Monday, October 8, 2012

Catatan Kecil Buat Bang Komar


Oleh : Rudi Rusli (Aktivis/Mahasiswa Unand Padang)

Pertama, perlu saya sampaikan suatu penghargaan buat Bang Komar yang telah menyatakan rasa kebangsaannya (baca:nasionalisme) dengan menegaskan sikap oppurtunitas taken for granted. Semua yang tertulis dalam karangan ini menunjukkan atau membuktikan sampai seberapa dalam refleksi yang dilakukan Bang Komar tentang Nasionalisme yang menggelegak dalam dirinya.
Paling tidak ada 6 (enam) kerangka atau bisa disebut babak dalam cerita Bang Komar ini : Pertama, Pengantar yang menjelaskan maksud penulisan karangan fiktif ini. Ada muatan pemberontakan dan nasionalisme kiri namun ada pula bau-bau anarkis dalam dua bait terakhir : Saya adalah Raja yang Diktator pada diri saya, begitulah Bang Komar punya prinsip. Dari sini, Bang Komar bisa-bisa di-cap individualistis. Namun dalam suatu takaran tertentu sikap individualistis memang perlu, tanpa memunafikan lingkungan social. Tetapi saya menangkap bahwa kalimat tersebut adalah suatu motivasi atau modal dasar dari Sang Pengarang untuk bisa  kreatif, bisa percaya diri dalam menguras ide-ide yang ada di rongga kepalanya. Inilah yang membuat Bang Komar menyampaikan Salam Merdeka.
Kedua, suatu refleksi terhadap usia Setengah Abad Indonesia. Dalam babak ini Bang Komar menanyakan banyak hal yang actual, setelah melandasinya dengan Sejarah Masa Lalu Bangsa Indonesia yang terjajah. Ini tentu menunjukkan betapa concern-nya Bang Komar dengan masalah-masalah sosial. Ia (Bang Komar) tidak lagi bicara tentang dirinya sendiri walau masih ada beberapa kalimat ketakutan akan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri yang bisa diartikan Subversif, PKI, Nggak Pancasilais. Ketakutan yang saya rasa masih banyak diidap oleh masyarakat Indonesia umumnya.
Ketiga, Babak Empati terhadap perasaan Soeharto (ditulis Pak Harto karena kita kan masih paternalistis) sebagai Presiden 30 tahunan. Di sini hati kecil Pak Harto seperti menyesalkan dan meragukan banyakhal; tentang kecintaan rakyat padanya, tentang seharusnya ia sudah minta pensiun sekian tahun yang lalu atau kematiannya yang bisa jadi menggembirakan banyak orang.
Keempat, yang bicara kali ini adalah Saya sebagai Calon Raja ke-5. Keseluruhan ia mencemaskan Suksesi yang akan mengalami masa-masa kritis seperti pertumpahan darah. Kelima, cerita meloncat ke Tahun 2035 dengan ambisi untuk merekaysa sejarah, dimana terjadi pertemuan antar generasi, antara Bung Karno, Pak Harto, Try Sutrisno, Raja IV dan Raja V. Suasana dibangun seperti suatu Rapat Dengar Pendapat dimana Raja V bertindak sebagai pengundang dan moderator. Pada bagian ini kita bisa melihat kelihaian Bang Komar mempermainkan sejarah dengan tetap berdasar pada Pakem Sejarah yang ada, sampai pada perkiraan spekulatif tentang Try Sutrisno sebagai pengganti Soeharto dan bagaimana Indonesia dimasa pemerintahaannya. Proporsi pembicaraan yang paling banyak adalah menyorot tentang Soeharto, tentang rasa ingin-nya yang keterusan menjadi ketagihan sampai 30 tahun jadi Presiden tetapi dibantah Pak Harto dengan alas an kehendak rakyat. Kemudian pembicaraan ditutup dengan pernyataan Pk Harto bahwa banyak rahasia yang mesti ditutup-tutupi sepanjang Orde Baru pada rakyat dan pers.
Keenam, ini adalah babak puisi yang berjudul Doa Buat Bangsaku…
Dari enam kerangka yang saya perhatikan di atas, apa yang dapat saya rasakan?
Saya merasakan kegelisahan anak bangsa seperti Bang Komar sebagaimana saya rasakan juga. Namun kita tidak bicara soal itu, kita bicara bagaimana seorang penulis (Bang Komar) mengungkapkan ragam-ragam corak penyampaian yang dikemas dalam suatu cerita : Bang Komar Perdiksi, Khayalan, Pikiran dan Doa-doa.
Keragaman tersebut terletak dalam suatu garis horizontal dimana ada titik-titik sejarah masa lalu, sekarang dan khayalan. Disatu sisi mencuatkan kemerdekaan dimana cerita ini mampu menyelinap ke balik sejarah formal (seperti yang ada di buku) atau pun sejarah yang diduga-duga mengenai perasaan seseorang tokoh dimasa lalu dan tentang apa yang akan terjadi nantinya dengan tokoh lainnya. Namun disisi lain juga menyiratkan keprematuran dimana tidak adanya alur cerita yang menambung, baik karena sudut cerita yang sering ditendesikan pada sudut tertentu sehingga jelas Pak Harto menjadi orang yang tersudut. Tetapi paling tidak, tulisan ini bisa menjadi alternatif bagi yang suka membaca.
Padang – Sumatera Barat, 15 Oktober 1995

No comments:

Post a Comment