I.
TERHADAP ANALISA YURIDIS UNSUR "YANG DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN
NEGARA ATAU PEREKONOMIAN NEGARA".
1. Bahwa
JPU dalam uraian pembuktian dalam surat tuntutannya pada halaman 91 telah
memutarbalikkan fakta dan tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan.
a. Didalam surat tuntuannya ini JPU
menyatakan “Bahwa pada tanggal 20 Desember 2010 saksi ARIFIN
dan saksi VITARMANatas nama PT Baladewa Indonesia menyerahkan 1 (satu) unit
mobil Toyota Land Cruiser Prado 2.7 4 WD A/T dengan logo "TX Limited"
padahal faktanya mobil tersebut bukan tipe "TX Limited" melainkan
tipe "TX standard edition". Perbedaan
tipe tersebut tidak diketahui oleh Tim Pemeriksa Barang”
Apa
yang disampaikan JPU ini tidaklah merupakan fakta yang terjadi dipersidangan
bahkan malah sebaliknya. Di
dalam fakta persidangan terungkap bahwa Panitia Pemeriksa Barang telah
melaksanakan tugasnya dengan baik dengan hasil bahwa kendaraan telah diperiksa
dan sesuai dengan spesifikasi yang ada di dalam Kontrak sehingga dengan
demikian Panitia Pemeriksa Barang menuangkan hasil pemeriksaan tersebut dalam
bentuk Berita Acara Pemeriksaan Barang Nomor 027/267/BAPB/SETDA/2010 tanggal 20
Desember2010 yang ditandatangani oleh seluruh Tim Panita Pemeriksa Barang.
Artinya dalam hal ini Panitia Pemeriksa Barang meyakini bahwa kendaraan yang
diperiksa pada waktu itu telah sesuai dengan spesifikasi yang ada di dalam
kontrak. Apabila dikemudian hari dituduh JPU bahwa kendaraan tersebut
dinyatakan tidak sesuai dengan spesifkasi, maka pertanggungjawabannya harus
diminta kepada Pantia Pemeriksa Barang yang sebelumnya telah menyatakan bahwa
kendaraan tersebut telah sesuai dengan spesifikasi.
b.
Didalam
surat tuntutannya itu tersebut bahwa JPU
menuduh “Terdakwa sengaja menunjuk anggota tim yang tidak memiliki kompetensi
yang memadai dalam melakukan pemeriksaan.”
Bahwa apa yang dinyatakan oleh
JPU ini adalah merupakan sebuah bukti yang nyata bagi kita bersama bahwa untuk membuktikan
dakwaannya, JPU bahkan tidak bisa lagi membaca SK Tim Pemeriksa Barang yang
ada, dimana SK tersebut adalah bertanggal 14 April 2010 yang ditandatangani
oleh H. Syahiran sebagai Bupati Pasaman Barat, sedangkan Terdakwa sendiri baru
mulai bertugas di Pasaman Barat pada tanggal 29 September 2010. Artinya ini
membuktikan bahwa tuduhan JPU yang mengatakan Terdakwa sengaja menunjuk anggota
tim yang tidak memiliki kompetensi yang memadai dalam melakukan pemeriksaan
adalah sama sekali tidak berdasar, mengada-ada dan bertentangan dengan fakta
dokumen yang ada, yang bahkan fakta yang terungkap di persidangan, SK Tim
Pemeriksa Barang tersebut dijadikan sebagai Barang Bukti No. 41 oleh JPU
sendiri sebagaimana yang tertera pada Surat Tuntutan perkara ini pada hal
79. Dan sampai dengan pemeriksaan barang
dilakukan, Terdakwapun secara pribadi belum kenal dengan para pemeriksa. Juga
berdasarkan tugas-tugas KPA di dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Pasal 9, tidak ada yang memerintahkan agar
KPA memilih, mengusulkan apalagi menetapkan penitia pemeriksa barang. Hal ini
adalah berkaitan dengan Indepensi dari masing-masing tim yang terlibat dalam
proses pengadaan barang dan jasa. Hal yang sama juga berlaku untuk panitia
pengadaan barang dan jasa di ULP. Kab. Pasaman Barat. Apalagi dasar hukum
pembentukan PPTK, KPA, PA, ULP, Panitia Pengadaan Barang dan Jasa dan Panitia
Pemeriksa Barang, adalah sama-sama SK Bupati dengan SK yang terpisah satu sama
lainnya. Kedudukan dan kekuatannya sama tinggi dan sama besar.
