10. Pada Hal 6 Aliniea 1 baris ke-1
“Terdakwa juga tidak melakukan
pemeriksaan dan penilaian terhadap 1 (satu) unit kendaraan
dinas
Bupati dan Wakil Bupati yang diserahkan PT. BI tersebut.”
Lagi-lagi JPU menyampaikan hal yang tidak benar dan
tidak berdasar yang dituduhkan kepada Terdakwa. Disini dikatakan bahwa Terdakwa
tidak melakukan pemeriksaan dan penilaian terhadap 1 (satu) unit Kendaraan
Dinas Bupati dan Wakil Bupati yang diserahkan PT. BI. Padahal dari fakta
persidangan yang disampaikan oleh para panitia pemeriksa barang bahwa pada
waktu pemeriksaan kendaraan tersebut juga diikuti dan dihadiri oleh Terdakwa
sendiri. Kemudian juga di dalam persidangan hari Jum’at tanggal 10 April 2015
dibawah sumpah persidangan, Terdakwa sendiri juga telah menyampaikan bahwa
bersamaan dengan pemeriksaan tersebut juga diikuti dan dihadiri oleh petugas
Badan Pemeriksa Keuangan RI yang pada saat itu sedang melakukan pemeriksaan di
Sekretariat Daerah. Sehingga itulah makanya BPK RI telah menyatakan bahwa
pengadaan kendaraan dinas tersebut tidak ada masalah yang tertuang dalam LHP
BKP RI Nomor : 53/S/XVII/01/2011 tanggal 20 Januari 2011 dan bahkan Majelis
Hakim sendiri menyampaikan pada waktu itu agar LHP BKP tersebut dilampirkan
pada saat penyampaian pembelaan, sebagai bukti dapat didengar pada rekaman
persidangan ini.
11. Pada Hal 6 Alinea ke-4
“Bahwa tindakan Terdakwa
melaksanakan kegiatan pengadaan Mobil Dinas Bupati dan Wakil Bupati Tahun Anggaran 2010 yang hanya dilaksanakan
sebanyak 1 (satu) unit padahal didalam DPPA SKPD TA 2010 adalah untuk 1 (satu)
paket yaitu sebanyak 2 (dua) unit, adalah tidak sesuai dengan Permendagri Nomor
13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 160 ayat (1) :
Pergeseran Anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis
belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1) huruf b serta pergeseran
antar objek belanja dalam jenis belanja dan antar rincian obyek belanja
diformulasikan dalam DPPA-SKPD. Bahwa perubahan dari 2 unit menjadi 1 unit
mobil tersebut seharusnya diawali dengan adanya persetujuan dari DPRD dan
perubahan terhadap Perda No. 04 tahun 2010 tentang perubahan APBD tahun
anggaran 2010 yang menjadi dasar DPPA-SKPD.”
Bahwa apa yang dituduhkan oleh JPU tentang tindakan
Terdakwa yang melaksanakan kegiatan pengadaan mobil Dinas Bupati yang hanya
dilaksanakan sebanyak 1(satu) unit dikatakan bertentangan dengan Permendagri
No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 160 ayat
(1) adalah tidak benar. Dalam hal ini JPU sendiri telah salah menafsirkan
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal
160 ayat (1) tersebut. Jika kita akan melakukan perubahan APBD, tentu merubah
apa yang telah dicantumkan dalam APBD tersebut dengan mengganti seluruh atau
sebagiannya. Dalam hal ini bahwa angka 2 (dua) unit mobil tersebut tidak
tercantum sama sekali di dalam DPPA Sekretariat Daerah Tahun 2010, jadi apa
yang harus dirubah? Apa yang harus melalui mekanisme perubahan APBD dan
mendapatkan persetujuan dari DPRD? Jawabannya tidak ada yang harus dirubah
apalagi meminta persetujuan DPRD. Perubahan unit kendaraan ini tidak terkait
sama sekali dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah Pasal 160 ayat (1), karena ini hanya merupakan perubahan volume
realisasi dari kegiatan yang telah dianggarkan, bukan perubahan objek ataupun
rincian objek seperti yang dimaksud dalam Pasal 160 ayat (1) tersebut.
