Monday, May 25, 2015

Mari Kita Bayar Pajak Daerah



Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 Angka 1, ‘Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Dari pengertian pajak di atas, bahwa pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah (pemungut pajak) kepada masyarakat (pembayar pajak) digunakan untuk keperluan negara. Adapun keperluan negara tersebut adalah untuk mewujudkan tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alenia ke-empat yang berbunyi “.......melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.....”. Pengeluaran yang digunakan untuk keperluan negara bukan semata-mata untuk kepentingan sekelompok atau golongan tertentu saja, namun digunakan untuk kepentingan umum. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut negara membutuhkan dana yang tidak sedikit, oleh karena itu negara mengambil dana dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber sebagian besar berasal dari pajak untuk menutupi pengeluaran tersebut.
Dalam menyelenggarakan kegiatan kenegaraanya, Indonesia mengandalkan biaya yang bersumber dari pajak walaupun pendapatan negara tidak seluruhnya bersumber dari pajak. Jelas bahwa pembayaran pajak yang dilakukan oleh masyarakat digunakan untuk kemakmuran rakyat. Dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Hampir tidak mungkin  negara yang membiayai semua kebutuhan masyarakatnya hanya dengan mengandalkan Sumber Daya Alam (SDA) atau Sumber Daya Manusia (SDM) maupun pendapatan lainnya yang bukan pajak mengingat potensi-potensi yang ada belum termanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah mewajibkan Warga Negaranya untuk membayar pajak.
Selanjutnya, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (UU PDRD) yang merupakan “amanat reformasi” pemberian Otonomi kepada Daerah sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam UU PDRD dinyatakan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah.
Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi daerah kabupaten dan kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut.
Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi.
Dengan diberlakukannya UU PDRD, kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif.
Dampak UU PDRD terhadap Keuangan Daerah
UU PDRD merupakan titik balik dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) khususnya. Dengan pengalihan ini maka kegiatan proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan PBB-P2 akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).
Adapun tujuan Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai dengan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:
a.       meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah
b.      memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru (menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah),
c.       memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan memperluas basis pajak daerah,
d.      memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah, dan
e.       menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah.
Peralihan PBB-P2 dari pajak pusat menjadi pajak daerah yang diatur dalam UU PDRD memberi dampak terhadap keuangan negara dan keuangan daerah. Pada prinsipnya secara administrasi terjadi perpindahan pencatatan hasil pemungutan PBB-P2, jika sebelumnya penerimaan PBB tercatat pada keuangan negara (APBN) dalam penerimaan perpajakan, kemudian setelah mekanisme peralihan PBB-P2 berjalan akan masuk sebagai Pendapatan Asli Daerah dalam APBD.
Peralihan PBB-P2 terhadap keuangan daerah dampaknya bisa beragam. Terhadap provinsi tentunya akan mengurangi penerimaan, karena peralihan PBB menyebabkan provinsi tidak mendapatkan 16,8 persen penerimaan PBB, kecuali DKI Jakarta yang memungut sendiri PBB-nya. Bagi kabupaten/kota dapat berdampak penambahan atau pengurangan penerimaan, penambahan karena semua penerimaan PBB masuk rekening kabupaten/kota, sedangkan pengurangan mungkin terjadi karena tidak ada lagi 6,5 persen bagian Pusat yang dibagikan secara merata kepada kabupaten/kota.
Dalam jangka pendek, pelimpahan PBB ke kabupaten/kota tidak akan menambah potensi tingkat PBB yang dikumpulkan oleh Pemda, dengan asumsi bahwa wilayah properti, nilai dan tarif pajak tetap sama. Sebaliknya, potensi PBB-P2 akan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah yang utama ketika terjadi penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) karena NJOP yang ada saat ini umumnya masih sangat jauh lebih rendah dengan kondisi terkini.
Peralihan PBB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mempunyai implikasi sosial dan ekonomi sebagai berikut:
1.      Menjamin ketersediaan anggaran untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
2.      Meningkatkan kepastian hukum.
3.      Meningkatkan pelayanan publik, dengan syarat masyarakat tidak dipungut secara berlebihan.
4.      Menciptakan iklim investasi yang kondusif (business friendly).
Mari Kita Bayar Pajak
Banyak pertanyaan muncul ditengah masyarakat, “mengapa kita harus membayar pajak?”