c. Didalam
surat tuntutannya halaman 91 tersebut bahwa JPU juga menyatakan Bahwa perbedaan
spesifikasi kendaraan Toyota Prado yang didatangkan tersebut dengan spesifikasi
kendaraan yang tertuang dalam kontrak diantaranya adalah pada kontrak terdapat
spesifikasi "automatic seat" sedangkan pada kendaraan yang datang
tersebut tidak terdapat spesifikasi tersebut. Hal ini didukung oleh keterangan
dari saksi SUPARMAN yang merupakan karyawan dan PT. MULTI SENTRA yakni importir umum yang
mendatangkan 1 (satu) unit kendaraan Toyota Prado tersebut pertama kali di
Indonesia dengan kondisi "Toyota Prado TX Standar" bukan "Toyota
Prado TX Limited" dan tidak terdapat spesifikasi "automatic
seat"seperti yang tercantum pada kontrak. Hal ini kembali dlkuatkan dengan
keterangan dari saksi JONO HANS yakni karyawan dari PT.DK JAYA
MOTOR yang merupakan dealer/showroom pertama yang membeli 1 (satu) unit
kendaraan Toyota Prado tersebut dari PT. MULTI SENTRA seharga Rp.675.000.000,-(enam
ratus tujuh puluh lima juta rupiah), saksi JONO menambahkan bahwa perusahaannya
kembali menjual 1 (satu) unit kendaraan "Toyota Prado TX Standar"
tersebut kepada Kencana Motor seharga Rp.680.000.000,-(enam ratus delapan puluh
juta rupiah) kemudian setelah beberapa waktu PT.DK JAYA
MOTOR yang merupakan dealer/showroom pertama yang membeli kendaraan tersebut
dari Impotir umum menerima permintaan penerbitan faktur pembelian dan
surat-surat lainnya untuk kepemilikan atas nama Pemerintah Daerah Kab. Pasaman
Barat. Saksi JONO juga menjelaskan bahwa kendaraan tersebut adalah "Toyota
Prado TX Standar' bukan "Toyota Prado TX Limited" dan tidak terdapat
spesifikasi "automatic seat", ia juga mengatakan bahwa spesifikasi
"automatic seat"tersebut pernah ia lihat pada "Toyota Prado TX
Limited" yang adashowroom PT.DK JAYA MOTOR,
spesifikasi tersebut adalah pada bangku baris ketiga kendaraan tersebut dapat
melipat dengan sendirinya dengan hanya menekan tombol yang ada dan spesifikasi
tersebut tidak terdapat pada "Toyota Prado TX Standar" yang diadakan
untuk Pemda Kab. Pasaman Barat
Bahwa jelas dan terang sekali JPU
memutarbalikkan fakta yang terjadi di persidangan, menyampaikan apa yang tidak
terjadi dipersidangan dan bahkan menambah-nambah dan mengarang cerita. JPU
mengatakan bahwa keterangan dari saksi SUPARMAN yang merupakan karyawan dan PT. MULTI
SENTRA yakni importir umum yang mendatangkan 1 (satu) unit kendaraan Toyota
Prado tersebut pertama kali di Indonesia dengan kondisi "Toyota Prado TX
Standar" bukan "Toyota Prado TX Limited" dan tidak terdapat
spesifikasi "automatic seat"seperti yang tercantum pada kontrak.
Bahwa JPU mengada-ngada soal kesaksian Suparman ini karena jelas fakta di
persidangan, Sdr. Suparman tidak pernah mengeluarkan kata-kata automatic seat
apalagi mengatakan hal seperti yang JPU sebutkan di dalam surat tuntutannya
tersebut. Hal ini bisa kita dengarkan bersama rekaman persidangan pada
hari jum’at tanggal 6 Maret 2015, disana
akan jelas dan terbukti JPU berbohong atas kesaksian Sdr. Suparman ini. Sama
halnya dengan keterangan Jono Hans, didalam fakta persidangan, Jono Hans hanya
mengatakan perbedaan antara TX dengan TXL sepengetahuan dia saja sebagaimana
kutipan persidangan berikut:
Hakim : Saudara bisa jelaskan beda TX dengan TXL?