Dalam DPPA Sekretariat Daerah Tahun 2010 pada Bagian
Umum, Kegiatan Pengadaan Kendaraan Dinas/ Operasional tertulis Pekerjaannya
adalah Pengadaan Kendaraan Dinas dengan pagu dana Rp. 1.400.000.000 (satu
milyar empat ratus juta rupiah) dan volume 1(satu)
paket. Dalam Pelaksanaanya, pekerjaan tersebut direalisasikan dalam bentuk
Pengadaan Kendaraan Dinas Bupati dan Wakil Bupati dengan volume 1 (satu) Paket
dan diumumkan pelelangannya melalui media Koran Tempo. Dan berhubung dengan
telah dilaksanakannya pelelangan namun gagal karena anggaran tersebut tidak
mencukupi untuk Kendaraan Dinas Bupati dan Wakil Bupati, maka yang dilaksanakan
adalah Kendaraan Bupati saja, usulan perubahan volume inipun disampaikan oleh
Wakil Bupati dan kemudian disetujui oleh Bupati selaku Kepala Daerah melalui
disposisinya pada TS tertanggal 10 Nopember 2011. Jadi bukan merupakan usulan
dari Terdakwa selaku KPA.
Hal ini juga telah dijelaskan oleh Saksi CDP, SE, MM.
A.kt dibawah sumpah di persidangan pada hari Jum’at tanggal 27 Februari 2015
dan juga penjelasan dari Ahli Dr. ST dari Dirjen Keuangan Daerah Kementerian
Dalam Negeri RI dibawah sumpah pada persidangan hari Jum’at tanggal 17 April
2015. Dimana kedua orang saksi tersebut CDP adalah praktisi yang sehari-hari
tugas dan pekerjaannya adalah mengelola keuangan daerah yang jumlahnya mencapai hampir 1 triliun
rupiah, sudah barang tentu sangat menguasai dan ahli di dalam pelaksanaan
aturan Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagai kitab suci pelaksanaan tugasnya.
Dan Dr. ST disamping dalam kapasitasnya sebagai Kasi Wilayah I Pada Subdit
Bagian Kebijakan dan Bantuan Keterangan Ahli pada Dirjen Keuangan Daerah
Kementerian Dalam Negeri RI, dimana dalam tugasnya sehari-hari adalah untuk
memberikan penjelasan dan penafsiran terhadap peraturan-peraturan keuangan
kepada seluruh stakeholder, bukan cuma dari Pemerintah Darah Kabupaten dan
Propinsi se-Indonesia saja, tetapi juga termasuk dari instansi Kejaksaan,
Kepolisian, KPK dan LSM-LSM yang membutuhkan informasi dan penjelasan mengenai
substansi dari sebuah peraturan. Apalagi seperti yang dinyatakan oleh beliau di
dalam persidangan, beliau bukan hanya mengerti dan paham tentang Permendagri
No. 13 Tahun 2006 tersebut dan Permendagri-permendagri lainnya, tetapi bahkan
beliau sangat mengerti dengan filosofi dan semangat serta suasana kebatinan
yang mewarnai pada proses penyusunan peraturan tersebut karena beliau adalah
orang yang terlibat langsung di dalam penyusunan peraturan tersebut. Beliau
bukanlah hanya sekedar akademisi atau pemerhati hukum administrasi negara
belaka.
Didalam persidangan tanggal 17 April 2015, Ahli ST
dibawah sumpah persidangan memberikan keterangan, berikut saya kutip percakapan
antara Jaksa dan Ahli ST :
Jaksa : Baik majelis. Supaya tidak mengambang kita
masuk ke main kasusnya saja. Perubahan 7 micro bus tadi dibahas bersama DPRD,
disetujui oleh DPRD atas dasar usulan Pemda, Sekretariat daerah, merubah 7
micro bus tadi menjadi dua unit kendaraan bupati dan wabup. Dua unit kendaraan
bupati dan Wabup, dibahas waktu itu adalah fortuner dua-duanya. Kemudian juga
diadakan lelang 2 spek kendaraaan berbeda, dua kendaraan yang berbeda, kembali
saya katakan, sudah saya perlihatkan bersama, Ketika merubah 7 menjadi 2 unit
tersebut itu disetujui dan ditandatangani oleh PPKD. Kemudian ketika diadakan
dua kendaraan ini, speknya dua. Ternyata tidak jadi dua diadakan, dirubah
berdasarkan surat atau petunjuk telaahan staf menjadi 1 unit saja tanpa
sepengetahuan PPKD, bagaimana itu pandangan saudara ahli?
