Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ternyata secara
substansi tidak responsif dengan apa yang disuarakan para pekerja/buruh
maupun serikat pekerja/serikat buruh disetiap aksi demo atau mogok kerjanya,
yaitu masalah upah.
Permasalahan
atau konflik yang muncul antara pengusaha dengan pekerja/buruh sejak zaman kolonial
hingga sekarang adalah didorong oleh masalah upah. Pemberlakuan aturan mengenai
upah saat ini didasarkan pada Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), ironisnya Upah
Minimum (UM) yang berlaku di Negara kita saat ini adalah 80% dari KHM!.
Idelanya UM paling tidak sama dengan dengan KHM karena dengan demikian kondisi
fisik dan psikis pekerja/buruh mencukupi untuk bisa produktif. Adalah sangat
tidak mungkin memacu produktifitas pekerja/buruh kalau KHM-nya tidak terpenuhi.
Kondisi seperti itu menciptakan ketidak-tenangan bekerja sehingga menimbulkan
suasana yang tidak kondusif untuk penanaman modal atau membuat investor enggan
masuk Negara kita.
Pemberlakuan
UM disatu sisi dianggap tidak adil karena tidak membedakan antara perusahaan
Penanaman Modal Asing (PMA) yang dianggap elite dengan perusahaan Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) apalagi dengan perusahaan sekelas Industri Rumah
Tangga, atau antara perusahaan padal modal dengan perusahaan padat karya. Juga
tidak ada ketentuan yang mengatur perbedaaan upah Cleaning Service dengan
Direktur, sebagai contoh banyak perusahaan yang CS-nya bergaji sekitar Rp.1.000.000,-
tetapi Direkturnya 100 kali lebih besar.
Setiap
akhir tahun menjelang penetapan UM selalu bermunculan aksi demonstrasi oleh
Pekerja/Buruh yang menuntut kenaikan UM yang lebih besar dengan alasan untuk
mencukupi biaya hidup yang makin meningkat setiap tahunnya, dari pihak
pengusaha melalui asosiasinya selalu berkelit dengan alasan tidak mungkin
menaikan upah jauh di atas pertumbuhan ekonomi dan suku bunga pinjaman Bank.
Dalam
UU Ketenagakerjaan pada Pasal 88 ayat (1),” setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghiduan yang layak bagi kemanusiaan”.
Ayat (2), “untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghasilan yang layak
bagi kemanusiaan tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh. Pemerintah menetapkan UM berdasarkan kebutuhan hidup
layak dan dengan memperhatikan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya pada Pasal 89 dinyatakan,”UM diarahkan kepada pecapaian kebutuhan
hidup layak dan ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan
Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Sampai
saat ini kenyataannya UM yang ditetapkan Gubernur, Bupati/Walikota setiap tahun
selalu di bawah jumlah nilai kebutuhan yang layak. Pada sisi ini bisa dikatakan
telah terjadi Pelanggaran Hak-hak Buruh bahkan telah terjadi Pelanggaran Hak
Azasi Manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, bahwa
setiap warga Negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Begitu pula
diatur dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia yang menegaskan
bahwa pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM
seseorang. Setiap orang, baik pria maupun wanita dalam melakukan pekerjaan yang
sepadan dengan martabat kemanusiannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan
prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Membicarakan
nasib pekerja/buruh tidak semata berbicara aturan yang normatif, tetapi tidak
terlepas dari masalah moral. Kalau hanya berpegang pada aturan normatif maka
nasib pekerja/buruh tidak berbeda dengan nasib domba yang digembalakan yang
suatu saat akan dikorbankan pemiliknya.
Pengusaha
dengan kesepakatan, persetujuan atau se-izin penguasa menjelma menjadi anjing
serigala yang ganas, ketika mereka merasa rugi maka opsi pertama yang diambil
adalah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),pengurangan jumlah
pekerja/buruh yang dibungkus dengan alasan efisiensi, rasionalisasi,
restrukrisasi, relokasi, take over dan lain sebagainya.
Karena
Negara kita adalah Negara hokum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang
menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia serta menjamin setiap hak warganya, hendaknya
permasalahan upah ini perlu dikritisi semua pihak. Apalagi Organisasi Buruh
Internasional juga telah mengungkapkan data bahwa setiap tahun lebih 2,2 juta
pekerja/buruh meninggal dunia akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja.
Dan
salah satu cara atau upaya yang bisa dilakukan adalah mem-PTUN-kan setiap surat
keputusan Gubernur, Bupati/Walikota yang menetapkan UM lebih kecil dari
kebutuhan hidup yang layak.
Dimuat
di rubrik Opini “Harian Haluan”, Selasa 1 Mei 2007
No comments:
Post a Comment