Oleh : Rudi Rusli
(Aktivis/Mahasiswa Unand Padang)
Pertama, perlu saya sampaikan
suatu penghargaan buat Bang Komar yang telah menyatakan rasa kebangsaannya
(baca:nasionalisme) dengan menegaskan sikap oppurtunitas taken for granted.
Semua yang tertulis dalam karangan ini menunjukkan atau membuktikan sampai
seberapa dalam refleksi yang dilakukan Bang Komar tentang Nasionalisme yang
menggelegak dalam dirinya.
Paling tidak ada 6 (enam)
kerangka atau bisa disebut babak dalam cerita Bang Komar ini : Pertama,
Pengantar yang menjelaskan maksud penulisan karangan fiktif ini. Ada muatan
pemberontakan dan nasionalisme kiri namun ada pula bau-bau anarkis dalam dua
bait terakhir : Saya adalah Raja yang Diktator pada diri saya, begitulah Bang
Komar punya prinsip. Dari sini, Bang Komar bisa-bisa di-cap individualistis.
Namun dalam suatu takaran tertentu sikap individualistis memang perlu, tanpa
memunafikan lingkungan social. Tetapi saya menangkap bahwa kalimat tersebut
adalah suatu motivasi atau modal dasar dari Sang Pengarang untuk bisa kreatif, bisa percaya diri dalam menguras
ide-ide yang ada di rongga kepalanya. Inilah yang membuat Bang Komar
menyampaikan Salam Merdeka.
Kedua, suatu refleksi terhadap
usia Setengah Abad Indonesia. Dalam babak ini Bang Komar menanyakan banyak hal
yang actual, setelah melandasinya dengan Sejarah Masa Lalu Bangsa Indonesia yang
terjajah. Ini tentu menunjukkan betapa concern-nya Bang Komar dengan
masalah-masalah sosial. Ia (Bang Komar) tidak lagi bicara tentang dirinya
sendiri walau masih ada beberapa kalimat ketakutan akan pertanyaan-pertanyaan
itu sendiri yang bisa diartikan Subversif, PKI, Nggak Pancasilais. Ketakutan
yang saya rasa masih banyak diidap oleh masyarakat Indonesia umumnya.
Ketiga, Babak Empati terhadap
perasaan Soeharto (ditulis Pak Harto karena kita kan masih paternalistis)
sebagai Presiden 30 tahunan. Di sini hati kecil Pak Harto seperti menyesalkan
dan meragukan banyakhal; tentang kecintaan rakyat padanya, tentang seharusnya
ia sudah minta pensiun sekian tahun yang lalu atau kematiannya yang bisa jadi
menggembirakan banyak orang.
Keempat, yang bicara kali ini
adalah Saya sebagai Calon Raja ke-5. Keseluruhan ia mencemaskan Suksesi yang
akan mengalami masa-masa kritis seperti pertumpahan darah. Kelima, cerita
meloncat ke Tahun 2035 dengan ambisi untuk merekaysa sejarah, dimana terjadi
pertemuan antar generasi, antara Bung Karno, Pak Harto, Try Sutrisno, Raja IV
dan Raja V. Suasana dibangun seperti suatu Rapat Dengar Pendapat dimana Raja V
bertindak sebagai pengundang dan moderator. Pada bagian ini kita bisa melihat
kelihaian Bang Komar mempermainkan sejarah dengan tetap berdasar pada Pakem
Sejarah yang ada, sampai pada perkiraan spekulatif tentang Try Sutrisno sebagai
pengganti Soeharto dan bagaimana Indonesia dimasa pemerintahaannya. Proporsi
pembicaraan yang paling banyak adalah menyorot tentang Soeharto, tentang rasa
ingin-nya yang keterusan menjadi ketagihan sampai 30 tahun jadi Presiden tetapi
dibantah Pak Harto dengan alas an kehendak rakyat. Kemudian pembicaraan ditutup
dengan pernyataan Pk Harto bahwa banyak rahasia yang mesti ditutup-tutupi
sepanjang Orde Baru pada rakyat dan pers.
Keenam, ini adalah babak puisi
yang berjudul Doa Buat Bangsaku…
Dari enam kerangka yang saya
perhatikan di atas, apa yang dapat saya rasakan?
Saya merasakan kegelisahan anak
bangsa seperti Bang Komar sebagaimana saya rasakan juga. Namun kita tidak
bicara soal itu, kita bicara bagaimana seorang penulis (Bang Komar)
mengungkapkan ragam-ragam corak penyampaian yang dikemas dalam suatu cerita :
Bang Komar Perdiksi, Khayalan, Pikiran dan Doa-doa.
Keragaman tersebut terletak dalam
suatu garis horizontal dimana ada titik-titik sejarah masa lalu, sekarang dan
khayalan. Disatu sisi mencuatkan kemerdekaan dimana cerita ini mampu menyelinap
ke balik sejarah formal (seperti yang ada di buku) atau pun sejarah yang
diduga-duga mengenai perasaan seseorang tokoh dimasa lalu dan tentang apa yang
akan terjadi nantinya dengan tokoh lainnya. Namun disisi lain juga menyiratkan
keprematuran dimana tidak adanya alur cerita yang menambung, baik karena sudut
cerita yang sering ditendesikan pada sudut tertentu sehingga jelas Pak Harto
menjadi orang yang tersudut. Tetapi paling tidak, tulisan ini bisa menjadi
alternatif bagi yang suka membaca.
Padang – Sumatera Barat, 15
Oktober 1995
No comments:
Post a Comment