Tuesday, November 20, 2012

Menyelamatkan Uang Rakyat


Ekperience is the best teacher, pengalaman adalah guru yang terbaik. Banyak orang setuju akan pepatah Eropa ini karena pengalaman adalah merupakan kisah yang nyata peristiwa yang telah terjadi pada diri kita maupun yang dialami orang lain. Dalam takaran lebih besar Nusantara beserta isinya merupakan bangsa yang sangat kenyang akan pengalaman dalam bidang apapun, ironisnya kita termasuk kedalam yang tidak mau berguru pada pengalaman. Berulang-ulangnya kecelakaan pesawat terbang dan kereta api, déjà vu penembakan rakyat oleh aparat, dan terus-menerusnya praktek korupsi serta makin membludaknya penghuni Lapas Cipinang membuktikan sangat bandelnya bangsa ini.
Dengan alasan kemajuan zaman dan haik teihgnologi (logat Pak Habibie) banyak visioner di negeri ini telah sampai memikirkan hidup di planet lain yang bagi mayoritas rakyat itu hanya fiksi. Tanpa disadari elit pimpinan kita terlalu jauh merantau dan hidup dengan kemewahan menghambur-hamburkan uang meninggalkan rakyat di desa primitif dalam kekurangan sandang dan pangan.
Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Memenuhi tuntutan reformasi kita telah mencurahkan banyak energi untuk mengoperasi tumor korupsi dari perut bumi Indonesia, tidak sedikit peraturan perundang-undang, Institusi, Aparatur dan biaya yang dikeluarkan untuk proyek tersebut, tetapi bukannya sembuh malahan tumor tersebut makin menggerogoti uang rakyat Indonesia. Sejak tahun 1971 kita telah memproduksi tidak kurang 45 buah peraturan perundangan berkait dengan korupsi yaitu 1 Tap MPR, 22  Undang-Undang, 1 Perpu, 6 Peraturan Pemerintah, 1 Kepres, 1 Perda, 1 Permenteri, 7 Keputusan Mahkamah Konstitusi, bisa dibayangkan besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk itu.
Jika ditinjau secara hukum dagang, menghabiskan uang untuk menyelamatkan uang adalah pekerjaan yang sia-sia karena jangankan dapat untung balik modal pun tidak, bukti konkritnya uang yang berhasil diselamatkan Timtas Tipikor tidak seberapa dibandingkan dengan uang yang hilang pada kasus korupsi yang terjadi pada selama masa tugas tim tersebut. Atau jumlah uang dihabiskan dan yang diselamatkan oleh gugus tugas pemberantasan korupsi lainnya tidak membuat jumlah total uang hilang makin berkurang.
Rendahnya pengalaman nilai-nilai religius, pemahaman adat budaya sebagai orang timur yang bermalu dalam arti sebagai orang berpendidikan tinggi (Doktor dan Profesor) membuat praktek korupsi berjalan mulus. Pimpinan yang bergelar pasca sarjana, tokoh adat, baru pulang dari tanah suci, rajin ketempat ibadah ternyata tidak menjamin untuk tidak melakukan korupsi.
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai orang yang paling dipercaya rakyat pun telah pernah mencoba meracik dan memasarkan resep anti korupsi yaitu Inpres nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Intruksi Presiden tersebut ibarat obat yang harus dimakan atau ditelan bulat-bulat oleh para elit pimpinan Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Gubernur, Bupati dan Walikota agar virus korupsi tidak lagi menjalar kemana-mana.
Dari 12 macam obat pada resep Presiden tersebut ada salah satu yang jika dimakan setiap elit pemimpin maka korupsi tidak akan mewabah seperti saat ini yaitu sebagaimana tercantum pada poin ketujuh yang intinya pola hidup sederhana dan hemat. Sayangnya, dosis obat resep Presiden terlalu rendah hanya berupa intruksi sehingga hampir 3 tahun berlalu belum juga memberikan kemajuan dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi.


Pemimpin Yang Hemat
Jika kita mau bertanya kepada anak-anak Sekolah Dasar kenapa orang jadi miskin atau bagaimana caranya supaya kaya? Jawabannya pasti seperti yang diajarkan pak guru dan bu guru atau yang tertulis pada dinding sekolah Boros Pangkal Miskin, Hemat Pangkal Kaya. Seharusnya para pemimpin kita menutup muka-merasa malu, karena belum juga mampu memberantas korupsi dan memerangi kemiskinan. Kita terlalu memikirkan hal-hal atau cara-cara yang luar biasa untuk memberantas korupsi padahal korupsi itu sendiri disebabkan oleh hal sederhana yakni pola hidup boros, contohnya dalam membuat anggaran belanja kita bertumpu pada pinjaman, kita tidak mau berbelanja sesuai uang ada di kantong kita.
Para tersangka, terdakwa dan narapidana kasus korupsi yang notabene adalah para pejabat, berpangkat tinggi, orang yang telah kaya membuktikan bahwa pelaku korupsi itu adalah para pemimpin. Kuatnya budaya paternalistik pada bangsa kita membuat perbuatan korupsi terjadi bak air sungai mengalir, jika dihulu orang korupsi maka sampai kehilir orang akan melakukan hal yang sama. Oleh karena itu kita butuh pemimpin (orang yang berada di hulu) sekaliber Khalifah atau Paus yang titahnya dijalankan tanpa reserve, yang omongannya laksana undang-undang dan prilakunya jadi petunjuk pelaksana. Orang yang memiliki kemampuan menghimbau bawahannya untuk bertindak yang baik dan menjauhi perbuatan yang jelek.
Intruksi atau regulasi apapun yang dikeluarkan pemerintah untuk memberantas korupsi akan menjadi mujarab apabila disikapi sebagai sebuah pedoman tingkah laku oleh para aparatur dan diiringi kerelaan bergaya hidup sederhana dan hemat dimulai dari lingkungan Kepala Pemerintah, para Menteri, pimpinan TNI, dan pimpinan lembaga pemerintah lainnya. Melihat milyaran bahkan triliyunan rupiah uang rakyat yang hilang karena perilaku boros (korupsi) sudah sepatutnya para pemimpin untuk memulai hidup sederhana dan hemat, karena hanya dengan cara berhemat kita bisa kaya yang pada gilirannya menghentikan pemborosan yang mengakibatkan jutaan orang rakyat kita menjadi miskin.
Life style para pemimpin mempunyai efek yang kuat terhadap orang yang dipimpinnya, misalnya ketika ia hanya memakai mobil dinas seharga 200 juta rupiah niscaya bawahannya tidak akan berani memakai mobil dinas yang harganya Milyaran Rupiah. Atau membuat daftar belanja (APBN-APBD) tanpa bersumber dari pinjaman yang tidak besar pasak dari tiang, masih dianggarkan tetapi sudah minus alias tekor, lucunya masih juga bisa dikorup.

No comments:

Post a Comment