dan memandang kepada dokter. Di
situ nyata, mata si sakit telah
kabur warnanya dan pemandangannya
telah lemah. Dokter yang
masuk ini segera memberi salam,
lalu bertanya, "Apa kabar?"
"Perasaan badan ada baik
sedikit, walaupun sakit kepala
belum hilang benar," jawab
si sakit perlahan-lahan. .
"Memang, sakit kepala itu
dalain dua tiga hari ini barangkali
masih ada," lalu dokter
memeriksa kulit muda mata dan jalan
darah pada pangkal lengan si
sakit. "Berapa panas badannya pagi
ini?" tanya dokter kepada
penjaga.
"Ada hamba tuliskan,"
jawab penjaga, seraya mengunjukkan
sehelai daftar. Setelah doukter
melihat daftar ini, terdiamlah ia
sejurus.
"Tuan Dokter," kata si
sakit pula dengan tiba-tiba.
"Walaupun hamba katakan
tadi, perasaan badan hamba senang
sedikit, tetapi kesenangan itu,
pada sangka hamba, bukan
kesenangan karena akan sembuh.
Jangan marah, bila hamba
katakan, bahwa hamba tiada lama
lagi akan hidup di atas dunia
ini; karena demikianlah perasaan
hamba. Janganlah Tuan
sembunyikan pendapatan Tuan
kepada hamba, karena misalnya
Tuan kuatir, hamba takut mati.
Sekali-kali tidak. Kematian telah
lama hamba ingini dan telah hamba
cari di mana-mana. Baru
sekarang hamba peroleh.
Syukurlah!
Lagi pula tadi malam hamba telah
dikunjungi oleh kekasih
dan ibu hamba, yang telah lama
meninggalkan dunia ini. Mereka
berjanji hari ini akan datang
kembali menjemput hamba supaya
dapat pergi bersama-sama ke
tempat mereka."
Di sini berhentilah si sakit
berkata-kata sejurus lamanya
karena percakapan ini rupanya
sangat melemahkannya. Kepalanya
dipegangnya, sebagai ia berasa
sakit di sana.
"Jika berasa lelah, lebih
baik jangan berkata-kata dahulu."
kata dokter.
Setelah berdiam sejurus si sakit
menggagahi dirinya, untuk
meneruskan perkataannya,
"Tak apa-apa Tuan Dokter. Jangan
kuatir! Sakit kepala hamba datang
pula sedikit. Sebelum hamba
meninggalkan dunia ini ada suatu
permintaan hamba kepada
Tuan."
"Permiritaan apa itu?
Katakanlah! Jika dapat, tentu akan
hamba kabulkan." sahut
dokter.
"Hamba ingin benar hendak
bertemu dengan Sutan Mahmud,
Penghulu di Padang ini.
Bolehkah?" tanya si sakit perlahan-lahan
putus-putus suaranya.
"Tentu sekali boleh." jawab
dokter, walaupun ia tiada
mengerti apakah sebabnya seorang
opsir tentara, hendak berjumpa
dengan seorang Melayu Padang.
"Dengan segera ia akan
hamba minta datang kemari. Adakah
lagi permintaan Tuan?"
"Tidak. Hanya itu. Terima
kasih!" jawab si sakit.
"Baiklah," kata dokter
pula, lalu ke luar, untuk menyuruh
panggil Sutan Mahmud.
Setelah keluar dokter, si sakit
tertidur kembali, sebagai
kelelahan karena berkata-kata
tadi.
Dua jam kemudian datanglah Sutan
Mahmud ke rumah sakit
ini, lalu dibawa penjaga masuk
bilik opsir tentara yang sakit tadi.
Tatkala dilihat Sutan Mahmud muka
si sakit, sangatlah
terperanjat ia, karena rupa opsir
ini tak ubah dengan rupa
anaknya Samsulbahri, yang telah
ineninggal dunia di Jakarta,
sepuluh tahun yang telah lalu.
Dengan tiada dapat ditahannya,
berlinang-linang air matanya,
sebab terkenang nasib anaknya
yang malang itu, yang telah
membunuh dirinya, karena putus
asa. Sekali-kali tiada disangkanya
akan demikian untung anaknya yang
sebiji mata itu.
Sebenarnya ia telah lama menyesal
akan perbuatannya, yang
tergopoh-gopoh atas anaknya itu.
