Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 Angka 1, ‘Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Dari pengertian pajak di atas, bahwa
pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah (pemungut pajak) kepada
masyarakat (pembayar pajak) digunakan untuk keperluan negara. Adapun keperluan
negara tersebut adalah untuk mewujudkan tujuan nasional yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 alenia ke-empat yang berbunyi “.......melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.....”. Pengeluaran yang digunakan untuk keperluan negara bukan
semata-mata untuk kepentingan sekelompok atau golongan tertentu saja, namun
digunakan untuk kepentingan umum. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut
negara membutuhkan dana yang tidak sedikit, oleh karena itu negara mengambil
dana dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber sebagian
besar berasal dari pajak untuk menutupi pengeluaran tersebut.
Dalam menyelenggarakan kegiatan
kenegaraanya, Indonesia mengandalkan biaya yang bersumber dari pajak walaupun
pendapatan negara tidak seluruhnya bersumber dari pajak. Jelas bahwa pembayaran
pajak yang dilakukan oleh masyarakat digunakan untuk kemakmuran rakyat. Dari
rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Hampir tidak mungkin negara yang
membiayai semua kebutuhan masyarakatnya hanya dengan mengandalkan Sumber Daya
Alam (SDA) atau Sumber Daya Manusia (SDM) maupun pendapatan lainnya yang bukan
pajak mengingat potensi-potensi yang ada belum termanfaatkan dengan baik. Oleh
karena itu, pemerintah mewajibkan Warga Negaranya untuk membayar pajak.
Selanjutnya, dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (UU
PDRD) yang merupakan “amanat reformasi” pemberian Otonomi kepada Daerah
sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, dimana penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan
kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara. Dalam UU PDRD dinyatakan bahwa pajak daerah dan retribusi
daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna
membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dan kemandirian daerah.
Hasil
penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan yang
relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya
bagi daerah kabupaten dan kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana
alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya
dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu,
pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan
dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut.
Ketergantungan
Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal
kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk
mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin
mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan
Retribusi.
Dengan
diberlakukannya UU PDRD, kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyesuaikan
pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi
dalam penetapan tarif.
Dampak UU PDRD terhadap Keuangan
Daerah
UU
PDRD merupakan titik balik dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan
Perkotaan (PBB-P2) khususnya. Dengan pengalihan ini maka kegiatan proses
pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan
pelayanan PBB-P2 akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).
Adapun
tujuan Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai dengan
Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:
a. meningkatkan akuntabilitas
penyelenggaraan otonomi daerah
b. memberikan peluang baru kepada
daerah untuk mengenakan pungutan baru (menambah jenis pajak daerah dan
retribusi daerah),
c. memberikan kewenangan yang lebih
besar dalam perpajakan dan retribusi dengan memperluas basis pajak daerah,
d. memberikan kewenangan kepada daerah
dalam penetapan tarif pajak daerah, dan
e. menyerahkan fungsi pajak sebagai
instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah.
Peralihan
PBB-P2 dari pajak pusat menjadi pajak daerah yang diatur dalam UU PDRD memberi
dampak terhadap keuangan negara dan keuangan daerah. Pada prinsipnya secara
administrasi terjadi perpindahan pencatatan hasil pemungutan PBB-P2, jika
sebelumnya penerimaan PBB tercatat pada keuangan negara (APBN) dalam penerimaan
perpajakan, kemudian setelah mekanisme peralihan PBB-P2 berjalan akan masuk sebagai
Pendapatan Asli Daerah dalam APBD.
Peralihan
PBB-P2 terhadap keuangan daerah dampaknya bisa beragam. Terhadap provinsi
tentunya akan mengurangi penerimaan, karena peralihan PBB menyebabkan provinsi
tidak mendapatkan 16,8 persen penerimaan PBB, kecuali DKI Jakarta yang memungut
sendiri PBB-nya. Bagi kabupaten/kota dapat berdampak penambahan atau
pengurangan penerimaan, penambahan karena semua penerimaan PBB masuk rekening
kabupaten/kota, sedangkan pengurangan mungkin terjadi karena tidak ada lagi 6,5
persen bagian Pusat yang dibagikan secara merata kepada kabupaten/kota.
Dalam
jangka pendek, pelimpahan PBB ke kabupaten/kota tidak akan menambah potensi
tingkat PBB yang dikumpulkan oleh Pemda, dengan asumsi bahwa wilayah properti,
nilai dan tarif pajak tetap sama. Sebaliknya, potensi PBB-P2 akan menjadi
sumber Pendapatan Asli Daerah yang utama ketika terjadi penyesuaian Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) karena NJOP yang ada saat ini umumnya masih sangat jauh
lebih rendah dengan kondisi terkini.
Peralihan
PBB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mempunyai implikasi sosial dan
ekonomi sebagai berikut:
1. Menjamin ketersediaan anggaran untuk
pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana
transportasi umum.
2. Meningkatkan kepastian hukum.
3. Meningkatkan pelayanan publik,
dengan syarat masyarakat tidak dipungut secara berlebihan.
4. Menciptakan iklim investasi yang
kondusif (business friendly).
Mari Kita Bayar Pajak
Banyak
pertanyaan muncul ditengah masyarakat, “mengapa kita harus membayar pajak?”
Pertanyaan
itu muncul karena banyaknya jenis Pajak! Dimana-mana terkena pajak, apapun kena
pajak dan siapapun bisa kena pajak, diantaranya Pajak Penghasilan (PPH), Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Barang Mewah
(PPnBM), dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Sehingga sebagian besar
(mayoritas) masyarakat senantiasa bagaimana mencari cara atau menekan kewajiban
membayar pajak. Jika dipikir secara logika, banyak orang yang tidak rela
mengeluarkan uang mereka untuk membayar pajak, apalagi tidak mendapatkan
imbalan dari membayar pajak.