STe : Ya. Makasih. Sebenarnya tidak masalah, karena
begini rupanya perubahan tadi itu masuk mekanisme pada perubahan. Tidak ada
yang salah dengan itu, sehingga sudah menjadi satu paket, dan ini sekarang
direalisasikan. Tidak ada perubahan disini yang dimaksud itu tadi pak, bukan
perubahan, tetapi realisasinya kurang.. Realisasinya kurang jadi tidak perlu
lagi persetujuan PPKD yang dimaksud pasal 160 itu. Rupanya perubahan itu clear
di perda perubahan itu, kuat ini, ga ada masalah ini. Begitu mau direalisasikan
oleh SKPD terkait, dari dua itu terealisasi 1, ya kan. Pertanyaannya nanti,
kenapa direncanakan dua kok hasilnya satu. Apa penjelasannya, nah ini, jadi
bukan di perobahan yang saya maksud pasal 160 lagi. Bukan. Giliran itu,
perubahannya barang ini oleh Dewan di Perda Perubahan, ditetapkan
Dari kutipan tersebut, dengan jelas dan terang dapat
kita lihat bahwa dalam perubahan 2 (dua) unit kendaraan dinas Bupati dan Wakil
Bupati menjadi 1 (satu) unit kendaraan Bupati tidak perlu melalui persetujuan
DPRD dan merubah Perda No. 04 Tahun 2010 tentang Perubahan APBD Tahun 2010 yang
menjadi dasar DPPA SKPD. Ini hanyalah pengurangan volume, bukan pergeseran
antar objek belanja dalam jenis belanja dan antar rincian objek belanja
sebagaimana yang dimaksud dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 160 ayat
(1). Jadi dalam hal ini tidak ada pelanggaran yang dilakukan Terdakwa terhadap
Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 160 ayat (1).
Adalah sangat beruntung sekali kita semua yang hadir
pada persidangan hari itu mendapatkan rahmat dengan kedatangan dan kehadiran
beliau untuk memberikan penjelasan kepada kita bersama, apalagi terhadap JPU
yang betul-betul tidak mengerti dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tersebut
karena memang di dalam pelaksanaan tugasnya tidak pernah bersentuhan dan
menggunakan Permendagri No 13. Tahun 2006, konon lagi untuk bisa mengetahui dan
menguasainya. Dan kenyataannya apa yang telah disampaikan oleh saksi Celly
Decilia Putri, SE, MM, A.kt dan Ahli Sumule Tumbo tersebut tidak sedikitpun
diperhatikan, dilaksanakan, apalagi dimasukkan di dalam fakta persidangan yang
dibuat dalam surat tuntutan JPU. Hal ini hanya memberikan penegasan kepada kita
bahwa kemauan dan kemampuan JPU untuk mencari kebenaran materiil di dalam
persidangan sangat tidak berpihak kepada kebenaran.
12. Pada Hal 6 Alinea ke-5 baris ke-4 s/d 10
“proses pengadaan kendaraan
dinas Bupati dan Wakil Bupati yang dilaksanakan dengan cara penunjukan langsung
kepada PT. BI telah bertentangan dengan Keppres Nomor 80 tahun 2003, karena PT.
BI tidak pernah ikut dalam proses pelelangan sebelumnya. Didalam pasal 28 ayat
8 yang menyatakan “ Apabila dalam pelelangan ulang, jumlah penyedia barang /
jasa yang memasukan penawaran hanya 1 (satu) maka dilakukan negosiasi seperti
pada proses penunjukan barang”. Apalagi pada saat pelelangan ulang tidak ada
satupun perusahaan yang memasukan penawaran.”
