Saturday, September 29, 2012
Friday, September 28, 2012
Tuesday, September 25, 2012
Rekayasa Sejarah part 2 : Bang Komar Datang!!!
Suatu
hari, disaat terjadinya “masa genting” di Negara kita… di Istana Negara
berkumpul para pembesar negeri ini termasuk para pembesar yang berada di luar
struktur pemerintah.
Keadaan
betul-betul kritis yang mana kalau tidak cepat diantisipasi bakal mengalami
kehancuran sekaligus mengorbankan ratusan juta rakyat! Telah berpuluh-puluh
pakar dan politikus serta negarawan mengeluarkan pandangannya untuk bisa keluar
dari permasalahan ini tetapi semua pendapat tersebut gagal merumuskan suatu
solusi. Hampir saja pembesar-pembesar itu putus asa dan menyerah serta pasrah
untuk menunggu hari “H” kehancuran tersebut. Untung seorang tokoh tersentak dan
langsung berdiri :
“tidak
ada jalan lain, kita harus panggil beliau!”, teriaknya.
“siapa?”,
Tanya Panglima ABRI.
“Bang
Komar…!”.
“Ya,
hanya Bang Komar yang bisa!”, sahut yang lain.
Dua
jam kemudian BK tiba di Istana Negara setelah dijemput dengan Pesawat Khusus ke
kediamannya di pedalaman.
Wajah-wajah
tegang menyambut kedatangan BK. Suasana hening, yang terdengar hanya detak
sepatu dan langkah BK. Semua pandangan mata mengiringi langkah BK sampai ke
tempat duduk yang telah disediakan. Dengan mulut terkunci rapat dan wajah yang
dingin, BK menaroh pantatnya di kursi empuk sambil menanggalkan jubahnya.
“Selamat
dating kami ucapkan pada Bang Komar, dan kita langsung ke pokok permasalahan!”,
ucap Presiden.
Selanjutnya
terjadi dialog sebagaimana berikut.
Presiden:
Begini,
Bang Komar kan tahu bagaimana keadaan Negara kita saat ini, jadi kami mohon petuah
agar Negara dan rakyat dapat diselamatkan.
BK:
Hm, sebentar… rokok saya habis, tanpa
merokok dan kopi saya tidak bisa berpikir, jadi…
Presiden:
Tolong saudara ajudan, belikan
sigaret dua bungkus (Presdien memotong pembicaraan BK)
BK:
Oke, sebelum rokok dating, silakan
masing-masing menyampaikan permasalahan.
Menko Polkam:
Dari
segi politik dan keamanan saat ini kami kesulitan untuk mengkoordinir karena
hamper disetiap daerah ada gejolak dan gejala ingin memisahkan diri dari Negara
Kesatuan ini.
Menlu:
Pandangan
dunia internasional terhadap Negara kita betul-betul membuat kita tersudut
karena system pemerintahan kita dianggap tidak elok.
Menko Ekuin:
Perekonomian
kita maburadul karena korupsi, monopoli dan kolusi merajalela serta rupiah
anjlok sampai level Rp.25.000 per 1 US dollar.
(pembicaraan terhenti karena Ajudan Presiden
memasuki ruangan dengan membawa rokok dan langsung menyerahkannya pada BK,
setelah BK membakar rokonya dan menghembuskan asapnya ke udara pembicaraan
dilanjutkan)
Ketua
Komnas HAM:
Hak
azasi manusia pada rakyat kita benar-benar nggak terlindungi oleh
undang-undang.
Men
Agama :
Kerukunan
antar agama mulai panas karena banyaknya dakwah yang menyimpang.
Men
Kehakiman:
Hukum
sudah nggak ada artinya lagi, sekarang yang berlaku adalah hukum rimba.
Stop! Cukup, itu permasalahan dari
pemegang kekuasaan, sekarang silakan dari pojok lain! Bang komar memberi
kesempatan pada tokoh diluar strutur pemerintahan.
Ali
Sadikin II:
Orang-orang
di luar pemerintahan tidak dibenarkan mengkritik.
Hariman
Siregar II :
Mahasiswa
dikungkung untuk semata bergelut dengan buku di kampus.
Mukhtar
Pakpahan II:
Buruh-buruh
dipekerjakan lebih dari jam kerja hewan, dan upahnya jauh di bawah standar
kebutuhan pisik minimum.