Karena akan perbuatan
anaknya itu berhubung dengan
bangsa dan pangkatnya yang
tinggi, diusirnya anaknya ini,
sehingga istrinya yang hanya
seorang, mati karena kesedihan
hati dan anaknya yang tunggal
mernbunuh diri, karena kedukaan.
Setelah meninggal anaknya
ini dan setelah dipikirkannya
benar-benar perkara ini, terasa
olehnya, bahwa kesalahan anaknya
itu sebenarnya tiada
seberapa.
Percintaannya kepada Nurbaya, tak
dapat disalahkan; karena
sejak kecil ia bercampur gaul
dengan anak sahabatnya ini,
sebagai seorang yang bersaudara
kandung. Persangkaannya,
bahkan pengharapannya pun,
Nurbaya akan menjadi istri anaknya.
Walaupun Nurbaya tiada berbangsa
tinggi, tetapi tak
mengapa. Kecantikan parasnya,
kepandaiannya dan tingkah
lakunya yang baik, telah cukup
untuk pengganti kerugian
kebangsawanan Padang. lstrinya,
Ibu Samsu, bukan orang
berbangsa, tetapi tiada menjadi
alangan apa-apa bagi kehidupan
bersuami-istri. Memang patut
Samsu bersanding dengan
Nurbaya, seorang cantik, seorang
tangkas. Demikian kenangkenangan
Sutan Mahmud.
Maka terbayanglah di matanya pada
waktu itu, anaknya
duduk bersuka-sukaan dengan
Nurbaya, sebagai orang yang
bersuami-istri. Samsu sebagai
seorang dokter dan Nurbaya,
sedang memangku seorang anak
laki-laki, cucunya.
"Ah, kalau tak ada Datuk
Meringgih jahanam itu, niscaya
kenang-kenanganku ini bukan
cita-cita, melainkan
sebenarnyalah. Dan jika tiada
karena bangsa dan pangkatku yang
tinggi, barangkali tiada sampai
kuusir anakku yang sebiji mata.
Sekarang apa hendak dikata?
Karena keduanya tak ada di
dunia ini lagi. Semoga di akhirat
dapat disampaikannya sekalian
cita-cita dan hasrat hatinya,
yang tiada diperolehnya di dunia
ini."
Di situ bercucuran pula air
matanya, jatuh berderai dengan
tiada dirasainya.
Sesungguhnya demikianlah, hati
Sutan Mahmud. Sesal
dahulu pendapatan, sesal kemudian
tak berguna, kata pepatah.
Walaupun engkau menjerit sampai
ke langit sekalipun,
kesalahanmu ini tak dapat
diperbaiki lagi. Jika tiada tergesa-gesa
engkau menjatuhkan hukurnan atas
anakmu waktu itu,
barangkali tiada terjadi
kesengsaraan dan kesedihan ini dan
dapatlah kaucapai cita-citamu
tadi. Tetapi karena engkau masih
sangat terikat oleh kemegahan
pangkat dan bangsamu, jadilah
demikian kesudahannya.
Tentu; mulut terdorong, mas
padahannya; hukumanmu
terdorong kepada anakmu,
kesengsaraan dan kematian beberapa
orang balasnya. "Terlebih
besar dosamu atas kesalahanmu ini,
karena engkau seorang kepala
negeri, ibu-bapa, tempat meminta,
tempat bertanya, tempat berlindung
kepanasan, tempat berteduh
kelrujanan, bagi anak buahmu.
Engkaulah yang harus
menyelesaikan yang kusut,
memperjemih yang keruh dan
memperbaiki yang rusak.
Bila engkau kepada anakmu sendiri
telah menjatuhkan
hukuman yang seberat itu, hanya
karena engkau bersangka harus
berbuat sedemikian, karena
kebangsawananmu dan pangkatmu
yang tinggi, betapakah engkau
akan melakukan kewajibaumu
dengan seadil-adilnya dan
sebaik-baiknya kepada oiang lain''
fiap-tiap kesalahan itu memang
ada hukumannya dan inilah
hukuman yang telah dijatuhkan
Tuhan ke atas dirimu. Mudahmudahan
dapatlah engkau memetik
ibaratnya!
