Thursday, May 21, 2015

Perbuatan Melawan Hukum



10. Pada Hal 6 Aliniea 1 baris ke-1

“Terdakwa juga tidak melakukan pemeriksaan dan penilaian terhadap 1 (satu) unit kendaraan
dinas Bupati dan Wakil Bupati yang diserahkan PT. BI tersebut.”
Lagi-lagi JPU menyampaikan hal yang tidak benar dan tidak berdasar yang dituduhkan kepada Terdakwa. Disini dikatakan bahwa Terdakwa tidak melakukan pemeriksaan dan penilaian terhadap 1 (satu) unit Kendaraan Dinas Bupati dan Wakil Bupati yang diserahkan PT. BI. Padahal dari fakta persidangan yang disampaikan oleh para panitia pemeriksa barang bahwa pada waktu pemeriksaan kendaraan tersebut juga diikuti dan dihadiri oleh Terdakwa sendiri. Kemudian juga di dalam persidangan hari Jum’at tanggal 10 April 2015 dibawah sumpah persidangan, Terdakwa sendiri juga telah menyampaikan bahwa bersamaan dengan pemeriksaan tersebut juga diikuti dan dihadiri oleh petugas Badan Pemeriksa Keuangan RI yang pada saat itu sedang melakukan pemeriksaan di Sekretariat Daerah. Sehingga itulah makanya BPK RI telah menyatakan bahwa pengadaan kendaraan dinas tersebut tidak ada masalah yang tertuang dalam LHP BKP RI Nomor : 53/S/XVII/01/2011 tanggal 20 Januari 2011 dan bahkan Majelis Hakim sendiri menyampaikan pada waktu itu agar LHP BKP tersebut dilampirkan pada saat penyampaian pembelaan, sebagai bukti dapat didengar pada rekaman persidangan ini.