Masyarakat
selalu bertanya-tanya tentang Pakak. Apa itu pajak? Kenapa harus membayar pajak?
Dan untuk apa saja uang pajak tersebut?
Sebagaimana
telah diuraikan diawal tulisan ini, Pajak adalah bentuk kontribusi wajib yang
harus dibayarkan kepada pemerintah dan bersifat memaksa dengan tidak
mendapatkan imbalannya secara langsung, tapi imbalannya dapat akan diterima
secara tidak langsung. Sepertinya misalnya pembangunan fasilitas – fasilitas
umum semacam pembangunan jalan raya, penerangan jalan dan fasilitas lainnya.
Pajak yang
harus dan wajib kita bayarkan tersebut juga digunakan negara untuk keperluan –
keperluan penyelenggaraan pemerintahan daerah, misalnya ketika masyarakat
mengalami musibah atau memerlukan bantuan, pemerintah membutuhkan uang untuk itu;
pembayaran gaji aparatur pemerintahan dan keperluan Pemerintahan lainnya yang
masih banyak lagi. Jadi, pemerintah juga perlu berbelanja (shoping) seperti
kita. Setiap kegiatan pemerintahan itu biaya. Banyak hal yang perlu dibeli oleh
pemerintah dalam rangka pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Apalagi kemampuan
keuangan pemerintahan kita masih sangat terbatas, maka dari itu kontribusi dari
rakyatnya masih sangat dibutuhkan. Di dunia ini sebagian besar negara semua menerapkan
pajak kepada masyarakatnya. Pajak itu sebagai sumber modal dan pendanaan, karena
penghasilan terbesar pemerintah berasal dari pajak. Sebagai gambaran, target
penerimaan Pajak tahun 2015 pada APBN-P adalah sebesar Rp.1.489 triliun dari
total APBN-P Rp.1.984 triliun atau lebih dari 75%. Artinya sumber keuangan
utama negara kita adalah dari Pajak ( http://id.wikipedia.org).
Tapi masih
banyak sekali kalau dilihat terjadi kecurangan dan penghindaran dalam hal
membayar pajak. Ketidaktertiban tersebut terjadi karena adanya rasa tidak iklas
si wajib pajak untuk membayarkan pajaknya. Padahal siapa lagi yang akan
membantu negara jika bukan rakyatnya sendiri yang mendukung untuk pembangunan
negaranya. Jadi apa yang kita dapat lakukan dan dapat kita bantu kepada negara
yang sangat kita cintai ini? Tentunya dengan taat membayar pajak yang sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Apalagi Indonesia menganut Self Assessment System
(menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri) jadi lebih mudah untuk
dilakukan, jadi lebih ada rasa nyaman untuk membayar pajak.
Kita juga
tidak perlu takut bahwa pajak yang kita bayar akan ditilap petugas pajak seperti
Gayus Halomoan Tambunan, karena Presiden Joko Widodo telah berkomitmen dengan menggandeng
PPATK, Kejaksaan, KPK, BPK, Kepolisian, dan TNI, berbagai kementerian industri
dan perdagangan, untuk membongkar penyelewengan pajak. Beberapa tahun terakhir
banyak kasus koruptor, penyelewangan pajak yang telah terbongkar dan pelakunya
dihukum.
Sebagai
warga negara yang baik kita harus menghargai keputusan yang telah dibuat negara
dan mengikuti aturan dimana kita tinggal, tidak ada satupun negara di dunia ini
yang sama sekali tidak ada pajak. Dan jawabannya kembali kepada hati nurani
masing – masing. Jika kita bisa berpikir lebih bijak. Orang bijak, taat pajak!
Mari sukseskan pembangunan negara melalui ketaatan dan kepatuhan pembayaran
pajak! Dan nantinya itu semua juga untuk kepentingan kita bersama dan
manfaatnya dapat Kita rasakan bersama.
Dalam agama Islam juga dijelaskan
bahwa "Apabila seorang anak Adam meninggal, maka akan terputus amalannya
kecuali tiga perkara", yaitu Shadaqoh jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan
Anak shalih yang mendoakan kepadanya.
Kita tahu bahwa pembangunan
fasilitas umum yang ada di negara ini dibangun dengan menggunakan uang
masyarakat yang berupa pajak. Pajak yang digunakan tersebut adalah kumpulan
uang atau shadaqoh jariyah dari rakyat yang membayarnya. Islam mengajarkan
bahwa perbuatan atau ibadah yang baik yang sekiranya dapat dilakukan secara
bersama-sama atau jamaah akan mendapat pahala 27 kali lipat dari biasanya.
Maka ketika membangun fasilitas umum
(jalan, masjid, kantor, sekolah) sendiri dengan secara bersama-sama tentu lebih besar
pahalanya bila kita membangunnya secara bersama-sama. Secara tidak langsung membayar
pajak telah membuat pahala kita bertambah berkali-kali lipat dan akan terus
mengalir pahala itu sampai kita mati nanti, tentu saja bila kita rutin
membayarnya? Subhanallah... Islam sungguh mengajarkan banyak hal pada kita
semua, memahami amalan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan
dan bersanding dengan-NYA kelak. Hanya dari satu poin saja dapat kita maknai
beragam dengan pemahaman kita sendiri dan mengambil arti penting untuk sesuatu
hal yang sebelumnya kita tidak ketahui.
Oleh karena itu, “Mari kita bayar
Pajak!”.
*tulisan ini rangkuman dari beberapa
sumber dalam rangka "Proyek Perubahan" sebagai Peserta Diklatpim
III 2015 Pusdiklat Kemendagri Regional Bukittinggi
No comments:
Post a Comment