Sementara Sutan Mahmud berdiri
termenung memikirkari
untung nasib anaknya yang malang
dan merindukannya serta
menyesal akan perbuatan yang
tergesa-gesa, menunggu si sakit
bangun, masuklah dokter tadi ke
dalam bilik itu dan karena itu si
sakit terjaga daripada tidurnya,
lalu membuka matanya dan
menoleh ke kanan ke kiri. Tatkala
dililiatnya Sutan Mahmud,
lalu diperhatikannya Penghulu ini
sejurus lamanya. Kemudian
ditutupnya pula matanya dan
dilambainya Penghulu ini dengan
tangannya, supaya datang
mendekatinya. Dokter dan penjaga
berdiri agak jauh sedikit, karena
tiada hendak mendengarkan
percakapan yang mungkin tiada
boleh didengar orang lain.
Setelah hampirlah Nenohulu Sutan
Mahmud, lalu berkatalah
si sakit perlahan-lahan dengan
putus-putus suaranya, "Tuanku
Penghulu! Hamba minta datang
Tuanku kemari, karena adalah
suatu rahasia yang hendak hamba
bukakan, sebelum hamba
berpulang. Rahasia itu ialah
permintaan anak Tuanku sendiri,
Samsulbahri."
"Anak hamba Samsulbahri yang
telah meninggal dunia di
Jakarta?" tanya Sutan Mahmud
dengan terkejut.
"Ya, Samsu itu, yang tiada
jadi mati," sahut si sakit.
"Samsu tiada mati. Anak
hamba tiada mati?" tanya Sutan
Mahmud dengan tergesa-gesa dan
amat herannya.
"Benar," sahut si
sakit.
"Jadi ia masih hidup
sekarang? Di manakah ia waktu ini? ...
Tetapi betapakah Tuan tahu akan
hal ini."
"Sebab hamba waktu itu ada
dalam rumah sakit, tempat ia
diobati," lalu
diceritakanlah oleh si sakit tentang penembakan
diri Samsu di Jakarta dan apa
sebabnya ia dikatakan telah mati.
Kemudian ia masuk tentara, untuk
mencari kematian, tetapi tiada
diperolehnya juga. Akhirnya ia
disuruh ke Padang untuk
memadamkan huru-hara belasting.
"Jika demikian, ia ada di
Padang sekarang ini." kata Sutan
Mahmud dan mukanya bercahaya
karena kesukaan.
"Benar ia datang
bersama-sama hamba kemari dan berperang
pun bersama-sama hamba pula.
Pangkatnya Letnan dan namanya
Mas, yaitu kebalikan namanya yang
sebenarnya. Sam."
Karena bercakap-cakap ini rupanya
si sakit bertambah lelah
sehingga berkata pun hampir tak
dapat. Mukanya semakin pucat
dan acap kali ia memegaug
kepalanya, karena kesakitan.
Setelah berhenti sejurus, berkata
pula ia sambil mengangkat
kepalanya sedikit, sebagai kuatir,
suaranya tiada akan terdengar
oleh Sutan Mahmud.
"Inilah pesannya: bila . . .
ia ... mati minta ... dikuburkan ...
antara ... ibunya ... dan ...
Nurbaya ... Allahu Akbar!"
Tatkala habis perkataan ini,
habislah pula napas si sakit, lalu
rebah ke tempat tidurnya dan
berpulanglah ia dengan tenangnya.
Walaupun kamatian si sakit ini
amat tenang dan mudah
rupanya, karena muka mayatnya
tiada berubah, sebagai orang
yang tidur biasa saja, sedang
pada bibirnya masih berbekas
senyum, seolah-olah suka
meninggalkan dunia yang fana ini,
tetapi Sutan Mahmud sangat
terperanjat, melihat kematian yang
tiba-tiba ini. Setelah ia
berkomat-kamit membaca doa sejurus
lamanya, seraya bertanya,
"Kenalkah Tuan, Letnan Mas yang
datang dari Jakarta, bersama-sama
Tuan yang baru meninggal
ini? Di manakah ia sekarang
ini?"
"Letnan Mas?" tanya
dokter dengan heran.
"Ya, Letnan Mas, yang datang
kemari untuk berperang
dengan perusuh di Padang
ini." kata Sutan Mahmud pula.
"Tiada lain, melainkan
inilah dia, yang baru meninggal dunia
ini." jawab dokter.