11. Pada Hal 6 Alinea ke-4
“Bahwa tindakan Terdakwa melaksanakan kegiatan pengadaan Mobil Dinas Bupati dan Wakil Bupati  Tahun Anggaran 2010 yang hanya dilaksanakan sebanyak 1 (satu) unit padahal didalam DPPA SKPD TA 2010 adalah untuk 1 (satu) paket yaitu sebanyak 2 (dua) unit, adalah tidak sesuai dengan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 160 ayat (1) : Pergeseran Anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1) huruf b serta pergeseran antar objek belanja dalam jenis belanja dan antar rincian obyek belanja diformulasikan dalam DPPA-SKPD. Bahwa perubahan dari 2 unit menjadi 1 unit mobil tersebut seharusnya diawali dengan adanya persetujuan dari DPRD dan perubahan terhadap Perda No. 04 tahun 2010 tentang perubahan APBD tahun anggaran 2010 yang menjadi dasar DPPA-SKPD.”
Bahwa apa yang dituduhkan oleh JPU tentang tindakan Terdakwa yang melaksanakan kegiatan pengadaan mobil Dinas Bupati yang hanya dilaksanakan sebanyak 1(satu) unit dikatakan bertentangan dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 160 ayat (1) adalah tidak benar. Dalam hal ini JPU sendiri telah salah menafsirkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 160 ayat (1) tersebut. Jika kita akan melakukan perubahan APBD, tentu merubah apa yang telah dicantumkan dalam APBD tersebut dengan mengganti seluruh atau sebagiannya. Dalam hal ini bahwa angka 2 (dua) unit mobil tersebut tidak tercantum sama sekali di dalam DPPA Sekretariat Daerah Tahun 2010, jadi apa yang harus dirubah? Apa yang harus melalui mekanisme perubahan APBD dan mendapatkan persetujuan dari DPRD? Jawabannya tidak ada yang harus dirubah apalagi meminta persetujuan DPRD. Perubahan unit kendaraan ini tidak terkait sama sekali dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 160 ayat (1), karena ini hanya merupakan perubahan volume realisasi dari kegiatan yang telah dianggarkan, bukan perubahan objek ataupun rincian objek seperti yang dimaksud dalam Pasal 160 ayat (1) tersebut.
Dalam DPPA Sekretariat Daerah Tahun 2010 pada Bagian Umum, Kegiatan Pengadaan Kendaraan Dinas/ Operasional tertulis Pekerjaannya adalah Pengadaan Kendaraan Dinas dengan pagu dana Rp. 1.400.000.000 (satu milyar empat ratus juta rupiah) dan volume 1(satu) paket. Dalam Pelaksanaanya, pekerjaan tersebut direalisasikan dalam bentuk Pengadaan Kendaraan Dinas Bupati dan Wakil Bupati dengan volume 1 (satu) Paket dan diumumkan pelelangannya melalui media Koran Tempo. Dan berhubung dengan telah dilaksanakannya pelelangan namun gagal karena anggaran tersebut tidak mencukupi untuk Kendaraan Dinas Bupati dan Wakil Bupati, maka yang dilaksanakan adalah Kendaraan Bupati saja, usulan perubahan volume inipun disampaikan oleh Wakil Bupati dan kemudian disetujui oleh Bupati selaku Kepala Daerah melalui disposisinya pada TS tertanggal 10 Nopember 2011. Jadi bukan merupakan usulan dari Terdakwa selaku KPA.
Hal ini juga telah dijelaskan oleh Saksi CDP, SE, MM. A.kt dibawah sumpah di persidangan pada hari Jum’at tanggal 27 Februari 2015 dan juga penjelasan dari Ahli Dr. ST dari Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI dibawah sumpah pada persidangan hari Jum’at tanggal 17 April 2015. Dimana kedua orang saksi tersebut CDP adalah praktisi yang sehari-hari tugas dan pekerjaannya adalah mengelola keuangan daerah  yang jumlahnya mencapai hampir 1 triliun rupiah, sudah barang tentu sangat menguasai dan ahli di dalam pelaksanaan aturan Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagai kitab suci pelaksanaan tugasnya. Dan Dr. ST disamping dalam kapasitasnya sebagai Kasi Wilayah I Pada Subdit Bagian Kebijakan dan Bantuan Keterangan Ahli pada Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, dimana dalam tugasnya sehari-hari adalah untuk memberikan penjelasan dan penafsiran terhadap peraturan-peraturan keuangan kepada seluruh stakeholder, bukan cuma dari Pemerintah Darah Kabupaten dan Propinsi se-Indonesia saja, tetapi juga termasuk dari instansi Kejaksaan, Kepolisian, KPK dan LSM-LSM yang membutuhkan informasi dan penjelasan mengenai substansi dari sebuah peraturan. Apalagi seperti yang dinyatakan oleh beliau di dalam persidangan, beliau bukan hanya mengerti dan paham tentang Permendagri No. 13 Tahun 2006 tersebut dan Permendagri-permendagri lainnya, tetapi bahkan beliau sangat mengerti dengan filosofi dan semangat serta suasana kebatinan yang mewarnai pada proses penyusunan peraturan tersebut karena beliau adalah orang yang terlibat langsung di dalam penyusunan peraturan tersebut. Beliau bukanlah hanya sekedar akademisi atau pemerhati hukum administrasi negara belaka.
Didalam persidangan tanggal 17 April 2015, Ahli ST dibawah sumpah persidangan memberikan keterangan, berikut saya kutip percakapan antara Jaksa dan Ahli ST :
Jaksa : Baik majelis. Supaya tidak mengambang kita masuk ke main kasusnya saja. Perubahan 7 micro bus tadi dibahas bersama DPRD, disetujui oleh DPRD atas dasar usulan Pemda, Sekretariat daerah, merubah 7 micro bus tadi menjadi dua unit kendaraan bupati dan wabup. Dua unit kendaraan bupati dan Wabup, dibahas waktu itu adalah fortuner dua-duanya. Kemudian juga diadakan lelang 2 spek kendaraaan berbeda, dua kendaraan yang berbeda, kembali saya katakan, sudah saya perlihatkan bersama, Ketika merubah 7 menjadi 2 unit tersebut itu disetujui dan ditandatangani oleh PPKD. Kemudian ketika diadakan dua kendaraan ini, speknya dua. Ternyata tidak jadi dua diadakan, dirubah berdasarkan surat atau petunjuk telaahan staf menjadi 1 unit saja tanpa sepengetahuan PPKD, bagaimana itu pandangan saudara ahli?
STe : Ya. Makasih. Sebenarnya tidak masalah, karena begini rupanya perubahan tadi itu masuk mekanisme pada perubahan. Tidak ada yang salah dengan itu, sehingga sudah menjadi satu paket, dan ini sekarang direalisasikan. Tidak ada perubahan disini yang dimaksud itu tadi pak, bukan perubahan, tetapi realisasinya kurang.. Realisasinya kurang jadi tidak perlu lagi persetujuan PPKD yang dimaksud pasal 160 itu. Rupanya perubahan itu clear di perda perubahan itu, kuat ini, ga ada masalah ini. Begitu mau direalisasikan oleh SKPD terkait, dari dua itu terealisasi 1, ya kan. Pertanyaannya nanti, kenapa direncanakan dua kok hasilnya satu. Apa penjelasannya, nah ini, jadi bukan di perobahan yang saya maksud pasal 160 lagi. Bukan. Giliran itu, perubahannya barang ini oleh Dewan di Perda Perubahan, ditetapkan
Dari kutipan tersebut, dengan jelas dan terang dapat kita lihat bahwa dalam perubahan 2 (dua) unit kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati menjadi 1 (satu) unit kendaraan Bupati tidak perlu melalui persetujuan DPRD dan merubah Perda No. 04 Tahun 2010 tentang Perubahan APBD Tahun 2010 yang menjadi dasar DPPA SKPD. Ini hanyalah pengurangan volume, bukan pergeseran antar objek belanja dalam jenis belanja dan antar rincian objek belanja sebagaimana yang dimaksud dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 160 ayat (1). Jadi dalam hal ini tidak ada pelanggaran yang dilakukan Terdakwa terhadap Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 160 ayat (1).
Adalah sangat beruntung sekali kita semua yang hadir pada persidangan hari itu mendapatkan rahmat dengan kedatangan dan kehadiran beliau untuk memberikan penjelasan kepada kita bersama, apalagi terhadap JPU yang betul-betul tidak mengerti dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tersebut karena memang di dalam pelaksanaan tugasnya tidak pernah bersentuhan dan menggunakan Permendagri No 13. Tahun 2006, konon lagi untuk bisa mengetahui dan menguasainya. Dan kenyataannya apa yang telah disampaikan oleh saksi Celly Decilia Putri, SE, MM, A.kt dan Ahli Sumule Tumbo tersebut tidak sedikitpun diperhatikan, dilaksanakan, apalagi dimasukkan di dalam fakta persidangan yang dibuat dalam surat tuntutan JPU. Hal ini hanya memberikan penegasan kepada kita bahwa kemauan dan kemampuan JPU untuk mencari kebenaran materiil di dalam persidangan sangat tidak berpihak kepada kebenaran.

