Wednesday, May 27, 2015

Analisa Yuridis Kasus


I.          TERHADAP ANALISA YURIDIS UNSUR SETIAP ORANG ;
Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutannya telah menguraikan unsur setiap orang pada sidang sebelumnya. Sebagaimana terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ditujukan terhadap “orang perorangan” secara pribadi yang disebut personal atau ditujukan kepada korporasi selaku subjek hukum.
Terdakwa yang dihadapkan di persidangan, ternyata adalah orang yang dalam kapasitasnya melaksanakan tugas dan jabatan dan kedudukan, serta kewenangannya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran berdasarkan Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dan didalam proses Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, adalah berdasarkan Pasal 9 ayat (3) Kepres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Berdasarkan ketentuan itu, unsur “setiap orang” yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tidak tepat diterapkan dan tidak terpenuhi oleh Terdakwa. Didalam seluruh Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum sendiri pun, penyebutan nama Terdakwa, Drs. Hendri, MM. Selalu dilekatkan dengan kapasitasnya selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau selaku Kabag Umum. Sehingga selalu dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, Drs. Hendri, MM. selaku Kuasa Pengguna Anggaran atau Drs. Hendri, MM.selaku Kabag Umum. Tidak pernah yang berdiri sendiri sebagai seorang personal orang perorangan, Drs. Hendri, MM.
Bahwa selanjutnya berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, maka sudah menjadi suatu keharusan dalam perkara a quo untuk memilah-milah mana perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa serta mana perbuatan yang dilakukan Panitia Pengadaan Barang/ Jasa, mana perbuatan yang dilakukan oleh Panitia Pemeriksa Barang, mana perbuatan yang dilakukan oleh PPTK, oleh Pengguna Anggaran yang menerbitkan SPM, Kuasa BUD yang menerbitkan SP2D dan mana yang dilakukan oleh rekanan, yang mana masing-masingnya disertai dengan tugas, fungsi dan tanggung jawab. Artinya setiap jabatan yang melekat tentulah disertai dengan kewajiban untuk tanggung jawab sesuai dengan kedudukan dan jabatan masing-masing. Bila tidak demikian maka proses penegakan hukum atas suatu peristiwa pidana menjadi tidak adil dan tidak berkepastian. Kewajiban dan tanggung jawab seseorang pemangku jabatan tidak bisa dibebankan kepada orang lain begitu saja. Dalam hal ini apakah itu tanggung jawab PPTK, apakah itu tanggung jawab PA sebagai atasannya, apakah itu tanggung jawab Asisten III sebagai atasan langsungnya, apakah itu tanggung jawab Panitia Pengadaan dan Panitia Pemeriksa sebagai unit yang terpisah dari struktur organisasinya, bahkan perintah yang diusulkan oleh Wakil Bupati dan disetujui oleh Bupati dianggap menjadi beban tanggung jawab KPA. Tentu saja dalam hal ini tugas dan tanggung jawab Kejaksaan Negeri Simpang Empat sebagai pembina hukum di Kabupaten Pasaman Barat otomatis juga menjadi tanggung jawab KPA. Cara-cara seperti tersebut sungguhlah tidak mencerminkan proses penegakan hukum yang berkeadilan dan berkepastian.
Atas dasar itu maka unsur setiap orang adalah tidak terpenuhi dan karenanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena unsur setiap orang pada Terdakwa adalah dalam arti sebagai pemangku jabatan, bukan orang perseorangan.




II.          TERHADAP ANALISA YURIDIS UNSUR SECARA MELAWAN HUKUM ;
Bahwa pada bagian umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, secara tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud secara “melawan hukum” adalah melawan hukum dalam pengertian formil dan materil sehingga pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipenjara. Namun berdasarkan putusan Makamah Konstitusi Nomor:003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006, maka rumusan perbuatan melawan hukum dalam arti materil tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga yang harus dibuktikan adalah perbuatan melawan hukum dalam arti formil.
Bahwa dalam surat tuntutannya, JPU telah mengatakan bahwa unsur melawan hukum telah terbukti secara sah dan meyakinkan, namun hanya di dasarkan pada penguraian kembali uraian dalam surat dakwaan sebagai uraian pembuktian dan tidak didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Oleh sebab itu, cukuplah alasan hukum bagi Terdakwa untuk memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan JPU.
Sungguhpun demikian, terkait dengan unsur melawan hukum dari dakwaan primer dalam perkara a quo, maka pertanyaan pokoknya adalah perbuatan manakah yang dipandang sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa??
Bahwa mencermati uraian pembuktian JPU dalam Surat Tuntutannya, terhadap unsur melawan hukum dan mempertemukannya dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, maka kesimpulan JPU unsur “melawan hukum” sebagai telah terbukti adalah kesimpulan yang keliru dan bertentangan dan tidak bersesuaian dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1.       Bahwa JPU dalam surat tuntutannya dalam halaman 82 menyebutkan “Bahwa kemudian Sekitar bulan Agustus 2010 dilakukan pembahasan perubahan APBD tahun 2010 dan berkaitan dengan pengadaan belanja kendaraan roda empat Microbus sebanyak 7 (tu)uh) Unit berdasarkan permohonan perubahan APBD dari Ketua TAPD (Sekda Kab. Pasbar) dirubah menjadi pengadaan 1 (satu) paket kendaraan untuk mobil dinas Bupati dan Wakil Bupati masing-masing Toyota Fortuner type V 4x4 Matic untuk Bupati dengan anggaran Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan Toyota Fortuner type G 4x2 Manual untuk Wakil Bupati dengan anggaran Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dengan harga total RP. 1.400.000.000; (satu milyar empat ratus juta rupiah). Setelah dilakukan pembahasan antara DPRD Pasaman Barat dan Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat, akhirnya perubahan tersebut disetujui oleh DPRD Kabupaten Pasaman Barat dan diformulasikan dalam DPPA­SKPD dan kemudian dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Barat Nomor 04 Tahun 2010 tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2010.
Bahwa uraian Penuntut Umum tersebut di atas jelas karangan dan imajinasi dari saksi Sudirman Samin seorang, karena tidak ada satupun barang bukti yanng membuktikan kebenaran dari pernyataan Sudirman Samin tersebut, malah yang ada hanya kita digiring dengan imajinasi saksi mantan anggota DPRD terebut yang juga merupakan saksi pelapor dalam kasus ini, yang menginginkan mobil Bupatinya adalah sama dengan mobilnya sendiri, yaitu Toyota Fortuner. Sementara seluruh dokumen yang ditampilkan, mulai dari notulen rapat Banggar dan TAPD, Laporan Banggar DPRD Kab. Pasaman Barat, RKA P Bagian Umum TA 2010, DPPA Bagian Umum TA 2010, sampai kepada Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Pasaman Barat Tahun 2010 yang disampaikan dalam Paripurna DPRD pada bulan April 2011, tidak ada satupun yang mencantumkan dan menyebutkan mengenai mobil Toyota Fortuner ini. Bahkan ketika ceritanya ini diadu dengan aturan main mekanisme penyusunan APBD seperti yang diatur didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, kebohongannya ini menjadi semakin terkuak, modusnya untuk menjadi makelar dan mencari keuntungan dari kegiatan yang dilaksanakan oleh SKPD Pasaman Barat terbuka secara jelas. Dan ini memang fenomena yang sangat kental terjadi di Pasaman Barat sampai pada tahun 2010, dimana anggota DPRD memiliki power yang sangat kuat dalam menentukan anggaran pada SKPD, bargaining-bargaining dalam kamar kecil dilakukan. Dan ini dimanfaatkan mereka untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang tidak terpuji. Pemerasan terhadap SKPD. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur bahwa, kewenangan DPRD dalam penyusunan RAPBD,  hanyalah sampai kepada rincian JENIS BELANJA. Dan jenis belanja itu hanya mengatur 3 (tiga) hal, yaitu : Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa serta Belanja Modal. Penjelasan ini telah disampaikan oleh Ahli Dr. Sumule Timbo dari Direjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Neegeri, RI dalam sumpah dipersidangan pada haru Jum;at tanggal 17 AprIl 2015. Dan Permendagri ini dibuat oleh Kemendagri, memang untuk mengantisipasi kenakalan-kenakalan anggota DPRD sehingga tidak bisa masuk kedalam domainnya Eksekutif, yang menciptakan peluang-peluang KKN. Sementara dalam belanja kegiatan pengadaan kendaraan dinas Bupati Pasaman Barat, itu berada didalam perubahan volume, yang merupakan bagian yang lebih kecil lagi dari perubahan rincian ojek belanja. Sehingga jangankan harus melalui perubahan Perda tentang APBD yang harus melalui persetujuan DPRD, persetujuan PPKAD saja pun tidak dibutuhkan. Karena itu sudah berada didalam kewenangan operasional Pengguna Anggaran, yang nantinya akan dipertanggung jawabkan menjadi SILPA yang disampaikan dalam Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Pasaman Barat. Nah, Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, memang hanya mengatur sampai kepada perubahan rincian objek belanja dalam objek belanja berkenaan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 160 ayat (2), sementara untuk perubahan realisasi volume, itu merupakan rincian yang lebih detail dari perubahan rincian objek belanja dalam objek belanja berkenaan, yang tidak termasuk diatur di dalam Pasal 160 ayat (2) tersebut.
Satu-satunya data yang bisa kita telusuri dari imajinasinya tersebut adalah mengenai harga mobil Toyota Fortuner pada tahun 2010 tersebut. Tetapi ini malah membuka kedok rencana mark up dan makelar anggota DPRD tersebut, karena harga mobil yang mereka usulkan dimasukkan kedalam anggaran Bagian Umum tersebut, dua kali lipat dari harga price list yang dikeluarkan oleh Toyota sendiri. Ini dibungkusnya dengan alasan, pajak dan keuntungan perusahaan. Padahal untuk pengadaan kendaraan bermotor yang telah memiliki price list dari ATPM, memang harga yang tercantum di dalam price list tersebutlah yang menjadi harga kontrak. Karena di dalam harga price list, itu sudah memasukkan komponen biaya pajak dan keuntungan perusahaan. Hal ini mengingatkan kita kepada permasalahan pengadaan UPS di DKI Jakarta yang juga melibatkan anggota DPRD nya. Apakah karena tidak jadi mendapatkan proyek dan keuntungan ini sebagai salah satu yang menyebabkan mereka meradang ? Wallahualam.... Karena secara politik, Saksi tersebut memang berlawanan secara frontal dengan Bupati Pasaman Barat, yang berujung dengan pemecatannya sebagai anggota DPRD Kabupaten Pasaman Barat dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan pada tahun 2014, yang secara kebetulan juga diketuai oleh Bupati Pasaman Barat. Hal ini hanyalah perulangan dari pemecatan serupa yang diterimanya pada waktu menjadi anggota DPRD Kabupaten Pasaman dari Fraksi Golkar pada tahun 2005. Tapi biarkanlah karakter saksi yang seperti itu. Saksi yang sesat itu biarkanlah sesat, asalkan jangan sampai kita pula yang disesatkannya dan dibuat sesat dengan kesaksian-kesaksian palsunya tersebut.