Tatkala Sutan Mahmud mendengar
perkataan dokter ini,
terpekiklah ia, lalu memeluk dan
mencium mayat itu, sambil
menangis tersedu-sedu; karena
sekarang nyatalah olehnya, si
sakit yang baru meninggal itu,
tiada lain melainkan anaknya
sendiri, Samsulbahri, yang telah
sepuluh tahun dirindu-rindukannya,
sekarang meninggal di hadapannya,
dengan tiada dikenalnya.
"Aduhai Anakku, biji
mataku!! Mengapakah tiada dikatakan
lebih dahulu, sehingga ayahda
tiada tahu akan anak sendiri.
Memang sejak terpandang mukamu
tadi, ayanda telah syak
wasangka; tetapi tiada berani
membenarkan persangkaan itu,
karena mustahil rasanya. Wahai!
Mengapakah Ananda tiada
hendak mengaku terus terang,
melainkan menyembunyikan diri,
sampai ananda tak ada lagi.
Barangkali ananda masih marah
kepada ayanda, sehingga tiada
hendak mengaku bapa lagi
kepada ayanda.
Telah lama ayanda rasai dan
ketahui kesalahan ayanda,
karena telah menjatuhkan hukuman
yang berat, ke atas diri
Ananda, dengart tiada usul
periksa yang sebaik-baiknya,
sehingga sesal yang tak kunjung
putus, telah menggoda ayanda.
Oleh sebab itu, beringin benar
ayanda beroleh maaf dari Ananda,
dunia dan akhirat.
Aduhai Ananda! Mengapakah tatkala
hidup dalam sepuluh
tahun, tiada hendak kembali
kepada ayanda, sehingga ayanda
hanya diberi kesempatan sejurus
lamanya, untuk bercakap-cakap
dengan Ananda, yang tiada ayanda
kenal lagi, pada penghabisan
umur Ananda?
Kesalahan ayanda kepada Ananda
memanglah besar, tetapi
patut juga Ananda maklumi
kekurangan orang tua, yang terikat
oleh adat istiadat negerinya,
sebagai ayanda ini. Sekarang apalah
gunanya ayanda hidup lagi,
seorang diri di atas dunia ini, karena
Ananda tak ada lagi; sedang bunda
Ananda pun telah lama pula
meninggalkan ayanda. Bawalah
ayanda bersama-sama, supaya
dapat pula kita bercampur gaul,
sebagai dahulu. Janganlah
ayanda ditinggalkan seorang diri,
di atas dunia ini!
"Ya Allah, ya Tuhanku!
Lekaslah cabut pula nyawaku ini,
supaya dapat bertemu kembali
dengan anak-istriku!"
Maka pingsanlah Sutan Mahmud,
tiada khabarkan dirinya
lagi.
Pada keesokan harinya diusunglah
sebuah jenazah dari rumah
Sutan Mahmud, Penghulu di Padang,
yang dipikul oleh empat
orang Kepala Kampung. Jenazah
ini, sebagai kebiasaan di
Padang, ditutup dengan kain
putih, yang penuh ditaburi bungabungaan.
Sebelah ke muka, di tengah-tengah
dan sebelah ke
belakang, jenazah itu dipayungi
dengan payung kuning, tanda
yang meninggal itu seorang
bangsawan tinggi. Di muka jenazah,
berjalan dua orang muda. Yang
membakar setanggi dan gaharu
dalam perasapan yang ditaruh di
atas dulang perak. Yang
seorang lagi membawa
bunga-bungaan dan air cendana. Di kiri
kanan jenazah ini, berjalan
beberapa pemuda bangsawan, yang
membawa tombak dan perisai,
pedang dan panji-panji, dan lainlainnya,
yang biasa dibawa dalam upacara
penguburan anak rajaraja.
Hanya gendang dan serunailah yang
tiada kedengaran
bunyinya, karena tiada dibenarkan
oleh ulama-ulama.
Di belakang jenazah ini,
kelihatan haji-haji, syekh-syekh,
ulama-ulama, yang tiada
putus-putusnya zikir dan membaca doa.
Di belakang mereka, berjalan
pembesar, pegawai-pegawai,
Kepala-Kepala, orang tua-tua,
cerdik pandai, kaum bangsawan
dan rakyat biasa. Di belakang itu
pula, berbaris serdadu yang
memakai pakaian kebesaran.