Megawati
II: Partai politik dibuat kacau
ole hokum pemerintah.
Iwan
Fals II: Seniman dibatasi untuk
berkarya.
Emha
Ainum Nadjib II: Budayawan tidak
dibolehkan memberikan ceramah.
Tokoh
Masyarakat Daerah:
Kepala
Daerah kami selalu dikirim dari pusat, kami percuma mengajukan balon Bupati,
Walikotamadya dan Gubernur.
Khaak! Tiba-tiba Bang Komar batuk dan
mengejutkan seisi ruangan, pembicaraan kembali terhenti dan semua perhatian
kembali tertuju pada Bang Komar. Setelah meneguk kopi Bang Komar menatap dengan
mata nanar satu persatu manusia yang ada dirungan itu dan baru berhenti pada
wajah Presiden. “Anda sendiri bagaimana?” begitu yang terbaca oleh Presiden
ketika bertatapan dengan Bang Komar.
Presiden:
Saya
merasakan adanya suatu desakan agar saya turun dari kursi kepresiden. Padahal
saya telah berbuat secara konstitusional dan tidak menyimpang dari Pancasila
dan UUD 1945, saya baru menyadari keadaan ini belakangan karena sebelumnya
laporan yang saya terima selalu “tidak ada masalah” bahkan panglima pun bilang
keadaan aman terkendali.
Bang
Komar:
Baiklah,
itu permasalahan yang saudara-saudara sampaikan, saya sendiri biar tinggal di
pedalaman juga mengikuti perkembangan negeri ini, semenjak saya lahir sampai
tadi siang saat dijemput.
Sepertinya
memang sudah kronis, koma dan akut situasi yang dialami Negara sekarang tetapi
bukan berarti tidak ada jalan keluar. Karena saya dating dimintai petuah,
sebagai masyarakat sebagai warga Negara yang berhak dan berkewajiban membela
Negara dan Calon Raja ke-5 saya akan mengeluarkan petuah saya.
Saat
ini yang menyebabkan keadaan sampai begini adalah saudara-saudara sendiri
semua, kecuali saya. Kalian telah melupakan sejarah, melupakan tujuan
diproklamirkannya kemerdekaan, melupakan dasar Negara dan tidak memakai serta
malah menyelewengakan Undang-undang dasar. Kalian terjebak pada kepentingan
pribadi kelompok, kepentingan organisasi, kalian terperangkapdalam pertentangan
yang berkepanjangan dengan orang-orang yang sama-sama berbendera merah
putih. (Bang Komar berhenti sejenak untuk menikmati rokok dan seteguk
kopi….kemudian)
Kalian
lebih suka mencari lawan, mecari-cari kesalahan orang lain, mencari keburukan
orang lain dan menutup-nutupi kesalahan sendiri. Kalian suka mencari kambing
hitam untuk dikorbankan daripada memecahkan masalah. Siapa sih yang sukan pada keburukan dan
kekotoran? Jangankan kekotoran orang lain, kotoran kita sendiri pun membuat
kita harus menutup hidung!
Sekarang
mari kita benahi semuanya, yang dipemerintahan perbaiki system! Kembali ke
Pancasila dan UUD 1945… jalankan itu! Adanya Negara karena adanya rakyat,
mengabdi kepada Negara berarti mengabdi kepada rakyat, jangan untuk kepentingan
lain. Yang diluar struktur juga begitu, jangan hanya mengungkapkan kesalahan
pemerintah tanpa memberikan solusi. Kalian suka menggoyahkan stabilitas
nasional, membuat suasana bertambah panas, membikin rakyat kebingungan dengan
isu-isu dan rumor-rumor yang tidak jelas. Saya meragukan kekritisan
saudara-saudara bukan didasari kecintaan pada bangsa ini tetapi karena tidak
dapat jabatan dan karena ingin cari nama!
Kesimpulannya,
kita mulai dari kita-kita yang berada di sini sekarang, jalin persatuan dan
kesatuan, saling percaya dan saling memberi kesempatan!
Presiden:
Apakah
mungkin dalam keadaan mendesak sekarang itu bisa? Bagaimana dengan kepercayaan
rakyat yang telah luntur kepada kami?
Bang
Komar: Anda merasa tidak sanggup?