2.       Bahwa adalah tidak benar dan karangan JPU saja yang dinyatakannya dalam Surat Tuntutannya pada hal 83 “Bahwa sebelumnya Direktur CV. Makna Motor yaitu saksi ARIFIN AGROSURIO pernah bertemu dengan Bupati Pasaman Barat SdrBAHARUDDIN dan pada saat itu saksi ARIFIN meminta proyek kepada Sdr BAHARUDDIN dan Sdr BAHARUDDIN mengatakan bahwa akan ada proyek pengadaan kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati dan untuk itu Sdr BAHARUDDIN menyuruh saksi ARIFIN agar datang ke Kantor Bupati Pasaman Barat dan menemui Kabag Umum yaitu Terdakwa, selanjutnya saksi ARIFIN menyuruh karyawannya yaitu saksi OKTAVERI untuk datang ke Pasaman Barat menemui Terdakwa.”
Pernyataan JPU tersebut sungguhlah tidak berdasar sama sekali karena di dalam fakta persidangan, Sdr. Arifin tidak pernah meminta proyek pada Sdr. Baharuddin dan juga tidak pernah ada saksi lain yang mengatakan hal tersebut dan tidak ada satu bukti apapun yang membuktikan kebenaran pernyataan JPU tersebut. Ini jelas telah memutar balikkan fakta dan tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Bahkan ketika di dalam persidangan Majelis Hakim meminta kepada PJU agar menghadirkan Baharuddin sebagai saksi, agar pengusutan kasus ini dapat terang dan jelas sampai tuntas, tidak separo-separo dan tidak Bencong, JPU tidak dapat menjawab permintaan Majelis Hakim tersebut dan hanya menjawab dengan senyum seringai. Tetapi sekarang di dalam surat tuntutan, JPU malah membuat dan menambah-nambahkan karangannya sendiri. Disini nampak jelas bahwatidak ada niat dan keinginan baik dari JPU untuk membuat kasus ini menjadi terang dan jelas.

3.       Bahwa JPU dalam uraian surat tuntutannya telah memutar balikkan fakta dan tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan bahkan juga mengarang cerita untuk menjustifiksi tuntuannya dengan menyatakan “Bahwa kemudian saksi OKTAVERI datang sendirian menemui Terdakwa di kantor Kabag Umum Setda Pasaman Barat dengan membawa dokumen-dokumen seperti profil perusahaan, dan brosur penawaran kendaraan jenis Toyota Prado 2.7 TX seharga Rp. 875.000.000,• (delapan ratus tujuh puluh lima juta rupiah) dan Toyota Prado 2.7 TX-L seharga Rp.925.000.000,- (sembilan ratus dua puluh lima juta rupiah)dan setelah Terdakwa melihat dokumen yang dibawa oleh saksi OKTAVERI Terdakwa mengatakan kepada saksi OKTAVERI bahwa perusahaan CV Makna Motor tergolong perusahaan kecil karena itu tidak mungkin ditunjuk sebagai rekanan pelaksana pengadaan tersebut dan agar saksi ARIFIN tetap bisa melaksanakan pengadaan kendaraan dinas tersebut sebagaimana yang diperintahkan oleh Bupati Pasaman Barat kepada Terdakwa maka Terdakwa menyampaikan kepada saksi OKTAVERI agar saksi ARIFIN mencari perusahaan lain yang memenuhi syarat dan mau dipakai namanya guna kelengkapan administrasi pengadaan kendaraan dinas tersebut”
Bahwa berdasarkan pernyataan JPU tersebut diatas, jelas terlihat bahwa JPU tidak mengerti dan tidak memahami serta tidak mencermati jalannya persidangan karena JPU menyimpulkan kejadian Sdr. Oktaveri yang datang ke Simpang Empat tersebut terjadi dalam satu dimensi waktu yang sama. Pada hal di dalam fakta dipersidangan terungkap bahwa Sdr. Oktaveri datang ke Simpang Empat, dalam beberapa kali dengan waktu yang berbeda dan kepentingan yang berbeda. Disini dapat Terdakwa ulas kembali bahwa kedatangan Oktaveri yang pertama kali adalah pada bulan Oktober 2010 hanyalah untuk mengantarkan surat penawaran CV. Makna Motor.Dan surat pewaran CV. Makna Motor ini Terdakwa jadikan sebagai salah satu referensi untuk menghitung HPS bersama dengan surat penawaran dari perusahaan yang lain yaitu PT. Intercom, Terminal Motor, Suci Motor dan Antons Car.
Kedatangan Sdr. Oktaveri berikutnya adalah pada akhir Bulan November setelah proses lelang umum gagal sebanyak dua kali. Pada saat itu Sdr. Oktaveri ke Simpang Empat mengantarkan dokumen-dokumen perusahaan CV. Makna Motor, dan begitu dokumen tersebut diserahkan kepada Terdakwa, Sdr. Oktaveri langsung kembali ke Padang, Kemudian berkas dokumen-dokumen tersebut diserahkan oleh Terdakwa kepada Panita I ULP untuk dievaluasi, dan hasil evaluasi Panitia I ULP lah yang menyatakan bahwa CV. Makna Motor tergolong perusahaan kecil dan tidak bisa mengikuti proses pengadaan kendaraan dinas bupati ini. Hal tersebut disampaikan oleh Panitia I ULP kepada Terdakwa dan Terdakwa meneruskan apa yang disampaikan oleh Pantia I ULP tersebut kepada Sdr. Oktaveri.Komunikasi Terdakwa dengan Sdr. Oktaveri hanya sampai disini.
Jadi..tuduhan JPU atas Terdakwa mengatakan kepada saksi OKTAVERI bahwa perusahaan CV Makna Motor tergolong perusahaan kecil karena itu tidak mungkin ditunjuk sebagai rekanan pelaksana pengadaan tersebut dan agar saksi ARIFIN tetap bisa melaksanakan pengadaan kendaraan dinas tersebut sebagaimana yang diperintahkan oleh Bupati Pasaman Barat kepada Terdakwa maka Terdakwa menyampaikan kepada saksi OKTAVERI agar saksi ARIFIN mencari perusahaan lain yang memenuhi syarat dan mau dipakai namanya guna kelengkapan administrasi pengadaan kendaraan dinas tersebut”Adalah bohong dan karangan dari Imajinasi JPU belaka untuk menjustifikasi dakwaanya. Terdakwa tidak pernah menyuruh Oktaveri agar Saksi Arifin mencari perusahaan lain yang memenuhi syarat dan mau di pakai namanya. Seperti kutipan persidangan pada hari Jum’at tanggal 20 Maret keterangan saksi Oktaveri dibawah sumpah persidangan :
Oktaveri              : Waktu saya pulang ke Padang, kemudian saya ditelpon Pak Hendri
Jaksa                     : Berita dari Pak Hendri, kalau perusahaan saudara tidak bisa ikut
Oktaveri              : Ya penawaran
Jaksa                     : Lalu apa solusi Pak Hendri waktu itu?
Oktaveri              : Tidak ada pak
Jaksa                     : Anda pulang saja
Oktaveri              : Ya