Jono Hans : Sepengetahuan saya, kursi ketiganya itu automatic
Di dalam fakta persidangan bahwa secara administrasi surat
kendaraan, mobil tersebut adalah Type TX Standart Edition tetapi sekaligus di dalam
fakta persidangan juga terungkap bahwa seluruh mobil CBU yang masuk ke
Indonesia memang dalam kondisi standar edition. Proses upgrade menjadi Limited itu dilaksanakan di
Indonesia, kenapa hal itu terjadi? Ini adalah karena trik dari importir umum
kendaraan bermotor untuk menghindari pajak yang tinggi sehingga akibatnya tidak
terjangkau oleh konsumen di Indonesia.
Dan dari fakta persidangan juga terungkap bahwa saksi yang
dihadirkan JPU dari Jakarta yaitu Suparman
dari PT Multisentra Adikarya dan Jono Hans
dari DK Jaya Motor itu adalah orang yang
tidak layak untuk didengarkan kesaksiannya karena berkali-kali saksi
tersebut menyatakan bahwa dia tidak mengerti dengan spek kendaraan, karena dia
adalah sebagai accounting di perusahaan tersebut. Jadi yang dia mengerti
hanyalah sepanjang dokumen administrasi keuangan
tentang kendaraan dan perusahaan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dari
rekaman persidangan hari Jum’at tanggal 6 Maret 2015.
JPU : Itu
pertanyaannya. Kalau bapak tahu tidak beda TX dengan TXL kalau secara spek
Suparman : Kalau secara spek,
jujur kami tidak tahu, kalau secara detail kami tidak tahu
Jaksa : Kalau setahu
bapak memang begini tarikannya??
Suparman : Iya, karena saya
tugasnya akuntan sih. Teknis tidak tahu. Kami tidak tahu buk. Kami diruangan
sendiri terus. Naiknyapun belum pernah saya buk.
Jaksa : Perlu bapak
ketahui juga ini tidak ada. Bapak bukan orang mesin ya. Bukan orang teknis.
Suparman : Iya.
Jaksa : Bapak bukan teknisi ya??
Suparman : Iya, saya accountingnya
Padahal semestinya jika JPU berkeinginan dan
bersungguh-sungguh untuk mengetahui dan mengungkapkan kebenaran dari standar
mobil tersebut, yang dihadirkannya adalah tenaga teknisi atau paling tidak,
sales marketing dari perusahaan tersebut. Padahal JPU menyatakan bahwa jaksa penyidikpun
telah pergi ke showroom kendaraan tersebut, tetapi kenyataannya yang dibawanya
untuk menjadi saksi adalah orang yang sama sekali tidak mengerti tentang spek
kendaraan karena keduanya adalah orang accounting. Upaya jaksa yang seperti ini
yang hanya untuk menjustifikasi dakwaaannya saja dengan menghalalkan segala
cara termasuk menghadirkan saksi yang tidak memenuhi persyaratan formil dan
materil. Inilah yang kemudian dituangkan JPU di dalam surat tuntutannya.
Sementara bagi persidangan Pidana, dalam mencari kebenaran materiil
peristiwanya harus terbukti beyond
reasionable doubt tanpa diragukan. Kontradiksi keadaan seperti ini dimana
JPU sendiri tidak memiliki pengetahuan tentang dunia otomotif tetapi kemudian
malah menghadirkan saksi yang juga tidak mengetahui dunia otomotif, disisi lain
keterangan-keterangan dari saksi yang lain bahwa kendaraan itu adalah Type TX
Limited, itu dikesampingkan begitu saja oleh JPU. Padahal saksi tersebut
memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menyatakan kendaraan tersebut, sesuai
dengan spesifikasi Type TX Limited dan menuangkannya ke dalam Berita Acara
Pemeriksaan Barang. Saksi yang dimaksud dalam hal ini adalah Saksi Amrianto,
Saksi Bobby P. Riza, Saksi Setia Bakti dan Saksi Roni HEP yang merupakan Tim
Panitia Pemeriksa Barang yang diangkat
berdasarkan SK Bupati Pasaman Barat Nomor : 188.45/248/BUP-PASBAR/2010 tanggal
14 April 2010.
Demikian juga dengan keterangan saksi Arifin, Frans Wijaya
dan Tjen Imanuel dan Oyong Narli yang sehari-hari dalam kehidupannya memang
selalu bergelut dibidang jual beli kendaraan bermotor yang mengerti dan paham
tentang spesifikasi kendaraan bermotor.