Bahwa tuduhan JPU terhadap Terdakwa yang mengatakan
cara penunjukan langsung kepada PT. BI adalah bertentangan dengan Keppres Nomor
80 tahun 2003 Pasal 28 ayat (8) adalah tidak benar. Karena yang dimaksud dan
yang diatur di dalam Pasal 28 ayat (8) tersebut adalah kondisi pada saat pelaksanaan
lelang ulang, bukan setelah lelang ulang gagal. Sementara pada kasus
kegiatan pengadaan kendaraan dinas Bupati ini, berada diluar aturan Pasal 28
ayat (8). Karena Proses Pengadaan Kendaraan dinas ini telah melalui dua kali
pelelangan dan keduanya gagal karena tidak ada yang mendaftar. Hal ini
menandakan ketidak pahaman JPU terhadap Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa
yang karena memang Jaksa-Jaksa Penuntut Umum ini tidak mengerti tentang
pelelangan karena belum pernah mengikuti pelatihan pengadaan barang dan jasa,
konon lagi memahami aturan-aturan lainnya. Keadaan yang tidak ada diatur inilah
yang menjadi alasan bagi panitia-panitia ULP se-Indonesia untuk melaksanakan
Proses PL apabila telah melewati dua kali pelelangan gagal. Dan menyikapi
fenomena yang dilaksanakan oleh insan pengadaan barang dan jasa tersebut, maka
LKPP pada revisi Keppres No. 80 Tahun 2003 tersebut akhirnya melegalkan mekanisme
PL yang telah dua kali gagal dalam Perpres No. 54 16 Tahun
2010. Sehingga tidak lagi menjadi perdebatan yang tidak ada dasar hukumnya.
Namun apabila JPU berpendapat lain, menganggap PL yang dilakukan setelah dua
kali lelang gagal ini adalah suatu kejahatan, maka silahkan para jaksa-jaksa
yang terhormat untuk menangkap seluruh PA atau KPA yang melaksanakan PL setelah
dua kali lelang gagal yang dilaksanakannya, seperti halnya yang telah saudara
JPU lakukan terhadap saya. Dan saya yakin, banyak kasus yang serupa dengan
kasus saya yang bisa saudara naikkan untuk mendongkrak popularitas dan
pencapaian target kasus saudara, yang sekaligus akan meningkatkan pundi-pundi
dan poin-poin untuk mendongkrak karir bagi saudara.
13. Hal 6 Alinea ke-6
“Bahwa proses penunjukan
langsung yang dilakukan atas kegiatan pengadaan Mobil Dinas Bupati dan Wakil
Bupati tahun 2010 adalah bertentangan dan tidak memenuhi kriteria sebagaimana
yang diatur dalam Lampiran I Keppres Nomor 80 tahun 2003 Bab I huruf C angka 1”
Apa yang disampaikan oleh Penuntut Umum dalam Surat
Tuntutannya, khususnya mengenai Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, menggambarkan kepada kita akan keawaman
dan ketidak mengertian Penuntut Umum terhadap pemahaman Kepres tersebut. Bahwa
apa yang disebutkan di dalam Lampiran 1 Keppres No. 80 Tahun 2003 Bab 1 huruf C
angka 1, adalah Mekanisme Pemilihan Penyedia Barang dengan langsung melakukan
Penunjukan Langsung, tanpa terlebih dahulu dilakukan Pelelangan Ulang.
Sementara dalam kegiatan pengadaan kendaraan dinas
bupati Pasaman Barat ini, mekanisme Penunjukan Langsungnya dilakukan setelah
melalui dua kali pelelangan umum dan gagal. Kondisi setelah mengalami dua kali
pelelangan umum dan gagal kemudian baru dilaksanakan Penunjukan Langsung, itu
berbeda dengan apa yang disebutkan di dalam Lampiran 1 Keppres No. 80 Tahun
2003 Bab 1 huruf C angka 1 seperti yang dimaksudkan oleh Penuntut Umum
tersebut.
Penjelasan mengenai pelelangan umum setelah dua kali
pelelangan gagal itu tidak termasuk kedalam aturan yang ada didalam Kepres No.
80 Tahun 2003 tersebut juga sudah dijelaskan oleh Ahli dari LKPP RI di depan
persidangan ini. Tetapi karena memang Penuntut Umum mempunyai target bahwa
Terdakwa tidak boleh terlepas dari jerat hukum, menyebabkan Penuntut Umum tidak
memperdulikan apa yang disampaikan oleh Ahli dari LKPP RI tersebut. Padahal
kehadiran Saksi Ahli dari LKPP RI Jakarta di suatu sidang pengadilan, itu
adalah sesuatu yang sangat jarang sekali bisa terjadi, bahkan dalam 5 tahun ini
baru hanya satu kasus ini LKPP RI yang mau turun gunung untuk datang ke
persidangan dalam rangka memberikan kesaksian ahli. Kecuali kalau yang meminta
kehadiran LKPP tersebut adalah Lembaga Pengadilan atau Kejaksaan. Tidak untuk
memenuhi permintaan dari pribadi seperti yang Terdakwa ajukan kepada LKPP.
