Sunday, October 7, 2012

Upah Minimum dan Pelanggaran HAM


Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ternyata secara substansi tidak responsif dengan apa yang disuarakan para pekerja/buruh maupun serikat pekerja/serikat buruh disetiap aksi demo atau mogok kerjanya, yaitu masalah upah.
Permasalahan atau konflik yang muncul antara pengusaha dengan pekerja/buruh sejak zaman kolonial hingga sekarang adalah didorong oleh masalah upah. Pemberlakuan aturan mengenai upah saat ini didasarkan pada Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), ironisnya Upah Minimum (UM) yang berlaku di Negara kita saat ini adalah 80% dari KHM!. Idelanya UM paling tidak sama dengan dengan KHM karena dengan demikian kondisi fisik dan psikis pekerja/buruh mencukupi untuk bisa produktif. Adalah sangat tidak mungkin memacu produktifitas pekerja/buruh kalau KHM-nya tidak terpenuhi. Kondisi seperti itu menciptakan ketidak-tenangan bekerja sehingga menimbulkan suasana yang tidak kondusif untuk penanaman modal atau membuat investor enggan masuk Negara kita.
Pemberlakuan UM disatu sisi dianggap tidak adil karena tidak membedakan antara perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang dianggap elite dengan perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) apalagi dengan perusahaan sekelas Industri Rumah Tangga, atau antara perusahaan padal modal dengan perusahaan padat karya. Juga tidak ada ketentuan yang mengatur perbedaaan upah Cleaning Service dengan Direktur, sebagai contoh banyak perusahaan yang CS-nya bergaji sekitar Rp.1.000.000,- tetapi Direkturnya 100 kali lebih besar.
Setiap akhir tahun menjelang penetapan UM selalu bermunculan aksi demonstrasi oleh Pekerja/Buruh yang menuntut kenaikan UM yang lebih besar dengan alasan untuk mencukupi biaya hidup yang makin meningkat setiap tahunnya, dari pihak pengusaha melalui asosiasinya selalu berkelit dengan alasan tidak mungkin menaikan upah jauh di atas pertumbuhan ekonomi dan suku bunga pinjaman Bank.
Dalam UU Ketenagakerjaan pada Pasal 88 ayat (1),” setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghiduan yang layak bagi kemanusiaan”. Ayat (2), “untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghasilan yang layak bagi kemanusiaan tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. Pemerintah menetapkan UM berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya pada Pasal 89 dinyatakan,”UM diarahkan kepada pecapaian kebutuhan hidup layak dan ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Sampai saat ini kenyataannya UM yang ditetapkan Gubernur, Bupati/Walikota setiap tahun selalu di bawah jumlah nilai kebutuhan yang layak. Pada sisi ini bisa dikatakan telah terjadi Pelanggaran Hak-hak Buruh bahkan telah terjadi Pelanggaran Hak Azasi Manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, bahwa setiap warga Negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Begitu pula diatur dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia yang menegaskan bahwa pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang. Setiap orang, baik pria maupun wanita dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Membicarakan nasib pekerja/buruh tidak semata berbicara aturan yang normatif, tetapi tidak terlepas dari masalah moral. Kalau hanya berpegang pada aturan normatif maka nasib pekerja/buruh tidak berbeda dengan nasib domba yang digembalakan yang suatu saat akan dikorbankan pemiliknya.
Pengusaha dengan kesepakatan, persetujuan atau se-izin penguasa menjelma menjadi anjing serigala yang ganas, ketika mereka merasa rugi maka opsi pertama yang diambil adalah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),pengurangan jumlah pekerja/buruh yang dibungkus dengan alasan efisiensi, rasionalisasi, restrukrisasi, relokasi, take over dan lain sebagainya.
Karena Negara kita adalah Negara hokum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia serta menjamin setiap hak warganya, hendaknya permasalahan upah ini perlu dikritisi semua pihak. Apalagi Organisasi Buruh Internasional juga telah mengungkapkan data bahwa setiap tahun lebih 2,2 juta pekerja/buruh meninggal dunia akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Dan salah satu cara atau upaya yang bisa dilakukan adalah mem-PTUN-kan setiap surat keputusan Gubernur, Bupati/Walikota yang menetapkan UM lebih kecil dari kebutuhan hidup yang layak.

Dimuat di rubrik Opini “Harian Haluan”, Selasa 1 Mei 2007

No comments:

Post a Comment