Pangab:
Bukan
begitu Bang Komar, kalau sampai besok pagi keadaan tidak diatasi maka Negara
kesatuan akan terpecah menjadi lebih 5 negara!
Bang
Komar:
Kalau
begitu nanti malam kita adakan sidang istimewa dan sejak itu saya yang jadi
pemimpin Negara ini! Ada yang tidak setuju?
Semua
diam!... dan sekian.
Catatan: Tidak
ada larangan untuk mengkhayal, Oppie pun menghayal lewat lagunya. Bang Komar
tidak mau tanggung-tanggung menghayal… menghayal jadi orang kaya rasanya
tanggung, menghayal jadi Bupati juga tanggung! Jadi, inilah hayalan Bang Komar.
Aur Atas, Bukittinggi – Sumatera Barat, 19 Januari
1996
Dari kumpulan tulisan Kamaruddin
dalam Buku : Bang Komar – Prediksi,
Khayalan, Pikiran dan Doa-doa.
Politik Cari Muka
Reformasi yang terjadi pada
tahun 1998 dilihat dari satu sisi dapat dianggap
sebagai kemenangan bagi rakyat. Salah satu bentuk kemenangan itu adalah rakyat lebih
merdeka dalam menentukan pemimpin sendiri, mulai dari memilih Presiden,
Gubernur, Bupati/Walikota, dan Wakil Rakyat (Anggota DPR/DPRD/DPD). Rakyat
tidak lagi memilih kucing dalam karung tetapi dapat melihat dan memilih sendiri secara langsung
wajah dan nama yang mereka suka.
Rakyat dalam memilih pemimpin
tentunya yang cocok dengan keinginan dan harapan untuk kebaikan mereka. Pilihan
itu tentu saja dipengaruhi “proses” yang terjadi sebelum hari “H” pemilihan,
apakah itu karena track record atau janji-janji dan harapan yang disampaikan
sosok calon pemimpin tersebut.
Setelah lebih 15 tahun Era
Reformasi tersebut berjalan dan dalam setiap pesta politik (Pemilu maupun
Pemilukada) rakyat selalu beharap untuk mendapatkan pemimpin yang mampu
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Rakyat masih mau memberikan suaranya
untuk mendapatkan seorang pemimpin, agar setelah terpilih pemimpin tersebut
akan mempunyai kekuasaan dan akan memperhatikan nasib rakyat serta bekerja demi
kemaslahatan rakyat. Paling tidak itu sebagai balas budi kepada rakyat yang
telah memilihnya, Itu asumsinya!.
Namun, faktanya sungguh
jauh berbeda. Yang terjadi, penguasa daerah (Kepala Daerah dan wakil
kepadadaerah) hanya sibuk bekerja demi kepentingannya sendiri, kepentingan
kelompoknya dan membalas budi hanya kepda pihak-pihak yang mendanainya dalam
memenangkan Pemilukada.
Bahkan belum beberapa
tahun menduduki Kursi Kepala Daerah, mereka telah dirasuki nafsu kekuasaan
untuk kembali menjabat pada periode berikutnya. Bukannya fokus membangun daerah
dan memberdayakan masyarakatnya tetapi malah sibuk mempersiapkan diri untuk
Pemilukada berikutnya.
Ciri-ciri atau tanda-tanda
para Kepala Daerah yang bernafsu mengejar kekuasaan 2 periode tersebut secara
kasat mata dapat dilihat dari gelagat dan “kelakuan” mereka setelah pertama
kali dilantik menjadi Kepala Daerah. Yang paling kasat mata adalah mereka selalu
mencari momentum politik pencitraan di mata masyarakat. Rajin menghadiri
seremoni-seremoni walaupun hanya acara tingkat Rukun Tetangga (RT) atau Rukun
Warga (RW), yang penting acara itu juga dihadiri ratusan calon pemilih pada
Pemilukada berikutnya. Berkelakuan layaknya “orang baik” santun, ramah dan
pemurah kepada rakyat walau pribadi sesungguhnya tidak paralel dengan itu,
bahkan bertolak belakang karena sesungguhnya pribadinya "parabo" angker. Untuk mendukung
politik pencitraan tersebut ratusan spanduk atau baliho dipasang disetiap sudut
daerah. Padahal spanduk, baliho atau poster-poster itu tidak mempunyai korelasi
apapun dengan subtansi peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan rakyat serta
pembangunan daerah.