4.       Bahwa JPU dalam membuat surat tuntutannya tidak bedasarkan fakta di persidangan sebagaimana yang dimuatnya pada surat tuntutannya di halaman 83, yang menyatakan “Bahwa setelah selesai melaksanakan survey, Terdakwa membuat dan menandatangani sendiri surat telaahan staf tertanggal 18 Oktober 2010”
Di dalam fakta persidangan, Terdakwa telah menerangkan bahwa  yang membuat telaahan staf tersebut bukanlah Terdakwa sendiri karena ini adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi di dalam suatu Organisasi Birokrasi Pemerintahan, seorang Kepala Bagian yang berada pada eselon III.a membuat suratnya sendiri. Tetapi pasti dibuat secara hierarkis oleh stafnya. Hal ini contohnya sama saja dengan Surat Perintah Penahan atas nama Terdakwa sendiri yang ditandatangani oleh Yudi Indra Gunawan selaku Kepala Kejaksaan Negeri Simpang Empat yang eseloneringnya sama-sama III.a dengan Terdakwa selaku Kepala Bagian Umum Sekretariat Daerah Kab. Pasaman Barat. Apakah ini artinya juga bahwa yang membuat dan menandatangani Surat Perintah Penahanan tersebut adalah Yudi Indra Gunawan sendiri? Tentu tidak..karena surat-surat dinas selalu dibuat dan diproses oleh bawahan kecuali kalau yang dimaksudkan oleh JPU ini adalah seperti yang saudara lakukan pada surat tuntutan yang dibacakan pada persidangan kemaren yang tentulah dibuat oleh saudara JPU  Akhiruddin sendiri dan langsung ditandatangani oleh saudara  Akhiruddin.

5.       Bahwa tidak benar uraian tuduhan JPU yang pada halaman 86 yang mengatakan “Bahwa perbuatan Terdakwa merubah rincian obyek belanja dari 2 unit kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati menjadi 1 unit kendaraan dinas Bupati saja merupakan perbuatan melawan hukum melanggar Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
·  Pasal 160 ayat (1): "Pergeseron anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1) huruf b serta pergeseran antar obyek belanja dalam jenis belanja dan antar rincian obyek belanja diformulasikan dalam DPPA-SKPD". Bahwa kenyataannya perubahan rincian obyek belanja dari 2 (dua) unit menjadi 1 (satu) tidak dituangkan dalam DPPA-SKPO.
·  Pasal 160 ayat (2): "Pergeseran antar rincian obyek belanja dalam obyek belanja berkenaan dapat dilakukan atas persetujuan PPKD".Seharusnya perubahan rincian obyek belanja tersebut tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan Kepala DPKAD selaku PPKD namun nyatanya tetap dilakukan oleh Terdakwa.
a.       Bahwa JPU sendiri tidak mengerti dengan apa yang dibuatnya dalam surat tuntutan tersebut, JPU tidak mengerti dan memahami pengertian dan apa yang dimaksud dengan rincian objek yang tertuang di dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. JPU menafsirkan  2 unit sebagai rincian objek. Dalam hal ini JPU sendiri telah salah menafsirkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) tersebut.
 Jika kita akan melakukan perubahan APBD, tentu merubah apa yang telah dicantumkan dalam APBD tersebut dengan mengganti seluruh atau sebagian dari objek atau rincian objek belanja berkenaan. Dalam DPPA Sekretariat Daerah Kab. Pasaman Barat Tahun 2010 pada Bagian Umum, Kegiatan Pengadaan Kendaraan Dinas/ Operasional tertulis Pekerjaannya adalah Pengadaan Kendaraan Dinas dengan pagu dana Rp. 1.400.000.000 (satu milyar empat ratus juta rupiah) dan volume 1 (satu) paket. Dalam hal ini bahwa angka 2 (dua) unit mobil tersebut jelas tidak tercantum sama sekali di dalam DPPA Sekretariat Daerah Kabupaten Pasaman Barat Tahu 2010 karena itu hanya uraian dari pekerjaan, jadi apa yang harus dirubah? Apa yang harus dituangkan kedalam DPPA-SKPD? Jawabannya tidak ada yang harus dirubah apalagi meminta persetujuan DPRD. Perubahan unit kendaraan ini tidak terkait sama sekali dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 160 ayat (1), karena ini hanya merupakan perubahan volume yang terjadi pada realisasi  kegiatan yang telah dianggarkan, bukan merupakan perubahan objek ataupun rincian objek seperti yang dimaksud dalam Pasal 160 ayat (1) tersebut, begitu juga dengan Pasal 160 ayat (2), karena tidak adanya perubahan rincian objek maka juga tidak ada memerlukan persetujuan kepala DPKAD selaku PPKD.
Hal ini juga telah dijelaskan oleh Saksi Celly Decilia Putri, SE, MM. A.kt  dibawah sumpah di persidangan pada hari Jum’at tanggal 27 Februari 2015 dan juga penjelasan dari Ahli Dr. Sumule Tumbo dari Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI dibawah sumpah pada persidangan hari Jum’at tanggal 17 April 2015.  Dimana kedua orang saksi tersebut Celly Decilia Putri, SE, MM. A.Kt adalah praktisi yang sehari-hari tugas dan pekerjaannya adalah mengelola keuangan daerah Pasaman Barat yang jumlahnya mencapai hampir 1 triliun rupiah, sudah barang tentu sangat menguasai dan ahli di dalam pelaksanaan aturan Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagai kitab suci pelaksanaan tugasnya. Dan Dr. Sumule Timbo disamping dalam kapasitasnya sebagai Kasi Wilayah I Pada Subdit Bagian Kebijakan dan Bantuan Keterangan Ahli pada Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, dimana dalam tugasnya sehari-hari adalah untuk memberikan penjelasan dan penafsiran terhadap peraturan-peraturan keuangan kepada seluruh stakeholder, bukan cuma dari Pemerintah Darah Kabupaten dan Propinsi se-Indonesia saja, tetapi juga termasuk dari instansi Kejaksaan, Kepolisian, KPK dan LSM-LSM yang membutuhkan informasi dan penjelasan mengenai substansi dari sebuah peraturan. Apalagi seperti yang dinyatakan oleh beliau di dalam persidangan, beliau bukan hanya mengerti dan paham tentang Permendagri No. 13 Tahun 2006 tersebut dan Permendagri-permendagri lainnya, tetapi bahkan beliau sangat mengerti dengan filosofi dan semangat serta suasana kebatinan yang mewarnai pada proses penyusunan peraturan tersebut karena beliau adalah orang yang terlibat langsung di dalam penyusunan peraturan tersebut.  Beliau bukanlah hanya sekedar akademisi atau pemerhati hukum administrasi negara belaka. Didalam persidangan tanggal 17 April 2015, Ahli Sumule Timbo dibawah sumpah persidangan memberikan keterangan bahwa dalam perubahan 2 (dua) unit kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati Pasaman Barat menjadi 1 (satu) unit kendaraan Bupati Pasaman Barat tidak perlu melalui persetujuan DPRD dan merubah Perda No. 04 Tahun 2010 tentang Perubahan APBD Kab. Pasaman Barat Tahun 2010 yang menjadi dasar DPPA SKPD. Ini hanyalah pengurangan volume, bukan pergeseran antar objek belanja dalam jenis belanja dan antar rincian objek belanja sebagaimana  yang dimaksud dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 160 ayat (1). Jadi dalam hal ini tidak ada pelanggaran yang dilakukan Terdakwa terhadap Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 160 ayat (1) dan (2)
b.       Bahwa tuduhan JPU yang menyatakan perbuatan Terdakwa merubah rincian obyek belanja dari 2 unit kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati menjadi 1 unit kendaraan dinas Bupati saja merupakan perbuatan melawan hukum melanggar Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 160 ayat (1) dan (2) adalah hal yang tidak berdasarkan dari fakta persidangan. JPU tidak menyimak dan memperhatikan jalannya persidangan dan juga tidak memperhatikan bukti-bukti yang ada, yang padahal juga menjadi barang bukti oleh JPU sendiri dalam perkara ini. Kemudian JPU dalam membuat surat tuntutannya antara satu sama lain saling bertentangan, disatu sisi JPU membenarkan dan disatu sisi menyalahkan. Hal ini terjadi terhadap Telaahan Staf Tanggal 10 November 2010 dari Asisten III kepada Bupati Pasaman Barat. Di dalam surat tuntutannya, JPU menuliskan tentang Telaahan Staf Tanggal 10 November 2010 ini sebanyak 5 kali yaitu pada dakwaan primernya di halaman 4, pada dakwaan subsidairnya di halaman 10-11, pada keterangan saksi Ir. Zalmi di halaman 63, pada keterangan Terdakwa di halaman 74 dan pada tuntutan di halaman 86. 