12. Pada Hal 6 Alinea ke-5 baris ke-4 s/d 10
“proses pengadaan kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati yang dilaksanakan dengan cara penunjukan langsung kepada PT. BI telah bertentangan dengan Keppres Nomor 80 tahun 2003, karena PT. BI tidak pernah ikut dalam proses pelelangan sebelumnya. Didalam pasal 28 ayat 8 yang menyatakan “ Apabila dalam pelelangan ulang, jumlah penyedia barang / jasa yang memasukan penawaran hanya 1 (satu) maka dilakukan negosiasi seperti pada proses penunjukan barang”. Apalagi pada saat pelelangan ulang tidak ada satupun perusahaan yang memasukan penawaran.”
Bahwa tuduhan JPU terhadap Terdakwa yang mengatakan cara penunjukan langsung kepada PT. BI adalah bertentangan dengan Keppres Nomor 80 tahun 2003 Pasal 28 ayat (8) adalah tidak benar. Karena yang dimaksud dan yang diatur di dalam Pasal 28 ayat (8) tersebut adalah kondisi pada saat pelaksanaan lelang ulang, bukan setelah lelang ulang gagal. Sementara pada kasus kegiatan pengadaan kendaraan dinas Bupati ini, berada diluar aturan Pasal 28 ayat (8). Karena Proses Pengadaan Kendaraan dinas ini telah melalui dua kali pelelangan dan keduanya gagal karena tidak ada yang mendaftar. Hal ini menandakan ketidak pahaman JPU terhadap Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa yang karena memang Jaksa-Jaksa Penuntut Umum ini tidak mengerti tentang pelelangan karena belum pernah mengikuti pelatihan pengadaan barang dan jasa, konon lagi memahami aturan-aturan lainnya. Keadaan yang tidak ada diatur inilah yang menjadi alasan bagi panitia-panitia ULP se-Indonesia untuk melaksanakan Proses PL apabila telah melewati dua kali pelelangan gagal. Dan menyikapi fenomena yang dilaksanakan oleh insan pengadaan barang dan jasa tersebut, maka LKPP pada revisi Keppres No. 80 Tahun 2003 tersebut akhirnya melegalkan mekanisme PL yang telah dua kali gagal dalam Perpres No. 54 16 Tahun 2010. Sehingga tidak lagi menjadi perdebatan yang tidak ada dasar hukumnya. Namun apabila JPU berpendapat lain, menganggap PL yang dilakukan setelah dua kali lelang gagal ini adalah suatu kejahatan, maka silahkan para jaksa-jaksa yang terhormat untuk menangkap seluruh PA atau KPA yang melaksanakan PL setelah dua kali lelang gagal yang dilaksanakannya, seperti halnya yang telah saudara JPU lakukan terhadap saya. Dan saya yakin, banyak kasus yang serupa dengan kasus saya yang bisa saudara naikkan untuk mendongkrak popularitas dan pencapaian target kasus saudara, yang sekaligus akan meningkatkan pundi-pundi dan poin-poin untuk mendongkrak karir bagi saudara.