Mulanya akan disertakan musik dan
penembakan bedil,
menurut aturan tentara, tetapi
ini pun tiada dapat dibenarkan oleh
kaum ulama. Sebagai penutup,
kelihatan kendaraan pembesarpembesar
kota Padang, dari sekalian bangsa
yang berjejer
sampai jauh ke belakang.
Jenazah siapakah itu? Itulah
jenazah Samsulbahri, anak Sutan
Mahmud, Penghulu Padang yang
terkenal, sebagai seorang
bangsawan tinggi, yang dihormati
dan dimuliakan orang. Bagi
sahabat kenalannya, Samsulbahri
adalah seorang yang baik budi,
peramah pengasih penyayang,
penolong dengan tiada menilik
rupa dan bangsa. Dalam tentara
ialah Letnan Mas, yang masyhur
gagah beraninya dan telah
menolong Pemerintah dalam beberapa
kesukaran peperangan. Itulah
sebabnya, tatkala hidupnya
dadanya dihiasi beberapa bintang.
Bagi kaum keluarganya, ialah
seorang anak yang disayangi.
Di antara orang yang banyak, yang
mengantarkan jenazah
ini, kelihatan seorang tua
bungkuk, yang telah berambut putih,
berjalan perlahan-lahan di sisi
jenazah, sebentar-sebentar
meminta ikut mendagang jenazah
ini, dengan air matanya yang
tergenang di pelupuk matanya,
seraya berkata seorang diri, "Ya,
inilah penanggungan orang yang
dikurniai Tuhan umur yang
panjang. Segala yang muda-muda,
yang mendahuluinya, harus
diantarkannya seorang ke dalam
kubur, sampai datang gilirannya,
ia sendiri diantarkan orang ke
makamnya.
"Alangkah beratnya bagi
mereka yang harus melihat kekasihnya
dilahirkan dan diambil kembali,
oleh Yang Maha Kuasa.
Ibunya kulihat dilahirkan, dan
sepuluh tahun yang lalu, kuantarkan
ia kekuburan. Anaknya ini,
kulihat pula dilahirkan. Sekarang
harus pula kuantarkan ia ke
makamnya. Tetapi aku sendiri,
bilakah datang giliranku? Dan
siapakah yang akan mengantarkan
aku ke kuburku?" Demikianlah
pikiran orang tua itu, yakni kusir
Ali yang sangat terikat hatinya
kepada Samsulbahri dan ibunya.
Di antara perempuan, yang banyak
pula pergi mengantarkan,
kelihatan Sitti Alirnah dengan
ibu-bapanya, karena teringat akan
Sitti Nurbaya, kekasih yang
meninggal ini.
Setelah jenazah Samsulbahri
dibawa ke mesjid dan
disembahyangkan di sana, barulah
dibawa ke Gunung Padang,
tempat makam yang diminta oleh
yang meninggal. Setelah
sampai ke sana diturunkanlah
jenazah Samsulbahri ke dalam
kubur, yang letaknya antara kubur
ibunya dan Sitti Nurbaya,
kekasihnya, sebagaimana
permintaannya, pada penghabisan
umurnya, lalu diernbangkan dan ditimbunlah
liang kubur itu.
Kemudian dibacakan talkin.
Sekalian pembesar Belanda dan
bangsa lain turut menimbun
kubur itu dengan sekepal tanah
dan akhirnya disiramilah kubur
itu dengan air cendana dan
disebarkanlah bunga-bungaan ke
atasnya. Setelah itu berpidatolah
seorang pembesar tentara,
memperingati kegagahan dan
kesetiaan yang meninggal, kepada
Pemerintah. Ialah anak negeri
yang mula-mula dapat mencapai
pangkat yang setinggi itu dalam
golongan tentara. Kemudian
diucapkannya, supaya arwah yang
meninggal mendapat
kesentosaan dan kesejahteraan di
alam yang baka.
Setelah Sutan Mahmud mengucapkan
terima kasih kepada
pembesar ini dan kepada sekalian
orang yang telah datang
memperlihatkan kesedihan hatinya,
dengan bersusah payah, ikut
serta menyelamatkan jenazah
anaknya dan setelah dimintakannya
maaf atas sekalian dosa kesalahan
anaknya ini, yang dapat
memberatinya di dalam kuburnya
dan setelah dimintakannya
pula doa sekalian yang hadir
kepada Allah taala, untuk
keselamatan Samsulbahri,
pulanglah sekaliannya ke rumah
masing-masing. Hanya Sutan Mahmud
dengan beberapa hajilah
yang masih tinggal mengaji di
sana. Kemudian mereka ini pun
pulang pula dan tinggallah Sutan
Mahmud dengan kusir Ali,
termenung duduk di atas sebuah
batu. Rupanya Sutan Mahmud
terlalu berdukacita karena
kematian anaknya ini dan amat
menyesal akan perbuatannya yang
telah lalu.