Berikut kutipan yang ditulis JPU tentang Telaahan Staf tersebut:
“Telaahan staf Kepada Bupati Pasaman Barat tertanggal 10 Nopember 2010 yang ditandatangani oleh Asisten III pada Sekda Pasaman Barat ( Ir. Zalmi N) perihal Tindak Lanjut Pengadaan Kendaraan Dinas Kepala Daerah Tahun Anggaran 2010 yang pada pokoknya menjelaskan bahwa penyebab tidak adanya rekanan yang mendaftar dikarenakan harga kendaraan operasional Kepala Daerah dimaksud ( Toyota Prado TX Limited dan Toyota Fortuner Type V Matic 4x4 Bensin ) tidak mencukupi dengan pagu dana yang tersedia. Oleh karena itu, demi kelancaran proses tender berkaitan dengan pagu dana maka Tim Panitia 1 ( Satu ) ULP Kab. Pasaman Barat akan mengeluarkan pengumuman tender kendaraan operasional kepala daerah untuk kedua kalinya dengan perubahan spesifikasi : Untuk 1 ( satu ) Unit Toyota Land Cruiser Prado Type TX Limited dirubah menjadi 1 ( satu ) Unit Toyota Land Cruiser Prado Type TX dan 1 ( satu ) Unit Toyota Fortuner Type V Matic 4 x 4 Bensin dirubah menjadi 1 ( satu ) Unit Toyota Fortuner Type G Luxury 4 x 2 Bensin. Kemudian telaahan staf tersebut didisposisi oleh Sekda kepada Bupati Pasaman Barat tanggal 10 Nopember 2010 yang isinya “mohon persetujuan Bapak sesuai saran”. Kemudian telaahan staf beserta disposisi dari Sekda tersebut didisposisi oleh Wakil Bupati tanggal 10 Nopember 2010 kepada Bupati yaitu "berhubung dana kita belum cukup dan medan kita wilayah bergunung perlu kendaraan 4x4, cukup kendaraan Bupati saja dulu, Wabup tahun 2011 kita anggarkan lagi". Setelah itu telaahan staf beserta disposisi dari Sekda dan Wabup tersebut masuk ke Bupati  kemudian didisposisi oleh Bupati Pasaman Barat Tanggal 10 Nopember 2010 kepada Sekda yang isinya “Setuju Saran Wabup”. Namun keesokan harinya yaitu pada tanggal 11 November 2010 Bupati membuat disposisi tambahan yang isinya adalah “limited” yang maksudnya adalah 1 ( satu ) Unit Toyota Land Cruiser Prado Type TX Limited”
Bahwa dari kutipan di atas dan di dalam fakta persidangan telah sama-sama melihat Telaahan staf tersebut dan mendengarkan keterangan saksi yaitu saksi Ir. Zalmi N dan keterangan Terdakwa sendiri,Terdakwa tidak pernah sama sekali melakukan perbuatan merubah 2 unit kendaraan wakil bupati dan bupati menjadi 1 unit kendaraan Bupati. Dari sini jelas dan terang bahwa apa yang dituduhkan JPU adalah tidak benar terhadap Terdakwa yang merubah rincian obyek belanja dari 2 unit kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati menjadi 1 unit kendaraan dinas Bupati. Karena disini jelas terbukti bahwa bukan Terdakwa yang merubah 2 unit kendaraan menjadi 1 unit kendaraan Bupati Pasama Barat melainkan  usulan Wakil Bupati melalui disposisinya pada TS tertanggal 10 November 2010 dan disetujui oleh Bupati Pasaman Barat melalui Telaahan staf yang sama tertanggal 10 November 2010.
Bahwa, JPU menuduhkan tindakan yang merubah dari 2 unit kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati menjadi 1 unit kendaraan dinas Bupati saja merupakan perbuatan melawan hukum, melanggar Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 160 ayat (1) dan (2) maka yang seharusnya menjadi Terdakwa dalam perkara ini adalah Wakil Bupati Pasaman Barat dan Bupati Pasaman Barat sendiri. Namun dalam hal ini,  JPU sungguh tidak berlaku adil dan tidak bernyali, jangankan untuk menjadikan sebagai Terdakwa, untuk dijadikan sebagai saksipun tidak berani sama sekali, padahal untuk membuktikan kebenaran dari Disposisinya pada Telaahan Staf tertanggal 10 November 2010 perlu didengar kesaksian dari Wakil Bupati dan Bupati tersebut dan hal ini juga senada yang disampaikan oleh Majelis Hakim pada waktu persidangan yang meminta JPU untuk menghadirkan Bupati Pasaman Barat tapi tidak digubris sama sekali.
Disini JPU telah jelas salah sasaran dan salah menangkap orang yang dijadikannya Terdakwa, yang akhirnya mengorbankan Terdakwa demi terpenuhinya target kasus dari JPU sendiri.  Dengan demikian, dakwaan dan tuntutan JPU karena tindakan Terdakwa melawan hukum Permendagri No. 13 Tahun 2006, batal demi hukum.