13. Hal 6 Alinea ke-6
“Bahwa proses penunjukan langsung yang dilakukan atas kegiatan pengadaan Mobil Dinas Bupati dan Wakil Bupati tahun 2010 adalah bertentangan dan tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang diatur dalam Lampiran I Keppres Nomor 80 tahun 2003 Bab I huruf C angka 1”
Apa yang disampaikan oleh Penuntut Umum dalam Surat Tuntutannya, khususnya mengenai Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, menggambarkan kepada kita akan keawaman dan ketidak mengertian Penuntut Umum terhadap pemahaman Kepres tersebut. Bahwa apa yang disebutkan di dalam Lampiran 1 Keppres No. 80 Tahun 2003 Bab 1 huruf C angka 1, adalah Mekanisme Pemilihan Penyedia Barang dengan langsung melakukan Penunjukan Langsung, tanpa terlebih dahulu dilakukan Pelelangan Ulang.
Sementara dalam kegiatan pengadaan kendaraan dinas bupati Pasaman Barat ini, mekanisme Penunjukan Langsungnya dilakukan setelah melalui dua kali pelelangan umum dan gagal. Kondisi setelah mengalami dua kali pelelangan umum dan gagal kemudian baru dilaksanakan Penunjukan Langsung, itu berbeda dengan apa yang disebutkan di dalam Lampiran 1 Keppres No. 80 Tahun 2003 Bab 1 huruf C angka 1 seperti yang dimaksudkan oleh Penuntut Umum tersebut.
Penjelasan mengenai pelelangan umum setelah dua kali pelelangan gagal itu tidak termasuk kedalam aturan yang ada didalam Kepres No. 80 Tahun 2003 tersebut juga sudah dijelaskan oleh Ahli dari LKPP RI di depan persidangan ini. Tetapi karena memang Penuntut Umum mempunyai target bahwa Terdakwa tidak boleh terlepas dari jerat hukum, menyebabkan Penuntut Umum tidak memperdulikan apa yang disampaikan oleh Ahli dari LKPP RI tersebut. Padahal kehadiran Saksi Ahli dari LKPP RI Jakarta di suatu sidang pengadilan, itu adalah sesuatu yang sangat jarang sekali bisa terjadi, bahkan dalam 5 tahun ini baru hanya satu kasus ini LKPP RI yang mau turun gunung untuk datang ke persidangan dalam rangka memberikan kesaksian ahli. Kecuali kalau yang meminta kehadiran LKPP tersebut adalah Lembaga Pengadilan atau Kejaksaan. Tidak untuk memenuhi permintaan dari pribadi seperti yang Terdakwa ajukan kepada LKPP.
Hal ini adalah karena dari hasil bedah kasus yang dilakukan di LKPP RI Jakarta, bahkan jangankan untuk merugikan negara, justru sebaliknya negara beruntung dengan mekanisme Pengadaan Langsung yang dilaksanakan oleh KPA melalui Panitia Pengadaannya. Karena dengan sistem pengadaan yang dilakukan, negara bisa membeli kendaraan dinas, dengan harga yang lebih murah. Seandainya kalau pengadaan ini tetap dilakukan dengan sistem pelelangan umum, maka satu-satunya jalan untuk menarik minat penyedia barang, adalah dengan menambah margin keuntungan di dalam HPS saat ini yang hanya berkisar 3,6%. Suatu angka yang sangat tidak menarik bagi pengusaha.

