Keras Kepala! itulah gambaran sikap Pemerintah dan orang
orang di daerah. Banyaknya konflik yang terjadi ketika Pemilihan Kepala Daerah
belakangan ini ternyata cukup mengusik nurani BK untuk terus menulis, apalagi
BK juga dengar banyak sekali keluhan mengenai Korupsi yang kian merajalela. BK
mencoba menulis untuk menbantu anda-anda melihat Otonomi di Zaman Orde Baru
dengan otonomi di Zaman Reformasi (Otoda Kabupaten/Kota) dari visi BK.
Perbedaan-perbedaan yang sangat menonjol antara Doeloe dengan
sekarang (BK sengaja menyeut demikian karena tidak tahu persis nomor dan tahun
UU) adalah :
Doeloe yang disebut Pemerintah Daerah (Pemda) adalah Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sedangkan Sekarang adalah hanya
Kepala Daera.
Doeleo yang bertanggungjawab atas berhasil tidaknya
pembangunan adalah Kepala Daerah dan juga DPRD, sedangkan sekarang
tanggungjawab itu hanya pada Bupati/Walikota yang dinilai oleh DPRD.
Doeleo tidak ada Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) tahunan
Bupati/Wako
Doeloe secara hirarki Bupati/Walikota adalah Bawahan dari Gubernur sehingga
kebijaksanaan dari atas bisa cepat sampai dan dilaksanakan Bupati/Walikota,
sekarang Bupati/Walko lebih berkuasa daripada Gubernur karena Gubernur tidak
mempunyai wilayah sedangkan Bupati/Walko punya.
Doeleo Bupati/Walko “sesungguhnya”
dipilih oleh Pemerintah Pusat sedangkan sekarang sepenuhnya ditentukan oleh
DPRD.
Dari Perbedaan-perbedaan tersebut maka akan muncul-muncul
persoalan seperti saat ini :
Anggota DRPD tidak mempunyai tanggungjawab secara moral karena
secara formal tidak ada aturan yang mewajibkan mereka memberikan laporan
pertanggungjawaban.
LPJ dan Pemilihan Bupati/Walko membuka kesempatan/peluang
terjadinya Suap Menyuap.
Menjelang penyampaian LPJ Bupati/Wako akan muncul
komentar-komentar dari Anggota DPRD yang umumnya mengindikasikan akan adanya
penolakan LPJ, padahal hal tersebut merupakan pancingan agar Bupati/Wako “mendekati” mereka dan memberikan sesuatu
supaya LPJ mulus diterima.
Kuatnya Posisi DPRD membuat mereka bisa “menyedot APBD” untuk kepentingan DPRD, bahkan prosentasenya sangat
signifikan dari Anggaran untuk kepentingan yang lebih penting.
Gubernur kehilangan fungsi untuk mengontrol jalannya
pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.
Bupati/Wako bisa dengan seenaknya melakukan “sesuatu” apakah itu bepergian tanpa izin
dari Gubernur.
Munculnya Perda-perda yang bersemangat
primodialisme/kedaerahan sehingga membuat daerah menjadi Negara dalam Negara.
Keadaan-keadaan atau permasalahan doeloe:
Pemilihan Bupati/Wako selalu “ditentukan” oleh Pemerintah Pusat sehingga cenderung Bupati/Wako “didatangkan/dititipkan” oleh Pusat dan
cenderung adalah orang-orang yang tidak dikenal oleh Masyarakat di Daerah.
Tidak ada keseimbangan antara dana hasil daerah yang “disetor” ke pusat dengan dana yang “dikembalikan” ke Daerah.
Daerah selalu merasa dieksplokitisir oleh Pemerintah Pusat.
Dari sekian banyak permasalahan yang timbul, BK melihat
masalah terbesar adalah Krisis
Kepercayaan terhadap Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah dan Rakyat di
Daerah (Anggota DPRD) tidak mau lagi mengikuti “petunjuk” ataupun “saran” yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat baik melalui Produk Undang-undang maupun dalam
bentuk lain. Mereka menganggap setiap Petunjuk dan Saran tersebut adalah taktik
Pemerintah Pusat untuk mengebiri Daerah Otonom.
Tetapi yang lucunya, jika terjadi perselisihan dalam
Pemilihan Kepala Daerah maka mereka
mengatakan akan menyerahkan persoalan kepada Pemerintah Pusat
(Depdagri), dan ketika Mendagri mengambil suatu “Kebijaksanaan” maka
kebijaksanaan tersebut tidak mereka laksanakan. Padahal ketika akan meminta
petunjuk mereka telah sepakat untuk menerima dan melaksanakan kebijaksanaan
yang dikeluarkan Pemerintah Pusat seberapapun pahitnya.