6.       Bahwa perbuatan Terdakwa merubah rincian obyek belanja dari 2 unit kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati menjadi 1 unit kendaraan dinas Bupati saja juga merupakan perbuatan melawan hukum melanggar Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Bagian ketiga, Prinsip Dasar Pasal 3 :
·         Pengadaan Barang/Jasa Wajib menerapkan Prinsip-prinsip:
a.     Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;
b.    Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan;
c.     ...
d.    ...
e.     ...
f.      Akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.
·         Hal tersebut dikarenakan peran Terdakwa selaku KPA tidak dapat melaksanakan pengadaan 2 (dua) unit kendaraan dinas untuk Bupati dan Wakil Bupati tersebut meskipun sudah tersedia anggaran yang cukup untuk itu yakni sejumlah total Rp.1.400.000.000,- (satu milyar empat ratus juta rupiah), melainkan hanya mampu mengadakan 1 (satu) unit kendaraan untuk Bupati saja (toyota prado) yang notabene memiliki harga yang sangat tinggi dan merupakan pemborosan anggaran serta tidak layak dan tidak tepat untuk digunakan Kepala Daerah Tingkat II yang belum lama terbentuk sehingga sisa anggaran tidak mencukupi pembelian kendaraan untuk Wakil Bupati. Bahwa kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh Terdakwa tersebut tidak menerapkan prinsip Efislen, Efektit, Akuntabel.
Majelis Hakim yang mulia. Sebagai seorang yang awam dengan hukum, sekaligus baru pertama kalinya menginjakkan kakinya di Pengadilan, dan bahkan langsung duduk di bangku pesakitan sebagai Terdakwa, saya betul-betul dan sungguh-sungguh terkejut dengan pemandangan dan penyampaian oleh Penuntut Umum. Bagi saya selaku orang Pemerintahan, yang hanya belajar ilmu hukum sebatas dasar-dasarnya saja. Tidak mengenal dengan istilah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Apalagi cara yang ditampilkan tersebut adalah cara-cara yang tidak benar dan terbalik-balik karena ketidak tahuan dan ketidak mengertian Penuntut Umum terhadap peraturan yang dituduhkannya dilanggar. Apakah karena posisi dan kapasitas sebagai seorang Aparat Penegak Hukum, maka kemudian APH tersebut dapat saja mengartikan dan memakai suatu peraturan dengan sesukanya saja ? bisa mengartikannya terbalik, bisa mencomot-comot seenaknya, dan kemudian dilemparkan kepada Terdakwa menjadi kesalahan seorang Terdakwa ? apakah memang begini dunia hukum Indonesia ? atau hanya kebetulan saja saya bertemu dengan APH yang seperti ini ? apakah ini yang disebutkan sebagai menghormati peradilan dan menghormati proses hukum ?
Darimana dasarnya maka bisa dikatakan Terdakwa merubah rincian obyek belanja dari 2 unit kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati menjadi 1 unit kendaraan dinas Bupati saja. Yang dirubah dari 2 itu mana ? apa Penuntut Umum tidak melihat kepada Barang Bukti Penuntut Umum sendiri? Bukankah di persidangan dan di dalam Surat Tuntutan ini sendiri, berulang kali Penuntut Umum menyampaikan bahwa yang mengusulkan agar pengadaan kendaraan dinas tahun ini cukup untuk bupati saja dulu, dan untuk kendaraan wabup tahun depan kita anggarkan lagi adalah Wabup? Dan bukankah Bupati yang menyetujui usulan Wabup tersebut ? Sementara Terdakwa sendiri malah tetap menyarankan agar kendaraan ini dibeli dua buah, tetapi speknya yang diturunkan agar harganya terjangkau oleh penyedia barang. Kenapa bukan Wabup atau Bupati saja yang Penuntut Umum tuntut ? Apakah karena wabup atau bupati tersebut, maka Penuntut Umum takut ? Takut tidak dapat lagi proyek-proyek untuk kejaksaan negeri simpang empat ? seperti yang selama ini setiap tahun selalu dapat ? Minta pengadaan tanah untuk pembangunan Kacabjari Air Bangis TA 2013, minta biaya untuk pematangan lahannya TA 2014. Minta memasukkan listrik untuk kantor TA 2010, mushala dan perumahan kajari,  minta mobil Toyota Innova Luxury untuk kajari TA 2010. Minta ini minta itu. Tahun ini apa jadi pengaspalan seluruh area halaman kantor kajari? Apa bukan itu yang merupakan pemborosan terhadap anggaran pemerintah daerah, karena dana APBD yang mestinya untuk kesejahteraan dan pembangunan rakyat Pasaman Barat disedot untuk kepentingan instansi vertikal yang dananya juga disediakan oleh Pemerintah Pusat ?
Apa dasar hukum saudara Penuntut Umum untuk mengatakan bahwa pengadaan 1 (satu) unit kendaraan untuk Bupati yaitu toyota prado yang notabene memiliki harga yang sangat tinggi merupakan pemborosan terhadap anggaran dan malah tidak layak dan tidak tepat untuk digunakan Kepala Daerah Tingkat II yang belum lama terbentuk sehingga sisa anggaran tidak mencukupi pembelian kendaraan untuk Wakil Bupati ? Padahal mengenai kendaraan dinas pejabat negara, itu sudah ada peraturan yang mengaturnya. Dan tidak ada pula dibedakan daerah ini menjadi daerah yang sudah lama terbentuk dengan daerah yang baru terbentuk. Dan untuk saat ini, yang mana itu yang Penuntut Umum sebut Daerah Tingkat II ? Tidak ada lagi saat ini daerah di Indonesia bertingkat-tingkat Penuntut Umum. Banyak-banyaklah membaca dan belajar. Apa yang Penuntut Umum sebut saat ini, hanya mengingatkan Terdakwa akan istilah yang disebutkan oleh Kajari Simpang Empat yang lama, bahwa mengenai mobil prado ini disebutkannya bahwa bupati Pasaman Barat, ibarat anak SD yang memakai baju SMA. Begitu dalamnya kebencian Kajari Simpang Empat yang  sebelum ini kepada Bupati Pasaman Barat. Itulah yang menyebabkan begitu ngototnya Kajari untuk memaksakan naiknya kasus pengadaan kendaraan dinas bupati, dengan harapan bupati akan terseret karena itu. Dan ini sekarang tetap dilanjutkan dengan imajinasi-imajinasi Penuntut Umum untuk mendudukkan Terdakwa dalam kasus ini. Kesimpulan dari situasi tersebut adalah :
HUBUNGAN YANG TIDAK HARMONIS ANTARA BUPATI PASAMAN BARAT DENGAN KAJARI SIMPANG EMPAT MENYEBABKAN KAJARI SIMPANG EMPAT MEMPUNYAI AMBISI UNTUK MENJATUHKAN KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN BUPATI PASAMAN BARAT MELALUI CARA-CARA MENGORBANKAN APARAT-APARAT PEMERINTAH DAERAH PASAMAN BARAT