Pertanyaan itu muncul karena banyaknya jenis Pajak! Dimana-mana terkena pajak, apapun kena pajak dan siapapun bisa kena pajak, diantaranya Pajak Penghasilan (PPH), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Sehingga sebagian besar (mayoritas) masyarakat senantiasa bagaimana mencari cara atau menekan kewajiban membayar pajak. Jika dipikir secara logika, banyak orang yang tidak rela mengeluarkan uang mereka untuk membayar pajak, apalagi tidak mendapatkan imbalan dari membayar pajak.
Masyarakat selalu bertanya-tanya tentang Pakak. Apa itu pajak? Kenapa harus membayar pajak? Dan untuk apa saja uang pajak tersebut?
Sebagaimana telah diuraikan diawal tulisan ini, Pajak adalah bentuk kontribusi wajib yang harus dibayarkan kepada pemerintah dan bersifat memaksa dengan tidak mendapatkan imbalannya secara langsung, tapi imbalannya dapat akan diterima secara tidak langsung. Sepertinya misalnya pembangunan fasilitas – fasilitas umum semacam pembangunan jalan raya, penerangan jalan dan fasilitas lainnya.
Pajak yang harus dan wajib kita bayarkan tersebut juga digunakan negara untuk keperluan – keperluan penyelenggaraan pemerintahan daerah, misalnya ketika masyarakat mengalami musibah atau memerlukan bantuan, pemerintah membutuhkan uang untuk itu; pembayaran gaji aparatur pemerintahan dan keperluan Pemerintahan lainnya yang masih banyak lagi. Jadi, pemerintah juga perlu berbelanja (shoping) seperti kita. Setiap kegiatan pemerintahan itu biaya. Banyak hal yang perlu dibeli oleh pemerintah dalam rangka pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Apalagi kemampuan keuangan pemerintahan kita masih sangat terbatas, maka dari itu kontribusi dari rakyatnya masih sangat dibutuhkan. Di dunia ini sebagian besar negara semua menerapkan pajak kepada masyarakatnya. Pajak itu sebagai sumber modal dan pendanaan, karena penghasilan terbesar pemerintah berasal dari pajak. Sebagai gambaran, target penerimaan Pajak tahun 2015 pada APBN-P adalah sebesar Rp.1.489 triliun dari total APBN-P Rp.1.984 triliun atau lebih dari 75%. Artinya sumber keuangan utama negara kita adalah dari Pajak ( http://id.wikipedia.org).
Tapi masih banyak sekali kalau dilihat terjadi kecurangan dan penghindaran dalam hal membayar pajak. Ketidaktertiban tersebut terjadi karena adanya rasa tidak iklas si wajib pajak untuk membayarkan pajaknya. Padahal siapa lagi yang akan membantu negara jika bukan rakyatnya sendiri yang mendukung untuk pembangunan negaranya. Jadi apa yang kita dapat lakukan dan dapat kita bantu kepada negara yang sangat kita cintai ini? Tentunya dengan taat membayar pajak yang sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Apalagi  Indonesia menganut Self Assessment System (menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri) jadi lebih mudah untuk dilakukan, jadi lebih ada rasa nyaman untuk membayar pajak.
Kita juga tidak perlu takut bahwa pajak yang kita bayar akan ditilap petugas pajak seperti Gayus Halomoan Tambunan, karena Presiden Joko Widodo telah berkomitmen dengan menggandeng PPATK, Kejaksaan, KPK, BPK, Kepolisian, dan TNI, berbagai kementerian industri dan perdagangan, untuk membongkar penyelewengan pajak. Beberapa tahun terakhir banyak kasus koruptor, penyelewangan pajak yang telah terbongkar dan pelakunya dihukum.
Sebagai warga negara yang baik kita harus menghargai keputusan yang telah dibuat negara dan mengikuti aturan dimana kita tinggal, tidak ada satupun negara di dunia ini yang sama sekali tidak ada pajak. Dan jawabannya kembali kepada hati nurani masing – masing. Jika kita bisa berpikir lebih bijak. Orang bijak, taat pajak! Mari sukseskan pembangunan negara melalui ketaatan dan kepatuhan pembayaran pajak! Dan nantinya itu semua juga untuk kepentingan kita bersama dan manfaatnya dapat Kita rasakan bersama.
Dalam agama Islam juga dijelaskan bahwa "Apabila seorang anak Adam meninggal, maka akan terputus amalannya kecuali tiga perkara", yaitu Shadaqoh jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan Anak shalih yang mendoakan kepadanya.
Kita tahu bahwa pembangunan fasilitas umum yang ada di negara ini dibangun dengan menggunakan uang masyarakat yang berupa pajak. Pajak yang digunakan tersebut adalah kumpulan uang atau shadaqoh jariyah dari rakyat yang membayarnya. Islam mengajarkan bahwa perbuatan atau ibadah yang baik yang sekiranya dapat dilakukan secara bersama-sama atau jamaah akan mendapat pahala 27 kali lipat dari biasanya.
Maka ketika membangun fasilitas umum (jalan, masjid, kantor, sekolah) sendiri dengan  secara bersama-sama tentu lebih besar pahalanya bila kita membangunnya secara bersama-sama. Secara tidak langsung membayar pajak telah membuat pahala kita bertambah berkali-kali lipat dan akan terus mengalir pahala itu sampai kita mati nanti, tentu saja bila kita rutin membayarnya? Subhanallah... Islam sungguh mengajarkan banyak hal pada kita semua, memahami amalan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan dan bersanding dengan-NYA kelak. Hanya dari satu poin saja dapat kita maknai beragam dengan pemahaman kita sendiri dan mengambil arti penting untuk sesuatu hal yang sebelumnya kita tidak ketahui.
Oleh karena itu, “Mari kita bayar Pajak!”.

*tulisan ini rangkuman dari beberapa sumber dalam rangka "Proyek Perubahan" sebagai Peserta Diklatpim III 2015 Pusdiklat Kemendagri Regional Bukittinggi

No comments:

Post a Comment