Otonomi ternyata membuat Pemda dan DPRD menjadi Besar Kepala dan akhirnya berubah
menjadi Bergudul. Keleluasaan
mengelola daerah beserta uangnya membuat para Kepala Daerah dan Anggota DPRD
menjadi konglomerat ditengah-tengah penderitaan rakyatnya, bahkan Gubernurpun
dibuat iri dan jengkel. Bupati/Wako atau DPRD bisa kapan saja untuk berpergian
kemana saja tanpa pamit kepada Gubernur. Alasan Bupati/Wako… tidak ada aturan
yang mengharuskan kami minta izin dan Gubernur
bukan atasan kami.
BK juga melihat bahwa banyak persepsi yang salah mengenai
Otonomi, mereka menganggap bahwa tanggung jawab mereka semata hanya mengurusi
daerahnya tak peduli dengan daerah lain bahkan tidak peduli dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Semangat kedaerahan telah menjadi pemicu timbulnya
Negara dalam Negara, mereka mengurus keuangan sesuka hatinya, membuat aturan
tanpa mempedulikan peraturan, mendudukkan pejabat tanpa pertimbangan
profesionalisme, sangat banyak kesalahan yang terjadi.
Walaupun begitu bukan tidak ada cara untuk membenahinya, dan
yang pertama sekali haruslah dari Kepala Derah itu sendiri karena dia merupakan
“Raja” di daerahnya. Dibutuhkan seorang Raja yang sabar, jujur dan bersih.
Sabar dalam mempersiapkan rencana pembangunan yang matang, tidak terburu-buru
sehingga tidak menimbulkan dampak buruk dari kebijaksanaan yang diambilnya. Jujur,
bersikap terus terang mengenai kondisi manajemen dan keuangan daerah, dan
bersih dalam menjalankan tugas,tidak mau menerima pemberian/imbalan apapun
dalam bentuk uang, fasilitas ataupun dalam bentuk lain kecuali hak yang telah
diatur oleh peraturan. Sikap-sikap tersebut sangat diperlukan agar Pemda bisa
menegakkan aturan hukum tanpa konpromi. Jangan hanya karena sering diberikan
angpao atau Tiket Pesawat dan Fasilitas Akomodasi oleh seseorang atau suatu
Perusahaan, orang atau perusahaan tersebut tidak ditindak walau telah
jelas-jelas melanggar peraturan.
Untuk memulai sesuatu hal diperlukan komitmen dan dalam
pelaksanaannya diperlukan sikap yang konsisten. Memang selalu kita dengar
Komitmen dari Bupati/Wako atau pejabat-pejabat yang baru dilantik untuk memberantas
Korupsi, tetapi setelah menjabat mereka tak pernah lagi menyebut-nyebut
komitmen tersebut karena mereka memang tidak melaksanakannya.
Dan mereka malah cenderung mengaburkan penafsiran korupsi
tersebut dengan jumlah, mereka selalu menyebutkan “hanya” untuk angka-angka
yang tidak sampai puluhan milyar rupiah. Padahal walaupun itu hanya Rp.
100.000,- tetap saja korupsi namanya jika diperoleh dengan tidak benar. Dan
mereka karena alasan gaji yang kecil atau dana operasional yang terbatas
menyatakan “terpaksa” meminta dana kepada pihak lain yang seharusnya tidak
boleh. Karena alasan-alasan tersebut maka praktek-praktek korupsi menjadi
terang-terangan dan pada gilirannya mental korup tersebut menjadi sesuatu yang
lumrah.
Saat ini kita seakan sudah terbisa melihat seseorang yang
berubah drastis mendadak kaya setelah menduduki jabatan tertentu padahal kita
tahu Gajinya berapa. Dan begitu juga mereka yang korup, mereka seakan tak
bersalah dan lebih parahnya merasa tak berdosa telah “mendadak jadi kaya” karena dalam fikirannya tertanam… ah semua pejabat begitu.
Dan mungkin suatu saat nanti orang tidak lagi menganggap
sakral kata “K-O-R-U-P-S-I” karena sudah menjadi kebiasaan dan lumrah dilakukan
semua orang. Kalau suatu lingkungan sudah menganggap hal tersebut tidak
terlarang maka yang sesungguhnya salah pun menjadi benar. Apalagi pembenaran
kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan
mempunyai jabatan. Kita tentu masih ingat ketika para tokoh dan orang pintar di
Jakarta yang tidak suka Megawati jadi Presiden mengeluarkan Fatwa “Haram Perempuan Jadi Pemimpin” tetapi
kemudian ketika Megawati mau tidak mau harus jadi Presiden juga, maka mereka
bersedia dikangkangi Perempuan asal dapat jabatan.
Akhirnya BK mengajak kita semua untuk terus berjuang untuk
menegakkan kebenaran, kebenaran yang menurut hati kita tidak bisa diingkari.
Semoga.