7.       Bahwa JPU dalam uraian tuntutannya telah memutar balikkan fakta dan tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan terkait proses pengadaan kendaraan dinas Bupati Pasaman Barat Tahun 2010 oleh Panitia I ULP. Sebagai orang yang awam dibidang hukum, saya betul-betul kaget dan tidak mengerti kenapa sampai ada seorang manusia yang diangkat dengan bersumpah atas nama Allah, mau dan mampu di dalam melaksanakan tugasnya untuk berkata BERBOHONG dan MEMFITNAH. Apa lagi fitnah yang dilakukannya dengan terang-terangan akan menzalimi orang yang difitnahnya tersebut. Begitu berharganya mereka memandang sebuah jabatan sampai lupa kepada dosa dan azab dari Allah, SWT.
Dari apa yang disampaikan oleh JPU dalam surat tuntutannya ini, adalah sesuatu yang bohongdan bukan saja bertentangan dengan fakta persidangan, sebagian besar juga tidak ada disebut-sebut di dalam persidangan, ALIAS JPU MENGARANG SENDIRI. Seperti dengan pernyataan JPU pada halaman 87 sampai 88 berikut ini :
·         JPU mengatakan bahwa saksi OKTAVERI menyampaikan petunjuk yang diberikan oleh Terdakwa kepada saksi ARIFIN, selanjutnya saksi ARIFIN mencari perusahaan yang memenuhi kriteria yang disebutkan oleh Terdakwa dan akhirnya saksi ARIFIN menghubungi saksi VITARMAN. Sementara kenyataanya di dalam persidangan Sdr. Oktoveri menyampaikan bahwa tidak ada petunjuk atau solusi dari Terdakwa.
·         JPU mengatakan bahwa Terdakwa mengatakan kepada saksi VITARMAN bahwa PT. Baladewa akan ditunjuk sebagai rekanan pelaksana melalui metode penunjukan langsung. Sementara dari fakta persidangan, komunikasi melalui handphone yang dilakukan oleh Sdr. Vitarman melalui HP Otaveri kepada Terdakwa itu Cuma sebatas perkenalan diri dan menanyakan apakah betul pelelangan telah gagal dua kali? Dan apa ada berita acaranya. Jadi tidak ada pembicaraan bahwa PT. Baladewa akan ditunjuk sebagai rekanan pelaksana melalui metode PL.
·         JPU mengatakan bahwa PT. Intercom tidak memiliki Kemampuan untuk menyediakan mobil jenis Prado karena PT. Intercom selaku distributor resmi Toyota hanya menjual mobil yang telah ditetapkan oleh ATPM sementara mobil jenis Toyota Prado adalah mobil yang tidak ada dalam daftar ATPM dan hanya dijual oleh importir umum oleh karena Itu surat dukungan yang dibuat tersebut bukanlah surat resmi yang diterbitkan oleh PT. Intercom.  Dalam hal ini, Surat Dukungan yang dimaksud adalah salah satu persyaratan kualifikasi calon penyedia barang yang disampaikan oleh calon penyedia bersama dengan dokumen penawarannya yang kemudian dievaluasi oleh Pantia Pengadaan Barang tentang ada atau tidaknya dan tentang kebenaran dari Surat Dukungan tersebut. Hasil evaluasi panitia ini lah yang menentukan apakah PT. Baladewa lulus evaluasi dan layak/ tidak untuk menjadi calon penyedia barang.  Apabila Panitia telah melakukan evaluasi dan menyatakan PT. Baladewa lulus evaluasi untuk menjadi calon penyedia,artinya seluruh dokumen penawaran termasuk surat dukungan sudah memenuhi dan sesuai dengan aturan. Apabila dikemudian hari didapati keterangan bahwa Surat Dukungan dari PT. Intercom tersebut tidak resmi, maka itu diluar kewenangan KPA.
·         JPU mengatakan Bahwa Terdakwa meminta saksi BENDRI untuk melakukan penunjukan langsung terhadap kegiatan pengadaan tersebut dan seluruh kelengkapan administrasi untuk mengikuti proses penunjukan langsung dilengkapi dan ditandatangani oleh saksi Vitarman di ruangan Terdakwa. Pada saat itu Terdakwa juga menandatangani Surat Nomor : 027/217/KPA/Umum­/2010 tertanggal 23 Nopember 2010 yang isinya meminta ULP untuk melaksanakan Penunjukan Langsung terhadap paket Pekerjaan tersebut. Pernyataan Penuntut Umum ini adalah tidak berdasarkan kepada fakta persidangan karena antara penandatanganan surat Nomor: 027/217/KPA/Umum­/2010 tertanggal 23 Nopember 2010 dilaksanakan pada tanggal 23 November 2010, sementara kedatangan Sdr. Vitarman dan Sdr. Oktoveri membawa dokumen penawaran adalah pada awal Desember 2010. Pernyataan Penuntut Umum ini hanyalah untuk menjustifikasi dakwaannya bahwa pengadaan ini direkayasa untuk PT. Baladewa Indonesia.
8.       Bahwa poin-poin yang dikemukakan oleh JPU dalam surat tuntutannya halaman 88, menggambarkan ketidak mengertian Penuntut Umum terhadap proses pengadaan barang/ jasa dan malah JPU hanya mengambil dan menyampaikan surat-surat dan dokumen yang dibutuhkannya untuk menjustifikasi dakwaannya dan menghilangkan barang-barang bukti yang lain yang semestinya merupakan satu kesatuan dalam proses pengadaan  kendaraan dinas ini. Sehingga dengan demikian, kesimpulan yang disimpulkan oleh JPU tidak sesuai dengan fakta yang ada, apalagi ditambah dengan JPU maupun aparat penyidik di Kejaksaan Negeri Simpang Empat tidak satupun yang memiliki sertifikasi keahlian pengadaan barang/ jasa meskipun telah beberapa kali pernah mengikuti pelatihan dan ujian sertifikasi tersebut, namun tidak satupun yang lulus dan memiliki sertifikasi sebagai Ahli Pengadaan.
Pada halaman 88 tersebut, JPU menyampaikan bahwaselanjutnya Terdakwa mengeluarkan surat Nomor 027/218/KPA/Umum-2010 tanggal 3 Desember 2010,  padahal surat itu tidak serta merta ditandatangani langsung oleh Terdakwa karena sebelumnya terlebih dahulu ada surat Usulan Penetapan Calon Penyedia Barang Lulus Pascakualifikasi dari Ketua Panitia 1 ULP Kab. Pasaman Barat kepada KPA Nomor : 14PL.4/ULP.B1/UPCPLP/1/PASBAR-2010 tanggal 03 Desember 2010 beserta lampiran Berita Acara Hasil Evaluasi Pascakualifikasi yang ditandatangani oleh 5 orang panitia 1 ULP dengan Nomor 14PL.3/ULP.B1/BAHEP/1/PASBAR-2010 tanggal 3 Desember 2010. Dan surat Nomor 027/218/KPA/Umum-2010 tanggal 3 Desember 2010 bukanlah surat penetapan PT. Baladewa Indonesia yang memenuhi syarat dan lulus evaluasi sebagai rekanan sebagaimana yang ditulis oleh JPU pada hal 88 tersebut. Jika surat yang dimaksud adalah surat Nomor 027/218/KPA/Umum-2010 tanggal 3 Desember 2010, perihal yang benar adalah Surat Penetapan Calon Penyedia Barang Lulus Pascakualifikasi.
Bahwa JPU menyampaikan setelah sdr. Vitarman mengajukan penawaran sebesar Rp.1.072.500.000,- (satu milyar tujuh puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dan selanjutnya setelah negosiasi, disepakati nilai sebesar Rp.1.072.000.000,-. (satu milyar tujuh puluh dua juta rupiah). Selanjutnya Terdakwa mengeluarkan Surat nomor 027/218/KPA/Umum-2010 tanggal 3 Desember 2014 yang ditujukan kepada ULP yang menetapkan PT. Baladewa Indonesia memenuhi syarat dan lulus evaluasi sebagai rekanan kegiatan pengadaan 1 (satu) unit kendaraan Dinas Bupati dan Wakil Bupati.Kemudian diterbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (Gunning) Nomor 027/176/SP/2010 tanggal 13 Desember 2010.
Dalam hal ini JPU tidak menyimak dan memperhatikan fakta dipersidangan terhadap keterangan saksi Bendri dan juga keterangan Terdakwa perihal proses pengadaan barang/ jasa karena JPU tidak menyampaikan fakta yang sebenarnya terjadi di persidangan.
Fakta dipersidangan bahwa setelah surat tertanggal 3 Desember 2010 tersebut, masih banyak surat-surat dan dokumen lain yang dikeluarkan oleh Ketua Panitia 1 ULP Kab. Pasaman Barat yaitu :
-   Surat undangan Aanwijzing kepada PT. Baladewa Indonesia
-   Berita Acara Penjelasan Pekerjaan (Aanwijzing)
-   Berita Acara Pembukaan Penawaran
-   Koreksi Aritmatik
-   Berita Acara Hasil Evaluasi
-   Berita Acara Negosiasi Teknis dan Harga, dan
-   Surat Usulan Penetapan Pemenang PL kepada KPA
Inilah yang dikatakan, JPU sengaja tidak menampilkan proses yang dilaksanakan oleh panitia I ULP untuk menjusifikasi dakwaannya, bahwa Terdakwalah yang menentukan segalanya. Padahal,  bisa atau tidaknya seorang rekanan menjadi penyedia barang adalah tergantung kepada hasil evaluasi Pantia Pengandaan Barang/ Jasa,  dan jika JPU paham dan mengerti tentang proses yang berlangsung untuk penetapan sebuah perusahaan menjadi rekanan maka JPU tidak akan salah mengambil kesimpulan seperti yang diutarakannya ini.
Proses penetapan sebuah perusahaan menjadi pemenang dalam pengadaan kendaraan Dinas Bupati Pasaman Barat ini, melewati tahap-tahap sebagai berikut:
1.       Surat Undangan Mengikuti Pascakualifikasi dari Ketua PPBJ kepada PT. Baladewa
2.       Pendaftaran dan pengambilan dokumen pascakualifikasi PBJ Metode PL
3.       Pemasukan dokumen prakualifikasi
4.       Penilaian kualifikasi
5.       Surat Penetapan Calon Penyedia Barang Lulus Pascakualifikasi dari Ketua PPBJ
6.       Surat Penetapan Calon Penyedia Barang Lulus Pascakualifikasi dari KPA
7.       Surat Undangan Aanwijzing dari Ketua PPBJ kepada PT. Baladewa Indonesia
8.       Anwijzing/ penjelasan, dan pembuatan berita acara
9.       Pemasukan penawaran
10.   Koreksi Aritmatik
11.   Evaluasi penawaran;
12.   Negosiasi baik teknis maupun biaya;
13.   Surat Usulan Penetapan Pemenang PL
14.   Penetapan/penunjukan penyedia barang/jasa;
15.   Penandatanganan kontrak.
Tahapan-tahapan seperti ini tentu akan berbeda lagi jika metode pengadaan yang digunakan berbeda, apakah itu Metode Pelelangan Umum Prakualifikasi, Metode Pelelangan Umum Pascakualifikasi, Pemilihan Langsung Prakualifikasi, Pemilihan Langsung Pascakualifikasi maupun Pelelangan Terbatas Pascakualifikasi. Dengan banyaknya langkah-langkah dan tahap yang dilewati oleh calon penyedia barang/ jasa, maka metode PL bukanlah merupakan sebuah metode seperti yang dibayangkan oleh JPU atau sebagian besar orang yang tidak mengerti tentang proses ini bahwa pemilihan metode PL seperti identik dengan kegiatan untuk mencuri uang negara.
Dengan metode Pascakualifikasi yang sama untuk pelelangan umum maka tahap-tahap yang dilewatinya juga sama, bedanya hanya pada tahap evaluasi, kalau Penunjukan Langsung, hanya satu yang di evaluasi, sementara pada pelelangan umum, mengevaluasi lebih dari satu penawaran.
Hal ini sengaja kami sampaikan, meskipun ini barangkali tidak diperlukan pada saat ini karena jangankan ketika telah berada pada frame negatif dalam sebuah kasus seperti saat ini, sedangkan pada saat sedang mengikuti pelatihan barang dan jasapun tidak akan semua orang bisa paham dan mengerti sehingga banyak yang tidak lulus ketika mengikuti ujian sertifikasi, termasuk JPU sendiri. Tapi minimal, karena ini berada pada sebuah kasus mudah-mudahan JPU bisa lebih arif untuk kasus pengadaan barang dan jasa berikutnya sehingga tidak sembarang orang yang menjadi korban akibat ketidak mengertian JPU.

