oleh peraturan. Sikap-sikap tersebut sangat diperlukan agar Pemda bisa menegakkan aturan hukum tanpa konpromi. Jangan hanya karena sering diberikan angpao atau Tiket Pesawat dan Fasilitas Akomodasi oleh seseorang atau suatu Perusahaan, orang atau perusahaan tersebut tidak ditindak walau telah jelas-jelas melanggar peraturan.
Untuk memulai sesuatu hal diperlukan komitmen dan dalam pelaksanaannya diperlukan sikap yang konsisten. Memang selalu kita dengar Komitmen dari Bupati/Wako atau pejabat-pejabat yang baru dilantik untuk memberantas Korupsi, tetapi setelah menjabat mereka tak pernah lagi menyebut-nyebut komitmen tersebut karena mereka memang tidak melaksanakannya.
Dan mereka malah cenderung mengaburkan penafsiran korupsi tersebut dengan jumlah, mereka selalu menyebutkan “hanya” untuk angka-angka yang tidak sampai puluhan milyar rupiah. Padahal walaupun itu hanya Rp. 100.000,- tetap saja korupsi namanya jika diperoleh dengan tidak benar. Dan mereka karena alasan gaji yang kecil atau dana operasional yang terbatas menyatakan “terpaksa” meminta dana kepada pihak lain yang seharusnya tidak boleh. Karena alasan-alasan tersebut maka praktek-praktek korupsi menjadi terang-terangan dan pada gilirannya mental korup tersebut menjadi sesuatu yang lumrah.
Saat ini kita seakan sudah terbisa melihat seseorang yang berubah drastis mendadak kaya setelah menduduki jabatan tertentu padahal kita tahu Gajinya berapa. Dan begitu juga mereka yang korup, mereka seakan tak bersalah dan lebih parahnya merasa tak berdosa telah “mendadak jadi kaya” karena dalam fikirannya tertanam… ah semua pejabat begitu.
Dan mungkin suatu saat nanti orang tidak lagi menganggap sakral kata “K-O-R-U-P-S-I” karena sudah menjadi kebiasaan dan lumrah dilakukan semua orang. Kalau suatu lingkungan sudah menganggap hal tersebut tidak terlarang maka yang sesungguhnya salah pun menjadi benar. Apalagi pembenaran kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan mempunyai jabatan. Kita tentu masih ingat ketika para tokoh dan orang pintar di Jakarta yang tidak suka Megawati jadi Presiden mengeluarkan Fatwa “Haram Perempuan Jadi Pemimpin” tetapi kemudian ketika Megawati mau tidak mau harus jadi Presiden juga, maka mereka bersedia dikangkangi Perempuan asal dapat jabatan.
Akhirnya BK mengajak kita semua untuk terus berjuang untuk menegakkan kebenaran, kebenaran yang menurut hati kita tidak bisa diingkari. Semoga.

No comments:

Post a Comment