Momentum lain yang sering
dimanfaatkan para “pemburu kekuasaan” tersebut adalah bencana atau musibah yang
menimpa rakyat. Mareka rela berlumpur-lumpur ria didaerah bencana ditengah
sorotan fotografer dan kameramen agar esoknya mendapat tempat sebagai “news” di media. Inilah yang disebut
politik pencitraan atau “Politik Cari Muka” demi popularitas menjelang Pemilukada
berikut.
Dalam tataran ini
seharusnya masyarakat kita harus lebih kritis melihat publikasi yang hanya
berisi puja-puji terhadap sosok tokoh politik dengan membandingkannya terhadap
substansi kebutuhan masyarakat. Apakah muka-muka yang sering muncul dimedia massa itu mampu dan
telah melakukan pembenahan dan perubahan kearah yang leibih baik. Mudah-mudahan
masyarakat lebih cerdas lagi dalam memilih sosok pemimpin yang ikhlas mengabdi
untuk kepentingan rakyat.**
Syarat Jadi Camat
Setelah
membaca tulisan Rusdi Lubis (mantan Sekdaprov Sumbar) dengan judul “Apakah
Camat Masih Diperlukan?” (Haluan
halaman 4, Senin 11/4/2011), salah satu kesimpulan yang dapat ditarik adalah
bahwa saat ini banyak terjadi kesalahan
dalam pengangkatan seseorang pada jabatan Camat. Selanjutnya, dari tulisan
tersebut kita juga dapat merasakan kegelisahan seorang yang pernah menduduki
Jabatan Struktural Tertinggi di Daerah, yang telah malang melintang dalam
pemerintahan dan tentunya sangat paham dengan kondisi kecamatan (khususnya di
Sumatera Barat) dan peranan apa yang harus dilakukan seorang camat, dan pada
akhirnya diekspresikan dengan “Opini” berjudul seperti itu.
Kesimpulan
itu ditarik dari tulisan Pamong Senior tersebut yang menyebutkan,” Dalam pada
itu pimpinan kecamatan tidak lagi mendasarkan kepada pertimbangan kompetensi
atau professional, banyak pimpinan kecamatan diisi dari tenaga-tenaga yang
kurang mengetahui tentang teknis penyelenggaraan pemerintahan, ataupun
pengalaman kerja tersebut, pengisian jabatan camat disamakan saja dengan
pengisian perangkat daerah lainnya”.
Apa
yang telah disampaikan Pak Rusdi Lubis secara kasat mata dapat kita lihat di
Era Otonomi daerah saat ini, untuk menjadi Camat tidak harus lulusan sekolah
camat (APDN/STPDN/IPDN) tetapi lulusan dari perguruan tinggi lainnya juga bisa.
Dari berita-berita yang muncul di Koran, ada camat yang berlatar belakang
pendidikan Guru, Sarjana Ekonomi, Sarjana Hukum dan latar belakang pendidikan
lainnya.
Namun
tulisan saya ini bukan untuk menjawab “pertanyaan” beliau melainkan sebuah
refleksi yang muncul dari kesimpulan tersebut sehingga memunculkan sebuah
pertanyaan, apa saja syarat seseorang untuk bisa diangkat menjadi Camat?
Lebih
lanjut, dalam tulisannya Rusdi Lubis menyampaikan bahwa pada waktu yang, lalu
untuk menjadi camat ada pertimbangan khusus dari segi latar belakang
ilmu/pendidikan/pelatihan serta pengalaman pekerjaannya.
Bukan
hanya untuk waktu yang lalu, pada saat ini “pertimbangan khusus” untuk dapat
menjadi camat itu juga ada bahkan lebih spesifik dan lebih selektif. Beberapa
regulasi yang khusus mengatur Kecamatan dan Camat dapat dipakai untuk dijadikan
pertimbangan atau syarat yang harus dipenuhi sebelum mengangkat seseorang jadi
Pemimpin Kecamatan.