9.       Bahwa kegagalan lelang sebanyak dua kali tersebut dengan kondisi terjadi berbagai perubahan diantaranya perubahan rincian obyek belanja dari 2 (dua) unit kendaraan untuk Bupati dan Wakil Bupati menjadi 1 (satu) unit saja merupakan serangkaian perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dalam rangka memuluskan jalan agar saksi ARIFIN dapat ditetapkan sebagai rekanan dalam pengadaan kendaraan tersebut seperti yang sejak awal diinginkan oleh saksi ARIFIN dan diinstruksikan oleh Bupati Pasaman Barat kepada Terdakwa.
Bahwa apa yang disebutkan oleh Penuntut Umum dalam surat tuntutannya adalah tidak berdasar sama sekali dan hanyalah imajinasi Penuntut Umum saja. Karena tidak mungkin pelelangan yang dilakukan secara nasional di koran tempo, bisa dikondisikan oleh Terdakwa agar terjadi kegagalan. Termasuk juga perubahan dari rencana pengadaan 2 unit menjadi 1 unit, itu adalah karena usulan dari wabup dan disetujui oleh Bupati. Dan usulan waup tersebut, sangat berbeda dengan usulan yang disampaikan oleh KPA, yang hanya menyarankan agar diturunkan speknya agar kendaraan ini tetap dapat dibeli sebanyak 2 unit. Fakta persidangan telah membentangkan hal tersebut, tetapi didalam surat tuntutannya Penuntut Umum membuat seenaknya saja. Sungguh sangat meremehkan kehormatan persidangan.
10.   Bahwa perbuatan Terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum melanggar Kepres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Bagian ketiga, Prinsip Dasar Pasal 3 :
·         Pengadaan Barang/Jasa Wajib menerapkan Prinsip-prinsip:
e.       Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu dan ataupun alasan apapun.
Adalah sangat aneh sekali, bahwa hanya karena kewenangan undang-undang yang melekat padanya, seorang Aparat Penegak Hukum, bisa menafsirkan undang-undang menurut kebutuhannya dan menurut seleranya sendiri-sendiri. Apalagi kalau penafsiran yang adil/tidak diskrimatif dalam pengadaan kendaraan dinas bupati Pasaman Barat, itu sudah teruji dengan dilaksanakannya pelelangan umum sebanyak dua kali. Siapa saja yang berminat dan memiliki kemauan dan kemampuan untuk ikut, dipersilahkan dan dibuka lebar-lebar pintu untuk itu. Diundang untuk datang. Justru karena tidak ada satupun perusahaan yang berminat itulah makanya akhirnya dilaksanakan dengan metode pengadaan langsung dengan mengundang satu perusahaan saja yang mau dan berminat. Sungguh Penuntut Umum tidak mengerti dengan Kepres No. 80 Tahun 2003 dan malah menggunakan kekuasaan undang-undangnya untuk mencelakakan orang atas ketidak tahuannya tersebut.
11.   Bahwa perbuatan Terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum tidak saja dalam arti formil yaitu Terdakwa sejak awal telah mengarahkan calon rekanan tertentu sebagai pelaksana kegiatan namun juga secara materil yakni merusak rasa keadilan dan kejujuran dalam masyarakat dalam hal kerjasama kecurangan yang dilakukan oleh Terdakwa bersama ARIFIN AGROSURIO dan VITARMAN dalam upaya menjadikan ARIFIN AGROSURIO dan VITARMAN sebagai pelaksana kegiatan pengadaan kendaraan dinas tersebut.
Bahwa apa yang Penuntut Umum sebutkan bahwa Terdakwa sejak awal telah mengarahkan calon rekanan tertentu adalah sangat tidak berdasar sekali dan tidak ada satupun fakta persidangan yang memunculkan bukti-bukti seperti itu. Semua pengusaha dan perusahaan yang mempunyai kemampuan untuk ikut pengadaan kendaraan dinas diundang oleh Panitia Pengadaan. Justru apa yang Penuntut Umum sampaikan ini lah yang merusak rasa keadilan dan kejujuran didalam masyarakat, dimana rupanya kelakuan aparat hukum bisa dengan seenaknya saja berbuat fitnah yang akan mencelakakan warga negara. Bukannya kebenaran yang dicari Penuntut Umum melalui persidangan, tetapi adalah menghalalkan segala cara untuk menjustifikasi anatomi kasus yang sudah dibangunnya. Tidak peduli, apakah itu bertolak belakang dengan fakta persidangan yang terungkap.