Setelah malamlah hari,
berjalanlah kedua mereka itu dari
sana dan sunyilah di makam itu.
Hanya Samsulbahrilah yang
tinggal seorang diri, di
tempatnya yang awal dan akhir ini.
Insaflah insan akan dirimu,
demikianlah juga akhirnya akan
jadimu!
Dua bulan kemudian, kelihatan
pada suatu hari, dua orang
muda naik bendi menuju ke Muara.
Walaupun pakaian mereka
cara Eropah, tetapi kopiahnya
yang hitam itu menyatakan, bahwa
mereka bangsa Bumiputra, anak
negeri di sana.
Seorang daripada mereka,
berpangkat dokter dan seorang
lagi, berpangkat opseter.
Keduanya memegang seikat bunga
dalam tangannya. Setelah sampai
ke Muara, lalu mereka
menyeberang sungai Arau dan
mendaki Gunung Padang. Tatkala
mereka tiba di tempat yang
ditujunya, kelihatanlah di sana
olehnya, lima buah kubur sejejer
berdekat-dekatan. Kelima
kubur itu sama besar dan sama
bentuknya. Pada tiap-tiap kepala
kubur ini, ada batu nisan dari
marmer, yang bertulis dengan
huruf air mas. Di kubur yang
pertama tertulis "Inilah kubur
Baginda Sulaiman, meninggal pada
tanggal 5 Ramadan, tahun
1315"
Pada nisan yang kedua tertulis
"Inilah kubur Siti Nurbaya,
binti Baginda Sulaiman meninggal
pada tanggal 5 Zulhidjdjah
tahun 1315".
Pada nisan yang ketiga tertulis
"Inilah kubur Samsulbahri,
anak Sutan Mahmud, Penghulu
Padang, meninggal tanggal 5
Syafar, tahun 1326".
Pada nisan yang keempat tertulis,
"Inilah kubur Sitti
Maryam, istri Sutan Mahmud,
Penghulu Padang, meninggal pada
tanggal 5 Zulhijah 1315."
Pada nisan yang kelima tertulis
"Inilah kubur Sutan Mahmud,
Penghulu Padang, meninggal pada
tanggal 8 Rabiulawal, tahun
1326".
Kedua anak muda tadi, lalu
menaburkan bunga yang
dibawanya ke atas kelima kubur
ini, terlebih-lebih ke atas kubur
yang kedua dan ketiga, sedang air
matanya berlinang-linang.
"Bakhtiar!" kata dokter
itu. "Adakah engkau sangka, tatkala
kira-kira sebelas tahun yang
lalu, berjalan-jalan dengan Samsu
dan Nurbaya kemari, kita pada
waktu ini akan melawat kuburnya
di sini? Masihkah engkau
mengingat waktu itu, tiga bulan
sebelum kita berangkat ke
Jakarta?"
"Sesungguhnya, Arifin,"
jawab opseter, "tidak kusangka
sekali-kali. Tetapi apa hendak
dikata? Karena manusia itu tiada
dapat berbuat sekehendak hatinya,
melainkan haruslah menepati
segala janji, yang telah
diperbuat. Meskipun demikian, kelima
mereka ini telah nyata dan tetap
tempatnya, berdekat-dekatan
kelimanya. Akan tetapi kita ini,
belum tentu lagi, entah di mana,
entah dengan siapa."
"Tetapi apakah sebabnya
Engku Sutan Mahmud meninggal
dengan tiba-tiba? Apakah
sakitnya?" tanya Arifin pula.
"Rindu akan anak-istrinya,
menyesal akan perbuatannya,"
jawab Bakhtiar.
"Kasihan," sahut
Arifin.
Setelah disuruh mereka beberapa
fakir mengaji di sana,
kembalilah keduanya pulang ke
rumahnya. Hanya yang telah
berkubur itu jugalah yang tinggal
di sana, untuk selama-lamanya.
TAMAT