“Penegakan disiplin di daerah ini diyakini dalam waktu dekat akan makan korban”, demikian judul berita si sebuah harian loka beberapa waktu lalu. Ketika melakukan Inspeksi Mendadak (Sidak)
pascalibur bersama kemarin, Sang Bupati mengeluarkan
warning, “Saya tidak main-main, siapa yang mampu akan diserahi tugas dan
tanggungjawab. Yang tidak mampu silahkan minggir atau dipinggirkan!”. Nada berang Bupati Agam itu keluar karena
ketika melakukan sidak ada pejabat struktural (Kepala Dinas, Kabid, dll) yang
tidak berada di kantornya tanpa alasan.
Masalah kedisiplinan terutama
kehadiran PNS merupakan persolanan klasik sejak zaman orde baru dan hingga kini
masih sangat sulit diatasi, sorotan tajam masyarakat mengenai persolanan
kinerja PNS yang tidak efektif dan tidak efisien. Indikator yang dijadikan
tolok ukur adalah tingkat kedisiplinan serta produktivitas kerja PNS, bukan
hanya pada level staf atau bawahan, para pejabat bereselon rendah hingga level
Kepala Dinas (Eselon II) pun banyak yang sering tidak ngantor. Istilah yang
berlaku” bawahan malas masuk kantor, atasan sering dinas luar”
Kalau Pak Bupati mau mensidak lebih jauh sangat banyak
pegawai yang kehadirannya lebih sedikit dibanding ketidakhadirannya di kantor.
Hal itu bisa diketahui atau dibuktikan dari keramaian kantor-kantor Pemda pada
tanggal 1-5, semua kantor penuh karena pegawai hadir, tetapi ketika memasuki
tanggal 10 kantor mulai sepi, apalagi tanggal 20 keatas, lengang seperti habis
dihoyak gampo.
Ada pegawai yang hilang-hilang timbul, bulan mudo (gajian)
mancogok di kantua, bulan tuo manghilang dan muncul lagi ketika tanggal muda
bulan berikutnya. Ada pula pegawai yang “rajin secara formal” setiap pagi ikut
apel dan mengisi daftar hadir tetapi sesudah itu menghilang entah kemana.
Perangai seperti ini biasanya dilakukan oleh pengawai staf atau yang tidak mempunyai
jabatan, dan ketika ditanya umumnya jawaban yang diberikan “gaji tidak
mencukupi jadi terpaksa cari tambahan di luar kantor”
Lain staf lain pula perangai atasan walau alasannya sama
“cari tambahan penghasilan”. Para atasan tidak berada di kantor pada umumnya
adalah karena alasan “DL” atau dinas luar. Dengan alasan yang cenderung
dibuat-buat pada informasi staf sangat banyak kepala SKPD (satuan Kerja
Perangkat Daerah) yagn melakukan pekerjaan dinas luar daerah. Padahal urusan
yang di handle tersebut bisa ditangani oleh bawahannya.
Pada prinsip kerja efektif dan efisien, kepala SKPD yang
sering dinas luar apalagi ke luar propinsi jelas merugikan daerah karena biaya
yang dihabiskan sangat besar dan urusan prisnip yang mesti diselesaikan jadi
tertunda. Secara psikologi kalau atasan banyak raun-raun maka anak buah akan
banyak malala.
Dalam menegakkan
aturan kedisiplinan pegawai, setiap daerah otonom telah mempunyai
“institusi” yaitu dinas/badan/kantor/bagian kepegawaian yang mempunyai otoritas
untuk menegakkan regulasi kepegawaian dan juga ada Inspektorat yang bisa
bertindak sebagai “Kejaksaan” nya Pemda. Jika kedua lembaga tersebut bisa
dimaksimalkan fungsinya maka persoalan disiplin PNS tidak perlu merepotkan
Kepala Daerah untuk melakukan sidak sana sidak sini. Lagi pula seperti kata
Bupati juga “karajo lah babagi, tangunggjawab lah diagiah”
Bagi masyarakat di era reformasi ini berita “Bupati sidak dan
marah-marah” akan menjadi berita biasa tanpa diiringi berita lebih lanjut
misalnya “Dua Pejabat Dicopot jabatannya dan lima staf diturunkan pangkatnya
karena indisipliner”. Berita seperti ini akan lebih menarik bahkan ke depan
masyarakat berharap dan menunggu berita yang mengabarkan Bupati melakukan sidak
ke kantor-kantor yang melakukan fungsi pelayanan karena disana rentan terjadi
praktek-praktek pungutan liar. Semoga!.
No comments:
Post a Comment