12.   Bahwa kegiatan pengadaan Mobil Dinas Bupati dan Wakil Bupati Pasaman Barat Tahun Anggaran 2010 berpedoman kepada Keppres nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007, Bahwa perbuatan Terdakwa memerintahkan penunjukan langsung terhadap PT Baladewa merupakan perbuatan melawan hukum melanggar ketentuan dalam Lampiran I Keppres Nomor. 80 Tahun 2003 Bab I Huruf C angka 1 yang berbunyi : "Penunjukan langsung dapat dilaksanakan dalam halmemenuhi kriteria sebagai berikut:
a)        penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda/harus dilakukan segera; dan/ atau
b)        penyedia jasa tunggal; dan/atau
c)        pekerjaan yang perlu dirahasiakan Yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan oleh Presiden; dan/atau
d)        pekerjaan yang berskala kecil dengan ketentuan : untuk keperluan sendiri, mempunyai resiko kecil, menggunakan teknologi sederhana, dilaksanakan oleh penyedia jasa usaha orang perseorangan dan badan usaha kecil, dan/atau bernilai sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan/atu
e)        pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak paten atau pihak yang telah mendapat ijin."
                                     
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999:
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Suatu perbuatan masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, perdata atau administrasi negara ditentukan oleh sumber pengaturan dan sanksinya. Jika diatur dalam hukum pidana dan disertai ancaman pidana, maka perbuatan tersebut masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, dan itulah tindak pidana. Jika perbuatan itu ditentukan dalam hukum administrasi beserta sanksi administrasi, maka perbuatan itu masuk ruang lingkup hukum administrasi. Jika sumber pengaturannya dan sanksinya bersifat perdata, maka perbuatan itu masuk ruang lingkup hukum perdata.
Dalam hubungannya dengan hukum pidana korupsi, khususnya Pasal 2 UUPTK, pelanggaran administrasi dapat merupakan tempat/ letak atau penyebab timbulnya sifat melawan hukum perbuatan, apabila terdapat unsur sengaja (kehendak dan keinsyafan) untuk menguntungkan diri dengan menyalahgunakan kekuasaan jabatan, yang karena itu merugikan keuangan atau perekonomian negara. Perbuatan administrasi yang memenuhi syarat-syarat yang demikian itu membentuk pertanggungjawaban pidana. Apabila unsur-unsur tersebut tidak ada, terutama unsur merugikan keuangan/ perekonomian negara, maka yang terjadi adalah kesalahan prosedur/ administrasi, dan tidak ada sifat melawan hukum korupsi dalam hal semata-mata “salah prosedur”. Perbuatan itu sekedar membentuk pertanggungjawaban hukum administrasi saja.
Dari rumusan Pasal 1365 KUH Perdata bisa dirumuskan unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum adalah sebagai berikut :
1.         Adanya suatu perbuatan;
2.         Perbuatan tersebut melawan hukum;
3.         Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
4.         Adanya kerugian bagi korban;
Bentuk pertanggungjawaban tindak pidana, administrasi atau perdata ditentukan oleh sifat pelanggaran (melawan hukumnya perbuatan) dan akibat hukumnya. Bentuk pertanggungjawaban pidana selalu bersanksi pidana. Pertanggungjawaban administrasi selalu bersanksi administrasi, dan pertanggungjawaban perdata ditujukan pada pengembalian kerugian keperdataaan, akibat dari wanprestasi atau onrechtsmatige daad. Pada dasarnya setiap bentuk pelanggaran selalu mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu. Dalam hal sifat melawan hukum tindak pidana, selalu membentuk pertanggungjawaban pidana sesuai tindak pidana tertentu yang dilanggarnya. Sementara sifat melawan hukum administrasi dan perdata, sekedar membentuk pertanggungjawaban administrasi dan perdata saja sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.
Pada dasarnya kesalahan administrasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Namun apabila kesalahan administrasi tersebut disengaja dan disadari merugikan keuangan negara, dan dilakukan dengan memperkaya diri atau dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan, maka kesalahan administrasi seperti itu merupakan tempat melekatnya/ letak atau penyebab sifat melawan hukumnya korupsi, dan karenanya membentuk pertanggungjawaban pidana dan dapat dipidana berdasarkan Pasal 2. Pelanggaran administrasi bukan merupakan letak/ tempat tindak pidana korupsinya, melainkan tempat/ letak sifat melawan hukumnya korupsi. Karena tidak mungkin terjadi korupsi pada perbuatan yang sifatnya semata-mata pelanggaran administrasi maupun semata-mata bersifat pelanggaran hubungan keperdataan saja.
Pelanggaran hukum perdata, seperti wanprestasi dari suatu kontrak/ perjanjian atau perbuatan melawan hukum meskipun akibatnya negara dirugikan, tidak bisa serta merta membentuk pertanggungjawaban pidana. Dalam hal negara dirugikan oleh wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, pemulihan kerugian dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata, bukan melalui penuntutan pidana di peradilan pidana.
Dalam hal badan publik melakukan perbuatan perdata, maka prosedur, syarat-syarat yang ditentukan dalam hukum perdata harus diikuti. Badan publik tersebut harus tunduk pada hukum perdata. Namun apabila terdapat aturan lain ( accessoir ) bersifat administrasi dalam hal prosedur untuk keabsyahan perbuatan hukum perdata tersebut, mengingat untuk kepentingan publik, maka apabila pengaturan administrasi tersebut dilanggar, dapat merupakan letak sifat melawan hukum korupsi, apabila memenuhi unsur kesengajaan yang disadari merugikan keuangan/ perekonomian negara yang dilakukan dengan perbuatan memperkaya atau dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan.
Dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan seseorang yang mewakili badan publik, misalnya suatu Pemerintah Daerah dalam hal melakukan perbuatan perdata/ kontrak dengan pihak swasta dengan melalui prosedur administrasi negara. Sepanjang prosedur administrasinya diikuti, maka tidak ada sifat melawan hukum korupsi didalamnya. Andaikata ada segi-segi prosedur administrasi yang tidak diikuti dalam melakukan perbuatan perdata dari suatu badan publik (misalnya kontrak dengan pihak swasta), asalkan tidak dilakukan dengan memperkaya diri atau menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan dan tidak menimbulkan kerugian keuangan negara, maka pelanggaran administrasi tersebut merupakan letak dan sifat melawan hukumnya perbuatan korupsi, pelanggaran administrasi dipertanggungjawabkan secara administrasi saja. Sifat melawan hukum korupsi hanya bisa terjadi pada pelanggaran prosedur administrasi yang disengaja dengan kesadaran merugikan negara yang dilakukan dengan perbuatan memperkaya diri atau dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan. Tiga unsur, ialah pelanggaran prosedur yang disengaja, merugikan keuangan negara dan dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan, sifatnya kumulatif, sebagai syarat terbentuknya pertanggungjawaban pidana korupsi.

Untuk menentukan kerugian negara dalam perkara korupsi, bisa meminta bantuan audit invistigasi, namun bukan keharusan. Menentukan kerugian negara dalam perkara korupsi, hasil audit BPKP tidak mengikat hakim. Hakim bebas menentukan perhitungannya sendiri berdasarkan alat-alat bukti di dalam sidang dengan menggunakan akal dan logika hukum serta kepatutan.

No comments:

Post a Comment