14. Pada Hal 7 Alinea ke-1
“Bahwa perbuatan Terdakwa yang tidak melakukan pemeriksaan dan penilaian  terhadap 1 (satu) unit mobil dinas Bupati yang diserahkan PT. BI merupakan perbuatan melawan hukum, yang bertentangan dengan Pasal 36 ayat (2) dan (3) Keppres Nomor 80 Tahun 2003”
Lagi-lagi JPU menyampaikan hal yang tidak benar dan tidak berdasar yang dituduhkan kepada Terdakwa. Karena pada kenyataanya, Terdakwa ada melakukan pemeriksaan terhadap Kendaraan Dinas Bupati dimaksud yang juga bersamaan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Barang. Dimana, sebagai dasar hukum pembentukannya, Tim Pemeriksa Barang ini diatur di dalam Permendagari No. 17 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah
Hal ini sesuai dengan fakta di persidangan yang disampaikan oleh para panitia pemeriksa barang yaitu Sdr. BP, R, SB, RHEP dan Ao sendiri selaku ketua Tim Pemeriksa Barang, bahwa pada waktu pemeriksaan kendaraan tersebut juga diikuti dan dihadiri oleh Terdakwa sendiri, sebagai bukti dapat didengar pada rekaman persidangan. Kemudian juga di dalam persidangan hari Jum’at tanggal 10 April 2015, dibawah sumpah persidangan, Terdakwa sendiri juga telah menyampaikan bahwa bersamaan dengan pemeriksaan tersebut juga diikuti dan dihadiri oleh petugas auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan RI yang pada saat itu sedang melakukan pemeriksaan di Sekretariat Daerah. Sehingga itulah makanya BPK RI telah menyatakan bahwa pengadaan kendaraan dinas tersebut tidak ada masalah yang tertuang dalam LHP BKP RI Nomor : 53/S/XVII/01/2011 tanggal 20 Januari 2011 dan bahkan Majelis Hakim sendiri menyampaikan pada waktu itu agar LHP BKP tersebut dilampirkan pada saat penyampaian pembelaan. Dan hasil dari pemeriksaan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan No. 027/267/BAPB/Setda-2010 tanggal 20 Desember 2010 dan bahkan langsung dilakukan serah terima antara PT. BI dengan KPA, sesuai dengan Berita Acara Serah Terima No. 027/268/BASB/Setda-2010 tanggal 20 Desember 2010.
Hal ini merupakan sebuah keanehan, karena JPU sendiri pada persidangan menyatakan dengan lantang pada persidangan, untuk apa lagi dibentuk KPA kalau semua tanggung jawab itu dilimpahkan kepada PA, berarti percuma dibentuk adanya KPA. Pertanyaan yang sama semestinya juga dipakai oleh JPU, untuk apa dibentuk panitia pemeriksa yang dasar pembentukannya adalah Permendagri No. 17 Tahun 2007 yang juga menerima honor dari negara. kalau semua pekerjaannya tetap menjadi tanggung jawab KPA ?

No comments:

Post a Comment