Salah
satu regulasi yang khusus mengatur
tentang Kecamatan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008. Dalam
peraturan ini kekhususan
Camat dibandingkan dengan perangkat daerah lainnya adanya kewajiban untuk
mengintegrasikan nilai-nilai sosio kultural, menciptakan stabilitas dalam
dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketenteraman dan
ketertiban wilayah kecamatan sebagai perwujudan masyarakat. Disamping itu,
dalam penyelenggaraan tugas instansi pemerintahan lainnya di kecamatan
(unit-unit pelaksana teknis Dinas Pendidikan, Kesehatan, Pertanian dan lainnya)
harus berada dalam koordinasi Camat. Dalam hal ini, fungsi utama camat selain
mernberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas pembinaan
wilayah.Mengingat Kecamatan adalah ujung tombak yang langsung bersentuhan dengan masalah-masalah masyarakat, maka pelayanan yang diberikan Camat sangat berpengaruh terhadap citra pelayanan publik di mata masyarakat. Artinya jika pelayanan di tingkat Kecamatan baik, maka secara umum tanggapan masyarakat terhadap pelayanan publik juga baik, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu PP tersebut dalam Pasal 24, 25 dan 26 secara tegas mengatur persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Camat, yaitu menguasai pengetahuan teknis pemerintahan yang dibuktikan dengan ijazah pendidikan diploma/sarjana pemerintahan dan pernah bertugas di desa, kelurahan, atau kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun. Jika hal tersebut tidak dapat dipenuhi dengan alasan keterbatasan sumber daya PNS yang berlatar belakang pendidikan ilmu pemerintahan, maka yang bersangkutan harus telah lulus pendidikan teknis pemerintahan sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 30 tahun 2009 tentang Pelaksanaan Pendidikan Teknis Pemerintahan Bagi Calon Camat.
Disamping itu juga patut diperhatikan peryaratan lainnya terkait pengangkatan seseorang dalam jabatan struktural yang pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan pembinaan karier Pegawain Negeri Sipil. Dalam Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 Tahun 2002 yang memuat Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural, diatur pedoman dalam memproses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. Misalnya, untuk diangkat menjadi Pejabat Struktural harus dipenuhi ketentuan-ketentuan mengenai kepangkatan, kualitas dan tingkat pendidikan, prestasi kerja, kemampuan dan karakteristik, sehat jasmani dan rohani. Disamping itu harus diperhatikan faktor senioritas dalam kepangkatan, usia, pendidikan dan pelatihan (diklat) dan pengalaman jabatan.
Tetapi dalam kenyataannya regulasi-regulasi yang bertujuan untuk memberikan pedoman kepada pejabat yang berwenang seperti Anggota Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) maupun Bupati/Walikota sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian. Apalagi pengangkatan Camat yang dilakukan pasca Pemilukada, banyak diantara camat yang diangkat tidak memenuhi persyaratan sebagaimana telah oleh PP Nomor 19 Tahun 2008, Permendagri Nomor 30 Tahun 2009 serta Keputusan Ka BKN Nomor 13 Tahun 2002. Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya Camat yang tidak memiliki latar belakang pendidikan ilmu pemerintahan bahkan ada yang Cuma berijazah SLTA, belum pernah bertugas di kecamatan bahkan memiliki pangkat lebih rendah dari bawahannya.
Lebih parahnya, Baperjakat maupun Bupati/Walikota tidak melakukan “pembinaan” dengan tidak memberdayakan potensi aparatur yang ada di Kecamatan seperti PNS yang telah bertugas sebagai Sekretaris Camat (Eselon IIIb) atau Kepala Seksi (Eselon IVa). Bahkan, tidak memanfaatkan para PNS yang nyata-nyata merupakan alumni Pendidikan Dalam Negeri (APDN/STPDN/IPDN) yang sering disebut sebagai “sekolah Camat”. Disamping itu ada pula Bupati/Walikota yang melakukan mutasi Camat seperti melakukan sebuah revolusi, Camat lulusan sekolah Camat dipindahkan ke jabatan lain yang tidak mempunyai korelasi dengan kompetensi pendidikan atau pengalaman kerjanya. Sebagai penggantinya dilantik Camat baru yang tidak memenuhi kompetensi yang telah diatur.
Hal ini bukan saja menyalahi aturan yang berlaku, tetapi sekaligus
menyulitkan tujuan untuk mewujudkan penyelenggara pemerintahan daerah yang profesional
karena Camat yang dilantik tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis
dibidang pemerintahan.
Subscribe to:
Posts (Atom)