Keadaan seperti ini adalah ibarat cerita bagaimana 3 orang
buta menceritakan gambaran dari seekor gajah, yang kemudian menceritakan bagaimana
bentuk gajah tersebut tergantung dari bagian mana yang dipegangnya. Karena
sama-sama tidak sepakat akhirnya mereka bertanya kepada orang yang lewat yang
ternyata orang itu juga buta (Suparman dan Jono Hans).
Dari sini jelaslah
bahwasanya tuduhan JPU tidak dapat terbukti secara nyata dan sah dipersidangan.
2. Bahwa
JPU dalam uraian pembuktian dalam surat tuntutannya mendasarkan hasil
perhitungan kerugian negara kepada penilai Ahli dari BPKP Perwakilan Propinsi
Sumatera Barat. Akan tetapi yang dirujuk JPU adalah keterangan Ahli tersebut di
dalam BAP dan tidak mendasarkan pada apa yang terungkap dipersidangan. Bahwa di dalam fakta persidangan terungkap bahwa sdr. Ahli
Afrizal, melakukan perhitungan kerugian negara tersebut tidak memiliki dasar
hukum.
Bahwa tidaklah
benar dan tidak ada dasar hukumnya pernyataan JPU pada surat tuntutannya yang
mengatakan telah terjadi kerugian negara berdasarkan Laporan Hasil Audit
Penghitungan Kerugian Negara oleh BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Barat Nomor
: SR-1422/PW03/V/2013 tanggal 3 Juni 2013dengan kesimpulan bahwa akibat
pengadaan kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati yang tidak sesuai dengan
aturan yang berlaku, mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar
Rp.276.887.273,00 (dua ratus tujuh puluh enam juta delapan ratus delapan puluh
tujuh juta dua ratus tujuh puluh tiga rupiah) dengan rincian sebagai berikut :
Ø Nilai
Kontrak/SP2D : Rp 1.072.000.000,00
Ø Potongan
Ø
PPN : Rp 97.454.545,00
Ø
PPh Pasal 2 : Rp 14.618 182,00
Ø
Leges Daerah (0,75 %) : Rp 8.040.000,00
Ø
Jumlah Potongan : Rp 120.112.727,00
Ø Jumlah
Penerimaan Bersih : Rp 951.887.273,00
Ø Harga
Pembelian Toyota Prado : Rp 675.000.000,00
Ø Keuntungan rekanan/ : Rp 276.887.273,00
(kerugian keuangan negara)
Bahwa kerugian negara yang dihitung oleh Sdr. Afrizal selaku
auditor BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Barat terbukti tidak memiliki dasar
hukum sama sekali. Setelah saksi membahas bermacam undang-undang yang mengatur
tentang keuangan negara, mulai dari UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor,
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, PP, Kepres, Permendagri, dan Kepmendagri, serta
aturan-aturan iternal BPKP itu sendiri, kemudian dengan santainya Ahli Afrizal
dari BPKP Perwakilan Prop. Sumatera Barat menyampaikan didepan persidangan
dibawah sumpah, menjawab pertanyaan Majelis Hakim, dan pertanyaan dari Terdakwa sendiri, bahwa
dasar hukum ahli menghitung kerugian negaranya sehingga didapat angka Rp.
276.887.273,- tidak ada sama sekali. Ini
hanya menurut perhitungan saya. Inilah menurut saya angka yang realistis.Kalau
berapa angka pastinya kerugian negara, silahkan Majelis Hakim yang
menghitungnya. Entah kemana lagi segerobak peraturan yang dibacanya
sebelumnya diletakkannya ketika orang yang disebut ahli ini melakukan
penghitungan uang. Due Process of Law. Saya cukup terharu pada waktu Majelis Hakim,
Hakim Anggota 1, Bapak Fahmiron, mencerca saksi tersebut sampai membuat saksi
tersebut manggaretek menggigil.