Hal ini adalah karena dari hasil bedah kasus yang
dilakukan di LKPP RI Jakarta, bahkan jangankan untuk merugikan negara, justru
sebaliknya negara beruntung dengan mekanisme Pengadaan Langsung yang
dilaksanakan oleh KPA melalui Panitia Pengadaannya. Karena dengan sistem
pengadaan yang dilakukan, negara bisa membeli kendaraan dinas, dengan harga
yang lebih murah. Seandainya kalau pengadaan ini tetap dilakukan dengan sistem
pelelangan umum, maka satu-satunya jalan untuk menarik minat penyedia barang,
adalah dengan menambah margin keuntungan di dalam HPS saat ini yang hanya
berkisar 3,6%. Suatu angka yang sangat tidak menarik bagi pengusaha.
14. Pada Hal 7 Alinea ke-1
“Bahwa perbuatan Terdakwa yang
tidak melakukan pemeriksaan dan penilaian terhadap
1 (satu) unit mobil dinas Bupati yang diserahkan PT. BI merupakan perbuatan
melawan hukum, yang bertentangan dengan Pasal 36 ayat (2) dan (3) Keppres Nomor
80 Tahun 2003”
Lagi-lagi JPU menyampaikan hal yang tidak benar dan
tidak berdasar yang dituduhkan kepada Terdakwa. Karena pada kenyataanya,
Terdakwa ada melakukan pemeriksaan terhadap Kendaraan Dinas Bupati dimaksud
yang juga bersamaan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa
Barang. Dimana, sebagai dasar hukum pembentukannya, Tim Pemeriksa Barang ini
diatur di dalam Permendagari No. 17 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik
Daerah
Hal ini sesuai dengan fakta di persidangan yang
disampaikan oleh para panitia pemeriksa barang yaitu Sdr. BP, R, SB, RHEP dan Ao
sendiri selaku ketua Tim Pemeriksa Barang, bahwa pada waktu pemeriksaan
kendaraan tersebut juga diikuti dan dihadiri oleh Terdakwa sendiri, sebagai
bukti dapat didengar pada rekaman persidangan. Kemudian juga di dalam
persidangan hari Jum’at tanggal 10 April 2015, dibawah sumpah persidangan,
Terdakwa sendiri juga telah menyampaikan bahwa bersamaan dengan pemeriksaan
tersebut juga diikuti dan dihadiri oleh petugas auditor dari Badan Pemeriksa
Keuangan RI yang pada saat itu sedang melakukan pemeriksaan di Sekretariat
Daerah. Sehingga itulah makanya BPK RI telah menyatakan bahwa pengadaan
kendaraan dinas tersebut tidak ada masalah yang tertuang dalam LHP BKP RI Nomor
: 53/S/XVII/01/2011 tanggal 20 Januari 2011 dan bahkan Majelis Hakim sendiri
menyampaikan pada waktu itu agar LHP BKP tersebut dilampirkan pada saat
penyampaian pembelaan. Dan hasil dari pemeriksaan tersebut dituangkan dalam
Berita Acara Pemeriksaan No. 027/267/BAPB/Setda-2010 tanggal 20 Desember 2010
dan bahkan langsung dilakukan serah terima antara PT. BI dengan KPA, sesuai
dengan Berita Acara Serah Terima No. 027/268/BASB/Setda-2010 tanggal 20
Desember 2010.
Hal ini merupakan sebuah keanehan, karena JPU sendiri
pada persidangan menyatakan dengan lantang pada persidangan, untuk apa lagi
dibentuk KPA kalau semua tanggung jawab itu dilimpahkan kepada PA, berarti
percuma dibentuk adanya KPA. Pertanyaan yang sama semestinya juga dipakai oleh
JPU, untuk apa dibentuk panitia pemeriksa yang dasar pembentukannya adalah
Permendagri No. 17 Tahun 2007 yang juga menerima honor dari negara. kalau semua
pekerjaannya tetap menjadi tanggung jawab KPA ?
No comments:
Post a Comment