Ekperience is the best
teacher, pengalaman
adalah guru yang terbaik. Banyak orang setuju akan pepatah Eropa ini karena
pengalaman adalah merupakan kisah yang nyata peristiwa yang telah terjadi pada
diri kita maupun yang dialami orang lain. Dalam takaran lebih besar Nusantara
beserta isinya merupakan bangsa yang sangat kenyang akan pengalaman dalam
bidang apapun, ironisnya kita termasuk kedalam yang tidak mau berguru pada
pengalaman. Berulang-ulangnya kecelakaan pesawat terbang dan kereta api, déjà vu penembakan rakyat oleh aparat,
dan terus-menerusnya praktek korupsi serta makin membludaknya penghuni Lapas
Cipinang membuktikan sangat bandelnya bangsa ini.
Dengan alasan kemajuan zaman dan haik teihgnologi (logat Pak Habibie) banyak visioner di negeri ini
telah sampai memikirkan hidup di planet lain yang bagi mayoritas rakyat itu
hanya fiksi. Tanpa disadari elit pimpinan kita terlalu jauh merantau dan hidup
dengan kemewahan menghambur-hamburkan uang meninggalkan rakyat di desa primitif
dalam kekurangan sandang dan pangan.
Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Memenuhi tuntutan reformasi kita telah mencurahkan banyak
energi untuk mengoperasi tumor korupsi dari perut bumi Indonesia, tidak sedikit
peraturan perundang-undang, Institusi, Aparatur dan biaya yang dikeluarkan
untuk proyek tersebut, tetapi bukannya sembuh malahan tumor tersebut makin menggerogoti
uang rakyat Indonesia. Sejak tahun 1971 kita telah memproduksi tidak kurang 45
buah peraturan perundangan berkait dengan korupsi yaitu 1 Tap MPR, 22 Undang-Undang, 1 Perpu, 6 Peraturan
Pemerintah, 1 Kepres, 1 Perda, 1 Permenteri, 7 Keputusan Mahkamah Konstitusi,
bisa dibayangkan besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk itu.
Jika ditinjau secara hukum dagang, menghabiskan uang untuk
menyelamatkan uang adalah pekerjaan yang sia-sia karena jangankan dapat untung
balik modal pun tidak, bukti konkritnya uang yang berhasil diselamatkan Timtas
Tipikor tidak seberapa dibandingkan dengan uang yang hilang pada kasus korupsi
yang terjadi pada selama masa tugas tim tersebut. Atau jumlah uang dihabiskan
dan yang diselamatkan oleh gugus tugas pemberantasan korupsi lainnya tidak
membuat jumlah total uang hilang makin berkurang.
Rendahnya pengalaman nilai-nilai religius, pemahaman adat
budaya sebagai orang timur yang bermalu dalam arti sebagai orang berpendidikan
tinggi (Doktor dan Profesor) membuat praktek korupsi berjalan mulus. Pimpinan
yang bergelar pasca sarjana, tokoh adat, baru pulang dari tanah suci, rajin
ketempat ibadah ternyata tidak menjamin untuk tidak melakukan korupsi.
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai orang yang paling dipercaya
rakyat pun telah pernah mencoba meracik dan memasarkan resep anti korupsi yaitu
Inpres nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Intruksi
Presiden tersebut ibarat obat yang harus dimakan atau ditelan bulat-bulat oleh
para elit pimpinan Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Lembaga
Pemerintah Non Departemen, Gubernur, Bupati dan Walikota agar virus korupsi
tidak lagi menjalar kemana-mana.
Dari 12 macam obat pada resep Presiden tersebut ada salah
satu yang jika dimakan setiap elit pemimpin maka korupsi tidak akan mewabah
seperti saat ini yaitu sebagaimana tercantum pada poin ketujuh yang intinya pola hidup sederhana dan hemat.
Sayangnya, dosis obat resep Presiden terlalu rendah hanya berupa intruksi
sehingga hampir 3 tahun berlalu belum juga memberikan kemajuan dalam upaya
percepatan pemberantasan korupsi.
Pemimpin Yang Hemat
Jika kita mau bertanya kepada anak-anak Sekolah Dasar kenapa
orang jadi miskin atau bagaimana caranya supaya kaya? Jawabannya pasti seperti
yang diajarkan pak guru dan bu guru atau yang tertulis pada dinding sekolah Boros Pangkal Miskin, Hemat Pangkal Kaya.
Seharusnya para pemimpin kita menutup muka-merasa malu, karena belum juga mampu
memberantas korupsi dan memerangi kemiskinan. Kita terlalu memikirkan hal-hal
atau cara-cara yang luar biasa untuk memberantas korupsi padahal korupsi itu
sendiri disebabkan oleh hal sederhana yakni pola hidup boros, contohnya dalam
membuat anggaran belanja kita bertumpu pada pinjaman, kita tidak mau berbelanja
sesuai uang ada di kantong kita.
Para tersangka, terdakwa dan narapidana kasus korupsi yang
notabene adalah para pejabat, berpangkat tinggi, orang yang telah kaya
membuktikan bahwa pelaku korupsi itu adalah para pemimpin. Kuatnya budaya
paternalistik pada bangsa kita membuat perbuatan korupsi terjadi bak air sungai
mengalir, jika dihulu orang korupsi maka sampai kehilir orang akan melakukan
hal yang sama. Oleh karena itu kita butuh pemimpin (orang yang berada di hulu)
sekaliber Khalifah atau Paus yang titahnya dijalankan tanpa reserve, yang
omongannya laksana undang-undang dan prilakunya jadi petunjuk pelaksana. Orang
yang memiliki kemampuan menghimbau bawahannya untuk bertindak yang baik dan
menjauhi perbuatan yang jelek.
Intruksi atau regulasi apapun yang dikeluarkan pemerintah
untuk memberantas korupsi akan menjadi mujarab apabila disikapi sebagai sebuah
pedoman tingkah laku oleh para aparatur dan diiringi kerelaan bergaya hidup
sederhana dan hemat dimulai dari lingkungan Kepala Pemerintah, para Menteri,
pimpinan TNI, dan pimpinan lembaga pemerintah lainnya. Melihat milyaran bahkan
triliyunan rupiah uang rakyat yang hilang karena perilaku boros (korupsi) sudah
sepatutnya para pemimpin untuk memulai hidup sederhana dan hemat, karena hanya
dengan cara berhemat kita bisa kaya yang pada gilirannya menghentikan
pemborosan yang mengakibatkan jutaan orang rakyat kita menjadi miskin.
Life style para pemimpin mempunyai efek yang
kuat terhadap orang yang dipimpinnya, misalnya ketika ia hanya memakai mobil
dinas seharga 200 juta rupiah niscaya bawahannya tidak akan berani memakai
mobil dinas yang harganya Milyaran Rupiah. Atau membuat daftar belanja
(APBN-APBD) tanpa bersumber dari pinjaman yang tidak besar pasak dari tiang,
masih dianggarkan tetapi sudah minus alias tekor, lucunya masih juga bisa dikorup.
No comments:
Post a Comment