Untuk menjustifikasi dakwaannya, bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana korupsi dengan memberikan keuntungan kepada orang lain atau
korporasi maka dengan semena-mena, JPU merubah dokumen Laporan Hasil Audit BPKP
Perwakilan Propinsi Sumatera Barat dalam rangka penghitungan kerugian keuangan
negara atas dugaan tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas bupati dan
wakil bupati Pasmaan Barat, No. SR-1422/PW03/5/2013 tanggal 3 Juni 2013. dengan menambahkan kalimat keuntungan rekanan
pada poin ke-6 rincian perhitungan, dan
hal ini di dalam persidangan, Sdr Ahli Afrizal, membantah apa yang ditambahkan
oleh JPU tersebut, saya tidak ada
membuatnya seperti itu, katanya.
Karena negara kita adalah negara hukum, maka suatu
tindakan dinyatakan benar atau salah haruslah disandarkan kepada hukum yang
berlaku. Kata “seharusnya” harus bisa merujuk kepada pasal (ayat) aturan yang
berlaku. Demikian juga penerapan pasalnya, harus relevan. Berikut ini beberapa
pendapat yang menyatakan
tentang kerugian negara :
1. Defenisi
kerugian negara disandarkan kepada UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 1 angka 22
jelas mendefenisikan kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan
barang yang NYATA dan
PASTI jumlahnya sebagai akibat PERBUATAN MELAWAN HUKUM baik SENGAJA maupun
lalai.
2. Dengan
demikian, suatu perbuatan yang tidak melanggar hukum tidak bisa dianggap
kerugian negara.
3. Pernyataan
1 dan 2 menimbulkan suatu simpulan, kerugian negara adalah akibat dari
perbuatan melawan hukum, bukan kondisi atau bukan temuan dalam istilah audit.
4. HPS sudah
disusun dengan benar, perpres dan perka tidak menyebut secara khusus tentang
diskon tapi harga pasar. Disini tidak bisa digeneralisir harus atau tidak harus
hitung diskon. Contohnya Ramayana
yang jelas tiap hari diskon...misal 20 %. Berapa harga pasar sebenarnya ?
(pasar bukan satu titik waktu tapi kontinum kesinambungan waktu dilokasi
tertentu). Sudah jelas 80 % karena strategi pasarnya seperti itu. (alat
kesehatan konon seperti Ramayana....tapi
gelap % nya...afgan or sadis kadang-kadang). Yang kedua, Matahari Dept store ulang tahun dan kasih diskon
spesial 20 % selama 4 hari, setelah itu normal. Berapa harga pasar? Untuk
pengadaan langsung yang 1 hari bisa kelar, HPS ya 80 %. Tapi bila
lelang...jelas 100 % (hari ke 5 harga sudah normal). Bagaimana bila discount
terkait volume ?... ini perlu dijawab dengan rumus or gambar demand supply
di ekonomi, maka supply yang menunjukan market adalah sesudah diskon
volume.
5. Kerugian negara tidak dapat
dihitung dengan perbedaan antara nilai kontrak dengan harga survey dan
harga-harga yang disampaikan melalui internet karena harga tersebut belum
termasuk PPN, PPh, biaya lainnya dan overhead sebagaimana diamanatkan dalam
Keppres No. 80 Tahun 2003 dan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 1994 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
6. Masalah
berapa keuntungan penyedia maksimal? Silahkan cari di UU, Perpres, Perka,
Peraturan Menteri, hingga RT. Saya yakin tidak ada yang mengatur, lantas yang
15 % ? itu di Perpres PBJ dan itu jelas untuk HPS, bukan mengatur penjual
berapa dia boleh dapat untung.
Penyedia bisa memperoleh harga Rp. 860 juta banyak sebab,
antara lain :
1. Telah langganan dengan pemasoknya
2. Menggunakan harga yang lama
3. Pemasok ingin stoknya habis
4. Pemasok ingin barangnya menguasai pasar
5. Memelihara jaringan distribusi
6. kepandaian penyedia menemukan harga pasokan yang murah
No comments:
Post a Comment